“…… aku akan menempuhnya dengan rasa bangga karena aku telah mengungkapkan kebenaran. Dan kebenaran itu adalah liar dan berbahaya.” – Firdaus
Novel Perempuan di Titik Nol (Women At Point Zero) karya Nawal El Saadawi menceritakan kehidupan seorang perempuan bernama Firdaus—seorang pelacur terkenal dengan bayaran mahal dari Kairo, Mesir. Novel ini terfokus pada ”biografi” hidup Firdaus yang diceritakan secara monolog dengan alur kilas balik (flashback). Nama ‘Firdaus’ itu sendiri bersifat androgini, yaitu nama yang biasa digunakan sebagai penanda nama untuk laki-laki, namun di dalam novel, nama ini digunakan sebagai pengidentifikasian atas tokoh sentral yang berkelamin perempuan.
Bagi Firdaus, profesi pelacur mengantarkan dirinya pada kesadaran tentang otoritas dan harga diri secara harfiah. Firdaus menuturkan kisahnya dari penjara ketika ia menunggu hukuman gantung karena telah membunuh seorang laki-laki. Kisah Firdaus melukiskan apa artinya menjadi perempuan di tengah masyarakat patriarki, menjadi perempuan berarti harus selalu mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Tragic Hero
Aristoteles pernah mengatakan “Tragedy evokes pity and fear in spectators, but it does this for the purpose of catharsis—that is, for the purpose of purging the emotions”. Tragedi yang dimaksud Aristoteles mengidentifikasi tragic hero yang dialami bangsawan, raja, anak dewa dan sejenisnya. Namun Perempuan Di Titik Nol bercerita sebaliknya, tragic hero dihadirkan melalui tokoh Firdaus yang berasal dari keluarga petani miskin dengan segala keterbatasannya sosial dan ekonominya.
Tokoh Firdaus dalam naskah ini merupakan tokoh yang problematik (problematic hero) yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded). Firdaus berasal dari keluarga miskin dalam masyarakat yang memegang nilai-nilai patriarki secara ketat. Ia menyaksikan kekerasan ayahnya yang memukuli dan memperbudak ibunya serta ayahnya yang rela menukar anak-anak gadisnya demi mas kawin. Firdaus sendiri, yang mengalami trauma akibat pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman dan pamannya sendiri ketika kanak-kanak, juga dipaksa menikahi lelaki tua oleh keluarga pamannya itu. Kemiskinan, kekerasan rumah tangga, prostitusi, pengkhianatan serta ketertindasan sebagai perempuan memberikan gambaran tragis kehidupan Firdaus. Benturan-benturan secara psikologis dan peristiwa traumatik itulah yang membuat tokoh Firdaus lebih dikedepankan secara psikologis.
Trauma masa lalu selalu membayangi Firdaus, menjadi beban mental yang harus ditanggungnya. Ia pun berupaya bebas dari trauma tersebut dan berusaha mendapatkan nilai sahih (authentic value) yaitu kebebasan. Sampai suatu ketika ia menyadari bahwa ia memiliki harga dan otoritas atas dirinya dan memutuskan menjadi pelacur, pelacur yang sukses. Menjadi pelacur tidak juga memuaskan hasrat Firdaus untuk meraih kebebasan. Berbekal ijazah sekolah menengah yang selalu dikedepankannya, Firdaus berharap memiliki kehidupan yang ‘normal’ dan terbebas dari segala trauma. Kehidupan ‘normal’, terbebas dari prostitusi tidak juga mampu menjawab arti kebebasan yang diinginkan Firdaus.
Akhirnya, kematian, bagi Firdaus adalah satu-satunya jalan yang mampu membebaskan dirinya dari segala tekanan sosial, opresi, dan trauma.
Novel ini ditulis Nawal saat melakukan penelitian tentang perempuan dan gangguan syaraf di Sekolah Kedokteran Universitas Ain Syams dari tahun 1973 sampai 1976. Selama itu, ia melakukan penelitian yang luas pada perempuan di penjara, terutama Penjara Wanita Qanatir. Di sanalah ia bertemu wanita yang menginspirasi karakter Firdaus di Perempuan di Titik Nol, pelacur yang dihukum mati karena membunuh germonya.
Nawal dan Feminisme
Lewat novel ini, Nawal jelas ingin menggambarkan kondisi-kondisi kehidupan perempuan-perempuan di Mesir yang penuh opresi. Nawal adalah seorang feminis, dan karenanya Firdaus bisa dilihat sebagai representasi atas ideologi Nawal itu sendiri. Seorang feminis melihat bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender adalah konstruksi sosial, sementara jenis kelamin sifatnya biologis. Masyarakat patriarkal menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif (“penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah”) dan laki-laki tetap aktif (“kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil dan kompetitif “).
Karena itu cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan patriarki yang tidak layak atas perempuan adalah pertama-tama dengan menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembangkan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminism dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing.
Nawal memilih ideologi Feminisme sebagai kacamata untuk memaparkan segala bentuk opresi yang dialami perempuan-perempuan di bawah kebudayaan Mesir yang masih menganut sistem patriarkat dan agama yang konservatif. Kehidupan perempuan Mesir terkungkung secara norma, tradisi, agama yang konvensional serta sistem patriarki yang menjadikan mereka sebagai tolak ukur moral masyarakat. Bahkan polarisasi ekstrim elemen sosial ke dalam dua kutub berdasarkan seks (jenis kelamin) masih kerap terjadi.
Perbedaan ekstrim antara laki-laki dan perempuan masih berlangsung di masyarakat kalangan bawah sehingga kekerasan perempuan di sektor domestik secara luas masih terjadi sampai hari ini. Perempuan masih dianggap makhluk nomor dua, dan semuanya bertambah parah bilamana menimpa perempuan miskin seperti Firdaus menjelang masa remajanya atau seperti perempuan di penjara Qanatir. (*)
Judul buku : Perempuan di Titik Nol
Pengarang : Nawal El Sadaawi
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2002
Sumber foto: obor.or.id