Reportase

Dapur dan Sejarah yang Pedih dalam Film Daun dan Tulang: Kepingan Memori Rasa

Payakumbuh yang dingin terasa hangat ketika film “Daun dan Tulang: Kepingan Memori Rasa” besutan sutradara S. Metron Masdison diputar di dua tempat, yaitu Agam Jua Cafe serta Dan Ruang Cafe selama dua hari berturut-turut, 6 dan 7 Januari 2023.

Dua kali saya menonton, dua kali pula saya tertegun ketika melihat tungku api yang menyala dan disorot agak lama di bagian pembuka flim. Lantaran saya bukan ‘orang film’, saya tidak akan mengomentari mengenai angle kamera atau atas dasar teori film apa Metron dan timnya menyorot agak lama bagian itu.

Tapi saya paham benar alasan tersembunyi di balik keputusan tersebut; tungku api itu merupakan simbol dari dapur.

Bagi sebagian orang Minangkabau, baik yang mendiami dataran tinggi maupun wilayah pesisir, dapur adalah rumah ibadah kedua. Seluruh aktivitas di dapur bukan sekedar untuk membuat makanan penyumpal perut.

Lebih dari itu, dapur adalah semacam altar suci untuk menyatukan berbagai rempah agar tercapai cita-rasa yang harumnya bagai aroma surga, yang lezatnya belum dapat diterjemahkan secara utuh oleh kamus mana saja. Spicy!!!

Mungkin karena itu kita tidak perlu heran, kalau rendang, salah satu  yang berasal dari dapur orang Minangkabau,menempati urutan sebagai makanan terlezat di dunia. Karena ia memang diramu lewat proses ibadah berkepanjangan.

Daun dan Tulang bercerita tentang Kawa Daun dan Sambalado Tulang. Meskipun saya lulusan Ilmu Sejarah, nama terakhir adalah nama yang asing. Mulanya saya menduga itu semacam metafor. Kalau tidak, nama suatu nagari—sebagaimana makanan-makanan lainnya di Sumatera Barat. Kenyataannya setelah di pertengahan film, dugaan saya terbantahkan. Makanan itu benar-benar berasal dari tulang.

Kedua kuliner ini lahir dari rahim perang dan penjajahan, dari sejarah sakit yang penuh kepedihan. Diawali ketika Belanda berhasil menaklukan benteng terakhir paderi di Pasaman dan Tuanku Tambusai hilang tak berbentuk di Sungai Rokan.

Belanda pun menguasai Minangkabau secara utuh. Perkebunan-perkebunan baru mulai dibuka dan menyebar di sini serupa pandemi, terutama perkebunan kopi. Sementara banyak orang yang mendiami wilayah ini perlahan hilang kebebasannya dan berakhir menjadi pesuruh.

Tapi tidak semua pribumi merasakan hal yang sama. Ada juga yang mendapati banyak keuntungan lewat cara menjilat sepatu para petinggi Belanda dan menjadi elite baru. “Sebentar-bentar naik haji, sebentar-bentar sabung ayam,” mengutip kalimat yang ada di film ini untuk mengambarkan kehidupan orang-orang kaya baru itu.

Di masa itu, biji kopi benar-benar dimonopoli oleh Belanda dan yang dapat menikmatinya hanya segelintir kalangan saja. Orang kulit putih sudah pasti. Keluarga Kepala Laras, Demang serta datuk-datuk yang menjadi bawahan Belanda mungkin juga ikut serta. Pribumi yang lain? Kebanyakan hanya dapat mencium aroma kopi dibakar saja.

Entah wangsit dari mana, masyarakat yang terjajah ini kemudian meramu daunnya menjadi seduhan pengganti kopi. Saat mengetahui hal tersebut, saya cukup sulit membayangkan, apakah menjadikan daun kopi sebagai seduhan adalah keputusan orang kalah? Atau upaya untuk mengimajinasikan kenikmatan kopi walau hanya dari daunnya, sebagaimana asal kata kawa yang berasal dari bahasa Arab qahwah yang berarti kopi.

Sebab dalam film ini salah satu narasumber menjelaskan dengan menggebu-gebu manfaat kesehatan kawa daun secara tradisional yang sangat banyak, seperti mencegah kanker, melindungi saraf otak, diabetes, kolestrol dan lain sebagainya. Manfaat yang bahkan telah diuji khasiatnya dalam laboratorium modern oleh para ahli medis dan menemukan bahwa kawa daun memang mengandung senyawa mangiferin dalam jumlah tinggi yang memiliki kemampuan anti-inflamasi dan anti-diabetes.

Sementara sambalado tulang lahir benar-benar dalam keadaan krisis, barangkali di mulai dari zaman pendudukan Jepang dan memuncak ketika Soekarno yang Agung mengutus bala tentaranya ke pedalaman Sumatera Tengah. Seorang tua yang menjadi narasumber dalam film ini menceritakan keadaaan itu secara runut sambil menaut-nautkan kembali ingatannya yang terserak.

Jujur! Saya kagum pada orang tua itu. Ia membagikan ingatannya pada orang lain sambil tertawa, seakan-akan seluruh sejarah pedih itu hanyalah mimpi buruk belaka. Tidak ada raut sedih sama sekali.

Sambalado tulang adalah hidangan yang dibuat dari kikisan tulang sapi serta dicampur dengan sayur dan cabe giling. Meskipun hidangan ini dibuat karena kepedihan hidup, tapi di dalam film yang terus berputar, saya melihat Metron mencobanya dan saya bisa merasakan raut lezat dari kerongkongan dan ibu jarinya yang naik.

Dalam diskusi setelah pemutaran film, Metron mengungkapkan bahwa ahli gastronomi yang diwawancarainya menerangkan kalau komposisi rempah dalam sambalado tulang tidak sesuai sama sekali. Tapi ahli gastronomi itu tidak dapat menjelaskan mengapa sambalado tulang ini terasa lezat ketika bertemu nasi, bahkan dikirim ke Amerika untuk para perantau yang menetap di sana.

Secara logika, saya juga akan merasakan keganjilan yang sama dengan yang dirasakan ahli gastronomi itu. Karena di zaman ini, apalagi untuk orang yang sudah tinggal di Amerika, mereka bisa saja membeli daging kualitas satu dan memakannya sepuas mungkin sebagai upaya balas dendam atas ingatan masa lalu yang pedih.

Jendral Prusia, Carl von Clausewitz, mencatat pengalaman pahitnya ketika perang Napoleon dalam buku On war,bahwa di masa-masa penuh ketidakpastian (uncertain time), orang-orang akan menjadikan ahli agama sebagai satu-satunya tempat bernaung.

Saya pikir Minangkabau adalah catatan khusus. Harus ditambahkan dengan makanan enak. Barangkali kalau direvisi kalimat Clausewitz akan menjadi begini: bahwa di masa-masa penuh ketidakpastian, orang Minangkabau akan menjadikan ahli agama, dan dapur sebagai tempat bernaung!

Setelah film selesai diputar dan diskusi diakhiri, saya makin yakin bahwa dapur adalah semacam altar suci; bahwa ketika masa perang dan penjajahan ia adalah tempat bernaung dimana rasa sakit dikonversi menjadi kenikmatan.

Meskipun perang dan penjajahan telah lama usai, telah lama sekali usai, kita tetap dapat menikmati kawa daun dan sambalado tulang tanpa merasakan sakit yang sama dengan nenek-moyang kita. Barangkali orang Minangkabau tetap merawatnya sebagai penanda abad, terlepas dari monumen abadi dari sejarah yang pedih yang tak lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan. (*)

Foto: Diskusi dan pemutaran film Daun dan Tulang: Kepingan Memori Rasa di Dan Ruang, 50 Kota.

About author

Pemerhati sejarah
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *