Ulasan Buku

Dua Buku dari Talang Mamak

Dua buku dari Talang Mamak, saya sebut demikian, karena buku ini bukan saja “tentang” suku Talang Mamak—yang pernah ditulis sejumlah pihak—namun berasal dari “orang dalam”, yakni anak-anak Talang Mamak itu sendiri. Dua buku dimaksud terbit dalam dua tahun terakhir, membuat kita memiliki rujukan khazanah budaya suku tuha ini dari penutur pertama, sekaligus memunculkan harapan akan kemampuan orang Talang Mamak menulis tentang diri mereka. 

Pada yang pertama, berbagai kebudayaan, ritual, seni  dan kehidupan sehari-hari puak Talang Mamak akan kita jumpai terdedah secara terbuka dengan sumber utama para tetua seperti Pak Batin atau Pak Dukun. Juga pola bercerita “aku”-an yang menyiratkan penulisnya sebagai pihak yang terlibat. 

Pada yang kedua, berkaitan dengan profil penulisnya, tiada lain adalah anak-anak muda suku Talang Mamak yang rata-rata kelahiran tahun 2000-an. Mereka beruntung sempat menempuh pendidikan di SMA, dan seorang di antaranya pernah kuliah. Kemudian mereka mengenal dunia tulis-menulis dari program pendampingan AsM Law Office. Mereka dilibatkan dalam banyak kegiatan, dan secara khusus diberikan bimbingan menulis dengan  instruktrur Pinto Anugrah.

Alhasil, dari upaya tersebut lahirlah buku pertama, Memori Kolektif: Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak, terbit tahun 2022 dan sudah diluncurkan di Universitas Lancang Kuning tempat Pinto mengajar. Buku mungil setebal 60 halaman ini berisi empat tulisan, yakni “Gawai” oleh Ayu, “Bedukun dan Belian” oleh Dita, “Behuma” oleh Gunawan dan “Rimba Batu” oleh Rendi. 

September 2023, terbit buku kedua berjudul Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit. Dua kali lebih tebal. 119 halaman, berisi 5 tulisan. Yakni,“Curaian Anak Adam Nang Sembilan hingga Patih Suatang” oleh Herianto, “Curaian Luak Talang Parit” oleh Hairil Candra, “Curaian Patih Besi” oleh Dita, “Dendang Danau Tiga” oleh Ayu dan “Dendang Kawasan Adat Luak Talang Parit” oleh Wulan Mardiana Ningsih. 

Meski sekilas materi kedua buku ini tampak sama, namun sebenarnya ada perbedaan spesifik pada tema dan pola penulisan. Dalam buku pertama, para penulis lebih berlaku sebagai pengamat sekaligus pelaku dari apa yang mereka tulis karena memang mereka hidup di dalam kultur atau ritual yang dibicarakan tersebut, berangkat dari pengalaman sehari-hari atau semacam kenangan pada suatu masa—masa ketika kelapa sawit belum merajalela mengepung kampung mereka. 

Sementara pada buku kedua, para penulis mencoba mewawancarai (mungkin lebih tepat mengajak bercerita) narasumber berupa para tetua dan perangkat adat seperti Balian dan Dukun, lalu mentranksripnya atau menceritakan ulang sesuai tangkapan mereka. Umumnya ini bercerita tentang asal-usul leluhur dan sebuah tempat, yang terjadi pada masa “nun”, tapi dipercaya sebagai silsilah dan legenda yang memuat banyak nilai.

Literasi Sehari-hari

Tulisan Ayu tentang gawai (pesta, helat), mendedah dengan sangat lengkap dan detail tradisi berhelat  di kalangan suku Talang Mamak. Gawai bisa berarti pesta bahagia seperti pernikahan dan kelahiran maupun pesta kemalangan seperti kematian. 

Ayu menceritakan secara khusus gawai pernikahan, diawali banyak proses beserta nama-nama yang akan sulit diingat jika tak segera dicatat. Misalnya betandang, membibit, menyulu, penjemputan, bebalik-balian, bejanji, betumang, besilat dan hari mengukus, dan seterusnya. Ayu bukan hanya mencatat istilah-istilah yang mungkin di kalangan anak muda Talang Mamak pun niscaya mulai terasa asing, namun juga menguraikan makna dan prosesnya. Termasuk apa yang sekarang menjadi paradoks, yaitu dilangsungkannya acara sabung ayam di setiap gawai. 

Pada mulanya, sabung ayam adalah syarat untuk “mendarahi” tempat bagawai, lalu bergeser untuk menghidupkan suasana bagi mereka yang berjaga-jaga. Belakangan bergeser (atau digeser) lagi oleh para pialang dan petualang untuk arena judi yang penuh taruhan, Ini menimbulkan dilema bagi polisi setempat antara membiarkan atau membubarkan. Hal yang mengingatkan pada tajen di Bali yang semula adalah proses tabuh rah di pura dan kini digunakan oleh para bobotoh untuk bertaruh tak kepalang tanggung. 

Namun, membaca tulisan Ayu, kita tahu bahwa gawai—dengan sabung ayamnya—mesti dilihat dalam konteks adat, dalam proporsi yang tepat. Sebab tetesan darah ayam sabungan secara esensial menjadi syarat dalam ritual.

Ada pun Dita menulis soal “Bedukun” yang juga mengguratkan proses (kata kerja) ketimbang kata benda, Dukun. Bedukun berarti proses pengobatan yang dipimpin oleh Pak Dukun. Menariknya, badukun bukan hanya dalam pengobatan penyakit (fisik), juga ada pengobatan tolak bala atau badukun dinding papah. Dukun itu sendiri merupakan perangkat adat yang ditunjuk secara turun-temurun. Selain Dukun, perangkat adat lainnya adalah Batin, Kumantan dan Balian.

Dalam badukun, perangkat lain ikut terlibat, yakni empat orang bantara, dua laki-laki, dua perempuan. Badukun melibatkan pula katunjung atau biduan tunjung, biduan tapuk dan bujang bayu. Biduan tunjung bertugas memainkan sebuah benda pusaka yang disebut katabung. Sementara itu, nyanyian-nyanyian dalam ritual pengobatan disenandungkan oleh tukang inang. Dita menggambarkan lengkap dan detail ritual bedukun itu, mulai peralatan, bahan, hingga jalannya ritual:

“Ada pun alat-alat yang dipersiapkan untuk badukun ini adalah gumbar atau kalubi, bunga kuning, bunga merah, daun panggil-panggil, bunga pandak kaki, kumpai, selasih, mayang pinang, lilin lebah, daun kelapa, daun enau, pucuk enau, kalisir, kataya, damar, tikar, karung, bakul, kambut, lesung hantan, daun-batang keduduk, labu kering, jarum, daun pisang, bambu, anjung, bertih, lamang, amping dan padi ladang. […] Damar dibakar petanda pelita bagi dukun…apabila damar padam atau mati…bisa membahayakan nyawa si dukun. Makanya ada orang khusus yang menjaga damar tetap menyala…”. (Dita, hal. 23-24)

Jika syarat-rukun tak terpenuhi maka bedukun akan dianggap rumpang. Tapi di tengah tergusurnya hutan ulayat—tempat sebagian besar obat-obatan yang diramu dan dimantrakan berada—bagaimanakah Pak Dukun menyikapinya? Dita tidak menceritakannya lebih lanjut. Padahal saya bayangkan pastilah “seru” jika bukan menyentuh. Misalnya, apakah mereka harus mengganti jenis tanaman tertentu yang sudah langka, atau mencari sampai ketemu jika perlu ke luak (kampung) tetangga yang masih punya?

Sama seperti prosesi yang lain, dalam berladang atau membuka lahan, orang Talang Mamak juga memiliki ritual yang dinamakan behuma. Gunawan mencatat dengan baik aturan-aturan yang diterapkan dalam behuma, mulai dari cara menebang pohon, memilih jenis pohon, membakar lahan dan menyebar abu, sampai masa bertanam padi huma. 

Mereka tidak mengharamkan membakar lahan, tapi jelas bukan dalam pengertian membakar ala perusahaan raksasa. Lahan bekas tebangan yang tidak terlalu luas, mereka bersihkan sekeliling untuk memutus jalaran api ke hutan sekitar. Abu bekas bakaran dibiarkan menjadi pupuk atau humus bagi tanaman padi. Itulah pupuk alamiah mereka, sehingga ketika ada larangan membakar lahan—yang dipukulratakan dengan pola perkebunan besar—proses behuma orang Talang Mamak justru terganggu. Mereka tak berani membakar lahan, dan itu artinya tak ada pupuk alami bagi tanaman padi mereka. 

Lain lagi tulisan Rendi mengenai Rimba Batu, sebuah kawasan kebun karet yang terletak antara Luak Talang Parit dan Sungai Limau. Menariknya, salah seorang pemilik kebun itu adalah Andi Letik, seorang Sulawesi yang sayangnya tak diceritakan bagaimana sampai ke pedalaman Riau. Rimba Batu penuh dengan mitos dan cerita batu kutukan yang diwariskan turun-temurun, membuatnya sebagai dunia “tak tersentuh” dalam memori Rendi. 

Akan tetapi semuanya berubah, ketika suatu waktu semua kebun karet lenyap dan berganti pohon kelapa sawit yang sekaligus menggerus “kesaktian” kawasan Rimba Batu. Ini dapat dibaca sebagai representasi tergusurnya titik-titik keramat lainnya di tanah adat Talang Mamak. 

Suaka Bahasa 

Jika dalam buku pertama kita mendapati rekaman memori kolektif dari pengalaman hidup sehari-hari, maka dalam buku kedua kita mendapatkan himpunan kisah nenek moyang, silsilah, asal-usul, dengan segala tunjuk ajar dan falsafah, meski di dalam keduanya terdapat juga selang-seling antar unsur. Dari buku kedua ini kita akan mengetahui dari mana asal-usul orang Talang Mamak, apa perannya di masa lalu, dan ke mana saja jaringan dan hubungan patron sosial-politiknya. 

Tentu saja ini berbeda dengan pandangan para antropolog atau peneliti suku-suku tua, sebab sumber ceritanya digali langsung dari perangkat kampung yang masih hidup, dan notabene mendapatkan cerita yang sama dari orang sebelumnya. Ada cerita warisan, turun-temurun, dan itu dikuasai betul oleh otoritas utama suku, yakni Pak Batin. 

Batin Luak Talang Parit (satu dari sekian luak Talang Mamak di Kecamatan Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau) adalah Pak Batin Irasan, seorang yang berwibawa, berpengalaman dan akomodatif terhadap anak-anak muda. Dialah sumber utama penulisan kisah-kisah leluhur dalam buku ini, tapi dengan perspektif dan tema yang berbeda-beda. 

Herianto menulis curaian (uraian) kisah Patih Suantang dan hubungannya dengan Anak Adam Nang Sembilan. Boleh dikata ini geneologi teologis yang menyebut hubungan leluhur mereka mencapai anak-anak Adam di Makkah. Sementara dari segi geneologi adat, Dita menuliskan asal-usul Patih Besi, salah seorang patih yang hidup dalam memori kolektif masyarakat Talang Mamak, dan berhasil disusuri riwayatnya sejak dari sang ayah.

Saat kecil ayahnya dipanggil Kanak-Kanak, setelah dirasulkan (sunat rasul) bernama Pajal Ketek, ketika muda dipanggil Orang Muda, setelah dewasa bernama Sutan Malaka. Setelah memenuhi syarat berhasil mengangkat dandang terawak dari ampayan, Sutan Malaka menikah dengan Purtri Indah Jelita. Mereka ini mengadakan anak tiga orang: si Besi, Kelopak dan Bunga. Si Besi, setelah menjalani pulau dalam perjalanan 9 bulan 9 musim mengarang hadat pepatah, bertemu Datuk Bagigi Tunggal dan menikah dengan anak raja, akhirnya menetap sebagai Patih di luak Talang Parit. 

Wulan Mardiana Ningsih menggenapkan sanad adat ini dengan menceritakan perkembangan adat di kawasan Talang Parit. Ia mengurai aturan adat sejak membentuk wilayah, cara membuka wilayah dan sanksi berdasarkan konsepsi hukum yang berlaku: hukum sirih sekapur, hukum setahil sepaha, hukum dua thalil, hukum tiga tahlil, hukum empat tahlil dan hukum tujuh tahlil. Mardiana menjelaskan masing-masing hukum itu dengan pengertian dan cakupannya. 

Dua tulisan lain, mencoba melihat asal-usul sebuah tempat, tapi tak kalah kompleks dan serunya. Hairil menulis asal-usul kampungnya, Talang Parit, dalam kelok-liku “sejarah lokal” yang menghanyutkan. Ayu menulis asal-usul Danau Tiga, sebuah tempat yang kaya sumber air. Dulu merupakan kawasan ulayat suku mereka, sebab merupakan tanah bangun Cindawati, anak patih yang mereka hormati, Patih Besi. Ayu bersama keluarga pernah tinggal di situ, menghabiskan masa kanak yang tak terlupakan, sebelum akhirnya Danau Tiga, sebagaimana Rimba Batu, digerus tuahnya oleh gempuran mesin-mesin kebun sawit.

Bagi saya, selain kisah asal-usul, baik yang kasat mata—seperti legenda sebuah tempat—maupun yang tidak kasat mata seperti silsilah dan hubungan darah yang didapat dari “orang pertama”, tak kalah berarti adalah bahasa penulisannya yang dipertahankan sebagaimana Pak Batin Irasan mendaras cerita. Barangkali memang terkesan jauh dari “pakem” penulisan konvensional (dalam arti mudah dimengerti), karena pertama-tama menggunakan bahasa Indonesia versi Melayu “pedalaman” bercampur dengan bahasa Minangkabau lama, yang lebih dekat ke bahasa lisan. 

Termasuk cara penulisannya yang tidak merujuk diksi Bahasa Indonesia yang “baik dan benar”, misalnya, Putri ditulis Purtri, tua ditulis tuha, punya anak disebut mengadakan anak, dan seterusnya. Belum lagi nama-nama imajinatif, misalnya Kanak-Kanak, Pajal Ketek, Orang Muda atau Pulau Perhentian. Namun dengan begitu, suasana dan aksentuasinya langsung dapat dirasakan.

Coba nikmati kutipan berikut:

Sutan Balam membasuh tangan sudah bebasuh tangan beliau menyuap nasi makan sesuap ketiga sudah, kaampat babasuh tangan, sudah babasuh tangan kalima berkukur-kumur, ke mana Sutan Balam menuju ke pangkal tihang tuha itu, Sutan Balam tipak jurung kaamasan sarat li sirih jangan pinang sarat litambakau jan gambir baisi pinang badar batunggalan hancur dilinyak dengan gigi (Herianto, hal. 17).

Cerita juga menjadi hidup dengan pola dialog bersambut, seolah kita mendengar dongeng atau dolanan anak di halaman ketika terang bulan:

Anak-Anak 4 Orang, ”Guli yang berempat perak.”

Kanak-Kanak, ”Gulinya tembaga.”

Anak-anak 4 orang, ”Gulinya suasa.”

Kanak-Kanak, ”Gulinya emas.”

Anak-anak 4 orang, ”Gulinya emas.”

Kanak-Kanak, ”Gulinya intan.”

Anak-anak 4 orang, ”Padahal kau anak dak bebapak apa dipintak ke Tuan Gadis ada dapat.”

Kanak-Kanak, ”Sabab nang kata Datuk Mandrajati ini cincin cinta-cinta, apa dipintak apa dapat, apa dilihat apa sampai, apa dipintak apa boleh,” kemudian Kanak-Kanak balik ke rumah, menangis tasadan-sadan (ibid, hal. 4). 

Bahasa juga hadir secara intens, kaya metafora dan falsafah, sehingga kadang terasa sebagai mantra yang mendekatkan pada semacam oase jika bukan ekstase:

Lalu dibakarlah kemenyan putih diganggang kemenyan tahun, kalau ku anak diwak diwan, kalau ku anak mambang pari. Kami ini cucu cicit Rasulullah, pecahan anak adam nag sambilan, turun ka Datuk Manderajati, turun ka Patih Nan Sabatang, tang di Patih Nag Sebatang, turun ke Patih Nang Betiga (Hairil, hal. 35).

Pendek cerita, imajinasi kita terbuka melalui bahasa tutur yang amat khas diksi dan strukturnya. Tak berlebihan buku kedua ini, bukan saja penting dari segi contens, tapi menjadi suaka bahasa wiracarita orang Talang Mamak. Keputusan Pinto Anugrah sebagai pendamping sekaligus editor membiarkan pola bahasa “seperti warna aslinya” itu ibarat mamak datuk penghulu yang mendampingi para ponakannya dengan bijak. Selamat, dan terus berkhidmat!

_________________

Judul Buku : Memori Kolektif: Yang Dipagari Talang Yang Dijaga Mamak

Penulis : Ayu, Dita, Gunawan, Rendi

Penerbit : AsM Law Office

Tebal : xiv + 50 halaman

ISBN : –

Judul Buku : Talang Mamak: Curaian Luak Talang Parit

Penulis : Herianto, Dita, Hairil Candra, Wulan Mardiana Ningsih, Ayu

Penerbit : AsM Law Office

Tebal : viii + 120 halaman

ISBN : 978-602-50138-6-7 

About author

Raudal Tanjung Banua, tinggal di Bantul. Bukunya antara lain, Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (2018) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (2020).
Related posts
Ulasan Buku

Pekanbaru, dari Hilir ke Hulu

Ulasan Buku

Tuanku Nan Renceh: Catatan untuk Irwan Setiawan

Ulasan Buku

Djaman Kemadjoean dan Penulisan Sejarah Kota: Ulasan Buku Terbaru Deddy Arsya

Ulasan Buku

Firdaus, Tragic Hero dalam Novel Perempuan di Titik Nol

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *