Pada Sabtu pagi, tepatnya tanggal 8 September 2018, sekelompok pelajar di Bukittinggi yang terdiri dari Ridho Muharram Muhammad, Ridho Abdillah, Firdaus Ramzi, Fajar Sidiq cabut dari sekolah dan bersama-sama naik Bus Tranex untuk pergi ke Padang. Mereka bersekolah di SMA 2 Bukittingi, sekolah yang berdiri sejak 1856 dan dahulunya bernama Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittingi). Sekolah orang-orang kaya ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Tan Malaka, pahlawan nasional kita, pernah bersekolah di sana.
Sekelompok pelajar itu cabut ke Padang bukan untuk bermain atau sedang bosan dengan pelajaran di sekolah, tapi mereka bermaksud untuk mengikuti serangkaian agenda puncak dari Sumbar Film Festival (Surfival). Dua hari sebelumnya, panitia festival mengumumkan lewat akun media sosial resmi Surfival, bahwa film berjudul Palarai Dandam masuk sebagai nominasi kategori film pelajar. Film itu diproduksi oleh Sajalan Films dan disutradarai oleh Ridho Muharram Muhammad. Ya, mereka adalah perwakilan dari kru film tersebut.
Sebenarnya kata ‘cabut’ kurang tepat saya gunakan untuk menjelaskan kepergian mereka karena mereka pun adalah tim yang diundang dalam pergelaran festival tersebut, tapi memang begitulah adanya. Karena ada miskomunikasi, pihak sekolah keberatan memberi izin sebab tidak tahu lomba apa yang sedang mereka ikuti. Jadinya mereka pergi ke Padang tanpa seizin serta dukungan sekolah.
“Malamnya wakil kepala sekolah kami baru menyusul ke Padang, karena panitia baru mengabarkan sore harinya kalau film kami lolos kurasi dan menang dengan membawa nama sekolah,” jelas Ridho Muharram, salah satu pendiri Sajalan Films kepada saya ketika kami mengobrol di Treeli Coffe di Bukittingi.
Malam itu, film mereka meraih juara 2 kategori pelajar dalam Sumbar Film Festival (Surfival). Menurut salah satu juri, Findo Bramata, Palarai Dandam unggul di ide, mereka memilih ide yang sederhana dan dekat dengan kehidupan mereka sebagai seorang pelajar.
Besoknya Ridho dan teman-teman yang ikut andil dalam produksi Palarai Dandam mendirikan komunitas film yang namanya diambil dari nama tim produksi mereka di film itu: Sajalan Films. Ridho berpikir kemenangan malam itu adalah pertanda yang bagus untuk memulai langkah serius ke dunia perfilman. Tanggal 9 September 2018, Sajalan Films berdiri sebagai sebuah komunitas film independen yang berbasisi di Bukittingi.
***
Pada suatu hari saya pernah bertanya ke ibu saya mengapa ia memberi nama anaknya Muhaimin Nurrizqy, ia pun menjelaskan kronologis mulai dari ia hamil sampai melahirkan dan apa saja yang terjadi di sekitar itu. Dan ketika saya bertanya ke Ridho mengapa ia memilih nama Sajalan Films, ia pun menjelaskan kronologisnya kepada saya, mirip seperti jawaban ibu saya dulu:
“Waktu itu kami sedang duduk di kawa Indomal (kafe tempat minum kawa daun di Bukittinggi). Jadi mikir untuk nama tim produksinya, ‘Apa nama kita?’ tanya Ridho ke teman-teman. Ketika itu sedang me-render Palarai Dandam.
‘Apa nama yang bagusnya kita pilih?’ ulang saya.
‘Terserah ajalah,’ jawab Fajar.
‘Janganlah terserah. Kalau bisa namanya bisa bertahan sampai lama.’
Pertama namanya Saayun, Saayun Salangkah. Tetapi kan nama itu sudah banyak. Lalu karena Ridho orang desain grafis juga, suka buat-buat desain, terpikirlah Sajalan dengan logo kaki yang sedang melangkah. Lalu dipilih saja Sajalan. Bisa dikatakan awalnya karena terpikir logonya, kalau untuk makna tersiratnya sepertinya tidak ada. Sajalan, ya, jalan saja terus.”
Sajalan Films adalah komunitas film independen yang digagas oleh pelajar dan hal itu cukup langka, khususnya di Sumatera Barat. Biasanya komunitas film hadir dan digagas oleh mahasiswa yang bergiat di UKM perfilman atau kebetulan mengambil jurusan film, dan itu pun berhenti hanya sampai unit kegiatan.
Di Bukittinggi, antusiasme pelajar dalam memproduksi film cukup tinggi. Ada beberapa faktor yang membuat hal itu bisa terjadi. Pertama, karena adanya FLS2N, yaitu lomba tingkat pelajar SMA yang diadakan setiap tahun oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Film termasuk salah satu sub seni yang dipertandingan dalam lomba tersebut. Kedua, hampir di semua sekolah di Bukittingi, film menjadi salah satu cabang ekstrakulikuler. Ketiga, pemerintah kota dan instansi pendidikan juga sering mengadakan lomba video, maupun film, yang salah satunya adalah ‘Bukittinggi Video Kompetisi’ yang diadakan untuk memperingati hari jadi Kota Bukittinggi di tahun 2019 lalu. Keempat, dan tentu saja, film dan gambar bergerak sangat mudah dijumpai hari ini dan tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Ridho menjelaskan bahwa di SMA 2 Bukittinggi sebenarnya punya organisasi foto yaitu Kweek School Art Photograph (KSAP). “Setiap ada lomba film, anggota dari KSAP inilah yang turun untuk memproduksi film. Saya dulu berpikir kalau fotografi dan film itu berbeda. Mengapa kawan-kawan foto yang diturunkan. Karena itulah saya dan teman-teman lain yang sepemikiran, memproduksi film sendiri untuk mengikuti lomba itu secara diam-diam. Walupun tetap membawa nama sekolah.”
Pihak sekolah pernah menyarankan Ridho dan teman-teman untuk membuat organisasi khusus yang mempelajari film, tapi Ridho dan teman-teman menolak dengan alasan, “Setiap kami ikut lomba, sekolah tidak peduli. Ya, contohnya yang Surfival kemarin itu.”
Ketidakpercayaan dan semangat memberontak itulah yang membuat mereka memilih membangun komunitas di luar sekolah dan berdiri secara independen.
Awalnya, anggota dari Sajalan Films hanya pelajar yang bersekolah di SMA 2 Bukittinggi. Tapi ternyata gaung Sajalan Films terdengar pula sampai ke SMA lain. Itu membuat pelajar dari sekolah yang berbeda ingin pula masuk atau sekedar minta bantuan ketika menggarap sebuah film.
“Biasanya kawan-kawan dari SMA lain memberi kami naskah yang akan mereka garap. Mereka punya naskah tapi tidak punya kru untuk memproduksinya. Kemudian kami ajak diskusi tentang naskah tersebut dan kami bantu penggarapan filmnya,” jelas Ridho.
Dalam penggarapan film salah satu hal penting adalah pendanaan atau bantuan produksi. Mengenai hal ini, saya pun menanyakan bagaimana strategi Sajalan Films mengatasi hal tersebut. Dari jawaban yang didapat, ternyata mereka masih melakukan pendanaan kantong pribadi: iuran antar anggota. Jadi, jika ada film yang akan digarap, setiap anggota biasanya melaukan iuran untuk pendanaannya. Ketika saya tanya apakah ada percobaan untuk menjalankan proposal ke perusahaan, jawaban Ridho singkat dan begitu pesimis, “Kalau perusahaan, rasanya mustahil saja, Bang.”
Meski begitu, dalam penggarapan salah satu film, mereka mencoba menggunakan proposal ‘orang tua kawan’. “Jadi kami pergi ke rumah para anggota dan menjelaskan film yang akan kami garap. Kemudian orang tua kawan itu memberi kami dana.”
Memang, sebenarnya proposal bantuan produksi tidak harus menghasilkan bantuan berupa uang saja. Sebab masih banyak strategi kerjasama dalam bentuk lain yang dapat membantu sineas dalam memproduksi film, selain uang. Kerjasama untuk mendapatkan peminjaman alat yang gratis, misalnya. Tentu ini akan menjadi PR yang mesti ditangani oleh Sajalan Films ke depannya. Kemudian gear. Gear atau alat produksi seperti kamera dan aksesorisnya, lampu, mic, dan segala hal yang ada di ruang artistik adalah juga bagian penting di dalam sebuah produksi film. Tentang ini, Ridho dan kawan-kawan masih menggunakan alat ‘punya kawan’. Jika ada anggota atau kawan dari anggota yang punya kamera, mereka akan meminjamnya. Ada juga yang mereka akali sendiri, misalnya menggunakan skateboard untuk ‘bidikan’ mengikuti aktor dan lain sebagainya.
“Hal yang paling sulit pertama itu lensa. Sewa lensa di Bukittinggi ini mahal,” keluh Ridho. Menurutnya, tempat penyewaan lensa di Bukittinggi ini hanya satu, di Banto Trade Center (BTC), dan harganya di atas rata-rata. Tempat penyewaan alat adalah salah satu bagian krusial dalam membentuk dan menghidupkan iklim perfileman di suatu daerah. Tentu para sineas ingin memproduksi film dengan standar yang baik dan benar, walau standar itu masih bisa kita perdebatkan lebih lanjut. Dan untuk mencapai itu diperlukan beberapa hal, yang salah satunya berasal dari kekuatan alat produksi, karena film adalah cabang kesenian yang hadir dari produk teknologi, dulu seluloid sekarang digital.
“Ketika di Jogja, Ridho menyewa kamera Sony A7M2 atau A7M3 Cuma 50.000 sehari, tapi di BTC malah 350.000. Ya, tidak jadi disewa. Pakai kamera 6400 saja jadinya,” terangnya.
***
Pada pertengahan 2019, Ridho dan enam belas anggota lainnya tamat dari bangku SMA dan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sepuluh dari enam belas orang itu lulus di perguruan tinggi di pulau jawa dan sisanya di Padang. Dari enam belas orang itu hanya Ridho sendiri yang meneruskan keinginannya untuk mendalami pefilman, ia menjadi mahasiswa jurusan Film di ISI Yogyakarta.
Walau begitu, Sajalan Films tetap berjalan. Meski banyak yang tidak melanjutkan pendidikan di sekolah film, para anggota masih mau belajar dan mendalami dunia perfilman. Ridho, yang mendapat pengetahuan baru mengenai film di kampusnya kemudian membagi-bagikan ilmu itu ke teman-temannya. “Kadang, kalau dapat modul dari dosen, saya bagikan ke grup Whatsapp Sajalan Films untuk dibaca dan dipelajari bersama,” ucapnya.
Sajalan Films awalnya memang dibentuk sebagai komunitas film yang fokus ke produksi. Di sela-sela produksi itu mereka juga sempat bekerjasama dengan beberapa komunitas setempat, seperti Saiyo, untuk memutarkan film dan mendiskusikannya. Untuk penguatan SDM, para anggota rajin berdiskusi, baik langsung atau via telepon dan chat.
Covid-19 yang melanda Indonesia memaksa Ridho pulang ke Bukittingi pada bulan Maret 2020 lalu. Di bulan September-nya, ia memproduksi film berjudul 5 Detik bersama kawan-kawan Sajalan Films. Itu adalah film tugas UAS-nya di ISI Yogyakarta. Sebulan setelah itu, mereka pun menggarap film lagi yang berjudul Galok, sebuah film, yang kata Ridho, “Film ‘kangen’ dari teman-teman rantau yang pulang karena Covid-19.”
Untuk komunitas film yang usianya masih muda: hampir dua setengah tahun, mereka telah menghasilkan sepuluh film dan dua sampai tiga kali pemutaran dan diskusi. Dari sepuluh film itu, 6 di antaranya pernah meraih penghargaan di beberapa festival seperti Surfival, FLS2N, dan Festival Film SMEKDA. “Masih sedikit, Bang. Kami berjalan pelan-pelan saja,” ucapnya merendah.
Bagi mereka Sajalan Films seperti rumah kedua. Tempat di mana mereka bisa istirahat dari realitas sembari berbagi pengetahuan film dan memproduksinya. Sampai tulisan ini ditulis, anggota Sajalan Films yang aktif berjumlah 35 orang. Dari tiga puluh lima orang itu, yang masih bersekolah berjumlah 10 orang, yang di pertengahan tahun ini juga akan tamat dan melanjutkan ke jenjang kehidupan selanjutnya.
Sebagai penutup, saya pun melontarkan sebuah pertanyaan dengan beban harapan Sajalan Films tidak cepat tumbang seperti komunitas-komunitas film lainnya di Sumatera Barat, “Apa harapan Ridho untuk Sajalan Films kedepannya?” Ia pun menjawab dengan singkat dan seolah-olah mempertanyakan pertanyaan saya itu, “Tidak ada harapan, Bang. Yang penting jalan dulu saja.”
Barangkali memang begitu, Sajalan Films tidak seharusnya berpikir bahwa masa depan perfilman Sumbar berada di pundak mereka. Bukankah mereka hanya satu organisme dari luasnya ekosistem perfilman itu sendiri? Begitu juga dengan tulisan ini. (*)
Editor: Randi Reimena
Ilustrasi: @sajalanfilms