Reportase

 Eri: Berhulu Bioskop, Bermuara Festival

Pertengahan 2021, saya masih di Padang, sibuk ngespam Luo Yi agar masuk Top Global dan tentunya berhasil. Mencari pekerjaan pun susah-susah sulit di Padang kala itu, apalagi pasca pandemi. Di satu sisi, belum ada kegiatan yang menghasilkan alias pengangguran, juga butuh kesabaran ekstra; tinggal di rumah dan lingkungan pertemanan yang mana teman-teman sudah sibuk dengan setelan kemeja rapi yang masuk ke dalam celana.

Suatu ketika di akhir tahun, saya mendapatkan kabar bahwa beberapa rekan, termasuk Muhaimin Nurrizqy, tengah menggarap proyek dokumenter tentang sebuah bioskop di Bukittinggi yang bernama Eri (dulunya Rex). Saya berniat ingin membantu Imin (nama panggilannya) tetapi dengan bekerja dari jarak jauh, karena beda kota dan tentunya perkara uang. Motor CB saya akan angok-angok i jika dipaksa mendaki di Silaiang.  Memang jarak antara Padang-Bukittinggi tidak terlalu jauh, tapi saya tidak sanggup pergi-pulang tiap sebentar, maka dari itu saya hanya bisa membantu Imin dari Padang saja.

Agar tetap produktif dan mencoba mencari kesibukan, saya bertanya kepada Imin apa yang bisa saya bantu dari Padang. Saya coba tawarkan juga untuk mengambil alih wilayah distribusi untuk filmnya ke festival-festival. Hitung-hitung, saya masih bergiat di film dan masih berhubungan juga dengan kegiatan yang saya lakukan sebelumnya. Imin pun setuju dan kami bertemu dengan kata sepakat.

Imin dan beberapa rekan di Bukittinggi mulanya menggarap proyek tersebut secara militan dan uang pribadi. Bahkan, secara pribadi, Imin hampir tiap minggu keluar-masuk Bioskop Eri, bayar tiket tapi tidak menonton cuma ngobrol sama Bapak proyeksionis-nya doang, dan itu ia lakukan lebih kurang satu tahun terakhir sebelum produksi dimulai. Hal demikian dilakukan guna riset, pendekatan emosional, dan membiasakan narasumber berhadapan dengan kamera off record yang ditenteng-tenteng Imin saat pergi ke sana.

Untungnya, dikarenakan pemerintah terkait yang menaungi film membuka pendanaan produksi, berlandaskan lewat “jalur langit” dan usaha juga tentunya, Imin mendapatkan “durian runtuh”, produksi filmnya tidak lagi secara militan. Imin melibatkan lebih banyak kepala lagi untuk menyeriuskan produksi film tentang Eri. Ia mendapatkan support finansial dari niat baik produksi ini: mengabadikan bioskop tua lewat film sebelum kehilangan momen saat Bioskop Eri menunggu antrean untuk (mungkin) dirubuhkan seperti bioskop-bioskop yang telah mati di Bukittinggi.

Pasca lewat “jalur langit” tersebut, Imin menghubungi saya kembali, memberikan tawaran untuk terlibat di produksi. Dengan senang hati saya langsung berangkat ke Bukittinggi.

***

Selama produksi, saya ikut belajar tentang Eri sedikit demi sedikit. Imin menjabarkan “daging” dari produksi tentang Bioskop Eri secara singkat dan pasti, tentang sikap repetisi dari sebuah bioskop yang memutarkan film itu ke itu saja, hingga tentang sisi gelap nan menggairahkan dari bioskop tua yang dijadikan tempat “adu mekanik” sepasang anak muda yang sama sekali tidak menonton film saat film diputarkan. Mereka sibuk membikin cerita sendiri di dalam bioskop.

Nah, setelah penjelasan Imin tersebut, saya langsung menangkap apa yang Imin maksudkan dan inginkan dari projek dokumenter bioskop Eri ini. Cita-cita mulia ini saya rasa patut diapresiasi oleh Dinas Kebudayaan Sumatera Barat bahwa ada sekelompok anak muda yang ingin mengabadikan saksi bisu kepingan sejarah perfilman di Sumatera Barat dengan detail dan tidak tergesa-gesa.

Ini bukan perspektif saya sebagai rekan Imin, tapi sebagai orang yang telah menonton hasil filmnya dan bagaimana sebuah wacana itu ditawarkan. Bukan pula bermaksud opok, saya tak pandai mengopok, tapi itulah kenyataannya dan ini menjadi PR bersama. Terima saja bahwa apresiasi kita di Sumatera Barat tentang film masih lah terbilang rendah. Jika ada yang mau bantah, hubungi saya jika ada yang mau berdiskusi soal ini.

Produksi lalu berjalan nyaris seminggu lebih. Setelah produksi dan pasca produksi berakhir, saya kembali ke Padang. Menjalani rutinitas dan kembali mencari pekerjaan. Singkat cerita, saya akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Padang dan menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang katanya bisa mengubah nasib seseorang 360 derajat. Bisa juga membikin orang yang dikenal lama menjadi asing saat berada di kota ini.

Setelah sepakat bahwa distribusi film ini saya yang pegang, Imin mengirimkan seluruh berkasnya, mulai dari poster, biografi, trailer, tautan film dan perintilan-perintilan lainnya. Saya terima karena itulah tugas saya di Sani Films: mendaftarkan film ini nantinya ke festival-festival film. Ini kali pertama Sani Films memegang distribusi satu film untuk disebarluaskan ke berbagai festival film.

“Nanti dikirim ulang filmnya, Bal, dilihat ulang lagi,” jelas Imin suatu malam sebelum saya memulai mendaftarkan film yang diberinya judul “What Eri Testifies at the End of the Roll” ke festival-festival film. Saya hanya bisa menjawab, “Ok. Kalau bisa secepatnya karena beberapa festival sudah mendekati close submition.”

Imin juga sibuk menambahkan data-data pendukung lainnya karena tiap festival tentu berbeda pula syarat-syarat administrasinya. Ternyata, Imin mengambil suatu keputusan yang dianggap terbaik kala itu: menyunting ulang film Eri karena ada yang perlu ditambah dan juga dihilangkan.

Film versi terbaru dari picture lock yang telah disepakati di Bukittinggi akhirnya selesai dan siap berkompetisi di festival-festival film. Tahun ini memang banyak film “bagus” diproduksi para sineas muda. Tetapi, yang penting usaha, bukan?

“Festival-festival besar di Indonesia sudah saya daftarkan, termasuk festival lainnya. Karena kita nggak ada budget, filmfreeway yang gratis saja, ya. Sekarang kita doakan saja film Eri punya banyak rumah,” ucap saya ke Imin via telpon, Senin, (11/7/22).

Nah, sebulan dua bulan pertama berlalu cukup lambat dan berat saat saya di Jakarta. Di sisi lain, tak ada lagi festival yang bisa disubmit di Indonesia, sebab telah menjelang akhir tahun dan sudah saya daftarkan.

Setelah mendapatkan pekerjaan pada bulan ketiga, saya memutuskan untuk meninggalkan Eri sejenak dan membiarkannya tertidur di g-drive selama beberapa bulan. Saya juga mulai fokus pada pekerjaan. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga hitungan bulan sejak awal pendaftaran, satu dua festival memberikan pengumuman template yang hampir sama.

Dari sekian blablabla film yang masuk ke festival blablabla, kami mengalami kesulitan untuk memutuskan film yang lolos. Dengan berbagai pertimbangan yang matang, kami memutuskan untuk belum bisa meloloskan film Eri pada festival tahun ini. Terima kasih telah berpartisipasi di festival blablabla. Tetap semangat dan sampai bertemu pada festival blablabla di tahun depan.

Tentu saja kabar tidak baik itu tetap saya kabarkan ke Imin di Padang.

“Festival ini nggak lolos, festival itu juga. Semoga ada yang nyangkut,” ucap saya ke Imin (masih) via telpon pasca salah satu pengumuman festival film yang kami incar keluar.

“Tidak apa-apa. Nanti pasti ada yang nyangkut itu,” tegas Imin dengan penuh keyakinan.

***

Semangat membara berlandaskan tekad padu Imin membuat saya ikut ter-trigger juga. Saya mengatakan, tentunya dengan penuh pasti, bahwa film Imin pasti akan premiere di festival pada tahun ini.

Seperti kata-kata dari orang bijak, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Sekitar bulan November kami mendapat kabar bahwa film Eri lolos di salah satu festival film internasional di Indonesia, yaitu Arkipel: Jakarta Documentary and Experimental Film Festival dalam program “Candrawala”. Candrawala merupakan program yang digagas untuk melihat, mewakilkan, hingga merepresentasikan kecenderungan sinema Indonesia selama satu tahun terakhir. Salah satu festival film yang dituju Imin akhirnya “centang dua biru” dan dibalas serta dibicarakan, tidak hanya sekadar “dibaca” doang.

Imin lalu berkabar, lagi-lagi via telpon, bahwa ia akan ke Jakarta akhir November. Saya yang bekerja dari kos saja, memutuskan untuk secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan dan bertemu Imin di Forum Lenteng, lokasi Arkipel diselenggarakan. Di Forum Lenteng lah akhirnya kami bertemu, bersama Adi Osman juga yang sekarang berkegiatan di sana. Untuk kesekian kalinya, saya kembali menonton film Eri, tapi kali ini dalam situasi dan kondisi yang berbeda: festival film.

Saya datang ke Forum Lenteng pukul 4 sore dan Imin telah berada di sana. Kami lalu berbincang sebentar dan malam harinya film Eri diputarkan di Bioskop Forlen, sebuah bioskop mini Forum Lenteng yang menciptakan atmosfer menonton terasa nyaman dan tenang.

Habis film diputar, terbitlah diskusi. Skema tersebut tentu barang pasti yang sudah biasa hadir di ruang-ruang pemutaran. Imin kemudian dihadiahi beberapa pertanyaan oleh penonton hingga membuatnya harus menjabarkan sedikit banyak tentang film Eri, termasuk bagaimana proses kreatifnya dari pra hingga produksi selesai.

Saling-silang pendapat, kesepakatan dan tak kesepakatan mengenai film hingga argumen yang hadir dari film, diproyeksikan melalui penjabaran yang Imin jelaskan. Diskusi yang seru pada akhirnya dibatasi oleh waktu dan berlanjut di luar bioskop.

Di luar dari agenda pertemuan ini, kami berharap bahwa film Eri dapat tersebar luas lagi di berbagai festival film yang memiliki kecenderungan isu serta pembacaan film yang berbeda-beda. Gagasan tentang Eri sebagai bioskop yang “melihat” keseharian tiga orang tua yang masih hidup berdampingan dengan Eri, tentunya butuh pembicaraan yang lebih mendalam dari berbagai aspek, termasuk aspek sejarah dan bagaimana keterhubungannya dengan era sekarang. Atau mungkin, kita tak lagi butuh Eri hari ini?

Secara pribadi, bukan sebagai rekan Imin yang terlibat sedikit banyaknya dalam produksi, saya melihat Eri adalah sebuah film yang butuh menyelam “lebih dalam” untuk membaca semiotik visualnya. Film ini secara tak langsung, menurut hemat saya, mengkultuskan dirinya tersegmentasi karena visualnya yang monoton cenderung “membosankan” bagi penonton-penonton yang tak suka long take dengan pengambilan gambar statis. Di satu sisi, naratif tanpa mendikte, hingga mencuatkan kontradiksi yang terjadi sekarang. Semua itu divisualkan dan diwakilkan lewat tangkapan full shot kata “Pantek” di dinding dekat wajah Usmar Ismail yang ditampilkan di awal film.

Pada tangkapan awal film saja sudah bercarut. Kasar! Atau mungkin, barangkali Imin ingin mempercarutkan ke-ironis-an perkembangan film dan bioskop di Bukittinggi dan Sumatera Barat pada umumnya?

Di saat Usmar Ismail dielu-elukan jadi Pahlawan Nasional oleh banyak pegiat film berdarah Minang atau secara kekaryaan “Minang banget”, ada yang luput dari sorot pandang mereka; salah satu bioskop di kota kelahiran Usmar Ismail tinggal menunggu waktu saja untuk “ditidurkan”.

Euforia yang bisa saja tak berbanding lurus dengan pencapaian-pencapaian film yang lahir dari Sumatera Barat sekarang, barangkali diwakilkan Imin dengan kata “Pantek” itu. Tapi entahlah, kalau mau konfirmasi kebenarannya, interogasi saja Imin dan tanya dia mau mempercarutkan siapa. Oh iya, dia juga sudah jadi “Filsuf Pantek” sekarang. Tentunya, pantek yang Imin maksud, bisa jadi belum tentu sama seperti pantek yang diucapkan supir angkot. Bisa saja pantek Imin ini pantek yang “tembak lantai kena hidung”. Hati-hati saja kalau mau memantek sama dia.

Sekarang, mari kita tinggalkan pantek, baik pemaknaan pantek yang secara harfiah maupun secara baperandan gelak tawa setelah dipantekkan. Saya juga sudah tidak tahu mau menulis apalagi ini karena tak banyak yang kita bicarakan perihal film Eri saat di Forum Lenteng. Eri juga sudah lahir dan sudah punya nasibnya sendiri. Sekarang, tinggal menunggu waktu saja untuk diputarkan di festival-festival film lainnya hingga nantinya Eri capek dan kembali pulang, serta untuk pertama kalinya diputarkan di Sumatera Barat, entah itu di tanah kelahiran Usmar Ismail atau di kota lainnya.

Sebelum Imin memutuskan untuk kembali terbang ke Padang, Imin meminta saya untuk menuliskan sebuah reportase tentang film Eri untuk Garak.id, media yang saat ini diasuhnya secara independen bersama beberapa rekan lainnya di Padang. Saya bingung harus menulis reportase yang seperti apa untuk film Eri?

Pada akhirnya tetap saja saya putuskan untuk menulis. Saya tidak tahu, entah tulisan ini nantinya hanya akan dianggap tentang curhatan yang tak penting, atau apalah, tak masalah. Semoga saja suka dan ambil hikmahnya. Tak suka pun tak apa, sudah biasa. Yang terpenting, semoga rekan-rekan bisa bertemu Eri secepatnya, baik di festival film ataupun di ruang pemutaran lainnya.

Jika Imin berbaik hati, opok lah dia untuk mengirimkan link filmnya, itu pun kalau Imin mau bagi. Kalau tidak dikasih jangan marah, karena memang begitulah regulasi dan ketetapannya. Memegang film orang, apalagi film yang sedang difestivalkan, butuh dua hal: tanggung jawab dan kepercayaan.

Dan akhirnya, tanpa label apa-apa, saya putuskan untuk menulis seperti ini saja. Dimulai dari pengalaman saya saat bersinggungan dengan produksi film Eri yang berhulu di bioskop hingga akhirnya bermuara di festival. (*)

 

 

 

 

 

 

 

About author

Mahareta Iqbal Jamal lahir di Padang, 11 Maret 1995. Alumni Sastra Indonesia Universitas Andalas. Bergiat di Lab.Pauh 9. Saat ini menetap di Jakarta.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *