Jika anda pecandu nonton di bioskop, maka era 90-an adalah masa emasnya di Padang. Hampir setiap sudut ada bioskop. Tempat dan harga karcis terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Ada yang hanya bangku kayu atau batang kelapa. Pakai obat nyamuk atau kemenyan. Agar mudah, nama-nama bisokop sering diberi di mana ia berada kecuali di pusat kota.
Mulai dari Indarung. Karena di sini pertama kali saya menonton film di bioskop. Ada dua tempat. Pertama, di dekat Wisma Indarung sekarang. Dulu namanya Guesthouse. Superman II jadi film pertama yang saya tonton.
Dalam pandangan pelajar SD, ruangan itu alangkah besar. Layarnya juga. Saya tercengang-cengang menonton manusia terbang, menghadapi kesusahan walau punya tenaga super dan akhirnya menang.
Tak lama kemudian, bioskop dipindah ke Simpang Cubadak. Berada di antara Toko Serba Ada dan Bank Mandiri sekarang. G 30 S PKI jadi film yang pertama ditonton. Kalau tak salah harga tiketnya cuma Rp600. Padahal, kabarnya, pemutaran perdana mencapai Rp7.000. Namun, rezim orde baru memperlakukan kebijakan bagi pelajar.
Bioskopnya luas. Bisa menampung 800 penonton. Belum termasuk di balkon (VIP). Tapi tetap saja panas kala pertunjukan tengah malam. Indarung Theatre jadi satu-satunya bioskop di Padang yang memutar film baru, sebelum diputar di bioskop kelas atas semisal Raya Theatre.
Bayangkan keramaian yang muncul di malam minggu. Berdesakan, teriakan tak dapat karcis, terdengar, jauh sebelum loket dibuka. Apalagi tiketnya hanya Rp. 1.600. Bandingkan dengan tiket di Raya yang mencapai Rp. 10.000 untuk midnight. Saking ramainya ada yang duduk di jalan antara bangku.
Film Mandarin paling sering diputar. Waktu itu, saya sudah SMP mesti keluar diam-diam dari rumah. Jam tayangnya pukul 10.00 WIB. Waktu buruk bagi pelajar, meski malam minggu.
Cara bisa nonton, ya, kabur lewat jendela. Kamar saya berdempetan dengan rumah induk. Jendela menghadap ke jalan. Pintu tinjauan itu saya rancang sedemikian rupa sehingga aman dibuka dan ditutup dari luar.
Pukul 20.30 WIB, saya sudah masuk kamar. Pura-pura tidur. Setengah jam kemudian, rencana dijalankan. Berjalan sekitar tiga kilo, baru sampai di tekape.
Untung saya punya teman se-SMP yang bekerja sampingan sebagai penjaga karcis. Indra Gusti namanya. Meski tak setiap malam minggu mampu membujuknya membeli tiket. Dengan beberapa teman kami melebihkan duit agar bisa membelikannya uang rokok. Jadi, tak perlu berdesakan antre di loket.
Kadang pertunjukan terlambat dimulai, menunggu film roll yang kadang terlambat datang. Pernah, harus menunggu sampai pukul 11.00 WIB, karena mobil yang membawa gulungan film itu terlibat kecelakaan.
Masih di Kecamatan Lubuk Kilangan, ada Bandar Buat Theatre. Lokasinya dekat pasar. Hanya sewaktu SD, saya menonton di sana. Ini bioskop kelas bawah. Jumlah kursinya hanya 500. Sangat kumuh. Toilet jauh dari bersih.
Menjadi ‘anak di bawah umur’, amat susah membeli karcis. Karena di bawah harga karcis tertera ’17 Tahun Ke Atas’. Untuk beli tiket saya mampu, apalagi hanya dengan tiket Rp. 400. Nenek saya berjualan di pasar.
Penjaga bioskop lebih kompromistis. Akal sebagai ‘anak pasar’ mesti dijalankan; mengemis-ngemis pada pasangan yang sedang dimabuk cinta agar bisa ikut ke dalam.
Taktik ini kadang berhasil, kadang tidak. Soalnya, beroperasi selama dua bulan saja, penjaganya sudah kenal dengan tampang kita. Jika ketahuan, leher baju terangkat. Dan seperti terlempar, saya sudah berada di luar pagar antrian.
Bersama seorang teman, kami harus menggunakan cara lain. Ya, lewat toilet tadi. Dindingnya berjarak dengan paran. Kami masuk ke sana. Suatu kali, saat menjangkau ujung dinding, tangan sedikit terpeleset. Bergeser, masih saja tergelincir. Hanya di ujung dinding masih terasa kesat. Pas berada dalam kakus, kami baru sadar yang membuat tergelincir tadi adalah tahi manusia. Dalam kepala kami, terbayang senyum licik penjaga bioskop.
Terus ke Lubuk Begalung, di Jalan Aru ada satu bisokop. Kalau tidak salah sekarang jadi taman kanak-kanak. Saya kenal waktu SMA. Tak berapa kali ke sana. Awal-awal sekolah di SMAN 4 saja. Kala bosan belajar. Bioskopnya kelas bawah. Jadwal tayangnya dari sore sampai malam.
Segaris ke arah utara, ada bioskop di Lubuk Lintah. Saya hanya sering lewat di depannya. Ke arah selatan ada di Gaung, Teluk Bayur. Lokasi ini, luput dari perhatian. Teman saya, Tomi, yang memberi informasi. Ia juga pecandu film dan lahir di sana.
Terus ke Simpang Haru ada bioskop di sebelah SMKN 2 sekarang. Berdempetan dengan toko, di lantai dua. Film India jadi menu favorit. Dialog Amitha Bachan sering bocor ke jalan karena pelantang tak dimatikan. Jika sore hari pulang dari pasar habis ‘cabut sekolah’, saya senyum-senyum mendengar rantak kaki dan dendang lagu India.
Ke arah Sawahan, ada bioskop di deretan toko-toko obat. Tempatnya agak tersuruk. Harga karcisnya hanya Rp. 600. Kursi dari kayu. Maksudnya karena tak diperbaiki jadi tinggal kayu beradu pantat. Bagian depan, saking ramainya orang menonton, di tambah dengan batang kelapa. Lawan saat menonton tak hanya kemarahan terhadap peran antagonis tapi kepinding.
Kalau di bagian depan, nyamuk. Suatu kali, saat mau masuk saya dibisiki agar membawa losion anti nyamuk. Awalnya saya heran. Seperempat film berjalan, penonton di sebelah saya terdengar bertepuk tangan tunggal walau adegan tak spektakuler.
Sesekali, saat menonton, aroma kemenyan menyusup. Mungkin dari penonton nakal yang terganggu oleh nyamuk. Namun, kalau pas adegan tegang, jantung berdebur juga.
Film pertama kali yang saya tonton di sana Bloodsport. Film itu saya tonton di hampir seluruh bioskop yang pernah saya kenal. Jean-Claude van Damme kemudian terkenal sebagai aktor laga, tapi film itu sungguh memikat saya. Sampai-sampai dengan seorang teman, di suatu malam, kami memberi julukan Van Damme Sawa (Celana) Bola, merujuk celana yang dipakai aktor asal Belgia itu sejalan dengan celana bola masa itu. Kami sampai terkekeh-kekeh membincangkannya.
Kita ke Imam Bonjol. Lapangan sepakbola yang malih rupa jadi bioskop malam harinya. Jadwal tayang tak ada apabila PSP atau Semen Padang berlaga. Layar besar terpacak ke hadapan tribun tertutup. Teman nonton tetap obat nyamuk karena duduk di udara terbuka.
Seorang dosen saya pernah cerita, awalnya ia hanya jalan-jalan di pasar raya. Karena tak ada rencana lain, ia masuk ke stadion. Ada pemutaran film. Ternyata film bagus, Three Man and A Baby. Menyesal nonton film bagus di bisokop jadi-jadian itu, komentarnya.
Beralih dulu ke Jati. Ada dua bioskop di sana. Jati Theatre ada di sebelah rumah sakit Polda Sumbar. Sekarang jadi tempat motor-motor yang ditilang. Di awal kuliah, saya sering di ajak senior nonton di sana.
Satu lagi, Arjuna. Sekarang jadi SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Ada tiga studio. Walau bioskop menengah, ia berada di ujung kelelahan bioskop melawan pemutar cakram. Sehingga akhirnya gulung tikar.
Terus ke Siteba, ada satu bioskop lagi. Ada di ujung jembatan kalau dari Simpang Tinju. Kemudian yang paling utara Padang ada Angkasa.
Sebelum Angkasa, di Ulak Karang ada Indah Theatre. Bioskop ini cukup ramai karena konsisten memutar dua film di siang dan malam hari. Juga punya balkon. Harga tiket hanya Rp. 1.700. saya sering ke sana menonton film apa saja.
Di seberangnya ada bioskop kelas satu, President Theatre. Terletak di Jalan Khatib Sulaiman. Dulu, punya tiga layar. Kabarnya milik Adi Surya Abdi. Ia berdiri sama dengan Arjuna. Jadilah satu layar dijadikan klub malam. Juga tak bertahan.
Sebelum ke pusat kota, kita ke selatan dulu, di Kampung Cina. Setidaknya ada empat bioskop yang saya ingat. Yang legendaris tentu Kencana. Dekat Pos Polsek padang Selatan. Sempat bertukar nama jadi Buana dan Citra. Sekarang jadi pertokoan.
Sewaktu jadi Kencana, sangat ramai. Menunya dua film di siang hari. Mulai pukul 14.15 WIB. Namun, kalau yang putar Ten Commandments bisa lebih awal. Juga punya tiga layar. Saya sempat kuliah di ABA Prayoga, dulu letaknya berdampingan dengan SMA Don Bosco sekarang, lebih sering dari rumah menuju ke sana.
Persis di sampingnya ada Purnama. Secara kelas, di bawah Kencana. Soal urusan penonton tak kalah. Saya pernah, setelah nonton di Kencana, Pukul 17.15 WIB beralih ke sana. Lagi-lagi nonton Bloodsport.
Lalu, Satria. Kelasnya hampir sama dengan Purnama. Terletak di Simpang Kinol. Lebih sering memutar film Indonesia atau India. Terakhir Karia. Bioskop kelas menengah. Punya tiga layar. Satu di antara tiga bioskop yang masih ada di Padang hari ini. Kabarnya, hanya tempat orang pacaran.
Ini yang di Pasar Raya. Ada tiga bioskop. Saya mau bahas Mulia dulu. Bisokop kelas atas untuk film India. Bu Taci, etek saya, mengaku di tahun 70-an, sangat sering ke sana hanya untuk menonton Sri Devi.
‘Di ujung hidupnya’, ia memutar film-film Indonesia murahan. Juga memakai menu dua film. Saya sempat beberapa kali nonton di sana.
Lalu, Padang Theatre. Bioskop yang kebanyakan memutar film Indonesia. Di belakangnya ada tempat membaca komik. Sewaktu SMA, ini jadwal saya: Pagi ke taman bacaan, siang nonton, sore hari di bis kota, saya memikirkan cara mendapatkan uang untuk pergi ke sana esok harinya.
Terakhir, Raya. Bioskop paling megah di Padang. Sewaktu Kick Boxer tayang perdana, terpaksa dilakukan di sore hari karena saking membludaknya penonton. Tiketnya Rp. 2.600. Paling mahal di 1989. Dan saya mesti mengorbankan pelajaran sejarah yang amat saya sukai. Besoknya, saya dihukum, tapi saya rela menjalani karena nonton Van Damme bercelana sepakbola lagi.
Terakhir saya menonton di sana saat Laskar Pelangi diputar. Studio 3 waktu itu penuh. Karcisnya sudah mencapai Rp20.000. Saya menangis saat adegan anggota Laskar bernyanyi di Padang Rumput. Saat melirik, istri saya juga meneteskan air mata.
Raya masih beroperasi hingga saat ini. Walau dengan seadanya. Megap-megap. Apalagi dengan kedatangan Andalas XXI yang baru beroperasi di penghujung 2016. Bioskop eks-eks-wan pertama di Sumbar.
Ada enam layar di bioskop yang berlokasi sama dengan Plaza Andalas. Saya sempat datang saat hari akan bertukar tahun. Kemewahannya tentu saja mengalahkan Raya. Dalam segala aspek.
Namun, soal kerinduan apeknya bau rokok, berdesakan saat masuk, kepinding yang menaganggu, bakar obat nyamuk, bau pesing yang berkesiuran di lubang hidung, entahlah. Zaman, mungkin memang harus bertukar. (*)
*tulisan ini sudah pernah terbit sebelumnya di ranah.id