Sebelum bicara lebih jauh, saya mengajak untuk membedakan dahulu dua pemaknaan atas Pancasila. Kita harus ingat Pancasila adalah sesuatu yang bersifat paradoksal. Yudi Latief, seorang idoelog Pancasila kontemporer, mengambarkan sifat paradoksal dalam Pancasila itu sebagai “dasar statis” sekaligus “bintang penuntun yang dinamis”. Pancasila, lanjut Latief, adalah sumber sekaligus haluan. (Latif 2012: 41)
Artinya, Pancasila bisa dimaknai pertama sebagai ideal, cita-cita, suatu kondisi yang harus diwujudkan karena ia belum terwujud. Dan kedua ia bisa dipahami juga sebagai ideologi negara, sebagai dasar, perekat, pemersatu dan seterusnya.
Dalam konteks keributan antara Puan dengan sebagian masyarakat Sumbar, Pancasila dalam pengertian kedua lah yang mengemuka. Jika Puan bisa dicurigai menafsirkan sikap Pancasilais sebagai dukungan terhadap penguasa negara dan partai berkuasa, maka orang Sumbar menafsirkan Pancasilais sebagai kesetiaan pada negara bukan hanya pada penguasa serta partai yang sedang berkuasa. Dan bagi orang Sumbar Pancasila dalam pengertian kedua itu adalah sesuatu yang inheren karena sebab-sebab historis.
Meski tampak berbeda, baik Puan mau pun orang Sumbar yang merasa tersinggung memiliki persamaan mendasar dalam memaknai Pancasila. Mereka sama-sama melihat Pancasila semata-mata sebagai suatu dasar statis, dalam pengertian sebagai ideologi negara yang sudah final dan sakral.
Dalam sejarahnya, penguasa-penguasa di Indonesia memang cendrung untuk menggiring penafsiran atas Pancasila menuju ke pemaknaan sebagai ‘dasar statis’ itu tadi. Sukarno sejak akhir 1950-an mulai mengarahkan Pancasila sebagai legitimasi atas berbagai konsepsi politiknya dan visinya atas negara integralistik. Dari mulai Manipol-Usdek, Djarek, Resopin sampai konsepsinya terkait Demokrasi Terpimpin. Semua itu dilihat Sukarno sebagai pelaksanaan dasar-dasar Pancasila. Pancasila juga dimaknainya sebagai “manifestasi persatuan bangsa dan wilayah Indonesia” (Sukarno 1964).
Karena kondisi-kondisi pada masa itu, Pancasila sebagai manifestasi persatuan bangsa wilayah lebih ditekankan. Negara Indonesia, mengutip Feith dan Castles (1988), sampai pada 1965 belumlah kuat. Apa yang disebut “daerahisme” dan gagasan mengenai federalisme dibicarakan para intelektual. Di berbagai daerah terjadi gejolak. Demokrasi Terpimpin, yang diasalkan Sukarno pada Pancasila, adalah upaya untuk “memurnikan” Indonesia dari gagasan-gagasan asing, termasuk gagasan mengenai federalisme yang datang dari Barat itu.
Pancasila semakin menabal sebagai ideologi negara pada masa Orde Barunya Suharto. Untuk membenarkan represi politik terhadap partai-partai serta memperkuat mode kekuasaan Orde Baru yang otoritarian dan terpusat, Suharto ‘memaksakan’ Pancasila sebagai azas tunggal bagi setiap partai dan organisasi. Suharto bahkan menafsrikan Pancasila sebagai dirinya sendiri. Dalam suatu pidato pada 1980 ia pernah berkata mengkritik dirinya berarti melawan Pancasila (Reeve 2013; Bourchier 2015).
Dari sini, tafsir atas Pancasila sudah berada di tangan Suharto. Siapa yang tidak sejalan dengannya, dengan mudah akan distigma sebagai anti-Pancasila. Daerah yang tidak sejalan dengan pusat, yang menolak pembangunan ala Orde Baru, tak luput dari stigma anti-Pancasila. Singkatnya menjadi Pancasilais berarti mendukung negara Orde Baru.
Jadi, akhirnya tafsir atas Pancasila lebih diarahkan pada pengertiannya yang kedua. Yaitu sebagai dasar statis, sebagai stabilisator, perekat kesatuan dan teritori.
Tiadanya Visi
Hari ini, kecuali gejolak di West Papua, negara sudah cenderung stabil. Struktur militer relatif sudah solid, kantong-kantong wilayah yang dikuasai warlord-warlord yang menyediakan jalan bagi munculnya gerakan bersenjata sebagaimana dalam tahun 1950-an bisa dikatakan sudah tidak ada. Balkanisasi yang sempat mengapung pasca-1998 juga gagal di tengah jalan, beberapa wilayah yang sempat ingin memisahkan diri lebih memilih untuk tetap berada dalam negara kesatuan.
Idealnya, Pancasila sebagai perekat teritori, sebagai dasar statis, telah dapat didorong ke arah pengamalannya sebagai cita-cita yang harus diwujudkan, namun itu tidak terjadi. Yang terjadi justru sebaliknya, ia makin mengeras sebagai dasar ideologi negara. Sementara sejarah telah menunjukkan bahwa menguatnya negara yang diiringi menguatnya ideologi negara, berarti makin terpusatnya kekuasaan.
Di sisi lain, reformasi yang menyuarakan penguatan sipil dan desentralisasi kekuasaan pernah mendapat sambutan yang sangat bersemangat dari masyarakat Sumbar. Terpusatnya kekuasaan di Jakarta, ‘Jawanisasi’ serta desa-isasi nagari telah membuat mereka diam-diam menginginkan kembali adanya otonomi seperti menjelang akhir 1950-an dulu dan melepaskan diri dari cengkraman Orde Baru.
Meski Golkar sebagai partainya Orde Baru masih sanggup memenangkan Pemilu 1999 di Sumbar, namun masyarakat Sumbar saat itu tampak sangat percaya diri bahwa mereka sanggup mengatur daerahnya sendiri. Sistem desa dihapuskan, dan sistem nagari dipulihkan kembali. Di mana-mana kita mendengar gerakan kembali ke nagari, kembali ke surau. Para perantau dihimbau kembali pulang karena kini Sumbar punya kebebasan untuk mengatur diri sendiri.
Karena itulah, sungguh mengherankan bahwa kini, 20 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, masyarakat Sumbar, dengan cara ikut mengeraskan Pancasila sebagai idiologi negara yang statis seperti mengintai-ngintai datangnya negara absolut yang pernah mencengkram selama 40 tahun lamanya.
Saya sama sekali belum punya penjelasan memadai soal keganjilan ini. Hanya saja, satu yang tampak jelas bahwa sesungguhnya masyarakat kita tidak punya visi akan masa depan Sumbar. Apakah akan kembali merunduk di bawah kuasa negara absolut yang sentralistik dan hirarkis, atau memanfaatkan otonomi daerah secara maksimal?
Kacamata Kuda
Menguatnya ideologi negara sama artinya dengan menguatnya negara dan menguatnya monopoli terhadap tafsir ideologi itu sendiri. Ketika ini terjadi, Pancasila malah makin jauh dari pengertiannya sebagai suatu yang harus diwujudkan. Sebaliknya ia menjadi makin sakral. Begitu ia sakral, siapapun penguasa negara dapat memanfaatkannya untuk membungkam apa saja yang dianggap ‘ancaman negara’ sesuai kepentingan si penguasa. Inilah yang terjadi hari-hari ini.
Sejak kisruh wacana pemerasan Pancasila menjadi Trisila tempo hari sampai keributan yang dipicu ujaran Puan Maharani, yang nampak jelas adalah makin menguatnya Pancasila sebagai dasar statis, sebagai ideologi negara yang dapat dipakai oleh penguasa mana saja untuk membungkam dan menstigma pihak yang berseberangan dengannya.
Lantas bagaimana dengan Pancasila dalam pengertian sebagai cita-cita, sebagai tujuan?
Dalam konteks Sumbar, untuk menjawabnya, mari kita lihat kenyataan-kenyataan sosial di Sumbar hari ini.
Berdasarkan keterangan Badan Pusat Statistik yang dilansir oleh Langgam.id, per September 2019, jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat masih tinggi tinggi yaitu sebanyak 343.090 jiwa. Jumlah penduduk miskin tersebut lebih tersebar di daerah ‘pinggiran’ Sumatera Barat. Mentawai berada di daftar pertama Kabupaten dengan penduduk miskin terbanyak. Disusul Kabupaten Solok, Padang Pariaman, dan Pesisir Selatan.
Pada saat yang sama, berdasarkan hasil riset Lokadata, wilayah lain di Sumatera Barat justru tengah mengalami pertumbuhan kelas menengah. Kabupaten Dharmasraya, Kota Payakumbuh, dan Kabupaten 50 Kota sedang dalam perjalanan ‘naik kelas’. Terlepas dari metodologi riset yang dapat dipersoalkan, satu hal yang pasti: Di Sumatera Barat ketimpangan ekonomi antar wilayah sangat kentara. Beberapa daerah tergolong makmur, sementara sisanya masih berkubang kemiskinan.
Mari kita lihat fakta lain di Sumatera Barat. Dalam 5 tahun terakhir (2015-2019), berdasarkan data yang dirilis Walhi Sumbar, terjadi sebanyak 563 bencana ekologis sebagai akibat dari kegiatan eksploitatif. Masifnya kegiatan eksploitasi alam seperti pertambangan ilegal juga menimbulkan berbagai konflik. Penting untuk diperhatikan bahwa kegiatan eksploitasi alam ini terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Artinya, kegiatan eksploitasi tidak membawa dampak ekonomi yang baik bagi masyarakatnya.
Sebagai wilayah rawan bencana tsunami, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga berpotensi melakukan kesalahan penanganan bencana. Pemerintah masih mengandalkan teknologi batu grip sebagai penahan abrasi, padahal menurut BPNB batu grip malahan membahayakan kalau Tsunami terjadi. Batu-batu itu akan berubah menjadi blender raksasa saat Tsunami terjadi. Namun nyatanya pembangunan grip terus dilakukan.
Selain itu, saat ini pemerintah pusat tengah menggalakkan pembangunan infrastruktur dan pemudahan bagi investor untuk memperoleh lahan di Sumbar. Pembangunan jalan tol, ditolak di banyak nagari. Wacana sertifikasi tanah ulayat demi memudahkan pemodal, yang telah ditolak oleh sebagian masyarakat Sumbar sejak 2001, dan menjadi dapat menjadi ancaman langsung bagi eksistensi Minangkabau, mulai dibicarakan lagi oleh pemerintah.
Namun persoalan-persoalan itu, yang sebetulnya bertentangan dengan Pancasila, tidak menjadi perhatian masyarakat luas. Yang diributkan malah soal identitas, padahal “alam terkembang” tempat identitas itu berpijak, justru tengah terancam. Padahal manusia pendukung kebudayaan Minang itu sendiri juga ikut terancam. Atau secara naif ikut terlibat mengeraskan Pancasila sebagai sebatas ideologi negara semata.
Jika Pancalisa sebagai ideologi negara terus mengeras dan makin sakral, jika Pancasila hanya dimaknai sebatas sebagai dasar statis, bukan tidak mungkin jika ke depannya nagari-nagari yang mempersoalkan pembangunan jalan tol atau yang menolak sertifikasi tanah ulayat akan dicap sebagai anti-Pancasila dan karena itu boleh diperlakukan secara represif.
Gelembung Sabun Sejarah
Selain memperlihatkan betapa mayoritas intelektual di Sumbar sudah tidak punya visi yang jelas mengenai Sumbar ke depannya serta mengabaikan persoalan-persoalan yang justru pokok, keributan ini telah menyingkapkan betapa orang Sumbar memaknai sejarah dengan cara yang aneh, sangat aneh bahkan. Gara-gara ujaran Puan soal pancasila itu, banyak dari kita yang menyebut-nyebut kembali kontribusi orang Minang dalam perumusan Pancasila.
Namun di saat yang sama kita justru 180 derajat berbeda dengan tokoh-tokoh yang kita sebut-sebut itu. Jika tokoh-tokoh itu punya visi, meski saling berbeda satu sama lain, maka kita sama sekali tidak punya visi. Sebaliknya kita dengan sukarela mau saja mengikuti permainan politik identitas para elite politik.
Ini berarti, kita cuma menghapal nama-nama tokoh besar dalam sejarah. Jika pun dijadikan sebagai teladan, seperti yang saya amati, maka tokoh-tokoh itu lebih diperlakukan sebagai ‘motivator’ ketimbang sebagai intelektual dan aktivis yang gagasan serta kerja konkretnya bisa dipelajari. Seorang yang saya kenal, misalnya, sanggup menghapal banyak kutipan dari Sjahrir atau Tan Malaka, tapi ketika saya ajak berdiskusi mengenai gagasan Tan Malaka tentang Persatuan Perjuangan, mereka tidak nyambung lagi.
Jika begitu apa sesungguhnya sejarah bagi orang Sumbar khususnya orang Minang? Bagaimana sesungguhnya mereka memaknai ‘sejarah’?
Sejarah di Sumbar serupa dengan gelembung sabun raksasa. Besar, berkilau, megah. Ia mampu menjadi tempat berlindung yang nyaman dari realitas-realitas sosial hari ini yang tidak mengenakkan, dari kenyataan pahit bahwa kondisi hari ini sudah sama sekali berbeda jauh dengan kondisi yang dibayangkan di masa lalu.
Di dalam gelembung itu, orang bisa terhindar dari pertanyaan-pertanyaan menyakitkan tentang kemiskinan, kemandulan di bidang politik dan ekonomi, dan seterusnya. Tapi ia hanyalah gelembung yang ringkih dan rapuh, betapa pun besar dan megah. Begitu ada orang atau pihak yang dirasa menyinggung dan memecahkan gelembung itu, dengan bergerosoh posoh gelembung itu dibentengi kuat-kuat. Orang menjadi selalu was-was dan mudah tersinggung. Kejayaan masa lalu dikumandangkan. Nama-nama tokoh kembali disebut-sebut berikut kehebatan serta jasa-jasa mereka. Inilah yang terjadi ketika sebagian orang Sumbar merasa tersinggung oleh Puan.
Gelembung itu dibangun di sekitar mitos. Di Sumbar sejarah lebih sering diajarkan dan disebarkan dan disumberkan pada mitos. Salah satu mitos yang menonjol ialah apa yang bisa sebut sebagai mitos pewarisan. Salah satu contohnya ialah adanya kepercayaan bahwa orang Minang itu otomatis cerdas karena dihubungkan dengan banyaknya tokoh ternama di masa lalu yang berasal dari etnis Minang. Contoh lainnya ialah kepercayaan bahwa seorang anak anggota PKI otomatis memiliki idiologi komunis dan anti tuhan. Padahal tidak ada satu pun penelitian ilmiah yang bisa membuktikan anggapan tersebut.
Mitos-mitos macam itu lebih ke pengertian sejarah sebagaimana ia diceritakan, bukan sejarah sebagaimana ia terjadi. Ini harus betul-betul dibedakan.
Jika kita berkesimpulan bahwa orang Minang itu cerdas karena begitulah yang kita temukan dalam tulisan sejarah, mari kita uji dulu. Apa ukurannya? Jika ukurannya banyak tokoh hebat dari Minang, berapakah persentasenya? Mungkin tidak lebih dari 2%. Apakah yang dua persen itu membuat 98 persen lainnya menjadi ikut cerdas? Tentu saja tidak. Jika ukurannya adalah jumlah sekolah di Sumbar pada abad 20 yang relatif lebih banyak dibanding tempat lain, mari kita bandingkan jumlah institusi pendidikan hari ini. Tentu saja jumlah sekolah hari ini lebih banyak. Terlepas dari kualitas pedadogisnya, jumlah sekolah belum tentu berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan suatu masyarakat. Jika setelah belajar sejarah kita berpikir bahwa anggota PKI pasti ateis dan karena itu kita berpikir bahwa anaknya pasti ateis juga, mari kita uji dulu.
Gelembung sabun sejarah raksasa itu turut dilestarikan oleh sikap yang menganggap sepele ilmu sejarah. Oleh kebanyakan kaum terdidik, sejarah lebih dipahami sebagai sekadar kesinambungan belaka. Konsep kesinambungan itu pun diterapkan secara asal-asalan. Banyak sekali buktinya dalam buku-buku dan literatur sejarah tentang Sumbar dimana Sumbar seabad yang lalu dilihat dalam garis linear sebagai sesuatu yang tidak mengalami perubahan berarti sampai hari kini.
Padahal ada juga yang nama perubahan. Dalam rentang waktu satu abad itu, terjadi banyak sekali perubahan. Beberapa hal sinambung setelah mengalami berbagai modifikasi serta inovasi, beberapa hal lain malah terputus dan digantikan fungsinya oleh entitas baru (lain kali saya akan coba membahas lebih jauh soal ini).
Di tataran percakapan sejarah secara umum, reaksi terhadap ujaran Puan itu menunjukkan cara berpikir yang sama. Sumbar seabad lalu seolah dianggap sama dengan Sumbar hari ini. Masa lalu dan masa kini menjadi tidak berbeda dalam gelembung sabun sejarah. Akibatnya, gagasan tokoh-tokoh yang lahir pada zaman itu tentang Pancasila dianggap homogen. Padahal di antara mereka juga beda dalam melihat Pancasila. Yamin, misalnya, lebih condong ke soal kebangsaan.
Selain itu, pandangan macam ini telah mencampur adukkan antara bagaimana para tokoh itu sendiri memahami Pancasila dengan orang-orang hari ini menafsirkan Pancasila. Padahal bagaimana tokoh-tokoh itu memandang Pancasila tidaklah sama dengan bagaimana kebanyakan orang Sumbar hari ini memandang Pancasila. Jika para tokoh itu kurang lebih mampu menyeimbangkan Pancasila sebagai haluan sekaligus sumber, kita kini cenderung melihat Pancasila sebagai sumber yang sifatnya sakral belaka.
Begitulah, di dalam gelembung sabun sejarah itu, kita terkurung, terpisah dari realitas yang aktual dan riil. Di dalam gelembung sabun sejarah itu, kita kehilangan visi akan masa depan yang lebih baik. (*)
***Tulisan ini adalah bahan diskusi on-line “Lamang Angek Politik dan Tapai Kebudayaan” yang digelar oleh Lapak Baca Pojok Harapan, Senin 14 September 2020.
Ilustrasi oleh Talia Bara
Referensi:
Latief, Yudi. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012
Sukarno. Tjamkan Pantja Sila, Panca Sila Dasar Falsafah Negara. Departemen Penerangan R.I, 1964.
Reeve, David. Golkar Sejarah yang Hilang. Jakarta: Komunitas Bambu, 2014
Bourchier, David. Iliberal Democracy in Indonesia: The Idiology of Family State. New York: Routledge, 2015.
Feit, Herberth dan Lance Castles. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3S, 1988