Artikel

Tol, Untuak A?

Gubernur Sumatra Barat, Irwan Prayitno, melalui SK Gubernur Nomor 62_02-56_2020 telah mengumumkan penetapan lokasi (penlok) tahap ke-2 pembangunan ruas tol Pacin yakni mulai dari km 4,2 – km 36. Penlok 2 ini adalah bagian dari ruas Tol Padang – Pekanbaru. Termasuk Proyek Strategis Nasional dan bagian dari 24 ruas Jalan Tol Trans-Sumatera (Perpres No. 100/2014 & Perpres No. 117/2015).

“Untuk kepentingan umum”, berupa konektivitas dan distribusi barang, menjadi alasan yang selalu didengungkan untuk mengalas rencana ini.

Tol Padang – Pekanbaru diperkirakan melintasi sepanjang 240 km / 255 km atau seluas +/- 1.530.000 m2, terdiri dari Seksi 1 Padang-Sicincin, Seksi 2 Sicincin – Bukittinggi, Seksi 3 Bukittinggi – Payakumbuh, Seksi IV Payakumbuh – Pangkalan, Seksi V Pangkalan – Bangkinang, dan Seksi 6 Bangkinang – Pekanbaru. Sebanyak 78 Triliun / 80,4 T dianggarkan untuk membiayai mega proyek ini. Temuan Walhi Sumbar menunjukkan bahwa proyek ini akan melintasi sawah-sawah, lahan-lahan produktif, dan pemukiman masyarakat di 74 nagari, 20 kecamatan dan 7 kabupaten-kota. Sebagian besar berstatus tanah pusako. Ruas ini diperkirakan juga akan melibas hutan lindung di beberapa titik dan membangun dua terowongan sepanjang 7 km / 8.95 km, menembus bukit barisan dan melintasi cesar Sumatera yang beresiko tinggi.

Setelah dua tahun semenjak pertama kali diresmikan Presiden Jokowi pada 9 Februari 2018, pembangunan tol sudah mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat. Seperti yang terjadi di seksi I dan II Padang – Sicincin. Per 18 Juli 2020, baru 20.4% progres pembangunan fisik bisa dicapai di seksi ini, yang mengindikasikan penolakan yang serius dari masyarakat. Dua nagari, Koto Baru Simalanggang dan nagari Taeh Baruah kabupaten 50 kota (seksi IV) juga meneriakkan penolakan yang serupa. Belakangan menyusul nagari Lubuk Batingkok dan Nagari Gurun. Diperkirakan lebih dari 300 rumah dan 800 KK. Selain itu juga terdapat sawah pertanian dan ladang produktif, pekuburan, balai adat dan musala, dan yang sebagian tanahnya merupakan tanah ulayat ataupun tanah kaum. Perwakilan keempat nagari pun telah juga menyatakan penolakan resmi mereka di hadapan anggota DPRD Sumatera Barat.

Penolakan-penolakan yang telah muncul ini adalah indikasi puncak segunung persoalan yang lebih besar di seksi-seksi lain di Sumatera Barat – mengingat, minimnya (kalaupun tidak ada sema sekali) transparansi informasi dan partisipasi publik dalam proses perencanaannya.

Penyalahgunaan Makna Kepentingan Umum

Bagi pemerintah, pembangunan Tol Padang – Pakanbaru dilakukan untuk “kepentingan umum”. Argumentasi ini menjadi mantra yang siap menyingkirkan setiap hambatan pembangunan. Ia dibayangkan sebagai kebutuhan yang kelak menghadirkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi hingga ujungnya berbuah kesejahteraan. Tapi siapakah sebenarnya yang “umum” itu. Ketika ditelusuri lebih dalam, jalan tol boleh jadi cuma kepentingan segelintir pihak saja.

AB Widyanta, sosiolog Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan kritiknya terhadap argumentasi “guna kepentingan umum” ini. Dari aspek pengguna, jika tol adalah infrastruktur publik, mestinya dapat memfasilitasi mobilitas yang massif, bukan individual. Tapi faktanya, tol hanya akan digunakan oleh kelompok kelas menengah ke atas, yang mampu membayar uang dengan banderol tertentu.[1] Kritik ini berangkat dari pengalaman pembangunan tol pada jalur Trans Jawa yang telah lebih dahulu dibangun dan beroperasi.

Analisis lain yang menunjukkan lemahnya argumentasi proyek ini sebagai proyek berorientasi kepentingan umum datang dari Bima Yudhistira, peneliti Institute for Development of Economic and Finance (INDEF). Baginya jalan tol hanya akan menguntungkan tiga pihak belaka. Pertama makelar-makelar tanah (pemain spekulan properti), kedua para manajer dan komisaris BUMN dan ketiga, para kreditur (pemberi utang) untuk proyek infrastruktur, khususnya jalan tol.[2]

Pengamat Hukum Agraria Universitas Andalas Prof. Kurnia Warman mengatakan bahwa di atas kertas jalan tol itu diperuntukkan untuk “kepentingan umum”. Itu menguntungkan mobilitas bagi yang berbisnis. Tapi bagi masyarakat, tol memisahkan mereka dengan tanahnya. Selain itu tol hanya akan dinikmati oleh pihak yang berada di mulut tol saja, seperti di Padang. Tetapi tidak bagi masyarakat pada wilayah yang dilewati.[3] Pembangunan tol dengan begitu berpotensi mematikan ekonomi masyarakat banyak pada jalur jalan yang sudah ada.

Darmaningtyas, pengamat transportasi dari  Institute Studi Transportasi, telah mengamati trafik tol yang sudah ada di pulau Jawa. Dikatakan bahwa trafik tol Trans Jawa hanya penuh saat masa-masa liburan saja. Sementara pada hari-hari biasa sangat rendah.[4] Jika untuk Trans Jawa saja trafik jalan tol rendah – dimana di pulau inilah konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi paling tinggi di Indonesia – apa kemudian alasan pemerintah memaksakan pembangunan tol di Sumatera?

Darmaningtyas juga mengkritik imajinasi bahwa tol akan mampu mengangkat perekonomian daerah. Dalam amatannya, kehadiran tol cenderung memfasilitasi arus barang masuk (import) dibandingkan arus barang keluar (eksport). Ini artinya tol meningkatkan konsumsi daerah alih-alih memfasilitasi masyarakat daerah untuk mengirim produksi mereka ke luar. Mendorong tingkat konsumsi yang tinggi, alih-alih tingkat produktivitas.

Kita tahu, agenda infrastruktur ini adalah agenda yang lahir dari elite, bergerak top to down. Bahkan lebih tinggi lagi, ia adalah bagian dari agenda pada level ASEAN yang membayangkan konektivitas negara-negara Asia Tenggara. Agenda ini tertuang dalam Master Plan of ASEAN Connectivity (MPAC) 2025.[5] Sementara MPAC 2025 pun sinergis dengan Belt and Road Initiative (BRI) China,[6] sebuah ambisi RRC membangun jalur sutera kedua. Disebutkan juga bahwa pengembangan infrastruktur dan konektivitas seperti kereta api, jalan raya, pelabuhan laut, bandar udara, dan lain-lain diperuntukkan guna “membangun lingkungan bisnis dan investasi yang lebih baik”.

Presiden Joko Widodo sendiri pun telah menegaskan bahwa peta jalan pembangunan ASEAN harus sesuai dengan Belt and Road Initiative (BRI),[7] dan sudah berkomitmen menjalankan agenda ini. Pada acara ASEAN G2B Infrastructure Investment Forum di Jakarta tahun 2016, Bambang Brodjonegoro selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, menyatakan akan fokus mengimplementasikan kerja sama ASEAN ini dalam pengembangan infrastruktur di Indonesia.[8]

Melihat berbagai pandangan kritis dan fakta-fakta di atas, memperkuat tesis bahwa kepentingan umum hanyalah dalih bagi pemerintah guna mendapatkan legitimasi semu, melegitimasi proyek elitis yang terkait dengan skenario ekonomi global dan regional yang padat modal. Dimanakah wajah “kepentingan umum” dalam peta tersebut?

Minim Keterlibatan dan Partisipasi Publik Yang Demokratis

Proyek ini bukan lahir dari rakyat badarai. Rakyat kembali diposisikan sebagai objek dari pembangunan. Dalam prosesnya sendiri, posisi masyarakat – khususnya yang terdampak langsung – sangatlah lemah. UU No 2 tahun 2012 memperlihatkan bagaimana tidak berdayanya masyarakat berhadapan dengan pengadaan tanah agenda-agenda infrastruktur ini. UU tentang Pengadaan Tanah ini bersifat memaksa, memberikan satu opsi (sekaligus asumsi yang tak tertawar) bagi subjek tanah, yaitu menerima pembangunan. Tidak ada diskusi misalnya, apakah pembangunan diperlukan atau tidak, di level (bersama) masyarakat. Penolakan tidak dimungkinkan, hanya tawar-menawar harga tanah yang dibolehkan. Kalau pun pemilik tanah tak sepakat, pengambilan tanah tetap dianggap sah, karena uang pembayaran untuk tanah yang tak dijual bisa dititipkan di pengadilan dan penjualan tanah dianggap sudah berlangsung secara legal. Inilah yang disebut konsinyasi.

Prof Kurnia Warman juga melihat bagaimana lemahnya musyawarah dalam UU ini. Menurut beliau pereduksian mekanisme musyawarah tidak akan menyelesaikan persoalan dengan baik. Konsinyasi hanyalah akal-akalan dan bagaimana ia tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah konflik tanah untuk infrastruktur. Persoalan mungkin dipaksa selesai di pengadilan, tapi di tingkat sosial tidak akan pernah selesai.[9]

Rendahnya informasi atas rencana pembangunan juga menjadi persoalan. Disinyalir oleh Walhi Sumbar bahwa hampir semua masyarakat nagari yang diperkirakan akan terdampak langsung pembangunan jalan tol, di luar Seksi I dan II Padang-Sicincin, belum mengetahui rencana pembangunan jalan tol. Sementara masyarakat di nagari yang sudah mendapatkan informasi, juga merasa terlangkahi. Penolakan yang dilakukan oleh masyarakat di dua nagari Koto Baru Simalanggang dan nagari Taeh Baruah kabupaten 50 kota, menunjukkan bagaimana lemahnya pelibatan publik yang demokratis.

Jas Irman, anggota masyarakat dari nagari Koto Baru Simalanggang menceritakan bagaimana tim dari proyek pembangunan masuk ke rumah, sawah, ladang dan kebun untuk memancang dan memberi batas. “Saat ditanya, mereka bilang untuk penelitian atau keperluan umum. Tidak ada pernah bilang untuk pembangunan jalan tol. Setelah selesai dipetakan, baru mereka mengumpulkan kami. Barulah disebut akan ada pembangunan jalan tol. Ini namanya tidak ada etika”.[10]

Terdegradasinya demokrasi dalam proses pembangunan juga diindikasikan oleh pelibatan kepolisian sebagai “negosiator”. Senior Executive Vice President Divisi Pengembangan Jalan Tol (PBJT) Hutama Karya, Agung Fajarwanto mengatakan bahwa bantuan Polda Sumbar tidak hanya bertindak sebagai pengaman proyek, namun juga bergerak sebagai mediator terhadap masyarakat setempat, sehingga proses berlangsungnya pembebasan lahan dapat berjalan dengan lancer.[11] Sebagaimana dipahami umum, kepolisian adalah alat penegakan hukum, bukan aktor yang terlibat dalam membangun substansi kesepakatan publik. Memposisikan kepolisian sebagai negosiator menjadi tanda tanya besar dalam proses yang demokratis.

Analisis kebijakan dan kasus-kasus pada praktik implementasi yang sejauh ini terlihat, membuktikan bagaimana rendahnya informasi yang komprehensif, minimnya transparansi dan keterlibatan publik secara demokratis. Sebaliknya yang terlihat adalah sebuah relasi yang asimetris/tidak berimbang antara negara dan rakyat.

Ancaman atas Lahan Pertanian dan Ketahanan Pangan

Pembangunan jalan tol Padang – Pakanbaru mengancam hilangnya sejumlah lahan pertanian. Untuk wilayah Sumbar jalur tol setidaknya melintas sepanjang +/-150 km dengan lebar jalur minimal 60 meter. Ini artinya akan menghabiskan lahan seluas 900 Ha, belum termasuk berbagai fasilitas lain yang menopang keberadaan jalur. Mengingat wilayah Sumatera Barat adalah penghasil produk pangan, sangat mungkin sebagian besar dari angka tersebut adalah kawasan pertanian dan perladangan masyarakat. Temuan Walhi Sumbar menunjukkan bahwa proyek ini akan melintasi banyak sawah-sawah dan lahan-lahan produktif warga.[12]

Tanpa adanya proyek seperti jalan tol ini saja, luasan persawahan di Sumatera Barat sudah turun drastis dari tahun ke tahun. Semenjak tahun 2006 hingga 2016 Sumatera Barat telah kehilangan 14.009 Ha lahan persawahan, atau lebih kurang 1.400 Ha per tahun. Dari yang semula seluas 244.184 ha berkurang menjadi 230.175 ha pada 2016.[13] Data BPS menunjukkan angka yang lebih parah lagi yang menyebutkan per tahun 2017, luas lahan sawah di Sumbar mengalami pengurangan signifikan dari 230 ribu hektar menjadi 127.8 ribu hektar.[14]

Pembebasan lahan untuk jalan tol ini, selain berpotensi memiskinkan petani terdampak, lebih jauh lagi dengan berkurangnya lahan pertanian akan berimplikasi langsung pada ketahanan pangan Sumbar.

Dengan peningkatan populasi yang terus bertambah dari waktu ke waktu (68 ribu per tahun), pengalihan fungsi tanah pertanian menjadi jalan tol akan secara langsung berkontribusi mengancam ketahanan pangan Sumatera Barat.

Selain hilangnya tanah-tanah pertanian, Hutan Lindung pun diperkirakan akan menjadi korban, seperti di Lembah Anai dan beberapa titik menerobos gugusan Bukit Barisan. Hal ini tentu ancaman bagi ekologi, terutamanya sebagai daerah tangkapan air bagi pertanian-pertanian rakyat.

Merampas Ruang Hidup dan Basis Budaya

Belum ada angka yang pasti akan berapa jumlah keseluruhan jiwa yang mesti tergusur untuk memberi jalan bagi hadirnya tol ini. Namun empat dari 74 nagari saja (Koto Baru Simalanggang, Taeh Baruah Lubuk Batingkok dan Gurun Kabupaten 50 Kota) terdapat 800 KK dan 300 unit rumah tempat tinggal yang akan dikorbankan. Kita perlu menghitung daerah-daerah seperti Padang Panjang, Agam, Bukittinggi yang juga padat penduduk.

Selain berpotensi mengambil ruang hidup dan tempat berteduh yang lebih banyak lagi, kompensasi yang ditawarkan ke masyarakat oleh pemerintah sangat tidak masuk akal. Di nagari Kasang, nilai tanah per meter persegi dihargai hingga Rp.60.000, yang disebut salah seorang warga dengan nada kesal “seharga satu ekor ayam potong”.[15]

Tantangan paska penggusuran pun mesti dihadang oleh warga terdampak. Kalau cukup beruntung mereka akan menemukan lahan baru dengan luasan yang sama, membangun tempat tinggal dengan ukuran yang sama dan memancangkan lagi usaha keluarga. Tapi apakah dengan harga yang sangat rendah begitu, akan mampu menggantikan apa yang telah hilang? Akan banyak warga yang akan terpuruk hidup pada rumah sewa, kalaupun tidak di rumah sendiri yang jauh lebih kecil dan barangkali tanpa halaman.

Mendapatkan kembali lahan di tempat berbeda adalah satu hal, membangun kembali kehidupan ekonomi adalah hal yang lain lagi. Seperti penjelasan salah seorang wakil masyarakat, Maipilindo, ke DPRD Sumbar, “Kami buka lahan sudah sejak 1969, waktu itu hutan, orang tua kami  berjuang, sekarang sudah jadi dan subur, di situ kehidupan kami, di situ anak kami sekolah, sekarang lahan kami malah dihancurkan”. Ia mengaku tidak punya kemampuan lain selain bertani, jika nanti dipindahkan.[16] Pembangunan tol tidak memasukkan pertimbangan ini dalam perencanaannya. Mencerabut kehidupan manusia dari akar yang telah tumbuh bergenerasi tidak sesederhana kompensasi seharga ayam potong.

Proses pengadaan tanah oleh BPN (sesuai aturan yang mereka pegang) juga sama sekali tidak menempatkan indikator-indikator sosio-kultural, hanya melihat dan menilai secara ekonomis. Kita tahu sebagian besar kawasan yang akan diambil adalah juga tanah ulayat. Selain sebagai fungsi ekonomi, tanah sudah lama menjadi basis budaya bagi masyarakat adat Minangkabau. Berbagai fungsi sosial dan kultural atas tanah bagi masing-masing kaum di dalam nagari otomatis akan hilang, yang artinya mengikis – kalaupun tidak hilang seluruhnya – eksistensi sebagai sebuah komunitas.[17]

Simbol Preferensi Pasar yang Kapitalistik

Penganut institutional economic, yang melihat bahwa infrastruktur (tol) sebagai instrumen pembangunan ekonomi, sudah banyak ditentang. Persoalannya terletak pada asumsi pembangunan ekonomi itu sendiri yang selalu diukur pada angka-angka di atas kertas (GDP). Pembangunan dalam perspektif ini, sudah terbuktikan tidak membawa kemerataan kesejahteraan, sebaliknya mempertegas jurang ketimpangan.

Kita mesti berfikir panjang dan jujur, adakah konektivitas menjadi alasan yang tepat dan dibutuhkan publik. Tidak ada agaknya nagari-nagari di Sumatera Barat yang tidak bisa di akses melalui jalan darat. Jika pun ada keperluan, ia adalah dalam taraf perbaikan kualitas. Sebelum negara ini hadir, jalan sudah menghubungkan pedalaman Minangkabau dengan Medan dan Riau. Pada masa Orde Baru jalan lintas Sumatera sudah pula dibangun. Baru tempo hari rasanya Sumbar menyelesaikan kelok 9 nan megah, menjadi salah satu etalase kebanggaan, dibangun dengan miliaran rupiah. Apakah sudah sedemikian dinginnya ia hingga kemudian disuruakkan ke belakang, ditinggalkan? Bapak ibu, jalan-jalan ini masih beroperasi hingga sekarang. Keterisoliran seperti apa yang ada pada Sumbar, sehingga konektivitas menjadi argumentasi, sehingga tol berbayar diperlukan menggantikan jalan umum yang telah ada?

Ketika Bhima Yudistira melihat bagaimana pembangunan infrastruktur menguntungkan tiga kelompok kecil (kreditur, spekulan tanah, dan manager proyek dan komisaris BUMN), agaknya juga patut memasukkan aktor ekonomi regional dan global yang padat modal sebagai penikmat utama hadirnya konektivitas ini, yang dengannya akan memudahkan lalu lintas barang masuk ke daerah dan lalu lintas ekstraksi sumber daya alam mentah yang dimiliki daerah ke luar.

Bagi AB Widyanta, tol adalah corong reproduksi akumulasi kapital nasional maupun global. Pendapat ini tentu saja beralasan mengingat bahasan sebelumnya, bagaimana proyek infrastruktur ini bukan lahir dari bawah, tapi hasil sinergi agenda elite, sudut pandang regional ASEAN dan seiring dengan bayangan jalur sutra kedua RRC. Pada akhirnya ia menjadi upaya menormalisasikan daerah ke pasar kapitalistik. Kehadiran tol ini adalah instrument bagi proses akumulasi primitive kapitalisme terbaru (the current new enclosures), proses akumulasi primitif yang selalu dituntut merancang strategi tingkat lanjut, to create life-worlds in its own image or to colonise existing ones, to put them to work for its priorities and drives. Tol adalah jalan.

Penutup

Frasa “kepentingan umum” telah dijadikan dalih guna melancarkan pembangunan. Demokrasi yang dipercaya sebagai budaya yang menubuh dalam masyarakat Sumbar dikebiri dengan proses-proses perencanaan yang tidak informatif, komprehensif dan transparan. Berbagai ancaman: kehilangan ruang hidup, ketahanan pangan dan pertanian, degradasi lingkungan hidup hingga eksistensi sosial budaya Minangkabau, menjadi harga yang harus ditanggung ke depan, selain harga karcis tol yang harus dibayarkan setiap kali nanti menggunakannya. Lebih dari itu, tol bukanlah fasilitas umum, ia adalah bisnis, ia adalah fasilitas bagi akumulasi modal.

Akhirnya tulisan ini ingin mengajak para pihak untuk sama-sama mempertimbangkan kembali rencana pembangunan infrastruktur tol Padang – Pakanbaru, dan secara umum pembangunan infrastruktur-infrastruktur lain yang berwajah neo-liberal. (*)

*Tulisan ini disusun bersama Devi Adriyanti, Heru Joni Putra, Pandu Birowo, Randi Reimena, Ridwan Muzir, Zelfeni Wimra.

Ilustrasi Oleh Talia Bara


[1] Pendapat AB. Widyanta dapat disimak dengan lengkap pada rekaman Diskusi Publik, “Kepentingan Ekonomi Politik di Balik Pembangunan Jalan Tol Indonesia” pada kanal Youtube LBH Yogyakarta dalam tautan berikut https://www.youtube.com/watch?v=FD-X5k7Mk08

[2] Pandangan Bima Yudhistira dapat disimak dengan lengkap pada rekaman Diskusi Publik, “Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia (Tol Jogja-Bawen, Jogja-Solo dan Jogja-Cilacap) di kanal Youtube LBH Yogyakarta di tautan https://www.youtube.com/watch?v=g7_-2mPBMsQ

[3] https://langgam.id/polemik-tol-padang-pekanbaru-pengamat-negara-sedang-memperlihatkan-kekuasaan/?fbclid=IwAR1kmr5rk-RXupL1Kg8SHAEv8R0DmQ40fxy3xi_Gfa6TEOWVnHCcdKB8Bz8

[4] Pendapat Darmaningtyas dapat disimak dengan lengkap pada Diskusi Publik, Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia (Tol Jogja-Bawen, Jogja-Solo dan Jogja-Cilacap) di kanal Youtube LBH Yogyakarta di tautan https://www.youtube.com/watch?v=g7_-2mPBMsQ

[5] https://asean.org/storage/2016/09/Master-Plan-on-ASEAN-Connectivity-20251.pdf

[6] http://www.china.org.cn/world/Off_the_Wire/2019-11/03/content_75369057.htm

[7] https://www.thejakartapost.com/seasia/2019/11/05/synergy-between-asean-china-badly-needed-jokowi.html

[8] https://properti.kompas.com/read/2016/11/08/210000821/bangun.konektivitas.asean.indonesia.fokus.pada.9.proyek

[9] Pendapat lengkap Prof Kurnia Warman ini dapat disimak pada Webinar Kupas Tuntas Persoalan Masyarakat Hukum Adat Dalam Konteks Pengadaan Tanah di kanal Youtube SSF-Indonesia di tautan https://youtu.be/hn_VicDNm8E

[10] https://covesia.com/news/baca/91556/ini-penyebab-warga-50-kota-tolak-pembangunan-jalan-tol.

[11] https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4960935/sudah-18-proyek-tol-padang-sicincin-dikebut baca juga https://regional.kompas.com/read/2020/01/17/14335941/proyek-tol-padang-pekanbaru-mangkrak-komisi-vi-dpr-datangi-polda-sumbar.

[12] Walhi Sumbar https://sumbarsatu.com/berita/23443-soal-lahan-tol-walhi-sumatra-barat-sorot-arogansi-irwan-prayitno

[13]  https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/10/19/pgtxpg368-sawah-di-sumbar-susut-14-ribu-ha-selama-10-tahun

[14] https://www.cendananews.com/2019/09/alih-fungsi-lahan-sawah-di-sumbar-mengalami-penyusutan.html

[15] https://ekonomi.bisnis.com/read/20191209/45/1179175/proyek-tol-padangsicincin-lambatnya-pembebasan-lahan-karena-masalah-harga

[16] https://langgam.id/minta-jalur-tol-dialihkan-warga-limapuluh-kota-beri-alternatif-kepada-pemerintah/?fbclid=IwAR1kjVCYZU6W8LXobix2hO7ONnSpYGpE7IZk5M0NbkkhpsN920V7GBqbd0k

[17] Kegelisahan eksistensi ini juga pernah saya bagikan dalam tautan berikut https://tarbiyahislamiyah.id/alarm-bahaya-eksistensi-minangkabau-pertanyaan-terbuka-untuk-anak-nagari/?fbclid=IwAR3xb61OzOmVr17HtiORztc7N5-2t9YIqdVHhjBB-wXY8KPmaHZSDGxpJzY

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *