Beberapa waktu lalu, Gubernur Mahyeldi menyatakan “Sumbar memiliki potensi pertanian yang bisa membantu pemenuhan ketahanan pangan di provinsi tetangga seperti Riau dan Medan. Tol menjadi kunci konektivitas antar daerah sehingga pembangunannya harus didukung penuh”.
Namun, sebelum bicara soal mendukung pertahanan pangan Riau dan Medan, mari kita ajukan dulu pertanyaan yang mendasar: benarkah Sumbar baik-baik saja dalam persoalan ketahanan pangan sebagaimana tercermin dalam statement Gubernur Mahyeldi di atas?
Berdasarkan beberapa data berikut, mari kita ukur statement tersebut.
Semenjak tahun 2006 hingga 2016 Sumatera Barat telah kehilangan 14.009 Ha lahan persawahan, atau lebih kurang 1.400 Ha per tahun. Dari yang semula seluas 244.184 ha berkurang menjadi 230.175 ha pada 2016. Per tahun 2017, luas lahan sawah di Sumbar mengalami pengurangan signifikan dari 230.000 Ha menjadi 127.800Ha. Membandingkan data tahun 2017 hingga 2019, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Sumbar menyebutkan bahwa lahan pertanian sawah di Sumatera Barat telah beralih fungsi sebanyak 29.000 Ha.
Pengurangan jumlah lahan persawahan ini tentu secara langsung berimbas pada jumlah produksi. Dari catatan Kadis TPHP Sumbar pada tahun 2018 produksi padi Sumbar sebanyak 2,9 juta ton per tahun, yang jika dikonversi ke beras menjadi 2,7 juta ton. Sementara itu dari data terbaru Pemprov sendiri, produksi beras pada 2019 diperkirakan sebesar 854,27 ribu ton, dan mengalami penurunan menjadi sebanyak 18,52 ribu ton atau 2,17 persen pada tahun 2020. Angka-angka ini—baik alih fungsi lahan maupun pengurangan jumlah produksi—menunjukkan penurunan yang sangat drastis.
Tren jumlah lahan dan produksi beras yang terus turun dari tahun ketahun inilah agaknya yang membawa DPRD Sumbar pada tahun 2019 lalu berinisiatif menyiapkan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang Perlindungan Lahan Pertanian, dan masuk pada prolegda 2019/2020. Sejumlah pihak dalam parlemen Sumbar bersuara lantang menyorot persolan ini. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumbar Irsyad Syafar mengharapkan pemerintah memberikan insentif terhadap petani yang bisa berkontribusi untuk meningkatkan produksi beras. Wakil Ketua Komisi II DPRD Sumbar, Muhayatul, menyebutkan Ranperda tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) yang dibahas DPRD digelar untuk mempertahankan jumlah dan produksi padi di Sumbar. Pada 25 Agustus 2020 DPRD bersama Pemprov Sumbar menyepakati rancangan peraturan daerah tentang Penyelenggaraan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dalam rapat paripurna.
Nyata sudah, bahwa Sumbar tidak dalam posisi nyaman pangan. Dengan melihat data-data pertanian pemerintah sendiri satu dekade terakhir yang dibarengi usaha-usaha DPRD dan pemerintah periode sebelumnya untuk menyelamatkan pertanian Sumbar, dan membandingkannya dengan pernyataan Gubernur hari ini tentang bagaimana proyek infrastruktur jalan Tol “akan mampu membantu pemenuhan ketahanan pangan, yang dengan begitu ia perlu didukung penuh”, menjadi kontradiktif. (Statement tersebut juga tidak seiring dengan semangat “Sumbar Sejahtera” sebagai program unggulan Gubernur terpilih—yang telah didengungkan semenjak masa kampanye Pilkada beberapa waktu lalu—dimana pertanian disebut-sebut menjadi prioritas.)
Bagaimana mungkin tol akan memperkuat ketahanan pangan kawasan tengah Sumatera jika kondisi di Sumbar yang dianggap lumbung pangan itu sendiri ketahanan pangannya tengah bermasalah?
Dan di tengah persoalan di atas, kehadiran tol justru berpotensi menjadi persoalan baru. Mengutip catatan Walhi Sumbar, untuk 5 nagari terdampak di 50 Kota saja, sekitar 720 hektar lahan yang di dalamnya terdapat sawah dan ladang, akan hilang. Belum lagi ratusan rumah dan ribuan keluarga. Dan jika kita lihat lebih luas di level provinsi, setidaknya jalur tol yang direncanakan itu akan melintas sepanjang +/-150 km dengan lebar jalur minimal 60 meter. Ini artinya akan menghabiskan lahan seluas 900 Ha, belum termasuk berbagai fasilitas yang menopang keberadaan jalan tol yang pastinya memakan lahan yang tidak sedikit.
Mengingat wilayah Sumatera Barat adalah penghasil produk pangan, sangat mungkin sebagian besar dari angka tersebut adalah kawasan pertanian dan perladangan masyarakat. Inilah kiranya yang diperjuangkan oleh, setidaknya, masyarakat 5 Nagari di 50 Kota, yang telah mengetahui rencana dialihkannya lahan tempat hidup dan pertanian mereka demi pembangunan jalan tol, agar bisa dialihkan ke lokasi berbeda.
Publik akan dengan mudah berfikir dan bertanya, bagaimana bisa usaha-usaha kontekstual di tingkat lokal yang dibangun oleh DPRD Sumbar melalui Perda PLP2B, seolah mentah dengan adanya “desakan” pembangunan infrastruktur jalan tol di level elit. Bagaimana mungkin tantangan perubahan penggunaan lahan produksi pangan tahun-tahun terakhir yang makin tinggi, harus dijawab dengan pengalihfungsian lahan pertanian untuk proyek infrastruktur?
Kami kira ketidaksingkronan ini perlu diklarifikasi, sehingga frasa “untuk kepentingan masyarakat luas” atau secara khusus “kepentingan untuk ketahanan pangan”, sebagai sebuah klaim, memiliki dasar yang memadai. Pihak-pihak yang juga berkeyakinan positif atas dampak baik pembangunan Tol Padang-Pakanbaru perlu menjelaskan dengan sama baiknya, bagaimana konkretnya proyek ini akan bermanfaat bagi orang banyak, terutama petani sebagai produsen pangan.
Beberapa hari lalu Bapak Guspardi Gaus, Anggota Komisi II DPR RI dari Sumatera Barat Daerah Pemilihan II mengatakan bahwa “akan banyak multiple effect yang akan kita peroleh secara sosiologis dan secara ekonomi” yang akan diterima oleh masyarakat dengan adanya jalan tol ini. Pernyataan ini menggembirakan, tetapi sekaligus penuh pertanyaan. Masyarakat mana yang dimaksudkan, dan bagaimana ia memberi efek? 50,84 persen dari total jumlah penduduk Sumbar bergantung dari usaha pertanian, di manakah mereka dalam narasi pembangunan infrastruktur ini? Apakah ada petani di situ?
Bayangan ketahanan pangan Sumbar—setidaknya secara hipotetik—akan berbentuk satu dari dua gambaran berikut: Pertama, sebuah kecukupan pangan yang diproduksi langsung oleh petani Sumbar dari kecukupan lahan pertanian, infrastruktur pertanian, bahkan metode pertanian yang alami dan berkelanjutan. Namun karena ketahanan pangan sebagai sebuah konsep tidak mempertimbangkan bagaimana pangan diproduksi dan darimana pangan itu berasal, akan membawa kita pada gambaran yang kedua: kecukupan pangan yang tidak berkedaulatan. Dan dalam hal ini, kiranya, tol relatif relevan diadakan. Salam. (*)
*Tulisan ini dikerjakan bersama Randi Reimena.
Tulisan singkek aka..
Ciri khas kadrun.
Kehilangan daya nalar..
Kedangkalan berpikir..
Menilai persoalan berbagai disiplin ilmu, mulai dari ekonomi mikro dan makro, ekonomi pembangunan, sosiologi, teknik sipil.. Dikaji oleh orang hanya mengandalkan ilmu budaya.. Yoo ora iso bro..
Pembahasan harus empirik dan komprehensif.
Jangan berlagak gila dan macam org kampung kalau menulis.. Apalagi dibarengi iri dengki..busuk hati.
Komentarnya multidisiplin sekali kak. Mantap.