Pada 2016, nominasi presiden dari Partai Demokrat Amerika Serikat, Senator Bernie Sanders, menyebutkan bahwa pemerintahan negara-negara Nordik sebagai sebuah model dari masa depan sistem politik dan ekonomi. Dalam pidatonya ia menyatakan “Saya pikir, kita harus melihat ke negara, seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia, dan belajar dari apa yang telah mereka berikan untuk masyarakat mereka.”
Tidak hanya sekali, Sanders yang kerap menyebutkan dirinya sebagai seorang “Sosialis” daripada seorang politisi Partai Demokrat ini, memang sudah sering terang-terangan memuja model pemerintahan yang diterapkan pada negara-negara Nordik, seperti dalam esai yang ia tulis selepas menjamu Perdana Menteri Denmark di rumahnya di Negara Bagian Vermont, Amerika Serikat. Dalam esai berjudul ‘What Can We Learn From Denmark?’ itu, ia menulis “Di Denmark, terdapat perbedaan pengertian dari apa yang kita maksudkan sebagai Freedom atau kebebasan. Di negara itu, mereka telah melalui perjalanan yang panjang untuk mengakhiri ketakutan yang besar terhadap ketidakpastian ekonomi. Dengan menciptakan sebuah sistem yang memastikan masyarakatnya memiliki jaminan kesejahteraan yang besar, mereka mengembangkan sebuah sistem yang menggaransi standar hidup layak yang tinggi untuk seluruh elemen yang ada dalam masyarakat, termasuk anak-anak, orang tua (pensiunan), serta penyandang disabilitas.” Hal tersebut ia tulis sebagai tanggapan dari kolega sayap-kanannya di Senat Amerika Serikat yang terus berbicara tentang freedom akan tetapi gagap dalam menafsirkan makna dari kebebasan itu sendiri.
Lebih jauh, Sanders menulis, “Mereka (Senator sayap-kanan) menginginkan orang-orang biasa di AS memiliki kebebasan untuk tidak memiliki jaminan kesehatan di mana 45.000 orang setiap tahunnya meninggal karena tidak mendapatkan akses kesehatan yang mereka butuhkan. Mereka menginginkan kebebasan bagi anak-anak di negara kita untuk pergi sekolah/kuliah lalu bergabung dengan 400.000 anak muda lainnya yang tidak dapat menerima pendidikan yang layak dan jutaan lainnya yang terjerat hutang pendidikan yang sangat besar. Mereka menginginkan kebebasan bagi anak-anak dan para orang tua kita untuk tidak memiliki makanan yang cukup untuk dimakan lalu bergabung dengan jutaan orang lainnya yang telah menderita kelaparan. Dan seterusnya, dan seterusnya.”
Akan tetapi, visi Sanders dengan menyebutkan negara-negara Nordik, terutama Denmark, sebagai sebuah contoh dari Democratic Socialism atau Sosialisme Demokratis menuai kritik dan perdebatan dari lawan politik dan kelompok jurnalis. Hal tersebut kemudian juga direspon oleh PM Denmark saat itu, Lars Løkke Rasmussen, yang mengatakan, “Saya ingin menjelaskan sesuatu, bahwa Denmark bukanlah negara sosialis, dan jauh dari perencanaan sosialisme. Dan Denmark merupakan negara dengan sistem ekonomi pasar.” Rasmussen juga menambahkan, “The Nordic Model adalah perluasan dari welfare state yang menyediakan keamanan tingkat tinggi untuk masyarakat, juga kesuksesan ekonomi pasar dengan lebih banyak kebebasan untuk mengejar mimpi kalian dan hidup sebagaimana hidup yang kalian harapkan.”
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Sanders miskonsepsi terhadap sistem ekonomi yang dianut oleh Denmark beserta negara-negara Nordik lainnya. Namun miskonsepsi tersebut tidak berarti pernyataan Sanders menjadi sepenuhnya salah. Lebih dari itu, pernyataannya dapat dilihat sebagai upayanya dalam mendefinisikan sosialisme versinya sendiri.
Dalam pada pidatonya di Georgetown University Pada Tahun 2015 ia menyebutkan bahwa “Saya tidak lagi mempercayai bahwa pemerintah harus mengambil alih toko grosir yang ada dipinggir jalan, ataupun kepemilikan terhadap alat produksi”. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa definisi sosialisme menurut Sanders bukan lagi soal kuatnya peran negara sebagai subjek tunggal dalam mengatur atau memonopoli perekonomian. Sosialisme Sanders lebih seperti sistem ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara Nordik yang disebut sebagai The Nordic Model, yang walaupun berakar pada kapitalisme dan pasar bebas, namun dinilai mampu mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata yang ujungnya menciptakan kesejahteraan serta standar kehidupan yang baik.
The Nordic Model
Nordic atau Nordik merupakan sebuah pengelompokkan negara yang berdasarkan pada geo-kultural dan sosiohistoris untuk negara-negara yang berada di Eropa Utara, tidak hanya terbatas pada letak geografis dan penuturan bahasa pada negara-negara tersebut saja, akan tetapi juga ikatan sejarah yang mengikat negara-negara tersebut. Negara-negara Nordik terdiri dari negara-negara yang terikat dalam kelompok Scandinavia (Denmark, Norwegia, dan Swedia) yang terikat secara geografis sebagai negara-negara yang berada di Semenanjung Skandinavia. Mereka merupakan kelompok negara penutur rumpun bahasa Jermanik Utara, dengan tambahan Finlandia dan Islandia beserta wilayah otonom Denmark seperti, Kep. Faroe dan Greenland , juga wilayah otonom Finlandia yaitu Kep. Aland. Negara-negara tersebutlah yang disebut menerapkan The Nordic Model.
Cukup rumit untuk mendeskripsikan secara detail bagaimana sistem ini bekerja. The Nordic model merupakan sebuah sistem yang tidak hanya diterapkan pada satu negara saja, akan tetapi pada suatu wilayah regional yang terdiri dari beberapa negara dengan implementasinya masing-masing.
Namun begitu, kita dapat mulai dari awal mula sistem ini terbentuk. The Nordic model berasal dari konsep Swedish model yang lebih tua. Konsep ini telah muncul dalam diskusi-diskusi internasional pada awal tahun 1960an. Lebih jauh dari itu, sebelumnya negara-negara Nordik mulai melakukan sinkronisasi terhadap kebijakan-kebijakan sosial mereka pada awal tahun 1900-an lewat pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat pelayanan publik secara regular dengan pembahasan seperti, asuransi kecelakaan kerja untuk para pekerja (1907), perlindungan anak (1919), jaminan sosial untuk masyarakat umum (1935), dan asuransi untuk pengangguran (1947). Pada tahun 1953, Nordic Council dibentuk. Dengan terbentuknya Nordic Council, negara-negara Nordik dapat mempengaruhi kebijakan masing-masing satu sama lain dan dapat belajar dari pengalaman satu sama lain. Mereka juga bebas untuk menerapkan suatu kebijakan jika dinilai cocok untuk negara mereka sebagai sebuah solusi nasional. Mereka sendiri tampaknya tidak terlalu peduli bagaimana sistem ini (The Nordic model) didefinisikan, karena ini merupakan hasil dari proses panjang yang terartikulasi dalam sejarah kerjasama yang telah terjalin selama berpuluh atau bahkan ratusan tahun, dan hal tersebut menjelaskan kenapa hampir selalu mungkin untuk menemukan setidaknya satu pengecualian di antara negara-negara Nordik yang menentang kesempatan apapun untuk semata-mata mendefinisikan apa itu The Nordic Model.
Meski luas dan rumit, akan tetapi kita dapat menggambarkannya dengan melihat bagaimana sistem ini bekerja secara teoritik dan praktik. Ia adalah kombinasi antara fitur-fitur sistem kapitalisme, seperti ekonomi pasar dan efisiensi ekonomi, dengan social benefits seperti jaminan pensiun dan distribusi penghasilan.
Di satu sisi ia membebaskan pasar bekerja sendirian tanpa kontrol kuat negara, dan di saat yang sama juga menuntut negara ikut campur dalam menyediakan berbagai layanan sosial yang didanai oleh pajak seperti, investasi pada bidang pendidikan, child care, dan pelayanan lainnya yang terasosiasi dengan human capital, yaitu perlindungan yang tinggi pada tenaga kerja melalui serikat kerja dan keamanan sosial. Walau tidak menerapkan upah minimum, akan tetapi serikat kerja dapat memastikan bahwa para tenaga kerja mendapatkan upah tinggi yang layak. Hal tersebut bisa terjadi karena sistem ini memiliki penekanan pada society-wide risk-sharing, yaitu pembagian resiko bersama yang berguna sebagai jaminan keamanan sosial untuk menolong pekerja beserta keluarganya terus beradaptasi terhadap perubahan ekonomi secara keseluruhan dengan meningkatnya kompetisi global pada barang dan jasa.
Walaupun berakar pada kapitalisme dan pasar bebas, sistem ini dinilai sukses dalam mengurangi gap atau jurang antara si kaya dan si miskin, bahkan dapat dikatakan tidak ada gap antar kelas di sana. Hal tersebut dapat terealisasi dengan menciptakan generous welfare benefits atau program tunjangan kesejahteraan yang bertujuan untuk mensiasati fokus yang terbagi antara menjaga pertumbuhan ekonomi dan di saat bersamaan juga menjamin ketersediaan layanan kesejahteraan sosial. Program ini sendiri menekankan keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat untuk sama-sama bahu membahu mengawasi dan menjaga sistem ini tetap berjalan. Program tersebut didanai oleh para pembayar pajak dan didistribusikan oleh pemerintah untuk keuntungan bersama dengan masyarakat, yaitu, pelayanan publik yang berkualitas, pendidikan gratis, dan jaminan layanan kesehatan, juga jaminan pembayaran hari tua bagi pensiunan.
Kesediaan untuk membayarkan pajak yang tinggi dan menukarnya dengan social benefits telah menghasilkan perlakuan yang setara pada seluruh masyarakat yang mendorong meningkatnya partisipasi tenaga kerja serta kesadaran persamaan gender yang telah menjadi budaya dan cirikhas yang tidak hanya dapat dilihat dari penempatan tenaga kerja perempuan yang tinggi, akan tetapi juga tingginya tanggung jawab urusan rumah tangga bagi kaum pria. Dan yang terpenting adalah World Happines Report 2021 menempatkan negara-negara skandinavia sebagai 10 besar negara-negara paling Bahagia di dunia, dengan menempatkan Finlandia di nomor satu (Denmark kedua, Islandia keempat, Norwegia keenam, Swedia ketujuh), dengan indikator penilaian, yaitu, produk domestik bruto per kapita, dukungan sosial, harapan hidup sehat, kebebasan dalam menentukan pilihan hidup, kemurahan hati masyarakat secara umum, dan tingkat persepsi korupsi internal maupun eksternal.
Sistem ini dapat bekerja dengan baik pada negara-negara Nordik di antaranya didorong oleh budaya yang homogen, stabilitas politik kebebasan berpolitik, tingkat korupsi yang rendah, faktor demografi dan geografi, serta masyarakat yang percaya bahwa pemerintahan dan perusahaan swasta akan terus mempertimbangkan kepentingan mereka melalui kontrak sosial dengan penekanan pada semangat keadilan.
Celah
Sesempurnanya The Nordic model, perlu diperhatikan bahwa sistem ini bukannya tanpa celah. Zaman yang terus berkembang akan memaksa sebuah sistem untuk sedikit melepas status-quonya. Akan tetapi masalahnya bukan itu. The Nordic model sudah sangat sukses untuk terus konsisten berkembang bersama zaman dan mempertahankan stabilitas sistemnya dalam 25-30 tahun terakhir, termasuk dalam menghadapi krisis global yang melanda dunia pada Tahun 2008. Tantangan terbesar The Nordic model untuk keberlanjutannya pada saat ini adalah pada Aging population atau Penuaan populasi dan keberadaan imigran. Masalah pada penuaan populasi yaitu karena skenario yang ideal dari sistem ini adalah pembayar pajak dari kelompok umur lebih muda memiliki basis lebih besar daripada penduduk yang lebih tua. Dan dikarenakan keseimbangan populasi berganti ke arah sebaliknya, kemungkinan akan mempengaruhi jalannya sistem sangat besar. Selain itu, keberadaan imigran disinyalir dapat mengganggu stabilitas sistem. Hal tersebut disebabkan dari perbedaan visi antara masyarakat native dan para imigran. Para imigran atau pendatang baru ini kebanyakan datang hanya untuk menikmati pelayanan publik yang tersedia saja. Perbedaan kultur menjadi salah satu masalah di sini. Masyarakat native cenderung memiliki kesadaran kolektif yang tinggi untuk berpartisipasi bersama-sama mendukung sistem mereka yang telah mapan, baik secara politik maupun budaya, namun hal yang sama sukar ditemukan pada para imigran yang datang dari berbagai macam negara dan latar belakang budaya yang berbeda-beda. Tantangan ini tentu menjadi pekerjaan rumah sendiri bagi negara-negara Nordik untuk menciptakan solusi untuk mengatasinya, karena apabila hal tersebut kemudian terjadi dalam skala besar ini akan menjadi masalah yang sangat serius bagi keberlanjutan The Nordic model.
The Nordic model telah banyak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan dan negara-negara di dunia. Banyak yang kemudian melihat sistem ini sebagai sebuah template yang dapat diterapkan pada negara-negara mereka, sebagaimana Sanders yang berencana mencoba mengadopsi sistem ini apabila ia memenangkan Pemilu Amerika Serikat. Banyak kritik yang diterima oleh Sanders setelahnya; bahwa sebagian besar variabel pendukung yang memungkinkan sistem ini dapat berjalan dengan baik di Nordik tidak dijumpai di Amerika Serikat. Akan tetapi, Sanders mencoba menjawab kritik-kritik yang dilemparkan padanya dengan pernyataan filososif: “Seperti kita ketahui bahwa kita mengakui adanya perbedaan, kita juga harus mengakui bahwa kita semua adalah manusia dengan DNA yang persis sama, kecerdasan yang sama, dan kebutuhan yang juga sama sebagai manusia.” Pernyataan tersebut menyiratkan keyakinan serta harapan Sanders bahwa manusia memiliki kapasitas yang sama untuk mengembangkan model ekonomi serupa The Nordic Model sesuai kondisi masing-masing masyarakat itu sendiri. (*)
Ilustrasi oleh @graphirate
Daftar bacaan:
Koivonen, Anu. 2021. “The Nordic Economic, Social and Political Model Challenges in 21st Century”. Routledge. New York
Kommunekredit. 2012. “The Nordic Model Global Competitiveness in Denmark, Finland, and Sweden”. KLS Grafisk Hux. Denmark
Gargiolo, Susanne. 2016. “Bernie Sanders American Dream is in Denmark” https://edition.cnn.com/2016/02/17/politics/bernie-sanders-2016-denmark-democratic-socialism/index.html
McWhinney, James. 2021. “The Nordic Model: Pros and Cons” https://www.investopedia.com/articles/investing/100714/nordic-model-pros-and-cons.asp
Will, Kenton. 2021. “Nordic Model”https://www.investopedia.com/terms/n/nordic-model.asp
Witcombe, Nicola. 2021. “The Nordic Model” https://nordics.info/themes/the-nordic-model/ https://nordics.info/themes/the-nordic-model/
Yglesias, Matthew. 2015. “Denmark’s prime minister says Bernie Sanders is wrong to call his country socialist” https://www.vox.com/2015/10/31/9650030/denmark-prime-minister-bernie-sanders