Jauh hari sebelum pentolan Indo Barometer, Muhammad Qodari, melemparkan wacana politik di tayangan gelar wicara beberapa waktu lalu, sentilan untuk menambah periode jabatan Presiden telah dikemukakan sejak September 2015. Adalah Edhie Baskoro Yudhoyono yang melemparkan lelucon bahwa rakyat merindukan kepemimpinan SBY. Meski tidak melalui jalan yang sama dengan wacana Qodari, namun intinya tetap saja menambah periode. Ibas bersama kader Demokrat lainnya mengakali ketentuan Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan Presiden selama dua periode dengan skema berturut-turut. Demokrat kala itu berpikir bahwa SBY bisa memperoleh periode ketiga karena telah diselingi oleh Jokowi yang terpilih untuk masa jabatan 2014-2019. Menurutnya, mengelola negara bukanlah perkara sepele, dan pemerintahan saat itu tidak mampu bekerja optimal untuk memperbaiki keadaan. Padahal kita tahu bahwa gelombang korupsi kader Demokrat dalam tempo sepuluh tahun SBY dan setumpuk proyek mangkrak bukanlah sebuah keadaan yang baik.
Dari tujuh Presiden yang pernah menjabat di negeri ini, hanya dua di antaranya yang legowo menghadapi kenyataan bahwa ia harus menyudahi kekuasaan, B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Lainnya adalah orang-orang dengan dahaga kekuasaan yang sulit dipuaskan. Sukarno adalah contoh nyata betapa kekuasaan adalah bius sekaligus bias. Belum puas dengan panggilan Paduka Yang Mulia, Putra sang Fajar itu bahkan menyetir MPR untuk menetapkannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi sekaligus mendaulat Sang Mandataris MPR itu sebagai Presiden seumur hidup dan disahkan melalui TAP MPRS No. III/MPRS/Mei 1963.
Soeharto yang membajak negara tampil sebagai suksesor setelah kudeta berdarah 1965, lebih parah lagi. Tidak cukup dengan kekuasaan selama tiga dekade, ia juga mengerahkan segala sumber daya negara untuk melakukan rekayasa sosial besar-besaran yang efek buruknya masih kental dirasakan dua puluh tiga tahun setelah kekuasaannya digulingkan. Megawati tidak alfa dalam daftar ini. Hitung saja berapa kali dan bagaimana upayanya untuk kembali berkuasa sebelum pamornya ditikung Jokowi yang kala itu tampil out of the box.
Geliat politik yang dimerahkan tenda besar PDI-P di Senayan berhasil menyeret Jokowi ke dalam daftar panjang Presiden yang melihat periode jabatan yang panjang akan berbanding lurus dengan keberhasilan rezim. Meski secara pribadi Presiden Jokowi menolak perpanjangan masa jabatan, tapi ia tetaplah entitas yang terikat dengan partai beserta segenap sponsornya. Keadaan inilah yang sedang berusaha disulam-renda Qodari.
Oportunisme Qodari bukanlah tanpa sebab. Sebagai peneliti cum penyurvei politik, terlepas dari termakan atau tidaknya umpan yang ia lemparkan, Qodari tetap saja meraup keuntungan. Hasrat politik dan lincahnya Qodari bersatu padu dengan psikologi politis kontemporer. Maka muncullah dua skenario untuk mewujudkan hasrat itu demi terpuaskannya dahaga kekuasaan; Amandemen kelima UUD 1945, atau Dekrit Presiden.
Mewaspadai Amandemen Kelima
Sebagaimana niatan menambah masa jabatan Presiden, kehendak dilaksanakannya amandemen kelima juga telah muncul jauh-jauh hari. Bahkan tidak lama setelah empat gelombang amandemen rampung tahun 2002, banyak akademisi dan politisi yang menemukan rancunya struktur UUD 1945 pasca amandemen. Keadaan itu memunculkan beragam ekspresi, mulai dari diskusi publik, artikel, hingga karya ilmiah. Hal itu ditenggarai terjadi karena beragam persoalan yang dihasilkan ketentuan UUD 1945 perihal perubahan struktur ketatanegaraan. Dua contoh yang dapat ditarik adalah ketimpangan peran legislasi DPR dan DPD, serta bifurkasi semu di cabang yudikatif yang menempatkan MK dan MA di posisi sejajar dengan kewenangan beririsan. Bahkan lembaga negara sekelas DPD sejak lama menyerukan untuk segera dilakukannya amandemen kelima. Keseriusan DPD dapat dilihat dari lahirnya Naskah Akademik Rancangan Amandemen Kelima oleh Anggota DPD sejak tahun 2011, dan spanduk bertuliskan Semangat Amandemen Kelima di sekitar gedung DPD.
Perpanjangan masa jabatan Presiden yang pengaturannya langsung diakomodir Pasal 7 UUD 1945, rentan mengakibatkan amandemen kelima hanya akan mengubah ketentuan tersebut. Sementara itu, dibanding meloloskan hasrat kekuasaan, terdapat pasal-pasal lain yang urgen untuk diperbaiki. Dua contoh di atas, misalnya. Sekalipun kelak kesepakatan MPR berniat memperbaiki seluruh ketimpangan dalam UUD 1945, asumsi itu juga tidak dapat memberi garansi bahwa MPR mampu menghasilkan pengaturan undang-undang dasar yang baik.
Hal itu pernah terjadi ketika struktur bikameralisme dirancang. Maka lahirlah DPD dari gagasan serba kompromis. Akibatnya bisa dilihat dari tidak adanya satupun undang-undang di mana lembaga legislatif itu hadir sebagai penentu. Sekalipun sebuah undang-undang berkaitan dengan keseimbangan pusat dan daerah yang menjadi kewenangannya. Akibatnya, DPD tidak lain hanyalah pelengkap derita dalam drama proyek legislasi yang menyerap lebih satu triliun APBN.
Mayoritas dukungan kepada pemerintah di DPR yang mencapai angka 81,91% bukanlah jumlah main-main untuk meloloskan wacana amandemen kelima. Cukuplah PDI-P dan Gerindra yang santer akan berduet, ditambah setidaknya dua partai lain yang masing-masing mengantongi lebih 10% kursi DPR, amandemen kelima untuk tiga kali masa jabatan Presiden sudah bisa dipastikan bergulir. Terlepas penolakan berbagai kalangan, toh, mereka yang membuat aturan mereka pula yang menjalankan.
Akan tetapi perlu disadari sejak awal, apakah benar hanya akan tiga periode? Gerindra yang memiliki kuota suara besar itu perlu ditelisik, bahwa kembali ke “UUD yang ditetapkan 18 Agustus 1945” adalah manifesto politiknya. Sungguhpun kelak kesepakatan awal MPR untuk amandemen kelima sebatas menambah satu periode lagi masa jabatan Presiden, ketentuan Pasal 37 Ayat (3) UUD 1945 yang mensyaratkan 2/3 jumlah anggota MPR untuk dapat mengubah pasal-pasal undang-undang dasar, sangat mungkin diselewengkan menjadi empat, lima atau mungkin sepuluh periode sepanjang penguasa masih bernapas.
Celakanya, ketentuan itu juga sangat mungkin untuk diselewengkan kedua kalinya agar kerja amandemen tidak perlu menguras tenaga karena tidak satupun pasal atau ayat dalam UUD 1945 yang melarang UUD lama diberlakukan kembali. Sementara jumlah 2/3 anggota MPR telah memenuhi persentase minimum agar usul kembali ke UUD lama yang menjadi manifesto politik Gerindra dapat terlaksana. Kemudian Pasal 37 Ayat (4) mensyaratkan perubahan itu harus disetujui sekurang-kurangnya 50% jumlah keseluruhan ditambah satu anggota MPR. Kita tidak mungkin lupa persentase dukungan kepada pemerintah di parlemen dimana dalam skenario itu suara DPD sebatas sendawa angin di tengah badai. Itupun dengan catatan suara DPD bulat menolak amandemen yang diimpikannya.
Mewaspadai Dekrit Presiden Kedua
Dekrit Presiden adalah skenario politis paling oportunis dan dapat dijadikan opsi pertama atau kedua tergantung situasi. Pandemi Covid-19 yang merongrong dunia dan menyusahkan Indonesia yang sejak lama sekarat ini, cukup lentur ditafsirkan sebagai keadaan darurat yang memaksa Presiden mengambil sikap. Dalil politik yang mendasari dekrit itu sederhana saja, bahwa kerumunan masa di tempat pemungutan suara rentan menimbulkan klaster baru di lingkungan permukiman. Maka lapanglah jalan Jokowi ke Senayan untuk dilantik ketiga kalinya.
Politisi memang belajar sejarah, akan tetapi pernah belajar bukanlah garansi seorang manusia dapat berpikir rasional. Gema suara dari Senayan sampai ke ruang konferensi pers Istana Negara tidak akan jauh dari Dekrit Presiden Sukarno tanggal 5 Juli 1959. Ini adalah preseden positif bagi mereka yang mendukung perpanjangan periode jabatan Presiden. Bahwa keadaan genting saat itu ditambah kuorum Konstituante yang tidak kunjung terpenuhi untuk membulatkan keputusan, memaksa Presiden mengeluarkan amanat untuk kembali ke UUD 1945.
Ditinjau dari kalkulasi politik, pertahanan dan keamanan nasional sampai internasional pada masa itu, langkah Sukarno bisa saja ditafsirkan sebagai upaya penyelematan. Ini tentunya subjektif tergantung posisi moral politik. Di satu sisi, situasi dalam negeri tidak stabil setelah pemberlakuan Konstitusi RIS, sedangkan di bawah UUD Sementara 1950 keadaan tidak kunjung membaik. Di sini lain, geopolitik internasional terus menggoyang kedaulatan Indonesia yang berniat memasang tali di leher negara. Dua tantangan ini tentunya berimbas pada keberlangsungan negara yang masih muda. Inilah alasan Sukarno di balik Dekrit 5 Juli 1959 yang diakuinya dalam biografi karya Cindy Adams.
Jikalau dibandingkan keadaan Indonesia hari ini, langkah Presiden Jokowi bilamana dekrit dikeluarkan adalah malapetaka politik yang lebih buruk ketimbang penghancuran lembaga antirasuah. Bukan sekadar menandakan politik Indonesia mundur sejauh enam puluh dua tahun, dekrit itu juga menandakan gagalnya Indonesia menjadi sebuah negara. Karena dekrit yang seharusnya kartu as saat keadaan luar biasa genting, justru dikeluarkan hanya untuk pemuas dahaga kekuasaan dengan memanfaatkan masa sulit di tengah pandemi. Jika Jokowi betul-betul mengeluarkan dekrit, maka hal itu tidak ada bedanya dengan pembubaran parlemen. Sebab dengan membedah UUD 1945, tidak satupun terdapat aturan main yang membolehkan Presiden mengeluarkan dekrit. Legalitas dekrit hanya berupa garansi politik yang didasari oleh tindakan Presiden, seperti pada kasus Sukarno. Padahal, merujuk UUD Sementara 1950 yang berlaku kala itu, terdapat ketentuan Pasal 134 yang mengharuskan pembahasan bersama antara Pemerintah dan Konstituante. Dalam mekanisme legislasi dua pihak itu, Presiden hanya berhak mengajukan draf rancangan konstitusi bukan menentukan konstitusi apa yang berlaku, apalagi membubarkan Konstituante. Sederhananya, Dekrit 5 Juli 1959 tidak memiliki landasan hukum dan sebatas bersandar pada situasi kedaruratan negara yang diistilahkan dengan staatsnoodrecht. Sebuah tindakan yang bisa saja ditafsirkan sebagai konvensi ketatanegaraan oleh politisi kontemporer, meski hanya dilakukan satu kali sepanjang sejarah republik melarat ini.
Sekali lagi, kita tidak boleh lupa bahwa Jokowi bukanlah entitas tunggal. Di belakangannya ada partai serta segelintir elit yang punya kepentingan masing-masing. Ia bisa saja menolak wacana itu, namun demikian Jokowi tidak dapat melepaskan diri dari belenggu dua mesin di belakangnya. Sebuah contoh dapat diajukan untuk menggambarkan betapa Presiden bukanlah seorang penentu di negara yang berlandaskan hukum ini. Sebutlah inkonsistensi penanggulangan kanker korupsi. Ketika pertama kali menyusun kabinet tahun 2014, Jokowi yang pernah disebut sebagai A New Hope oleh Majalah Time melibatkan KPK untuk menyaring nama-nama yang akan didaulat sebagai menteri. Meski ramai kritik, langkah itu deras menuai pujian atas keberaniannya membubuhi warna merah, kuning dan hijau kepada beberapa calon menteri yang diskrining KPK. Tapi apa yang terjadi setelah ia terpilih untuk jabatan kedua? Bukan hanya tanpa skrining, justru orang pilihan yang didaulaut sebagai menteri diciduk KPK. Ujung-ujungnya, KPK yang menjadi harapan besar penyelenggaraan pemerintahan bersih justru ditelanjangi dan dikubur hidup-hidup. Agaknya, tidak salah label Jokowi berganti dengan A Man of Contradictions di ujung pena Ben Bland.
“Demokrasi Kita” adalah saksi betapa Hatta menolak keras sikap Sukarno yang punya pretensi absolutisme, dan Petisi 50 adalah suara lantang atas tangan besi Soeharto. Namun, siapakah nanti yang akan menyuarakan penolakan jikalau Presiden Jokowi menjiplak gaya Sukarno untuk berwatak Soeharto? Semoga saja kita tidak mencicipi dekrit Presiden agar sengkarut negara melarat ini tidak bertambah kusut.
***
Di tengah kisruh inilah Qodari memancing di air keruh. Alasannya tidak salah bila ingin mengakhiri politik identitas dan segala laku buruk yang lahir dari persaingan politik dua kubu. Akan tetapi cara yang ditempuh lewat perpanjangan masa jabatan Presiden bukanlah bincang-bincang lepau. Efek yang ditimbulkan oleh wacana itu tidak sekadar kebercandaan di ruang publik. Qodari paham benar posisinya di tengah masyarakat Indonesia, ia piawai memainkan karakter oportunis untuk mendulang keuntungan, materiel ataupun non-materiel. Terlepas dari bagaimana jadinya wacana tersebut, pemberian tempat dalam ruang parlemen dan istana bagi pandangan dekaden Qodari adalah sebuah potret betapa kekuasaan telah memisahkan pemerintahan dari pikiran rasional.
Sejatinya kita tidak tahu apakah Qodari sutradara dalam wacana ini, ataukah Qodari didapuk sebagai aktor intelektual oleh kelompok yang memotori pemerintah dari balik layar. Setidaknya Qodari telah berperan besar mencampurkan dua zat berbahaya ke dalam tabung reaksi untuk percobaannya, di mana negara ini lebih dulu ia sulap menjadi laboratorium penelitian. (*)
Editor: Hemi Lavour & Randi Reimena