Belum lama ini netizen dihebohkan oleh kasus ‘Gilang Bungkus’. Dengan dalih riset akademis, Gilang memanipulasi serta mengancam para mahasiswa baru untuk memenuhi hasrat seksualnya. Dia tertarik secara seksual terhadap tubuh lelaki muda yang terbalut kain jarik.
Salah seorang penyintas kemudian menyuarakan kisahnya melalui akun Twitter @m_fikris. Tidak hanya menjelaskan bagaimana Gilang memanipulasi serta mengancam dirinya, pemilik akun @m_fikris juga mengunggah bukti yang dikirim dari galeri Gilang untuk membuktikan bahwa banyak korban lain selain dirinya. Penyintas lain bermunculan angkat suara. Jumlahya tidak sedikit dan mereka juga mengalami pengancaman serta mengalami trauma.
Fetish Bukan Gangguan Jiwa
Hasrat seksual terhadap benda mati disebut fetish. Beberapa orang menganggap kecendrungan tersebut sama dengan gangguan jiwa. Namun, menurut dr. Alvina, Sp.KJ, dokter spesialis kedokteran jiwa dari Primaraya Hospital Bekasi Barat, sepanjang tidak menimbulkan distres dan tidak menimbulkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan personal, fetishism tidak bisa disebut gangguan jiwa.
Definsi gangguan jiwa ini juga senada dengan pendapat dr. Teddy Hidayat, SpKJ Psikiater Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) yang pada 2016 lalu, tengah dimintai pendapat mengenai LGBT (Lesbian Gay BisexualTransgender) oleh merdeka.com. Teddy menjelaskan gangguan jiwa adalah suatu kondisi stres atau menderita baik bagi pasien atau orang yang bersangkutan.
Jadi sebenarnya tidak menjadi masalah dengan memiliki fetish selama hal tersebut tidak mengganggu kehidupan sehari-hari orang itu sendiri. Namun persoalannya akan berbeda jika fetish tersebut sampai mengganggu kehidupan pribadi apalagi orang lain.
Edukasi Seksual
Selain dengan ancaman, ‘keberhasilan’ Gilang dalam menipu setidaknya 30 orang korban, juga turut disebabkan oleh ketidaktahuan korban soal Fethis. Inilah pentingnya edukasi seksual, dimana pengetahuan tentang fetish serta keragaman orientasi seksual diajarkan. Ketidaktahuan para penyintas tentu menjadikan pelaku memiliki kesempatan untuk mengoptimalkan kuasanya sebagai ‘senior’ dan mengeksploitasi rasa simpati para korban. Saya tidak heran dengan ketidaktahuan penyintas, jelas saja karena pendidikan seksual masih dianggap tabu di negara ini.
Minimnya pengetahuan soal orientasi seksual tersebut, juga dapat berpengaruh pada cara publik melihat kasus ini. Publik yang mengira Gilang mengalami gangguan jiwa, kemungkinan akan menolerir perbuatannya. Bagi saya pribadi, tidak masalah jika pelaku tidak dijerat hukum karena dianggap memiliki gangguan jiwa, asalkan hak korban atau penyintas terpenuhi.
Kebutuhan Mendesak
Andaikan saja RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) sudah disahkan, mungkin para penyintas dapat segera dipenuhi haknya serta pelaku dapat ditindak lebih lanjut. Ini tentu saja karena defenisi kekerasan seksual dalam RUU tersebut sudah diperluas, sehingga perbuatan Gilang yang merugikan pihak lain dapat segera ditindak secara hukum.
Dalam RUU itu, pada pasal 1 ayat 1, kekerasan seksual didefenisikan sebagai “setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat penderitaan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”. Lebih penting dari itu, dalam RUU PKS perlindungan serta pemenuhan hak korban juga menjadi prioritas.
Kasus Gilang juga adalah bukti tambahan bahwa korban dari relasi kuasa yang timpang tidak hanya perempuan saja, tetapi juga dapat terjadi terhadap siapa saja tanpa memandang kategori seksual serta gender. Selain itu, karena kebanyakan penyintas telah dilecehkan secara non fisik, RUU PKS seharusnya dapat menjadi angin segar untuk melindungi penyintas
Saat ini adanya payung hukum untuk melindungi penyintas pelecehan seksual adalah kebutuhan mendesak, karena dalam kasus-kasus kekerasan seksual lainnya, pelaku bisa saja dihukum memakai aturan hukum yang tidak memiliki perspektif penyintas.
Hingga saat ini payung hukum dalam menangani kekerasan seksual terdapat pada KUHP pasal 285. Di sana definisi kekerasan seksual masih terbatas pada penetrasi penis dengan vagina. Sedangkan dalam RUU PKS telah termaktub sembilan jenis kekerasan seksual yang perlu diketahui masyarakat.
RUU ini sempat dianggap tak menganut nilai-nilai agama. Menurut saya sah-sah saja jika ingin mengkritik, memberi masukan terhadap RUU ini. Namun, jangan sampai menggagalkan payung hukum yang memiliki prioritas untuk melindungi penyintas kekerasan seksual. Dapat Anda ketahui sendiri bahwa kasus kekerasan seksual masih bertebaran dimana-mana, bahkan tak menutup kemungkinan terhadap aturan yang bernilai agama sekalipun. Contohnya di Aceh. Selama setengah tahun ini telah terjadi puluhan kekerasan seksual.
Bahkan asumsi bahwa RUU ini tidak bernilai agama serta tumpang tindih dengan UU lainnya, telah dibantah oleh Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu. Ia mengatkan bahwa “RUU PKS merupakan lex specialist atau undang-undang khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sudah mengatur secara umum. Hal-hal yang berkaitan dengan moral dan kesusilaan telah diatur dalam KUHP.”
Saya tidak melarang pihak manapun mengkritisi RUU ini, mau pro atau kontra, silakan. Tetapi jangan sampai angkuh dengan menolak menambah payung hukum terkait kekerasan seksual. Apakah perlu merasakan pedihnya trauma pasca pelecehan, baru Anda mintai hak Anda sebagai korban? (*)
***
Saat artikel ini disiapkan, terjadi perkembangan dalam kasus Gilang Bungkus. Meski telah ditangkap kepolisian, dia hanya dijerat dengan UU ITE sehingga terhindar dari tuduhan melakukan pelecehan seksual. Ini akan berakibat terabaikannya hak penyintas. Ini juga makin mempertegas tuntutan artikel bahwa suatu payung hukum baru terkait penanganan kekerasan seksual betul-betul dibutuhkan. [Ed]
Ilustrasi oleh: Talia Bara
Editor: Randi Reimena