Artikel

Rupa di Balik Kritik

Beberapa waktu lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) memosting meme “The King of Lip Service” di akun media sosialnya. Meme tersebut ditopang data-data  yang menunjukkan tidak sesuainya antara ucapan dengan tindakan Presiden Jokowi, ia adalah kritik terhadap kontradiksi antara pernyataan dengan sikap Presiden Jokowi. Namun kritik tersebut dibalas dengan pemanggilan terhadap beberapa petinggi BEM UI oleh pihak Rektorat UI. Dalam suratnya, pihak Rektorat UI menyampaikan hendak meminta keterangan dan penjelasan terkait narasi kritik yang disampaikan oleh BEM UI melalui akun media sosial resmi BEM UI yang menggunakan foto Presiden Jokowi (baca: Presiden RI).

Pendidikan Tinggi Salah Kaprah

Kasus BEM UI hanyalah salah satu contoh bagaimana perguruan tinggi telah salah kaprah menempatkan diri dalam ruang sosial dan memahami dimensi fundamental dari kritik itu sendiri. Di berbagai institusi pendidikan lainnya, kita bisa dengan mudah menemukan kasus serupa.

Dalam konteks kritik yang disampaikan oleh BEM UI, sudah sangat jelas materi yang disampaikan tertuju kepada Presiden Jokowi, yang dalam hal ini dimaknai soal bagaimana kekuasaan presiden dijalankan.

Setidaknya terdapat empat isu publik yang dibawa dalam kritik bertajuk “King of Lip Service”: represi terhadap aksi demonstrasi; revisi UU ITE; pelemahan KPK; dan UU Cipta Kerja. Secara posisi, kritik BEM UI tidaklah salah alamat, sebab empat isu tersebut memiliki irisan yang jelas dengan kewenangan langsung Jokowi sebagai presiden.

Andaikata kritik yang disampaikan mengandung unsur tindak pidana, semestinya kampus tempat BEM UI bernaung harus tegas membela dalam koridor implementasi kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Rektorat malah memanggil petinggi BEM. Pihak Rektorat UI seolah memposisikan diri sebagai perpanjangan tangan kekuasaan untuk meredam kritik yang lahir dari rahim akademiknya sendiri. Sikap ini sama sekali tidak sesuai dengan cita-cita otonomi kampus dan semboyan “kampus merdeka”.

Dalam konteks tri dharma perguruan tinggi, semua institusi pendidikan tinggi seharusnya mengambil posisi yang jelas dan tegas terhadap dinamika dan keresahan sosial yang terjadi. Bukan malah ikut dengan gerbong dekadensi peradaban dengan menciptakan kemerosotan demokrasi, melemahkan penegakan hukum, memperkuat barisan oligarki dan segala hal yang menjauhkan bangsa dan negara dari cita-cita kemerdekaan di awal berdirinya republik.

Memosisikan Kritik

Kritik seringkali dihadapkan pada dua persoalan utama: 1) tanggung jawab kumulatif dengan memberikan solusi; dan 2) etika pengkritik yaitu soal kepantasan pengkritik dan bagaimana cara pengkritik menyampaikan kritiknya. Seringkali hanya karena dua aspek tersebut, substansi kritik sengaja ditiadakan hanya untuk menghindar dari risiko sebagai subjek yang dikritik.

Secara konseptual, kritik tidak pernah menyangkutkan dirinya secara mutlak dengan solusi. Keberadaan solusi merupakan variabel yang terpisah dengan kritik karena tugas kritik adalah untuk mengungkap kesalahan serta kelemahan dari suatu tesis atau sebuah premis. Solusi hanyalah bonus. Solusi bisa saja diperoleh dari proses penulusuran atau kupasan yang dilakukan pada saat membangun kritik, bisa juga tidak.

Jikapun solusi dapat diperoleh, ia sejatinya juga memerlukan serangkaian uji coba yang sifatnya nyata atau lewat sebuah ilustrasi yang sifatnya logis. Metode ini berbeda proses kerjanya dengan kritik, meskipun keduanya berhubungan. Kritik merupakan proses mengurai gagasan kepada objek yang dikriktik sebagai pisau analisis, sedangkan solusi merupakan proses mengadopsi gagasan pada objek yang telah dikritisi.

Dalam soal etika pengkritik, subtansi kritik seringkali menjadi kabur ketika yang dipersoalkan dari kritik hanyalah sebatas bagaiamana etika seseorang atau kelompok dalam menyampaikan kritik. Etika yang berkaitan dengan aspek sosio-normatif yang sifatnya relatif seperti pantas-tidak pantas, elok-tidak elok, patut-tidak patut, kerap ditempatkan sebagai salah satu prasyarat tak terpisahkan dari kritik. Seolah-olah suatu kritik hanya valid selama sesuai dengan norma-norma yang relatif itu. Padahal bagaimana etika dalam mengartikulasikan serta mengamplifikasi kritik, tidak berkaitan dengan substansi suatu kritik. Bagaimana cara penyampaian suatu kritik, tidak mempengaruhi substansi kritik itu sendiri.

Daripada melakukan penilain-penilaian dalam dimensi etis, yang tidak hanya akan mengaburkan substansi kritik namun juga menguak determinasi budaya dan politik si penilai, sebaiknya kritik BEM UI pada Presiden Jokowi dilihat dengan uji validitas serta autoritas.

Dari sisi substansi, BEM UI telah tepat menempatkan posisi validitas kritiknya dengan membatasi materi muatan kritik terhadap empat isu spesifik berbasis uji konsistensi antara pernyataan dengan tindakan Presiden Jokowi.

Dari sisi uji autoritas, boleh jadi ada banyak sudut pandang dalam melihatnya. Apalagi empat isu yang diusung berkaitan dengan aspek publik, yang sudah memiliki banyak sudut pandang. Setidaknya posisi BEM UI jelas, sebagai kelompok intelektual dalam baju organisasi intra kampus, serta secara lebih umum sebagai kelompok warga negara terdidik yang mengamati jalannya pemerintahan.

Tanpa perlu dibuktikan lebih lanjut, kritik yang disampaikan oleh BEM UI sangat beralasan, baik dilihat dari sisi validitas mau pun autoritas. Justru yang menjadi pertanyaan ialah apa dasar pemikiran Rektorat UI melakukan pemanggilan kepada BEM UI? Sementara Rektorat UI bukanlah sasaran kritik. Apalagi, dalam batas penalaran yang wajar, kritik yang disampaikan sama sekali tidak mengandung unsur tindak pidana.

Sejatinya kritik yang sampaikan BEM UI harusnya dipandang sebagai keberhasilan pendidikan, bukan sebagai ancaman kemapanan kekuasaan. Bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendukung kemajuan peradaban lahir dari basis kritik yang jelas dan lugas. Pengritik seperti BEM UI, tidak boleh lagi ditempatkan pada posisi yang diremehkan dengan sebutan, “masih dalam proses belajar”.

Kemampuan mengidentifikasi pertentangan antara kenyataan yang ada (das sein) dengan apa yang seharusnya atau apa yang ideal (das sollen) yang ditunjukkan oleh mahasiswa-mahasiswa itu, adalah salah satu bukti bahwa di kampus masih ada yang namanya ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi yang hidup dalam tri dharma (pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian masyarakat) menuntut selalu adanya progresi, bukan dekadensi. Basis utama lahirnya progresi adalah kritik itu sendiri, dan proses tersebut tidak memilih status atau dari kelompok mana ia akan lahir.

Ringkasnya, memperlakukan kritik sebagai ancaman sangatlah keliru. Apalagi orang itu adalah orang yang katanya menginginkan lompatan kemajuan atau yang mendaku hidup sebagai bagian peradaban akademik pada perguruan tinggi.

Apabila perguruan tinggi, baik institusi maupun oknum-oknumnya, terus-menerus menempatkan kritik sebagai ancaman kemapanan kekuasaan, maka sudah selayaknya perguruan tinggi tidak lagi dipandang sebagai rumahnya para intelektual melainkan rumahnya para intelektual despotik. Jika mereka secara terang-terangan menunjukan diri sebagai perpanjangan tangan kekuasaan partisan, maka sudah selayaknya pula tri dharma perguruan tinggi diganti dengan tri dharma penghambaan terhadap kekuasaan. (*)

Ilustrasi oleh @teawithami

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *