Pernah suatu ketika saya mendengar seorang ibu berkata, “rasanya sedih hati saya ketika melihat seorang anak perempuan baru dilahirkan. Seolah-olah sudah terbayang beban berat yang akan dia pikul.” Beban berat yang dimaksud ibu itu saya tidak tahu betul maknanya. Namun, tentu beban berat yang dimaksudnya sesuai dengan yang ia alami atau yang ia ketahui sebagai perempuan. Setiap perempuan tentu merasakan beban yang berbeda dalam hidupnya.
Bagi Rabiah, beban berat yang dipikulnya sebagai anak perempuan keturunan ketujuh dalam Ranji Rangkayo ialah kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh. Rabiah merupakan tokoh utama dalam novel Segala yang Diisap Langit karya Pinto Anugrah. Rabiah mendapatkan peringatan dari ibunya.
“Ingat, kau adalah keturunan ketujuh, dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Namun, kau masih bisa dapat menghindarinya, kau masih bisa menyelamatkan keberlansungan rahim ini dengan cara menjaga kemurnian rahim dan darah yang akan menetes di dalamnya” (Pinto, 2021:17).
Pesan menjaga kemurnian rahim itu yang mendorong Rabiah menjalani hubungan terlarang dengan Magek Takangkang (saudara laki-laki seibunya), selain juga karena cinta. Hubungan itu tentu terlarang, baik menurut agama islam (yang menjadi agama dari kedua tokoh tersebut) maupun menurut adat Minangkabau. Namun, hal itu tak dihiraukan oleh Rabiah sebab yang ia pikirkan hanyalah pesan ibunya bahwa ia harus mencintai saudara laki-lakinya karena dialah yang akan menjaganya, bukan suaminya. Selain itu, Rabiah juga harus memiliki anak perempuan agar keturunan Rangkayo tidak punah. Pesan inilah yang kemudian menjadi beban berat dalam kehidupan Rabiah.
Rabiah menafsirkan menjaga kemurnian rahim dengan kawin bersama Magek Takangkang tanpa menikah. Ia hamil dan melahirkan anak laki-laki yang tidak sehat secara mental bernama Karengkang Gadang. Hal itu tentu hanya menambah beban bagi dirinya, baik secara fisik maupun mental.
Akan tetapi, mengapa seolah-olah hanya Rabiah yang memikirkan semua masalah di Rumah Gadang Rangkayo? Tidakkah Magek Takangkang seharusnya juga memikirkan Rumah Gadang Rangkayo karena ia Datuk di Rumah Gadang itu dengan gelar Datuk Raja Malik? Jika dipikirkan lebih lanjut, seharusnya sang ibu tidak hanya berpesan kepada Rabiah saja. Ia juga harus meninggalkan pesan kepada Magek Takangkang yang merupakan anak laki-lakinya bahwa ia harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Datuk di Rumah Gadang Rangkayo ini dengan menjaga anak kemenakan, menjaga saudara perempuannya, menjaga keberlansungan Rumah Gadang, serta menjaga harta pusaka.
Sayangnya, semua tanggung jawab itu seolah-olah hanya dibebankan pada Rabiah. Bahkan ketika ia hamil dari saudara laki-lakinya, Magek Takangkang, ia sendirilah yang harus mencari jalan keluarnya, sementara Magek Takangkang pergi menjual emas ke bendar-bandar dagang sambil bersenang-senang.
Rabiah lalu menikah dengan Gaek Binga untuk menutupi kehamilannya dari hubungan terlarang itu. Tak lama kemudian mereka bercerai. Ia menikah lagi dengan Tan Amo untuk mendapatkan anak perempuan, juga untuk mempertahankan harta pusakanya. Dalam keadaan seperti itu, Magek Takangkang dengan mudahnya menghilang, meninggalkan Rabiah seorang diri.
Magek Takangkang melepaskan dirinya dari tanggung jawab sebagai Datuk di Rumah Gadang Rangkayo. Ia juga melepaskan tanggung jawabnya sebagai ayah dari Karengkang Gadang. Rabiahlah yang akhirnya menanggung semua akibat dari perbuatan mereka berdua.
Terlihat sekali beratnya beban yang ditanggung Rabiah sebagai anak perempuan dengan beban Magek Takangkang sebagai anak laki-laki. Ketidakadilan tersebut tergambar jelas di akhir cerita, ketika Magek Takangkang telah menjadi Kasim, sebagai penanda ia bertobat dari dosa-dosanya. Ia ingin menghapuskan dosanya dengan menyalahkan semua kejadian itu kepada Rabiah sebagai perempuan. Ia ingin melenyapkan Rabiah, Karengkang Gadang, serta melenyapkan semua yang ada di dalam Rumah Gadang Rangkayo Bungo Rabiah, lebih dari itu ia ingin menghancurkan sistem matrlineal itu sendiri—sesuatu yang deminya Rabiah rela menanggung beban demikian berat.
Sebelum melenyapkan semuanya, Kasim sempat berkata kepada Rabiah “Kau dan aku, kita memang berasal dari ibu yang sama, tapi siapa bapak kita? Oh, oh, tidak! Kita tidak berasal dari bapak yang sama. Begitulah perangai ibu kita. Betul bukan? Dan, juga perangaimu! Lihat!” (Pinto, 2021:109).
Kalimat tersebut sungguh sangat menggambarkan bagaimana seorang laki-laki melempar tanggung jawabnya (termasuk dosanya) kepada seorang perempuan. Magek Takangkang kawin dengan Rabiah itu dengan dasar kesukaan satu sama lain, tetapi saat akibat dari perkawinan tersebut sudah ada, Magek Takangkang justru merendahkan Rabiah, ia menganggap Rabiahlah (dan sistem matrilineal) yang salah sehingga hal itu terjadi. Setelah itu, Magek Takangkang pun bahkan mengatakan bahwa ia harus meluruskan keluarga Rangkayo agar tidak menjadi kafir.
Tobatnya yang selama ini telah ia lakukan membuatnya merasa lebih suci sehingga dengan mudah mengkafirkan orang lain. Ia menganggap Rabiah kafir, lalu datang dengan kekuasaan merasa bertanggung jawab untuk meluruskan hal itu. Padahal semestinya, sejak awallah ia harus bertanggung jawab membimbing keluarga Rangkayo agar tidak ‘kafir’ (seperti dalam penilaiannya).
Cerita dalam novel tersebut sebagai sebuah karya sastra tentu mengandung unsur yang bersifat universal. Walaupun yang diceritakan ialah kehidupan Rabiah dan keluarganya di masa lalu, tetapi cerita ini juga memberi gambaran kehidupan perempuan-perempuan Minangkabau dalam kehidupan nyata hari ini serta hubungannya dengan sistem matrilineal.
Secara khusus, melalui novel tersebut dapat dilihat bahwa matrilineal di Minangkabau itu adalah sistem keturunan atau sistem kekerabatan. Matrilineal tidak sama dengan matriarkat yang menjadikan perempuan sebagai kepala keluarga. Dalam kenyataan pun perempuan di Minangkabau masih diwakili oleh laki-laki sebagai Datuk, meskipun posisinya dalam sistem kekerabatan cukup kuat. Lebih lanjut, Syahrizal (2005:3) bahkan menjelaskan bahwa dalam struktur sosial Minangkabau perempuan peranannya sebenarnya berada pada ranah domestik. Cara pandang terhadap perempuan juga bias gender. Kemuliaan mereka diukur dengan menempatkan mereka sebagai objek laki-laki. Hal tersebut bisa dilihat misalnya dalam Sumbang Duo Baleh dimana mulia-tidak mulianya perempuan dinilai dari tingkah lakunya di hadapan pra–bukan dinilai berdasarkan kontribusinya dalam memeprtahanakn sistem matrineal atau kapasitas intelektualnya.
Lihatlah Rabiah! Beban utama yang ia pikirkan ialah berusaha untuk melanjutkan keturunan Rangkayo. Dalam pernikahannya, ia tidak memikirkan cinta yang didapat dari suaminya. Ia tidak memikirkan kebahagian yang semestinya ia dapatkan. Ia tidak mempermasalahkan Tan Amo, suaminya, memiliki banyak istri. Ia pun tidak mempermasalahkan ketika Tan Amo berselingkuh dengan Jintan Itam, meski Jintan Itam hanyalah ‘anak pungut’. Rabiah telah melepaskan hasrat dan keinginannya sebagai individu, sebagai seorang perempuan demi Ranji Keluarga Rangkayo, demi matrilineal, dan akhirnya demi Minangkabau itu sendiri.
Itu semua adalah harga yang harus dibayar Rabiah sebagai perempuan Minangkabau; ia telah menjadikan dirinya objek, yaitu objek pelanjut keturunan Rumah Gadang Rangkayo.
Kehidupan Rabiah ini bisa dilihat sebagai manifestasi dari kehidupan perempuan-perempuan Minangkabau. Sampai saat ini, di Minangkabau masih diberlakukan sistem kekerabatan matrilineal. Itu bukanlah hal yang salah. Sayangnya, walau harus membayar harga yang mahal demi kelangsungan Minangkabau, kemuliaan perempuan masih tetap diukur dari ranah domestik, meski telah banyak orang-orang yang dianggap telah terdidik di Minangkabau. Kemuliaannya dalam sistem matrilineal, justru membuat perempuan dijadikan sebagai sekedar objek, sebagai sebatas pelanjut keturunan. Posisi perempuan sebagai objek juga masih terus-menerus diperkuat oleh sikap-sikap patriarki.
Tidak hanya itu, sistem matrilineal juga tidak menjamin bebasnya perempuan dari kekerasan seksual. Seperti banyak diberitakan media akhir-akhir ini, kekerasan seksual terhadap perempuan di Sumatera Barat terus meningkat dari tahun ke tahun. Kekerasan seksual itu tidak hanya terjadi dalam arti harfiah, ada juga yang mengalami kekerasan secara verbal serta kekerasan di dunia maya.
Menjadi perempuan Minangkabau tidak lantas membuat seorang menjadi aman. Ini merupakan semacam paradoks, atau bahkan ironi. Di satu sisi, mereka harus berkorban, secara sadar atau tidak sadar, demi kelangsungan sistem matrilineal seperti yang dillakukan Rabiah. Di sisi lainnya, apa yang mereka pertahankan belum tentu bisa diandalkan saat mereka berhadapan dengan kekerasan seksual.
Namun itu tidak berarti bahwa situasi harus dibalikkan 180 dejarat, dan para perempuan kemudian berkuasa secara mutlak. Tentu yang paling baik ialah kesetaraan di antara perempuan dan laki-laki dengan kompromi yang juga baik satu sama lain. Kompromi yang sesuai dengan falsafah Minangkabau bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik, nan bulek samo kito golongkan, nan picak samo kito layangkan.
Sumber Referensi:
Anugrah, Pinto. 2021. Segala yang Diisap Langit. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Faruk. 2019. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. “Semiotika: Teori Metode dan Penerapannya dalam Sastra”. Humaniora, no. 10, hal. 76-84.
Syahrizal. 2005. “Peran dan Posisi Perempuan Minangkabau dalam Kelembagaan Nagari”. International Symposium of the journal ANTROPOLOGI INDONESIA: 1-17.
Editor: Randi Reimena
Ilustrasi: Amalia Putri