Salah satu cara membuktikan ketidakwarasan di Kota Padang adalah dengan membuka toko buku, ucap seorang penulis cum budayawan sekitar akhir tahun 2019. Pernyataan itu disampaikan pada suatu malam ketika merayakan pembukaan toko buku alternatif di kawasan Pauh; bagian Kota Padang yang dalam catatan Rusli Amran dipadankan sebagai “kota pahlawan”-tapi bukankah kepahlawanan begitu peyoratif, Rusli? Kalimat itu kemudian tumbuh bagai nubuat, dan toko buku alternatif tersebut harus mengalah dari desakan zaman yang lebih menghendaki konsep jual-beli daring. Namun itu hanya sebagian dari kenyataan pahit bahwa di Padang, kota yang dalam umpatan Fatris M.F. disebut begitu semrawut ini, membaca adalah perbuatan tidak berguna. Dan tentu, membeli buku adalah sebuah keputusan sia-sia. Bukankah lebih baik membeli hal lain yang dapat mengisi lambung?
Kenyataan itu dapat ditinjau dari betapa warga Kota Padang, yang mengaku telah pandai sejak dalam kandungan itu, mempercayai bahwa di kota ini memang pernah benar-benar hidup perempuan bernama Sitti Nurbaya yang membuat seorang pemuda mengalami percintaan sepahit pati empedu. Perempuan culas yang mengkhianati cinta Samsul Bahri dan merelakan kerampang pesisirnya disenggamai oleh cukong tua bernama Datuk Maringgih. Sebuah kisah cinta khianat yang dielu-elukan sebagai kenyataan yang lebih nyata dibanding kepandiran yang tegak di hadapan batang hidungnya. Dan warga kota ini niscaya juga mempercayai bahwa di bahu bukit yang disebut gunung di pesisir Kota Padang itu disemayamkan jasad Nurbaya.
Bahkan warga kota yang mengaku telah menamatkan Kitab Segala Bisa sebelum umat manusia memasuki priode aksara ini tidak menyadari bahwa Sitti Nurbaya, perempuan oportunis itu, hanyalah tokoh rekaan seorang dokter hewan cum penulis bernama Roesli. Roesli, laki-laki yang lahir dari pernikahan seorang bangsawan dengan perempuan biasa sehingga bergelar Marah. Marah Roesli menulis roman Sitti Nurbaya dengan memanfaatkan peristiwa Perang Kamang, atau perang pajak belasting, di dataran tinggi Minangkabau sebagai antiklimaks cerita. Dan warga Kota Padang mengimani tokoh utama novel itu, tentu saja karena mereka mendaku begitu banyak membaca.
Dan di tengah kenyataan itulah Pustaka Steva berdiri. Apakah yang kau harapkan dari kepandiran tingkat kota madya itu, Pais Tua? Berharap bisa naik haji karena bisnis toko buku di kota yang warganya hanya menyimpan buku nikah dan catatan hutang dari kedai sebelah?
Steva, barangkali adalah bentuk bahasa slank dari Siteba, nama wilayah di Kota Padang di mana toko buku ini berlokasi. Menurut cerita yang diriwayatkan oleh Imam Besar Mazhab Al-Sitebawiyah, Fatris M.F., Siteba berasal dari bahasa Nias, sitebai atau stebai yang berarti tanah rawa. Bila ditinjau dari sisi sejarah kota dan toponimi, pemerintah kolonial Hindia Belanda yang terkenal pelit itu memang pernah mengangkut ribuan jiwa dari pulau Nias ke Padang untuk mengurusi pala, cengkeh dan akasia atau komoditas lainnya yang ditanami di bukit-bukit sekitar Gunung Padang. Selain dilokalisasi di area perbukitan di tepi Sungai Batang Arau, mereka ditempatkan jauh dari pusat Kota Padang yang kala itu berada di sekitar bantaran Sungai Batang Arau yang keruh, dan Siteba memang berada 10 kilometer jauhnya dari bau amis Batang Arau. Pendeketan toponimi barangkali bisa dicocoklogikan dengan anekdot warga Kota Padang yang kerap menilai Siteba adalah singkatan dari Siap Terima Banjir. Anekdot itu bisa dipertemukan dengan seringnya kawasan perumahan Siteba tergenang tiap musim penghujan, ciri khas bagi wilayah rawa yang dijadikan permukiman. Belajarlah dari wartawan Fachri Hamzah, betapa nama bisa menjadi objek cocoklogi. Bukankah warga Kota Padang hanya butuh kebohongan yang disampaikan berulang agar menjadi sebuah kebenaran?
Di lokasi itulah Pustaka Steva berdiri, dalam gang dan berbagi lahan dengan sekolah tinggi pencetak tenaga kesehatan incaran pria-pria militer berseragam ketat. Mens sana in corpore sano. Mampukah bertumpuk-tumpuk buku yang laju jual-belinya bisa ditikung oleh seekor bekicot menyehatkan cara berpikir warga kota pesisir yang congkak, Uyung Tua?
Dan di tengah kenyataan itu Pustaka Steva bertahan dengan cita-cita muluknya mengamalkan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; mencerdaskan kehidupan bangsa, ungkap David Tomo dengan keyakinan hati seteguh batang kopi. Seteguh batang kopi yang sejak lama menjadikan Sumatera Tengah sebagai harapan akan hari baru di mata kolonial Belanda. Bulir-bulir buah kopi yang telah dikupas dan disangrai untuk kemudian digiling dan dijual dalam kemasan, di mana Tomo dengan ketelatenan seraya ketenangan setingkat Socrates menyeduhnya menjadi minuman pelerai haus bagi sejarawan Randi ‘Bandit’ Reimena yang menjadikan Pustaka Steva sebagai salah satu tirah permenungannya. Selain orang-orang komunis penyusun historiografi sejarah Indonesia dan dibunuh secara membabi-buta oleh negara beradab-berbudaya ini, bukankah buku juga telah berulang kali dibantai melalui sensor, pembredelan dan razia, Bandit?
Dan perut lapar belum juga terisi, sebab Tan Malaka memang menyabdakan lebih penting membangun perpustakaan ketimbang mengisi lambung. Berapa harga sepiring Soto Padang dan sepiring mie instan dengan nasi yang sudah sebulan belum dibayar Andreas Mazland karena ia terlalu sibuk belajar puisi agar dimuat Koran Tempo, Je Wanggay?
Dalam segala keruwetan itulah Pustaka Steva ada dan berusaha untuk terus berada. Menyediakan buku, buku, buku dan pembicaraan tentang bagaimana dunia semakin semrawut dalam khutbah Pais Tua. Berusaha bertahan dari ketakmengertian negara yang hendak mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara seraya menciptakan regulasi bernama Undang-Undang Sistem Perbukuan, namun menetapkan pajak besar bagi industri buku. Dan penulis kian hari semakin miskin lagi melarat. Lihat saja tatapan kosong Adi Osman yang sekosong kantong Edo Sapraja, dan negara masih menggerogoti hidup mereka yang melarat. Sudahkah Suryo Utomo, si Dirjen Pajak yang kaya itu, paham, bahkan Boy Candra sekalipun selalu tenggelam dalam permenungan mengingat besaran pajak dan pembajakan buku yang merajalela?
Apakah buku bisa mengenyangkan perut Aktor Teater cum penyair pensiunan macam Robby Satria? Paling-paling, buku hanya akan menambah pengetahuan untuk bahan lelucon sarkas bagi Pais Tua dan Dedy Arsya yang kini menulis puisi di tanah kaki Gunung Singgalang! Di negara ini orang-orang lebih butuh politik dan undang-undang untuk menentukan sekaligus menghancurkan hidup manusia-manusia melarat macam Andreas Mazland. Hei, sudah berapa helai rambut Iyut Fitra dan Sudarmoko habis karena memikirkan puisi dan laju kebudayaan yang nasibnya ada di atas meja Dinas Kebudayaan, sedangkan dana pembangunan Gedung Kebudayaan Sumbar dikorupsi?
Bukankah Alizar Tanjung telah mengajarkan kita betapa politik adalah permainan kepentingan bahkan terhadap hal paling profan sekalipun, Arif Purnama Putra? Lihatlah kerut kening di muka Rori Aroka yang senantiasa gelak-gelak rusuh tiap kali menyimak Chalvin Pratama Putra meriwayatkan nasib buruk percintaannya -yang tidak lebih baik dari nasib pedagang buku- dalam sebuah puisi yang tidak menjadi? Apa lagi guna toko buku, sedangkan penyair Esha telah menjual begitu banyak buku yang ia kumpulkan sejak belasan tahun lampau karena desakan hidup? Dan negara ini masih memelihara keyakinan bahwa pemerintah jor-joran membangun kebudayan dan merasa telah menyejahterakan para penulis dan pegiat budaya. Bahkan Zikri Almarhum, nabi palsu yang kita imani bersama itu, memilih nama belakang sebagai penanda bahwa ia telah berada di akhir zaman yang kembali jahiliyah.
Dan Pustaka Steva sudah berada di tahun kedua hidupnya. Usia yang bagi anak manusia tengah lucu-lucunya dan dibayangkan akan menjadi ini dan itu oleh orang tuanya yang bahkan hanya memiliki dua buah buku keluaran Kantor Urusan Agama. Dan Pustaka Steva masih benyawa. Menyalakan lampu, pendingin udara dan sinyal wifi gratis bagi penulis-penulis kere yang hendak mengirim tulisan ke media asuhan Ganda Cipta. Para penulis yang selalu ingin menulis entah karena nafsu atau ketagihannya namun tidak punya paket internet di ponselnya. Dan mereka akan terus berdatangan, Veky. Mencari sudut-sudut ramah bagi pecandu bacaan di kota melarat yang dicintai secara puitik oleh Rusli Marzuki Saria, namun justru ditinggalkan oleh Andini Nafsika yang ikut-ikutan pensiun menulis puisi. Lihat Pinto Anugrah yang meninggalkan kota laknat ini dan menemukan hidupnya di negeri sebelah namun tetap menulis. Adakah yang tahu keberadaan Holly Adib si Pendekar Bahasa yang hilang bagai disembunyikan Siampa?
Dan perlu jugalah kita bertanya pada Kangmas Thendra, apakah kelak Putra Nandito juga akan bernasib sebagaimana Pustaka Steva yang keras hati bertahan dalam nasib tak menentu? Sebagaimana takdir percintaannya yang keburu surut sebelum ditarik dalam satu malam gelombang pasang.
Bagaimanapun, tidak ada yang abadi; sebagaimana percintaan Muhaimin Nurrizqi yang tetap optimis akan menikah sebelum usia 30 tahun. Tapi setidaknya Pustaka Steva telah menjadi bagian dalam fase perjalanan hidup kita semua, dan menyusun sendiri riwayat kota ini dari lokasi tersembunyinya. Terima kasih atas segala hal baik seraya carut yang prosaik. Teruslah ada, berada dan bernyawa untuk tahun ketiga, keempat, kelima bahkan tahun-tahun kemudian setelah kematian Pais Tua yang diramalkan terjadi pada usia 96 tahun. Sudah berapa buku yang pernah handai tolan beli di Pustaka Steva, toko buku terlengkap se-Asia itu? Tunggu apa lagi, habiskan uangmu yang tak seberapa itu di Pustaka Steva, wahai masyarakat kota melarat! (*)