Artikel

Nasib Bumi di Tengah Pandemi

Hari Bumi baru saja berlalu. Hari Bumi atau Earth Day yang diperingati diseluruh dunia setiap tanggal 22 April itu ialah sebuah agenda tahunan yang ditetapkan secara Internasional untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap bumi, terutama untuk meningkatkan kesadaran publik akan lingkungan. Sejarah mencatat, peringatan Hari Bumi diselenggarakan pertama kali pada tanggal 22 April 1970 di Amerika Serikat. Saat itu jutaan orang turun ke jalan berdemonstrasi untuk menentang pengrusakan lingkungan serta mengkampanyekan pentingnya menjaga keberlangsungan lingkungan. Saat itu 1.500 perguruan tinggi dan 10 ribu sekolah ikut berpartisipasi. Majalah TIME memperkirakan bahwa sekitar 20 juta orang atau sekitar 10 persen dari populasi penduduk Amerika Serikat turun ke jalan pada saat itu.

Satu dekade sebelum persitiwa bersejarah itu terjadi, pada 1960-an, embrio gagasan Hari Bumi telah tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat, ketika orang-orang mulai sadar tentang efek pencemaran lingkungan. Kesadaran orang-orang ini disebabkan oleh beberapa peristiwa.

Dua peristiwa di antaranya ialah: pertama terbitnya sebuah buku yang berjudul Silent Spring karya Rachel Carson pada tahun 1962, yang membahas soal bahaya peptisida di pedesaan Amerika Serikat; dan kedua kebakaran besar yang terjadi di Sungai Cuyahoga Cleveland yang disebabkan oleh pembuangan limbah kimia ke Sungai. Kemudian, pada tahun 1969 mulailah bermunculan aktivis peduli lingkungan yang fokus pada isu-isu pencemaran lingkungan berskala besar.

Salah satu orang yang saat itu sangat vokal menyuarakan isu-isu lingkungan dan giat menyuarakan kalau planet ini sedang tidak baik-baik saja adalah Gaylord Nelson–seorang Senator Amerika Serikat yang juga seorang Pengajar Lingkungan Hidup. Nelson kemudian menjadi salah satu orang yang mengembangkan gagasan Hari Bumi, dia mengumumkan konsep Hari Bumi di sebuah konferensi pers di Seattle pada musim gugur 1969. Ternyata gagasannya disambut baik oleh masyarakat. Dukungan pun terus mengalir hingga mencapai puncaknya dengan digelarnya peringatan Hari Bumi yang monumental itu. Perayaan Hari Bumi saat itu juga menjadi tonggak berlakunya undang-undang lingkungan hidup di Amerika Serikat. Sejak saat itu, peringatan Hari Bumi terus tumbuh dan dikenal dunia.

Tahun ini setengah abad sudah dunia memperingati Hari Bumi. Namun peringatan Hari Bumi tahun ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, karena diperingati saat penghuni Bumi tengah berduka dan terancam oleh pandemi Covid-19. Corona Virus Disease atau Covid-19 adalah sebuah virus jenis baru yang terdeteksi pertama kali pada akhir tahun 2019 di Wuhan China. Sejak pertama kali terdeteksi virus ini dalam hitungan hari menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru dunia dan ditetapkan sebagai pandemi. Ironisnya di tengah duka dan ancaman yang menimpa penghuninya, nasib bumi di masa pandemi justru menunjukkan perbaikan.

Salah satu perbaikan yang mencolok antara lain ialah perbaikan kualitas udara. Kualitas udara membaik disebabkan oleh berkurangnya tingkat polusi dan emisi global yang terjadi karena banyaknya aktivitas produksi dari berbagai industri yang di hentikan selama pandemi. Selain itu juga disebabkan oleh penurunan penggunaan kendaraan baik pribadi maupun umum termasuk menurunnya intensitas penerbangan antar wilayah dan negara. Hal tersebut di picu oleh beberapa kebijakan yang di terapkan oleh banyak negara untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kebijakan tersebut seperti Social Distancing dan Lockdown yang berimplikasi mengurangi atau bahkan menghentikan aktivitas manusia di luar rumah.

Tapi tunggu dulu. Ternyata perbaikan yang dialami bumi saat ini menuntut kita agar tidak terlalu berharap lebih, karena perbaikan ini diyakini para pengamat tak akan bertahan lama, apalagi bila pandemi ini sudah berakhir kelak. Contohnya, di Wuhan tingkat emisi karbon yang turun drastis pada masa-masa awal krisis Covid 19, kini meningkat lagi setelah kebijakan Lockdown dicabut pada 8 April lalu.

Di sisi lain pandemi Covid-19 ternyata membuat bumi menghadapi ancaman baru yang kelak akan berpotensi memberi dampak yang sangat berbahaya bagi mahluk hidup dan lingkungan. Ancaman tersebut adalah limbah medis. Tingginya jumlah pasien positif Covid-19 berbanding lurus dengan jumlah limbah medis yang dihasilkan di seluruh Dunia. Limbah medis masuk dalam golongan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang penanganan dalam pembuangannya tidak boleh sembarangan. Terlebih lagi limbah medis penanganan pasien Covid-19 umumnya di dominasi oleh benda-benda berbahan plastik. Mulai dari masker, medical face shield, sarung tangan, alat pelindung diri (APD), ruang perawatan pasien, hingga kantong bantuan untuk donasi pandemi banyak komponennya yang terbuat dari plastik.

Mengingat selama ini plastik merupakan salah satu penyebab masalah lingkungan yang serius, limbah medis penanganan Covid-19 yang umumnya didominasi berbahan plastik ini perlu diatur pengelolaannya dengan baik oleh pihak Rumah Sakit, serta harus di awasi dengan serius oleh pemerintah tiap-tiap negara di dunia. Jika perlu pemerintah harus membuatkan sebuah kebijakan khusus untuk permasalahan ini. Jangan sampai limbah medis yang tergolong limbah B3 ini berakhir di sungai, laut atau menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA). Kita harus memastikan di kemudian hari limbah medis ini tidak menjadi masalah baru bagi mahluk hidup ataupun lingkungan. Saat ini tidak hanya pandemi yang harus segera dibasmi tetapi juga perilaku abai yang nantinya berpotensi menambah kerusakan di atas bumi ini. (*)

 

Ilusitrasi oleh: Amalia Putri

Editor: Randi Reimena

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *