Artikel

Menyaksikan Pemakaman KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berada di titik penghabisan. Setelah fondasinya dibongkar paksa melalui revisi terhadap undang-undangnya, kini beberapa pegawai KPK dipaksa untuk angkat kaki dari Gedung Merah Putih. Tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadi alasan untuk mendepak orang-orang tersebut. Ketika sudah sampai di situasi seperti ini, tidak ada salahnya untuk menyiarkan kabar kepada kawan lain dan segera menyiapkan pakaian hitam untuk mengadiri pemakaman KPK.

Berdasarkan penelusuran Koran Tempo, ditemukan sebanyak tujuh puluh lima pegawai komisi antirasuah dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak lulus TWK tersebut. Sebagian besar dari mereka adalah penyidik dan penyelidik senior di KPK, dan salah satunya adalah Novel Baswedan (Koran Tempo, 04/05). Walaupun Pimpinan KPK sempat bungkam hingga mengelak terkait dengan kabar tersebut, namun semuanya terbuka pasca pengumuman resmi tentang para pegawai yang tidak lulus tes tersebut. KPK akhirnya membebastugaskan tujuh puluh lima pegawai yang tidak memenuhi syarat tersebut (kompas.com, 16/05).

Sedari awal alih status pegawai ini merupakan langkah strategis untuk melemahkan dan menghentikan gerak KPK. Pegawai internal yang awalnya direkrut secara mandiri oleh KPK, akhirnya sekarang beralih status menjadi ASN sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 1 angka 6 UU KPK pasca perubahan. Alih status pegawai yang awalnya direkrut secara mandiri oleh KPK dan saat ini berubah menjadi ASN merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh revisi UU KPK. Undang-undang pasca perubahan tersebut mengubah posisi KPK yang awalnya berdiri secara independen, sekarang harus rela berada dibawah cabang kekuasaan eksekutif. Sebagai aturan pelaksana, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2020 yang menetapkan pegawai KPK sebagai ASN.

Status ASN yang melekat pada pegawai KPK merupakan salah satu cara untuk menghilangkan independensi KPK. Yulianto (2020) menjelaskan bahwa salah satu ciri dari konsep lembaga negara yang independen adalah kemandirian dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dimilikinya dan ini sepertinya yang tidak ingin dihadirkan oleh pengambil kebijakan politik saat ini. Selama ini pengelolaan kepegawaian KPK dikelola secara profesional dan mandiri dengan ukuran kinerja yang jelas. Revisi undang-undang KPK mengakibatkan status kepegawaian KPK tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan setiap kebijakan mutasi dan rotasi jabatan harus berkiblat ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN RB).

Melalui posisi kelembagaannya saat ini, bukan tidak mungkin pada suatu waktu pegawai KPK akan ditarik dan dimutasi sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa. Pemerintah melalui Kementerian PAN RB akan sangat mudah mengintervensi pegawai KPK dengan dalih rotasi atau mutasi ke posisi bahkan ke lembaga lain. Kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk mengubah komposisi pegawai dapat menjadi alat untuk menggerus independensi dan integritas dari dalam tubuh KPK.

Pegawai KPK merupakan mesin penggerak dalam melakukan pemberantasan korupsi, sekaligus menjadi barisan terdepan yang selama ini menjaga independensi KPK. Mereka tidak hanya mengorbankan waktu, tenaga, hingga pikiran dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Beberapa orang harus mempertaruhkan nyawa hingga kehilangan organ tubuhnya. Namun, balasan yang diberikan oleh negara adalah mencabut mereka dari lembaga antirasuah tersebut.

Putusan Mahkamah: Menyelamatkan dan Membunuh KPK

“Sudah Sekarat, Bubarkan Saja,” ucap Zainal Arifin Mochtar. Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada tersebut menggaungkan usul pembubaran KPK yang ada saat ini, lalu membentuk lembaga antirasuah yang baru. Sebuah dekonstruksi radikal yang dapat dimaklumi. KPK hari ini telah ditelanjangi, tidak ada lagi marwah dalam gerakan pemberantasan korupsi. Kelembagaan KPK tidak hanya digerogoti dari dalam tubuhnya sendiri, hingga hantaman terakhir datang dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Melalui Putusan MK Nomor 79/PUU-XVII/2019 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang merupakan uji formil dari tiga orang eks pimpinan KPK yaitu Agus Rahardjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang memutus untuk menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. MK beranggapan bahwa tidak terdapat pelanggaran dalam proses perubahan UU KPK.

Selain menguji proses perubahan UU KPK, MK juga memutus atas permohonan uji materil terkait dengan muatan isi yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Walaupun terdapat permohonan yang dikabulkan sebagian oleh mahkamah, namun salah satu ketentuan bermasalah yang ditolak dan dinyatakan konstitusional adalah Pasal 24 UU KPK terkait status kepegawaian lembaga yang harus menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi ASN dan Dewan Pengawas KPK, karena keduanya memiliki peran untuk saling melengkapi. Putusan yang cukup kontroversial di tengah masalah yang mencuat di internal KPK.

Putusan MK menjadi penguat argumen pembentuk undang-undang untuk tetap menjalankan ketentuan bermasalah yang terdapat pada undang-undang. Di sisi lain, masyarakat menyadari bahwa MK tidak lagi bisa diharapkan untuk memberikan keadilan subtantif. Mahkamah berakhir menjadi pemberi stempel terhadap undang-undang bermasalah yang dibuat oleh DPR bersama dengan presiden. Hal yang mengkhawatirkan jika MK masih seperti saat ini, karena masih terdapat beberapa undang-undang krusial yang saat ini sedang diuji. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Terlalu naif untuk menyebut bahwa hal yang terjadi saat ini hanya sebatas upaya pelemahan. Lebih jauh, rentetan serangan kepada lembaga antirasuah tersebut pasca perubahan UU KPK merupakan upaya pembunuhan. Upaya untuk menjadikan KPK sebagai rumah kosong yang hanya menjadi monumen pemberantasan korupsi. Tanpa independensi, jiwa, dan semangat pemberantasan korupsi.

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *