BILA sebuah dokumen berjudul Ringkasan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Daerah Istimewa Minangkabau* benar-benar sebuah luaran resmi dari pendukung setia pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM), maka sudah dapat dipastikan bahwa dokumen 23 halaman itu hanyalah sebuah pameran membuka celana di tengah gelanggang.
Dokumen itu diklaim oleh pembuatnya sebagai sebuah naskah akademik dan rancangan undang-undang, padahal isinya bisa disebut sebagai dokumentasi perangai buruk sebagian orang Minangkabau dalam membicarakan DIM. Sekumpulan perangai buruk yang dibungkus dengan bahasa yang seakan-akan ilmiah. Tulisan ini akan menjabarkan apa saja perangai buruk orang Minang yang terkandung dalam dokumen tersebut.
1. Gadang Bungkuih Tak Barisi
Dokumen ini menyaru sebagai ringkasan naskah akademik dan rancangan undang-undang. Tapi sungguh sukar ditemukan pembuktian akademik dari setiap klaim dan tawaran yang diajukan, apalagi kompentensinya sebagai “ringkasan” undang-undang. Agaknya, yang dimaksud “akademik” dalam naskah tersebut hanyalah adanya definisi, sumber kutipan, beberapa rujukan, dan kemudian klaim. Maka wajar bila kita kini mendapat kesan tegas bahwa anasir-anasir teks akademik seperti itu hanya digunakan sedemikian rupa untuk membuat dokumen itu tampak seakan-akan teks akademik.
Frasa “ringkasan naskah akademik” di judul dokumen tersebut tampak digunakan untuk menciptakan efek psikologis kepada para “pembaca awam”. Mereka berusaha meyakinkan pembaca bahwa setiap klaim di sana tak perlu diragukan lagi keabsahannya. Dan mungkin lebih jauh: frasa itu digunakan untuk meyakin-yakinkan pembaca bahwa dokumen tersebut merupakan produk intelektual yang dikerjakan secara serius oleh orang-orang kompeten di bidangnya. Selain itu, pencantuman kata “ringkasan” juga tampak sebagai benteng pertahanan bila ada yang mempersoalkan ketidakjelasan tertentu dalam naskah tersebut. Misalnya, bila di dokumen itu terdapat kurang bukti, maka bisa saja pengalihannya begini: toh itu hanya ringkasan belaka dan dalam versi penuhnya sebenarnya sudah tertera dengan jelas dan detail.
Hal di atas semakin kentara kita kesankan karena ringkasan itu berdiri sendiri tanpa kita tahu seperti apa versi lengkapnya. Suatu ringkasan tentu saja tidak mesti terpisah, melainkan berada di dalam dokumen lengkapnya. Sebab fungsi sederhana dari ringkasan bukan sebagai pengganti, melainkan sebagai etalase belaka dari versi lengkap. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya, sebuah ringkasan dan versi lengkapnya berada dalam dokumen yang sama, atau setidaknya terdapat rujukan jelas ke mana versi lengkapnya dapat ditemukan. Namun, bila terpisah tanpa ada jalur untuk membaca keduanya, maka tak dapat disangkal lagi bahwa “ringkasan naskah akademik” itu bukanlah ringkasan dari suatu naskah akademik yang sudah ada, melainkan hanya sekumpulan bahan mentah yang serba tidak cukup untuk membuat versi lengkap itu sendiri. Jadi, kata “ringkasan” di dokumen itu lebih tepat dipahami permainan bungkusan saja. Hanya dengan keberadaan naskah lengkaplah kita bisa mempertimbangkan ringkasan itu sebagai ringkasan.
2. Iyokan Nan Dek Urang, Laluan Nan Dek Awak
Dokumen ini menyatakan bahwa budaya matrilineal Minangkabau mengandung nilai feminisme karena budaya matrilineal itu menjadikan perempuan sangat berharga dan memosisikan perempuan memiliki hak-hak penuh di kalangan rumah. Selain itu, juga dikatakan bahwa penerapan ABS-SBK di Minangkabau telah membangun masyarakat yang toleran, menghargai perbedaan, saling asah, asih, dan asuh dalam keberagaman.
Tidak ada penjelasan yang memadai mengenai hubungan nilai feminisme dengan matrilinealisme dan hak penuh perempuan di kalangan rumah. Satu-satunya yang menghubungkan feminisme dan matrilinealisme dalam klaim di atas hanya soal perempuan saja. Keduanya, dengan suatu dan lain cara, bisa saja saling berhubungan ataupun bertolak belakang. Sayangnya, dokumen “akademik” itu tidak menjelaskan keterkaitan ataupun ketidakterkaitan keduanya secara jelas. Padahal, dalam kenyataannya, anasir-anasir matrilinealise itu turut digunakan untuk membatasi kekuasaan kaum perempuan, yaitu kekuasaan yang hanya boleh di rumah saja. Sedangkan di luar itu, kekuasaan milik laki-laki. Itukah yang dimaksud dengan hak perempuan dan feminisme?
Begitu juga soal ABS-SBK yang diklaim telah membangun masyarakat toleran di Sumatra Barat. Yang terjadi justru sebaliknya, ABS-SBK telah digunakan secara keliru, yaitu sebagai legitimasi untuk melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Sumatra Barat. Dalam beberapa tahun terakhir saja, lembaga survei nasional sudah membuktikan bahwa Sumatra Barat termasuk provinsi dengan tingkat intoleransi yang tinggi. Belum lagi kasus-kasus terakhir yang menjadikan ABS-SBK sebagai alasan untuk membungkam hak-hak kelompok lain.
Di dalam dokumen itu juga dinyatakan bahwa kalau DIM didirikan, maka DIM bertanggung jawab atas keserasian sosial, pertumbuhan ekonomi-pariwisata, dan pendidikan di Mentawai. Ini sungguh pernyataan pongah khas kaum mayoritas. Bahkan ketika DIM itu belum benar-benar didirikan, di dalam dokumen “akademik”-nya saja sudah kentara sikap superior terhadap etnis minoritas. Sangat jelas bahwa kelompok DIM ini merasa lebih paham dengan masa depan Mentawai daripada masyarakat Mentawai itu sendiri. Tanpa adanya suara dari Mentawai, mereka berani bicara mengatasnamakan kepentingan warga Mentawai. Justru, sikap-sikap seperti DIM inilah yang menyuburkan intoleransi di waktu belakangan di Sumatra Barat, yaitu sikap merasa lebih paham diri/kelompok/kebudayaan orang lain daripada orang itu sendiri. Dengan kata lain, pernyataan perihal keberagaman, hak perempuan, dan toleransi itu hanyalah klaim yang tidak jelas alas-bakulnya di ranah kenyataan.
Kini, kita bisa beranjak sedikit untuk menemukan apa sebenarnya fungsi dari pernyataan tersebut. Karena kelompok pendukung DIM bukan organisasi separatis, maka untuk meloloskan gagasan DIM mesti mendapatkan dukungan tertentu dari negara. Pada saat sekarang, negara sedang menggalakkan isu keberagaman, toleransi, dan pemberdayaan perempuan. Maka, mau tidak mau, kelompok DIM menyadari bahwa mereka harus tampak mendukung narasi tersebut.
Jadi, sekumpulan pernyataan dukungan terhadap masyarakat toleran dan hak-hak perempuan itu hanya tak-tik tipu daya belaka agar tujuan DIM bisa terselenggara secepat-cepat mungkin. Pokoknya, di-iya-kan saja dulu kemauan negara, kalau nanti tujuan sudah tercapai maka barulah kita jalankan kehendak kita sendiri. Karena adanya tendensi seperti itu, dokumen tersebut sesungguhnya sebuah contoh paling mutakhir perihal apa yang secara sarkas disebut sebagai tindakan “menghalalkan segala cara”. Hanya demi tujuan tercapai, mereka berani membutakan mata dan menulikan telinga dari kondisi riil yang terjadi di Sumatra Barat.
Sejauh yang terbaca dari dokumen itu, tak ada jaminan yang kongkret bila misalnya DIM benar-benar terlaksana mereka benar-benar akan peduli dengan isu keberagaman dan toleransi. Bagaimana kita bisa berharap akan adanya jaminan kongkret ketika di waktu yang sama “naskah akademik” mereka itu justru menutup mata dan telinga dari kasus intoleransi yang sungguh benar-benar terjadi secara masif di Sumatra Barat dalam beberapa tahun belakangan. Alih-alih formula DIM bisa menjadi solusi untuk persoalan intoleransi, “naskah akademik” yang mereka punya itu malah berdiri di atas pengabaian pada kasus intoleransi teranyar.
3. Minyak Habih Samba Ndak Lamak
Dokumen sebanyak 23 halaman itu merupakan “naskah akademik” yang akhirnya muncul setelah DIM digadang-dagangkan sejak tahun 2014. Sayangnya, “naskah akademik” itu tidak hanya tidak bisa membuktikan diri sebagai naskah akademik yang sebenarnya, tetapi juga hanya berisikan suatu daur ulang dari nomenklatur kebudayaan yang jauh dari kondisi Minangkabau hari ini: matrilinealisme, egaliter, tempat kelahiran pendiri bangsa, ABS-SBK, nagari, tanah ulayat, dan seterusnya. Dokumen itu jelas-jelas gagal menunjukkan sifat dinamis dari suatu kebudayaan. Sebagai kebudayaan yang terus berkembang, termasuk karena berbagai goncangan perubahan sejak era kolonial hingga sekarang, tentu niscaya adanya nomenklatur baru di dalam struktur Minangkabau itu sendiri. Minangkabau memang masih ada sampai sekarang, hanya saja Minangkabau sekarang bukanlah salinan utuh dari Minangkabau masa lalu.
Kalaupun masih ingin bicara matrilinealisme, maka perlu ditunjukkan matrilinealisme seperti apa yang terjadi sekarang. Bilamana bersikeras juga bercakap perkara sikap egaliter, maka mesti dijelaskan egaliter seperti apa pula yang terwujud saat ini. Jikapun masih mau bicara nagari, tentu wajib dijabarkan nagari yang serupa apa bentuknya pada masa kini, dan seterusnya. Namun, alih-alih menunjukkan secara ilmiah bagaimana kondisi nyata sebagaimana yang dimaksudkan, dokumen itu ternyata hanya bisa tertatih-tatih menggambarkan Minangkabau tak ubahnya seperti definisi buku pelajaran SD tentang keunikan budaya lokal di Nusantara.
Padahal, yang dibutuhkan dalam sebuah naskah akademik, salah satunya adalah kontekstualisasi gagasan DIM terhadap persoalan Sumatra Barat hari ini. Sebuah kontekstualisasi yang tepat bakal menunjukkan bahwa DIM adalah solusi bagi sekelumit persoalan di Sumatra Barat hari ini, namun isi dokumen itu ternyata hanyalah usaha memaksakan masa lalu Minangkabau sebagai masa kini Sumatra Barat. Lebih kurang, sudah 84 bulan DIM disorakkan sekeliling kampung. Entah berapa banyak menguras tenaga, pikiran, serta materi sambil menepuk-nepuk dada di depan umum. Ternyata, pendukungnya hanya menjajakan aki suak.
4. Dahan Tinggi, Panggalan Sayuik
Karena kegagalan dokumen itu sebagai naskah akademik (yang mesti berangkat dari situasi kontemporer Minangkabau), maka kini sungguh terang-benderang di depan mata kita, bagai bersuluh dengan matahari, para elit pendukung DIM selama ini hanya mengerjakan sesuatu yang tak terjangkau oleh mereka. Tanpa mengurangi rasa hormat pada akademisi senior yang berada di dalam gerakan DIM, kita sekarang dapat mengingatkan untuk kesejuta kalinya bahwa gagasan untuk menciptakan “masa depan lebih baik” untuk Sumatra Barat tidak bisa hanya menyandarkan diri pada sentimen kesukuan belaka.
Tidak ada yang salah bila seseorang ataupun sekelompok orang mempunyai rasa cinta yang begitu tinggi pada kultur lokalnya. Hanya saja, kita harus mengingatkan berkali-kali hal yang sudah jelas ini: Minangkabau bukanlah satu-satunya etnis di dunia ini, ia hanyalah salah satu. Setiap etnis, dan juga agama di dunia yang sangatlah luas ini, juga mempunyai kategori keistimewaan masing-masing. Dan soal keistimewaan-keistimewaan itu, tidak bisa dibanding-bandingkan mana yang lebih istimewa A atau B atau C dan seterusnya. Di tengah budaya patrilineal, tentu saja budaya matrilineal bisa ditampak-tampakkan sebagai sesuatu yang istimewa. Namun, itu tidak semerta-merta berarti budaya matrilineal paling istimewa secara penuh dibanding budaya lainnya. Di hadapan kategori keistimewaan budaya lain, budaya Minang juga akan tampak tidak ada apa-apanya.
Maka, daripada menepuk-nepuk dada dengan kebanggaan masa lalu, para elit intelektual DIM sebaiknya menjabarkan terlebih dahulu mengapa bentuk Provinsi Sumatra Barat sudah tidak relevan lagi saat ini dalam menjawab persoalan di Minangkabau hari ini. Tanpa penjelasan serupa itu, kita tak akan pernah benar-benar yakin bahwa DIM benar-benar dibutuhkan. Sebagai contoh, salah satu pertanyaan yang layak diajukan: Bagaimana hubungannya ketimpangan sosial yang semakin tinggi di Sumatra Barat dengan bentuk provinsi yang digunakan? Kalau misalnya memang terdapat hubungan tertentu di antara keduanya, dengan cara seperti seperti apa bentuk pemerintahan provinsi dan segala konsekuensi strukturalnya memberikan kontribusi besar pada ketimpangan sosial dan bagaimana DIM bisa menjadi solusi untuk persoalan tersebut? Dan mengapa hanya wacana keistimewaan serupa itu yang bisa menyelesaikan persoalan tersebut dibanding kemungkinan-kemungkinan formula lainnya?
Untuk menjawab pertanyaan itu (dan segala pertanyaan lainnya yang relevan dengan perkara hubungan antara bentuk pemerintah lokal dengan usaha meningkatkan kualitas hidup warganya) tidak bisa hanya dengan bermodalkan nama-nama besar, mental orang kalah, kejiwaan yang selalu memosisikan diri sebagai korban yang paling korban, rasa bangga yang kebablasan terhadap etnis sendiri, ujaran kebencian pada suatu sosok, dan kepercayaan diri yang berlebihan bahwa budaya Minangkabau sudah mahasempurna sedemikian rupa.
Sumatra Barat tak kekurangan ilmuwan dari berbagai latar belakang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Mereka itulah yang dapat menjadi penyokong utama untuk menentukan apakah DIM benar-benar diperlukan atau tidak sama sekali. Dan katakanlah kalau memang DIM sangat dibutuhkan, maka pada merekalah kita minta apa yang disebut sebagai “naskah akademik” dan “undang-undang” itu. Ini merupakan tugas yang berat dan memakan waktu yang lama. Yang jelas: tugas sebesar ini tidak bisa diselesaikan hanya sedikit orang saja, apalagi cuma 16 orang yang sebagian besarnya tidak jelas penjabaran kompetensinya.
Lalu, kalau memang benar-benar dibutuhkan, DIM semestinya muncul dari bawah (masyarakat) ke atas, bukan dari atas (elit intelektual) yang mengatasnamakan masyarakat Minangkabau. Ini tak cukup hanya dengan klaim belaka. Jangan mentang-mentang kita merasa intelektual, lalu kita menganggap masyarakat Minangkabau cukup diwakili oleh kita-kita saja. Ini bukan zamannya intelektual sebagai komando. “Sebodoh-bodohnya” masyarakat, bukan berarti keterlibatan mereka dalam menentukan negeri mereka diwakili kaum yang mengaku terpelajar belaka.
Dan dokumen “naskah akademik” dan “undang-undang” DIM itu dengan gamblang menunjukkan rasa percaya diri yang kebablasan dari kaum intelektual Minangkabau dalam menentukan nasib negerinya. Tragisnya, rasa percaya diri terlalu tinggi itu berbanding terbalik dengan kualitas dokumen yang mereka usung.
AKHIR KATA, kita masih boleh berharap bahwa dokumen itu bukan luaran resmi dari elit pendukung DIM. Sebab, kalau itu memang benar-benar hasil pikiran terbaik yang pernah diurung-rembukkan, maka sebagaimana disebutkan di awal tulisan, mereka hanyalah sedang melakukan pameran membuka celana di tengah gelanggang. Bukannya berhasil meyakinkan masyarakat secara ilmiah bahwa DIM benar-benar mendesak untuk diberlakukan, mereka malah merayakan kebuntuan intelektualitas dalam menganalisa persoalan demi persoalan kongkret di Minangkabau hari ini. ****
Ilustrasi: Amalia Putri
* Dokumen tersebut disusun di Jakarta tertanggal 20 Maret 2021 dan mengatasnamakan Tim Penyusun yang berjumlah 16 orang.