Sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, perkembangan serta dampak yang ditimbulkan oleh Corona Virus Disease Tahun 2019 (Covid-19) makin meningkat. Beberapa permasalahan muncul akibat langkah yang di ambil oleh pemerintah dalam menangani pandemi ini. Kita bisa mulai dari bagaimana cara pemerintah menanggapi persoalan Covid-19.
Beberapa langkah preventif telah coba dilakukan oleh Pemerintah. Salah satunya adalah dengan himbauan untuk melakukan physical distancing. Selain menerapkah hal tersebut, muncul anjuran bagi setiap orang untuk melakukan self isolation. Serta work from home bagi pekerja di berbagai instansi pemerintahan hingga swasta. Beberapa himbauan tersebut dipercaya akan mampu memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun karena dianggap tak mampu untuk menahan laju peningkatan angka kematian, muncul opsi untuk melakukan lockdown di beberapa daerah yang dianggap sebagai episentrum penyebaran Covid-19, seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.
Kalau tidak mencari di google atau dalam Kamus Bahasa Inggris, mungkin saya tidak akan mengetahui, apa sebenarnya maksud dari berbagai himbauan pemerintah tersebut. Tidak ada penjelasan memadai dari pemerintah tentang apa yang dimaksudnya dengan physical distancing atau lockdown. Ini menyiratkan suatu ketergesaan atau kegamangan pemerintah di hadapan krisis. Secara sederhana, physical distancing merupakan sebuah upaya untuk menjaga jarak aman dengan orang lain. Dilanjutkan dengan menghindari kerumunan dan berdiam diri di rumah (self isolation). Pekerja pun diberikan kemudahan untuk dapat berdiam diri dengan mengerjakan pekerjaannya di rumah (work from home). Terdengar seperti liburan, tapi sama sekali bukan.
Tidak semua orang dapat bekerja dari rumah. Seperti buruh, karyawan bank, hingga pekerja yang menerima penghasilan harian. Mereka tak dapat menyamankan diri di dalam rumah, karena harus tetap berjibaku bekerja di tengah ancaman Covid-19. Berbagai dinamika tersebut akhirnya memunculkan opsi agar pemerintah melakukan lockdown.
Istilah lockdown menjadi popular pada saat Pemerintah Cina mengisolasi Wuhan di Provinsi Hubei setelah virus corona jenis baru menyebar pada awal Januari 2020. Diikuti oleh Pemerintahan Italia yang memberlakukan lockdown sejak sejak 10 Maret lalu. Hal tersebut diberlakukan di dua puluh enam provinsi di Italia.
Berdasarkan praktik lockdown di Cina dan Italia, untuk Indonesia kita dapat merunut pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Nasional). Pada pasal 1 undang-undang tersebut dijelaskan bahwa Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Karantina kesehatan dibutuhkan untuk menutup akses penularan virus di luar wilayah yang menjadi episentrum pandemi. Terdapat tiga kategori isolasi yang dilakukan dalam karantina kesehatan yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.
Sebagai usaha pencegahan penularan Covid-19, Pemerintah Indonesia hanya mengeluarkan imbauan untuk melakukan karantina mandiri di rumah. Hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai karantina rumah yang dimaksud dalam UU Kekarantinaan Nasional. Karena tidak ada tanggung jawab pemerintah pusat ketika masyarakat melakukan karantina diri secara mandiri. Bahkan hingga lebih dari empat belas hari.
Ketika pemerintah mengambil sikap tegas dan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, maka frasa karantina rumah tidak dapat dilakukan secara masif seperti yang terjadi saat ini. Karena karantina rumah hanya perlu dilakukan pada situasi ditemukannya kasus kedaruratan kesehatan masyarakat yang terjadi hanya di dalam satu rumah.
Namun dalam keadaan saat ini, ketika telah terdapat peta wilayah yang menjadi episentrum penularan Covid-19, maka tindakan yang harus diambil adalah karantina wilayah. Karena dengan dilakukannya pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Pasal 55 UU Kekarantinaan Nasional menjamin bahwa selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait. Namun opsi ini dianggap tidak perlu untuk dilakukan.
Wawancara Majalah Tempo dengan Doni Monardo yang merupakan Kepala BNPB dan ditugaskan sebagai Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 membuka sikap pemerintah yang sebenarnya. “Karena dengan penerapan karantina wilayah, maka pemerintah harus membiayai kebutuhan dasar masyarakat di wilayah itu. Termasuk dengan hewan peliharaan. Kalau ini terjadi, alangkah habis energi kita.” Ungkapnya.
Sebagai ganti tidak melakukan karantina wilayah, akhirnya muncul pilihan untuk memberlakukan status darurat sipil. Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas laporan Gugus Tugas Covid-19, yang disiarkan melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin (30/3/2020). Jalan tersebut diambil karena pemerintah menilai bahwa kebijakan pembatasan sosial harus diterapkan dalam skala besar. Physical distancing harus diterapkan secara tegas, disiplin, dan efektif.
Satu hari setelah rapat terbatas tersebut, akhirnya pemerintah menetapkan sikapnya. Yaitu dengan menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat serta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Dua hal tersebut merupakan bagian dari penanggulangan pandemi yang ada dalam UU tentang Kekerantinaan Kesehatan.
Status tersebut seharusnya telah diumumkan oleh pemerintah semenjak penularan Covid-19 telah terjadi secara masif di berbagai wilayah. Sehingga penanggulangan dini dapat dilakukan dengan cepat dan sistematis. Melalui penetapan status kegentingan pandemi Covid-19 akan membuat masyarakat menjadi lebih sadar tentang situasi saat ini.
Sebenarnya penerapan PSBB telah dilakukan. Walaupun baru bersifat imbauan dan belum dilakukan secara menyeluruh. Merujuk pada Pasal 59 ayat (3), penerapan PSBB “paling sedikit” meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Sehingga menjadi aneh ketika PSBB yang merupakan merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat telah diterapkan sebelumnya, ketika pemerintah belum mengumumkan status tersebut. Kecuali akan terdapat pembatasan lain di luar tiga hal yang diatur dalam UU.
Kita juga perlu untuk menyinggung perihal penetapan status darurat sipil yang sempat muncul sebagai langkah dalam mengatasi Covid-19. Karena Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa perangkat “darurat sipil” harus disiapkan, tapi kalau keadaannya seperti sekarang hal tersebut tidak perlu dilakukan. Sehingga tidak menutup kemungkinan ketika terjadi suatu peristiwa yang dianggap abnormal, maka perangkat tersebut akan diaktifkan.
Ketentuan tentang darurat sipil terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetepan Keadaan Bahaya (Perppu tentang Penetapan Keadaan Berbahaya). Dalam Pasal 1 Perppu tersebut dijelaskan bahwa terdapat beberapa variabel yang harus dipenuhi untuk menetapkan keadaan darurat sipil, darurat militer, maupun darurat perang, yaitu pertama, keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
Kedua, timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga. Serta Ketiga, hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
Dalam keadaan darurat sipil maka daerah-daerah akan dipimpin oleh kepala daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II selaku Penguasa Darurat Sipil Daerah yang daerah hukumnya ditetapkan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Penguasa Darurat Sipil Daerah menjalankan tugasnya dengan dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari seorang komandan militer tertinggi, seorang kepala polisi, dan seorang pengawas/kepala kejaksaan yang masing-masing berasal dari daerah yang bersangkutan.
Beberapa konsekuensi diberlakukan darurat sipil berdasarkan Perppu tentang Penetapan Keadaan Bahaya adalah pertama, Penguasa Darurat Sipil Daerah berhak mengadakan peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum atau untuk kepentingan keamanan daerahnya. [1] Kedua, Penguasa Darurat Sipil berhak atau dapat menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.[2] Dan Ketiga, Penguasa Darurat Sipil berhak memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.[3]
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam menghadapi Covid-19 maka pemerintah cukup menggunakan ketentuan yang terdapat dalam UU tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jangan sampai berputar terlalu jauh dengan menggunakan status darurat sipil. Karena hal tersebut membuka peluang terbukanya keran-keran permasalahan baru. (*)
Ilusitrasi oleh: Amalia Putri
Catatan kaki:
[1 ] Lihat pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetepan Keadaan Bahaya.
[2] Lihat Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetepan Keadaan Bahaya.
[3] Lihat Pasal 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Penetepan Keadaan Bahaya