Kementerian Pertahanan (Kemenhan) merencanakan akan melakukan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menyiapkan program Komponen Cadangan (Komcad) bela negara. Program komponen cadangan bela negara tersebut akan memasukkan pendidikan militer kedalam kurikulum pendidikan di perguruan tinggi. Dalam artian program ini akan melibatkan mahasiswa untuk terlibat dalam latihan militer. Rencananya program ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dan dimasukkan ke dalam SKS (Satuan Kredit Semester) perkuliahan.
Dalam program yang digagas oleh Kemenhan ini, pendidikan militer ditujukan untuk memberikan pengetahuan, pengajaran serta pelatihan tentang persoalan militer. Wakemenhan mengatakan pendidikan militer bukanlah bersifat wajib dan memaksa, tetapi bersifat sukarela. Biasanya pendidikan militer diselenggarakan oleh sekolah yang memiliki orientasi militeristik seperti Akademi Militer (Akmil). Tujuan pendidikan militer ini masuk ke kurikulum pendidikan kampus seperti yang disampaikan oleh Wakemenhan adalah untuk membuat jiwa nasionalis dan semangat bela negara mahasiswa menjadi tinggi. Selain itu dapat juga membuat mahasiswa memiliki kapasitas ilmu tentang militer. Sehingga apabila dalam suatu perang militer kekurangan pasukan, dapat merekrut mahasiswa untuk menjadi pasukan komponen cadangan.
Beberapa pihak ramai-ramai menolak wacana ini mulai dari peneliti, akademisi hingga dari mahasiswa itu sendiri. Penolakan itu terjadi karena wacana pendidikan militer di kampus adalah sesuatu yang kontradiktif dengan kebebasan akademik. Pendidikan militer dinilai sebagai militerisasi kampus yang dapat membawa gaya militeristik khas orde baru sehingga berpotensi melahirkan kontrol atas kehidupan kampus dan menghambat kebebasan akademik.
Selain itu, ketika wacana ini dijalankan, akan berdampak pada perubahan perilaku atau bahkan pemikiran yang tidak cocok dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tertutup kemungkinan pula jika suatu saat mahasiswa akan berperilaku otoriter terhadap lingkungan keluarga, pergaulan dan lingkungan masyarakat. Dikatakan karakter yang militeristik ini dapat juga membentuk budaya militerisme dalam kehidupan masyarakat. Lebih gawat lagi jika nantinya mahasiswa yang seharusnya selalu mengedepankan sifat kritis terhadap suatu kebijakan, malah menjadi penurut tanpa dapat memikirkan dampak dari kebijakan tersebut.
Selanjutnya wacana ini juga bertentangan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian, pengabdian. Hal ini disebabkan oleh indikasi pembentukan perilaku militerisme tadi, sehingga cenderung akan membuat perilaku mahasiswa berperilaku seperti seorang prajurit. Sehingga tujuan esensial pendidikan tinggi bagi seorang mahasiswa seperti melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terkait ihwal ilmu yang didapatkan selama mengikuti proses perkuliahan, cenderung akan diabaikan.
Jika memang diterapkan, program ini juga berpotensi menjadi cikal bakal lahirnya aturan Wamil (wajib militer) bagi pemuda untuk kedepannya. Wamil ini mewajibkan kepada pemuda yang berusia 18 sampai 27 tahun, termasuk mahasiswa tentu saja, untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan militer.
Hal ini jelas kali secara yuridis melanggar konstitusi UU No. 23 2019 Pasal 6 ayat 2 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN) yang berbunyi “Salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi”. Secara tidak disadari program ini kontradiktif sekali dengan sistem negara yang menganut sistem demokrasi.
Wacana ini juga bertentangan dengan program kampus merdeka yang digagas oleh Kemendikbud. Pada program kampus merdeka mahasiswa dapat memilih mata kuliah di luar program studinya selama satu semester. Mengingat pendidikan militer ini diwacanakan akan masuk ke dalam Satuan Kredit Semester (SKS), sehingga menyebabkan mahasiswa wajib mengikuti pendidikan militer ini agar mahasiswa dapat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi. Jika begini, maka pernyataan Wakemenhan di atas bahwa pendidikan militer bersifat sukarela, patut ditinjau kembali.
Polemik juga muncul berhubungan dengan anggaran negara yang akan membengkak guna merealisasikan program pendidikan militer ini. Bayangkan saja berapa banyak jumlah mahasiswa di negara kita ini yang akan difasilitasi oleh sarana pendidikan militer. Negara Korea Selatan sebagai negara yang menerapkan aturan wamil, pada tahun 2018 pengeluaran anggaran militernya mencapai US$ 43,1 miliar. Belum lagi proyeksi anggaran yang akan dikeluarkan mengingat jumlah penduduk negara kita ini lebih banyak daripada Korea Selatan.
Saya memandang terlalu mubazir kalau anggaran yang besar hanya diperuntukan terhadap sektor militer saja, masih banyak sektor lain yang harus dibenahi. Melihat situasi dan kondisi negara pada saat ini, dikatakan bahwa negara kita ini tidak dalam keadaan gawat darurat untuk berperang pada umumnya. Perperangan kali ini bukan dengan senjata api, bom, meriam apalagi bambu runcing. Negara kita tidak dalam ancaman pihak lain yang dengan terang-terangan mencari lawan. Namun kini kita menghadapi musuh tidak kasat mata dan amat mematikan bernama Covid-19. Musuh yang satu ini tentunya tidak bisa diajak genjatan senjata seperti dalam perang. Pastinya tidak ada manfaat pendidikan militer dalam dunia kampus jika dihadapkan dengan kondisi ini. Sehingga program pendidikan militer masuk kampus ini tidak relevan untuk diterapkan pada kondisi saat ini.
Lebih baik untuk saat ini pemerintah fokus untuk memperbaiki tiga sektor yang paling urgensi terlebih dahulu seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan. Pandemi Covid-19 yang melanda negeri kita ini telah membuat lumpuhnya ketiga sektor urgent tersebut. Untuk saat ini pemerintah hendaknya fokus untuk menyusun program-program yang dapat menunjang kegiatan pendidikan, menyediakan amunisi untuk ketahanan pangan serta fokus dalam membantu para ahli dalam mengembangkan vaksin dari virus Covid 19 ini. Apabila ketiga sektor tersebut bisa ditangani oleh pemerintah kali ini, pastinya wibawa pemerintah dalam menghadapi situasi sulit dapat terangkat. Pelaut hebat tentunya telah melewati ombak yang hebat pula bukan? (*)
Editor: Ariq Fadel Rahman.