Artikel

Kisah Syekh Muhammad Sa’id Bonjol

Kita mengenal banyak nama Ulama Kaum Tua yang gigih dalam mempertahankan Naqsyabandiyah. Mereka adalah para alim-alim tarekat. Berikut adalah di antara deretan nama-nama besar itu: Maulana Syekh Mudo Abdul Qadim, Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan Pasaman, Syekh Mukhtar Angku Lakuang Koto Panjang, dan tak ketinggalan ada Syaikhul Masyaikh Ulama Minangkabau yakni Al-Allamah Syekh Muhammad Sa’ad Al-Khalidi Mungka.

Semuanya jawara-jawara alim ini pernah menghalau semua dentuman-dentuman cacian, kritik dan sentimen negatif terhadap Naqsyabandiyah. Terlebih Syekh Ibrahim Kumpulan, tak tanggung-tanggung utusan kolonial dahulunya pernah ingin mendebat pengajian Halaqah Naqsyabandiyah beliau.

Dalam sebuah kisah, dengan membawa kitab rujukan, seorang kolonialis menghadap kepada Syekh Ibrahim Kumpulan Pasaman. Ketika membuka kitab rujukannya tersebut, sang utusan itupun terkejut bahwa kitab yang telah ia bawa jauh-jauh telah putih. Tanpa ada tulisan, putih bersih. Begitulah di antara tuah-tuah kekeramatan Tuan-tuan Naqsyabandiyah itu. Kisah-kisah kekeramatan seperti itu masih terdengar hari ini.

Syekh Muhammad Sa’id Bonjol adalah salah satu dari Ulama Kaum Tua itu.

Mungkin kita tidak asing mendengar namanya. Beliau lahir pada tahun 1881 di Ganggo Hiliia dari pasangan Syifat Sutan Mudo dan Ibu Kamimah. Beliau merupakan murid dari Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan. Dalam ilmu al-Qur’an beliau memiliki seorang guru bernama Syekh Jamaluddin Tanjuang Bungo.

Beliau Syekh Muhammad Sai’id Bonjol adalah ulama yang gigih, Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah dan juga tokoh yang terlibat dalam pembentukan perhimpunan ulama Kaum Tuo di Minangkabau, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), yang berdiri pada 1928. Beliau juga menjabat ketua Dewan Tarekat PI Perti pada muktamar 1953. Tak ketinggalan, beliau juga terlibat dalam Konferensi Tarekat di Bukittinggi yang membahas beberapa kejanggalan dari salah seorang tokoh Tarekat pada masa itu.

Dari sekian banyak pencapaian tersebut, beliau selalu memposisikan diri dalam kesederhanaan. Beliau menggeluti pertanian dan berladang, seperti layaknya masyarakat di kampung. Di sini kita dapat menilai dari seorang tokoh Naqsyabandiyah, apa arti dari Naqsyabandiyah yang sebenarnya. Bahkan dalam suatu riwayat menyebutkan, jikalau hendak pergi ke Kumpulan, beliau melakukannya dengan senang hati berjalan kaki. Sesederhana itu beliau.

Tidak hanya di Ranah Minang, pengarang Nazham al-Wasiyah ini pun juga pernah menginjakkan kaki di Tanah Mekkah untuk menuntut ilmu. Pada 1910, ketika berusia 29 tahun, dalam riwayat ketika hendak berjalan ke Mekkah, beliau Syekh Muhammad Sai’id Bonjol dibekali oleh Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan dengan tiga suku mata uang logam Belanda. Ketika sampai di perjalanan pun uang itu masih utuh. Saat hendak berjalan semua masyarakat berkumpul tak terkecuali Syekh Ibrahim Kumpulan, para Jema’ah, Khalifah. Perjalanan beliau dilepas dengan kumandang azan oleh salah satu khalifah pada masa itu.

Di tengah perjalanan, tepatnya di Riau, beliau bertemu dengan Sultan Siak. Di sana Syekh Muhammad Sai’id Bonjol pun dijamu dan diminta untuk mengajar beberapa saat. Namun karena kepatuhan beliau kepada Syekh Ibrahim kumpulan, dan tujuan yang masih jauh, beliau pun menolak permintaan sang Sultan dengan halus. Beliau melanjutkan perjalanan melalui Sungai Siak, hingga ke Malaysia. Dari Malaysia, menuju Siam (Thailand ), Burma, Bangladesh, semua ditempuh melalui jalan darat hingga sesampainya di India. Dari India barulah beliau menaiki kapal menuju ke tanah suci.

Di Makkah beliau berguru pada beberapa sosok alim di Tanah Suci Mekkah, hingga Jabal Abi Qubais pun menjadi tempat tujuan beliau. Pada masa itu Jabal Abi Qubais disebutkan sebagai tempat berkumpulnya para ulama-ulama Tarekat Naqsyabandiah, dan bahkan Syekh Ibrahim kumpulan pun pernah berguru di sana.

Selama 4 tahun beliau tinggal di Mekkah. Setelah itu pada tahun 1914 (umur 33 Tahun) beliau memutuskan untuk kembali ke Ranah Minang.

Menurut salah satu riwayat yang pernah dihimpun dari salah seorang khalifah yakni Buya Malin Parpatiah, beliau menuturkan bahwasannya ketika Syekh Muhammad Sai’id Bonjol masih tinggal di Mekkah beliau bermimpi pernah didatangi seekor burung merpati yang sangat-sangat putih. Merpati itu kemudian hinggap di tangan kiri beliau, lalu ditangkap. Ketika terbangun dari mimpinya, beliau pun menceritakannya kepada guru beliau yang berada di Mekkah. Sang guru menjawab “telah meninggal seorang Tuan Syekh di kampungmu,” dan yang akan menggantikannya ialah seseorang yang amat ia sayangi. Ternyata benar. Singkat cerita ketika beliau kembali, Syekh Ibrahim Kumpulan telah meninggal dunia.

Di kampung itu Syekh Ibrahim Kumpulan adalah seorang ulama yang gemar dalam membangun masjid. Tercatat ada beberapa masjid yang telah ia bangun di Pasaman. Beliau disebutkan juga pernah mendirikan sebuah sekolah agama yakni Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) pada tahun 1932-1940 di Air Hangat, Padang Baru. Sekolah ini terhenti pada masa kependudukan Jepang, dan Madrasah tersebut pun beralih fungsi menjadi sekolah buta huruf.

Setelah sekitar 5 tahun, Syekh Muhammad Sa’id Bonjol berinisiatif menghidupkan kembali MTI tersebut di Masjid Padang Baru Bonjol, dengan salah satu Syekh lainnya, yakni Syekh H.Muhammad Thaib. Sayangnya Madrasah ini kembali mengalami kebuntuan karena adanya pergolakan PRRI pada masa itu. Syekh Muhammad Sa’id Bonjol meninggal pada tahun 1979. Kelangsungan Surau pun diteruskan oleh putra beliau Buya H.Harun Al-Rasyid.

Salah satu warisan dari Surau tersebut adalah sekumpulan naskah berharga. Di antaranya ditulis 1898 dan 1918. Dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul “The Surau Haji Muhammad Sa’id Bonjol Collection [1800 to 1900s]” disebutkan bahwa, pada proses digitalisasi tahun 2013 ditemukan ada 12 manuskrip tentang tasawuf (ajaran sufi), praktik ritual, sejarah dan sastra dua persaudaraan: Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Teks manuskrip digunakan untuk pengajaran dan proses ritual serta fikih. Teks ataupun Naskah ini menguraikan tentang masalah doktrin mistik dan ritual magis serta praktik penyembuhan magis. (*)

*Keterangan Foto : Terlihat Syekh Muhammad Sa’id Bonjol dalam keadaan duduk menunduk, Mengenakan Jubah Putih, dan juga Sorban Putih, Hingga kain sarung bermotif kotak-kotak

 

About author

Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi. Menaruh perhatian terhadap sejarah ketokohan ulama-ulama Tarekat di Sumatra Barat serta dinamika dan problematika surau tradisional Minangkabau. Di samping itu juga aktif menulis di beberapa website soal degradasi peran surau di tengah masyarakat.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *