Gagasan pembentukan peradilan konstitusional di banyak negara selalu berangkat dari cita-cita kehidupan bernegara yang lebih baik. Sungguhpun idealisme tersebut meniscayakan kemandirian peradilan konstitusional, namun pada praktiknya ia tetap saja terbuka dari pengaruh cabang kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Di titik inilah peradilan konstitusional memiliki titik lemah, termasuk Mahkamah Konstitusi Indonesia. Namun sebagai konsekuensi pembatasan kekuasaan, MK tetap saja dapat menentukan sikap di tengah pengaruh yang mengancam itu.
Residu Praktik Ketatanegaraan
Akar pemikiran independensi lembaga pengadilan selalu dimulai dari gagasan Montesquieu (1748) yang memisahkan cabang kekuasaan berdasarkan jenis dan fungsinya, di mana kekuasaan mengadili harus bebas dari kontrol legislatif dan eksekutif. Namun ada cacat bawaan yang tidak dapat disembuhkan, bahwa idealisasi pemisahan kekuasaan hanya terjadi ketika yudikatif menjalankan kewenangannya. Sementara dari segi alas hukum menjalankan kewenangan hingga pengisian jabatan hakim, yudikatif akan selalu bergantung pada dua cabang kekuasaan lainnya. Di sinilah relasi saling mempengaruhi antarcabang kekuasaan adalah residu dari praktik ketatanegaraan yang tidak dapat memutus habis hubungan antarlembaga.
Di Indonesia, keterpengaruhan MK pada dua sisi itu terlihat jelas. Misalnya pengaruh dari DPR dan Presiden sebagai dua lembaga pembentuk undang-undang, MK selalu terbuka untuk terpengaruh ketika undang-undangnya diubah. Hal ini pernah terjadi melalui perubahan UU MK di tahun 2011 yang mengerangkeng kewenangannya atau perubahan yang bernuansa transaksional seperti penghapusan periodesasi dan perpanjangan masa jabatan Hakim Konstitusi yang dilakukan saat MK disibukkan dengan pengujian Revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja tahun 2020 lalu.
DPR dan Presiden kembali menjadi aktor utama yang mengintervensi MK, kali ini melalui pengisian jabatan Hakim Konstitusi. Contohnya pada pengusulan Patrialis Akbar sebagai Hakim Konstitusi oleh Presiden di tahun 2013. Kala itu Presiden Yudhoyono tidak mengumumkan nama-nama calon Hakim Konstitusi dengan alasan penjaringan dilakukan secara internal oleh tim bentukan Presiden. Pengisian jabatan yang memantik tagline “Rekrutmen Senyap” itu ditutup dengan kasus suap yang dilakoni Patrialis di tahun 2017.
Sementara langkah trengginas DPR dalam mengintervensi MK lebih lincah lagi. Drama pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dan pemasangan Guntur Hamzah sebagai pengganti yang menyalahi ketentuan undang-undang itu lekas menuai hasil melalui skandal pemalsuan putusan oleh Guntur hanya beberapa jam setelah ia dilantik.
Celah bagi DPR dan Presiden
Terang bahwa UUD 1945 dan UU MK menghendaki dipenuhinya nilai objektivitas, akuntabilitas, transparansi dan keterbukaan dalam pengisian jabatan Hakim Konstitusi. Namun bila ditelusuri lebih jauh pada undang-undang yang mendasari kewenangan DPR dan MA, serta Presiden yang pengaturan kelembagaannya tersebar di beberapa undang-undang, tidak ditemukan pengaturan ihwal bagaimana transparansi dalam mengusulkan Hakim Konstitusi. Akibatnya empat nilai itu rentan diselewengkan.
Misalnya penilaian calon Hakim Konstitusi oleh masyarakat, DPR dan Presiden tidak terikat pada penilaian publik atas rekam jejak kurang baik seorang calon Hakim Konstitusi karena tidak ada konsekuensi hukum yang mewajibkan lembaga pengusul untuk tunduk pada opini publik. Sedangkan dalam hal transparansi, dari tiga lembaga pengusul, DPR dapat dikatakan cukup transparan karena menggunakan mekanisme fit and proper test, namun ada masalah lain. UUD 1945 dan UU MK mengharuskan Hakim Konstitusi berkualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, sementara kriteria itu tidak diiringi dengan kapasitas seimbang oleh anggota DPR yang tidak disyaratkan menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Padahal DPR bisa melibatkan ahli, akademisi, peneliti atau mantan Hakim Konstitusi untuk melakukan fit and proper test kepada calon Hakim Konstitusi. Akibatnya fit and proper test yang dilakukan DPR bersifat formalitas belaka, atau bahkan bernuansa politis untuk mengamati preferensi politik calon Hakim Konstitusi yang akan diusulkan.
Kenyataan ini mengakibatkan peran DPR dan Presiden bergeser dari lembaga pengusul menjadi pengutus, sehingga Hakim Konstitusi seolah harus mewakili kepentingan lembaga pengusul yang berimbas pada ilusi adanya kewenangan lembaga pengusul untuk mengevaluasi kinerja Hakim Konstitusi. Ilusi inilah yang terjadi pada pencopotan Aswanto. Sedangkan kenyataannya hubungan antara Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusul telah selesai ketika mekanisme pengisian jabatan dilakukan, sehingga tidak terdapat perikatan hak dan kewajiban antara Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusul.
Pilihan
Sekalipun pengaruh begitu nyata lagi mengancam, pada dasarnya MK tetap punya pilihan. Karena dalam rupa apapun, gangguan itu tetap saja akan berujung pada permohonan uji konstitusionalitas. Sedangkan MK merupakan satu-satunya penafsir yang sah atas konstitusi, sebuah kewenangan besar yang tidak dimiliki oleh DPR dan Presiden yang kerap berperan sebagai pembajak konstitusi.