Selamat Hari Koperasi Indonesia, apapun maknanya itu bagi anda.
Bagi Kemonkop UKM, sepertinya momentum tahunan ini dimanfaatkan guna memasukkan tiga usulan tambahan dalam RUU Perkoperasian. Usulan tersebut adalah tentang pengaturan pengawasan, penetapan lembaga penjamin simpanan anggota koperasi, serta penentuan sanksi pidana dan denda (katadata.co.id, 2020/07/10). Agaknya upaya ini sebagai tindak lanjut dari penghentian sementara izin pendirian Koperasi Simpan Pinjam (KSP), melalui penerbitan Surat Edaran Nomor 26 Tahun 2020, karena disinyalir terdapat banyak praktek–apa yang disebut sebagai–shadow banking di lingkungan Koperasi (katadata.co.id, 2020/06/09).
Bagi saya, dalam perspektif kita bernegara, hari Koperasi ini adalah peringatan kemunduran (atau stagnasi), kemunduran dari demokrasi ekonomi sebagai nilai mendasar dari Koperasi itu sendiri. Meskipun sebaliknya, melihat inisiasi-inisiasi koperatif baru bermunculan dalam ragam bentuk dan model, juga memberikan kegembiraan dan harapan, pada level tertentu.
Tulisan pendek ini adalah pembacaan atas “stagnasi” itu. Khususnya merujuk pada Rancangan Undang-Undang Perkoperasian (RUUP) draft bersih per tanggal 10 Juli 2019. Saya akan membahas mengapa RUUP tersebut tidak akan bermakna pembaruan apa-apa pada model ekonomi koperasi. Ia tetaplah mengakar pada model kerjasama konvensional. Pembacaan ini saya bandingkan dengan semangat kooperasi yang lahir atas resistensi model struktural ekonomi konvensional yang dengan meyakinkan telah menopang berbagai ketimpangan ekonomi.
Sebagaimana banyak pandangan lainnya, kooperasi adalah sebuah gagasan menarik, yang wujudnya sayangnya belum pernah disaksikan oleh siapapun. Sebuah model kerjasama ekonomi yang mengedepankan kerjasama dan solidaritas sosial, kesetaraan dalam proses dan hasil, dan berasas kekeluargaan. Selain itu, koperasi menjadikan kesejahteraan bersama sebagai orientasi. Benar atau tidaknya pandangan bahwa Koperasi dalam pengertian itu pernah ada dan disaksikan sebelumnya, mungkin bisa kita perdebatkan. Namun indikator-indikator yang terkandung pada defenisi tadi memperlihatkan tantangan yang berat mewujud untuk konteks hari ini.
RUUP 2019 datang dengan “kebaruan”. Setidaknya begitu yang dijanjikan. Saya akan takar kebaruan itu dari beberapa aspek paling umum, yaitu tentang defenisi, modal, usaha dan klasifikasi manusia di dalamnya.
Definisi
Salah satu argumentasi utama pada gugatan atas UU 17/2012 di Mahkamah Konstitusi tahun 2014 lalu adalah pemosisian koperasi sebagai asosiasi berbasis modal (capital-based association), yang menjadikannya tidak lebih dari sebuah badan usaha kapitalistik. Bagaimana posisi koperasi dalam RUUP yang baru, sepertinya bagi sebagian kalangan berpendapat, sudah lebih baik. Setidaknya jika dilihat dari defenisi koperasi dalam ketentuan umum RUUP tersebut, yang menyebutkan ia sebagai sekumpulan orang yang bersatu secara sukarela dan bersifat otonom untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya melalui usaha bersama yang diselenggarakan secara demokratis dan profesional berdasarkan asas kekeluargaan dan gotong royong. Tidakkah indah ia berbunyi? Definisi tersebut mengukuhkan koperasi sebagai perkumpulan orang (people-based association)–bukan lagi berbasis modal sebagaimana sebelumnya.
Tapi benarkah persoalannya menjadi selesai setelah diakomodirnya kemanusiaan dalam definisi koperasi? Sudahkah kita bisa berharap RUU ini menjadi jawaban atas persoalan ekonomi, sosial budaya yang lebih luas? Atau benarkah persoalan RUUP yang terbaru ini hanyalah soal potensi matinya demokrasi ekonomi akibat keberadaan Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) sebagai wadah tunggal yang dominan itu?
Saya tidak tertarik membahas Dekopin yang kental agenda elitisnya, tapi agaknya kita juga perlu mengenali lebih dalam batang tubuh dari RUU ini. Ia diperlukan guna menakar sejauh mana RUUP mampu menjadi basis struktur alternatif bagi pelaku-pelaku usaha bersama–di atas makin menguatnya sistem ekonomi dominan hari-hari ini–alih-alih mencukupkannya pada defenisi yang menggembirakan telinga. Dengan begitu kita masuk pada aspek yang berikutnya.
Modal
Meskipun telah ditegaskan dalam ketentuan umum mengenai definisi koperasi sebagai perkumpulan orang-orang, namun yang menjadi modal koperasi menurut RUU ini tetap saja uang. Ia tercantum dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 13-15 dan pada BAB VI batang tubuh. Disebutkan bahwa modal dalam sebuah koperasi terdiri atas berbagai macam simpanan oleh anggotanya, baik pokok, wajib, sukarela, yang bersifat khusus, hibah, dan sumber lain yang sah. Ia bisa datang dari anggota, dan penyertaan pihak ketiga. Sumber uang ini dikonsentrasikan ke dalam tubuh koperasi sebagai energi menjalankan aktifitas usaha koperasi.
Tidak untuk bermaksud menafikan peran uang dalam usaha bersama, namun menurut penjelasan RUU, uanglah yang mengikat setiap kerjasama koperasi. Manusia per manusia tidak ditempatkan secara eksplisit sebagai sumberdaya dari sebuah kerjasama. Sementara kita tahu, implikasi dari kritik atas model ekonomi kapitalistik, telah mencita-citakan sebuah antitesis kerjasama yang dibangun dari relasi manusia-manusia dengan segala kapasitas yang melekat padanya; entah ide, kreatifitas, inovasi dan semangat, solidaritas sosial, jaringan dan kualitas relasi sosial manusia-manusia yang tergabung di dalamnya, alih-alih manusia (dan tenaganya tok) sebagai komoditas. Artinya draf RUU ini mengenyampingkan kontribusi non-material dalam sebuah kerjasama. Sebaliknya ia menjadikan uang sebagai modal kontributif satu-satunya.
Persoalan di atas mendasar, karena memiliki implikasi langsung pada aspek-aspek lain berkoperasi terutama pada proses dan hasil kerjasama di ujungnya. Ia juga tidak saja kontradiktif dengan definisi umum koperasi di bagian pembuka RUU, tapi sekaligus mengkonfirmasi ketidakberbedaan rancangan ini dengan UU 17/2012 sebelumnya.
Jika modal utama sebuah koperasi adalah uang, sebagai inti dari kontribusi anggota-anggota-nya, maka tujuan melindungi, mencerdaskan (manusia/anggota), serta upaya mewujudkan demokrasi ekonomi, akan terancam. Uang juga kemudian akan mengancam fungsi dan peran koperasi (sesuai pasal 5 draf RUU), tentang membangun kesejahteraan sosial, meningkatkan kualitas kehidupan manusia, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan korelasi negatif antara uang dan tujuan, peran dan fungsi-fungsi ideal sosialisme tersebut. Dengan dominannya kapital (bahkan satu-satunya indikator)–yang dalam sejarahnya telah terbuktikan menghancurkan relasi-relasi sosial dan mengakarnya proses-proses dehumanisasi–tidak teresolusikan dengan model koperasi yang dibangun. Justru sebaliknya. Ia mengkonfirmasi dan mengukuhkan relevansi keberlanjutan kritik itu sendiri.
Tantangan untuk menghadirkan sebuah model produksi yang menempatkan tidak saja modal material (termasuk di dalamnya mesin-mesin produksi) sebagai sumberdaya, tetapi juga manusia sebagai individu dan manusia sebagai bagian dari sistem sosial dan lingkungan yang lebih luas, tidak dijawab oleh RUUP ini.
Usaha
Menurut RUU ini, semua jenis usaha secara umum diperbolehkan untuk dilakukan oleh koperasi. Ia dapat berbentuk usaha bersama dalam bidang industri, perdagangan, jasa, serta bidang usaha lain. Namun secara meyakinkan RUU ini telah menempatkan prioritas perhatiannya pada jenis usaha simpan pinjam (finansial), dan menomorduakan (kalau tidak ingin dikatakan mengenyampingkan sepenuhnya) usaha-usaha produktif atau real ekonomi.
Adapun kegiatan simpan pinjam pada sebuah koperasi–pada penjelasan selanjutnya RUU ini–adalah menghimpun dana dalam bentuk tabungan dari Anggota; menyalurkan dana kepada Anggota, kepada koperasi sekundernya, dan koperasi lain, dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan; dan memberikan jasa konsultasi keuangan kepada Anggota dan koperasi lain. Koperasi simpan pinjam juga diamanahkan RUU ini untuk bisa menempatkan kelebihan dananya dalam bentuk: tabungan di Koperasi lain; deposito di lembaga keuangan bank; investasi pada lembaga keuangan bank dan industri keuangan nonbank; dan/atau menggunakan instrumen portofolio keuangan di pasar uang dan pasar modal. Setidaknya terdapat 8 pasal dengan 18 ketentuan rincian, yang secara khusus menjelaskan pengaturan tentang usaha koperasi simpan pinjam.
Sementara itu, usaha-usaha produktif (mikro dan real ekonomi) hanya masuk dalam bagian ketentuan umum, tanpa penjelasan yang memadai. Tidak ada penjelasan tentang bagaimana sebuah ekonomi kreatif berbasis rumah tangga baiknya dijalankan; membuat kerupuk, membuat tali pancing, membuat pacul, dst; atau bagaimana usaha pertanian, perikanan berbasis komunal diusahakan, bagaimana usaha distribusi dan konsumsi berbasis kelompok, dibayangkan. Bahkan disebutkan (dan sangat disayangkan) bahwa usaha-usaha lain di luar usaha finansial, diatur dalam Peraturan Pemerintah (pasal 65 ayat 4), aturan lain di luar UUP itu sendiri.
Hal ini menegaskan kalau memang RUUP berangkat dari asumsi mendasar koperasi sebagai institusi bisnis keuangan non-bank. Bentuk usaha Simpan Pinjam ini juga mengindikasikan aspirasi ekonomi gerakan koperasi diterjemahkan lebih dekat pada “perdagangan uang” alih-alih pada aktifitas produksi (dan atau distribusi dan konsumsi). Bagaimana usaha perbaikan yang diketengahkan oleh Kemenkop UKM dalam pemberitaan beberapa hari ini, membuktikan atensi itu.
Hal lain yang penting untuk dicatat, kita tidak mendapatkan indikasi bagaimana regulasi ini mengatur tentang cara pendistribusian hasil berbagai usaha koperasi kepada anggota koperasi. Disebutkan, pembagian surplus hasil usaha dan laba usaha, serta pembebanan defisit dan rugi usaha, diatur dalam Anggaran Dasar Koperasi yang bersangkutan. Sementara hemat saya, mobilisasi sumberdaya (sekalipun ia hanya berupa modal uang sahaja, berupa konsentrasi dan redistribusi), adalah unsur penting aktifitas ekonomi.
Klasifikasi Manusia
Bab IV mengenai keanggotan menjelaskan bagaimana RUU mengklasifikasi manusia-manusia dalam koperasi. Pada bagian ketentuan umum bab IV disebutkan bahwa Anggota koperasi terdiri atas orang perseorangan yang merupakan pemilik sekaligus pengguna koperasi, yang ketentuan mengenai hak, persyaratan, dan kewajiban diatur anggaran dasar koperasi. Namun pengklasifikasian ini tidak terlepas relasinya dengan modal. Anggota koperasi eksistensinya dikukuhkan dengan uang yang dikontribusikan dengan berbagai skema sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun perlu juga diingat, meskipun keanggotaan adalah orang perorang, sumber keuangan/modal dimungkinkan berasal dari pihak ke tiga di luar koperasi. Struktur modal, dilihat dari mana dia bersumber, telah memperlihatkan adanya klasifikasi, peng-kelas-an, yang pastinya akan memiliki implikasi pada aspek-aspek lain berkoperasi. Lagi-lagi kondisi ini mempertegas modal-lah sebagai soko-guru ekonomi.
Pada bab selanjutnya tentang perangkat organisasi, kita akan masuk pada pengaturan yang mengklasifikasikan posisi anggota. Perangkat organisasi koperasi terdiri atas tiga di mana eksistensi anggota/manusia bertempat; rapat anggota; pengurus; dan pengawas.
Rapat anggota, sebagaimana semua kita mafhum, adalah pemegang kuasa tertinggi dalam koperasi, dan idealnya menjadi arena di mana setiap anggota eksis sebagai individu. Sementara itu pengurus adalah perangkat organisasi koperasi yang dipilih dari dan oleh anggota, yang bertugas mengelola Koperasi (pasal 43); meningkatkan kesejahteraan Anggota; menyusun rencana kerja serta rencana anggaran pendapatan dan belanja Koperasi; melakukan upaya lain untuk kepentingan, kemanfaatan, dan kemajuan Koperasi sesuai dengan wewenang dan/atau keputusan Rapat Anggota. Selain itu perangkat organisasi koperasi yang lain adalah pengawas, yang dipilih dari dan oleh Anggota dalam Rapat Anggota. Yang tugas utamanya adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan Koperasi yang dilakukan oleh Pengurus. Pengurus juga memiliki seperangkat kewenangan yang diantaranya adalah kewenangan mengangkat karyawan/ujung tombak langsung dari aktifitas real koperasi.
Mari kita simulasikan ketentuan mengenai perangkat organisasi ini. Anggaplah sebuah koperasi memiliki 10 anggota. Setelah memberikan kontribusi uangnya dalam skema berbagai simpanan, mereka akan melakukan rapat anggota, menentukan kebijakan-kebijakan utama. Kemudian mereka memilih dua orang pengurus, dua orang pengawas, serta pengurus yang diberikan kuasa mencari karyawan. Akan tetapi, kita tidak tahu persis apa peran dari 6 orang anggota lainnya pada proses-proses selanjutnya dalam sebuah koperasi. Apakah ia terlibat langsung–sebut saja “kerja”–dalam usaha-usaha real perkoperasian, agak sulit dibayangkan. Dan jika ini benar berlangsung, lagi-lagi koperasi tidak lebih dari sebuah capital-based association.
Itulah 3 perangkat organisasi koperasi menurut RUU. Meskipun sebuah badan pengurus memiliki kewenangan untuk mengangkat karyawan, tetapi tidak diamanatkan sama sekali bahwa karyawan adalah juga bagian dalam struktur koperasi. Yang menjadikan koperasi adalah kumpulan orang-orang bukan pekerja. Kita tidak melihat dimensi gotong royong sebagai asas utama koperasi dalam skema ini.
Regulasi Betul-Betul Menjadi Instrumen Penundukan
Hanya untuk mempertegas saja, tidak ada hal yang baru (apalah lagi menggembirakan) dalam RUUP 2019. Koperasi belum lepas dari kerangka kerjsama berbasiskan modal, dengan usaha pokok layaknya lembaga keuangan non-bank. Koperasi belum bisa memperjernih posisi manusia dan relasi antar sesamanya sebagai pokok utama kerjasama. Ia hanya baru diselipkan saja pada defenisi, memperindah retorika.
Saya ingin menyudahi pandangan singkat ini dengan menghighlight satu bagian yang juga mengganggu dalam RUU ini. Kira-kira bunyinya begini dalam bahasa saya. Jika kamu-kamu berusaha bersama, dan menggunakan nama “koperasi” sebagai nama organisasi usaha tersebut, namun tidak mengikuti ketentuan sebagaimana (draft) UUP, kamu akan di pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak 3 miliar rupiah (pasal 137). Mungkin sebagian kita bisa mengelak dengan menggunakan terma “kooperasi” (tidak dengan satu “o”) dengan segala latar pengertiannya, sehingga membuatnya berbeda. Namun agaknya tidak akan membuat kita keluar dari polemik bahwa koperasi (minimal dalam terma saja) telah direngkuh sejadi-jadinya di bawah otoritas negara. Dari sudut pandang itu, regulasi ini pada akhirnya adalah instrumen negara dalam menghambat lahir dan berkembangnya bentuk-bentuk kerjasama ekonomi sosial budaya warga negara secara organik, demokratis dan plural. Penyeragaman dan seluruh ketentuan mengikat yang mengikutinya adalah upaya despotik negara atas hak berserikat.
Selamat Hari Koperasi Indonesia! (*)
Ilusitrasi oleh: Graphirate