Berangkat dari dugaan sifat monopolistik Dewan Pers dalam pembentukan peraturan-peraturan di wilayah pers, tiga orang Pemohon mengajukan pengujian materiel Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Mereka adalah Heintje Grontson Mandagie, Hans M. Kawengian, dan Soegiharto Santoso. Melalui permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 38/PUU-XIX/2021, para Pemohon memohonkan pengujian dua norma berkaitan dengan eksistensi Dewan Pers.
Pertama, Pasal 15 Ayat (2) huruf f yang mengamanatkan Dewan Pers sebagai fasilitator bagi organisasi pers untuk penyusunan peraturan dan peningkatan kualitas profesi kewartawanan. Hemat Pemohon, Dewan Pers memonopoli pembentukan peraturan-peraturan pers, untuk itu dalam Petitumnya Pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan”.
Kedua, Pasal 15 Ayat (5) yang mensyaratkan keanggotaan Dewan Pers ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Berangkat dari dugaan monopolistik itu, Pemohon pada tahun 2018 mendirikan Sekber Pers Indonesia yang kemudian menyelenggarakan kongres tahun 2019. Kongres ini melahirkan Dewan Pers Indonesia (DPI) yang kemudian diajukan kepada Presiden untuk dikukuhkan melalui Keppres. Namun pengajuan itu tidak mendapat respon sehingga Pemohon turut mengajukan pengujian Pasal 15 Ayat (5), karena dinilai menghalangi berdirinya DPI. Pemohon kemudian meminta MK menafsirkan pasal tersebut inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis”.
Perkara ini sejatinya menarik untuk diulas, terutama berkaitan dengan dugaan Dewan Pers yang memonopoli pembentukan peraturan dan petitum Pemohon yang pada arasnya meminta MK menambahkan redaksional pasal. Sekalipun perkara ini tengah diadili, namun tanpa maksud melangkahi keberadaan MK sebagai penafsir yang sah atas konstitusi, dari segi telaah akademis perkara tersebut dapat dianalisa.
Tulisan ini berusaha mengurai dua diskursus yang terkandung dalam perkara tersebut secara substantif.
Diskursus pertama, perihal dugaan Dewan Pers yang memonopoli pembentukan peraturan. Berpegang pada berkas permohonan Pemohon, diskursus ini sejatinya ditempatkan sebagai pangkal bala yang mengakibatkan Pemohon mengajukan uji konstitusionalitas. Untuk mengurai benarkah adanya sifat monopoli tersebut dapat ditinjau pada memorie van toelichting pembentukan UU Pers, terutama latar belakang pengaturan Pasal 15 Ayat (2) huruf f. Semula ketentuan ini tidak diakomodir dalam draf undang-undang yang diajukan pemerintah. Namun dalam pembahasan bersama DPR, Fraksi Karya Pembangunan mengajukan gagasan ihwal penambahan fungsi Dewan Pers sebagai fasilitator bagi organisasi pers yang menjadi konstituennya guna mewadahi pembentukan peraturan. Dengan kata lain, maksud pengaturan pasal ini adalah memberi porsi lebih kepada pers nasional agar mandiri dan profesional membentuk payung hukum (self regulation).
Pada taraf praktik, benar tidaknya dugaan monopoli itu dapat ditelisik lewat situs dewanpers.or.id, bahwa regulasi yang dikeluarkan hanya berupa pengesahan oleh Dewan Pers atas kesepakatan antarorganisasi pers. Misalnya Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers yang didalilkan Pemohon sebagai regulasi bermasalah, sedangkan terdapat dokumen dalam situs dewanpers.or.id yang menunjukkan bukti bahwa peraturan tersebut terlebih dahulu disetujui oleh 27 organisasi pers. Selain itu bukti Dewan Pers sebatas fasilitator dalam pembentukan peraturan juga ditandai dengan dicantumkannya kesepakatan organisasi pers sebagai konsideran pada Peraturan Dewan Pers. Artinya, peraturan-peraturan di wilayah pers memang dibuat oleh organisasi pers dengan fasilitas yang diwadahi oleh Dewan Pers, sehingga isu monopolistik pembentukan peraturan oleh Dewan Pers hanyalah tudingan Pemohon.
Diskursus kedua, petitum Pemohon. Diskursus ini terbagi dalam dua poin. Poin pertama, norma objek pengujian yang tidak sumir sehingga dapat dimaknai secara terang sebagaimana ketentuan tertulis, dan isu konstitusionalitas yang didalilkan bukan pada taraf konflik norma melainkan praktik penegakan norma. Poin ini tentu dengan catatan apabila Dewan Pers terbukti bersikap monopolistik, hanya saja poin ini telah terjawab pada diskursus pertama. Namun demikian pada banyak perkara yang diadili, MK memang kerap mengadili isu konstitusionalitas norma yang sejatinya berada pada taraf praktik. Beberapa kasus dapat ditarik sebagai contoh, salah satunya Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 atas pengujian Pasal 2 Ayat (1), Penjelasan Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “dapat” dan kata “percobaan”) UU Tindak Pidana Korupsi yang diuji berdasarkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Pada pokoknya Pemohon mendalilkan kata “dapat” dan kata “percobaan” dalam norma objek permohonan rentan menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah dalam putusannya memberi penafsiran bahwa kata “dapat” pada Pasal 2 Ayat (1) merupakan bentuk antisipasi atas akurasi pembuktian, dengan kata lain ia berfungsi untuk menjaring perbuatan dalam taraf potential loss (berpotensi merugikan keuangan negara) yang sering kali terjadi pada kasus korupsi namun sulit dibuktikan. Mahkamah memang menyatakan kata “dapat” diperlukan untuk penanggulangan tindak pidana korupsi, namun statusnya konstitusional bersyarat selama kerugian negara dapat dibuktikan dan harus dapat dihitung meski sebagai perkiraan atau bahkan belum terjadi. Bilamana dibandingkan dengan perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang pengujian materiel UU Pers yang tengah diadili, seutas konflik konstitusionalitas pada taraf praktik norma yang memungkinkan Mahkamah memberi tafsir bersyarat, tampaknya begitu sulit terjadi. Kalkulasi ini tentunya dengan catatan apabila Pemohon masih berpegang pada konstruksi dalil hukum sebagaimana yang diajukan dalam permohonannya, artinya bisa saja terjadi pengecualian yang memang masih sangat mungkin terjadi jikalau Pemohon mampu mengajukan bukti ada penyimpangan praktik pada norma objek pengujian.
Poin kedua, efek disruptif bilamana MK mengabulkan permohonan. Saat ini saja dengan eksistensi Dewan Pers sebagai satu-satunya lembaga independen yang menaungi ekositem pers nasional, masih terdapat sekian banyak organisasi pers yang berbadan hukum namun tidak terverifikasi. Keadaan semakin pelik bilamana MK mengamanatkan legitimasi DPI, dan tentunya lembaga lain yang kelak akan ikut mendaku sebagai dewan pers, melalui Keppres. Efek disruptif ini tidak akan terbayangkan di tengah keadaan semakin seringnya terjadi kriminalisasi dan kekerasan pada jurnalis. Padahal seyogianya saat ini pegiat pers harus merapatkan barisan memperkuat nilai tawar Dewan Pers dalam menjalankan undang-undangnya, bukan justru memecah barisan itu.
Sungguhpun tulisan ini selintas menyiratkan kemungkinan, akan tetapi kita layak berharap Hakim Konstitusi menunjukkan penguasaan konstitusi dan ketatanegaraannya untuk membaca maksud-maksud terselubung serta efek yang terjadi akibat putusannya. Bukankah MK dijalankan oleh Sembilan Sulaiman, para negarawan yang paham alur dan patut? Kita seharusnya yakin lagi percaya pada kebijaksanaannya.(*)
Ilustrasi oleh Amalia Putri