Artikel

Demokrasi di Tepi Kubur

Ribuan kepala memadati halaman luas di depan gedung perwakilan rakyat. Ratusan tangan terkepal menantang langit. Suara-suara menuntut untuk didengar. Lima orang kehilangan nyawa. Dan satu tuntutan yang tak kunjung dikabulkan.

Satu tahun yang lalu, hari-hari sepanjang Bulan September dipadati oleh aksi demonstrasi. Tidak hanya oleh mahasiswa, namun juga dari pelbagai kelompok kolektif, buruh, hingga pelajar yang membaur menjadi satu demi menyuarakan kepentingan bersama. Jika kita runut, awal munculnya aksi demonstrasi dimulai pada saat pemerintah bersama dengan DPR akan merevisi UU KPK, KUHP, UU Minerba, dan bermacam produk hukum lainnya pada pertengahan Tahun 2019.

Gelombang demonstrasi yang awalnya hanya menghantam DPR RI di Senayan, dengan cepat menyebar ke berbagai wilayah lain. Diskusi dan pembahasan yang panjang pada malam-malam sebelum aksi berhasil merumuskan kajian, tuntutan, hingga strategi aksi. Berharap agar demokrasi yang direbut oleh reformasi dari tangan Orde Baru dapat membatalkan regulasi hukum bermasalah yang coba dilahirkan oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Sayang, massa aksi tak disambut dengan ramah. Tindakan represif yang dilakukan aparat untuk membubarkan demonstran berhasil melukai hak untuk menyampaikan pendapat yang harusnya dilindungi oleh konstitusi. Merujuk pada catatan KontraS, ada 390 kasus kekerasan yang dilakukan aparat dalam aksi reformasi dikorupsi. Serta 1.489 orang yang ditangkap, dan 380 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Angka tersebut belum termasuk lima orang kawan yang tewas dalam aksi tersebut. Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Randy, dan Yusuf Kardawi menjadi deretan panjang nama yang meregang nyawa dalam usaha untuk menyampaikan pendapat di negara ini.

Hasil yang didapatkan melalui aksi massa dengan pengorbanan yang sangat besar sama sekali tak sebanding. Aspirasi tinggal aspirasi.

Revisi terhadap UU KPK, UU Minerba, dan UU SDA dilakukan secepat kilat tanpa memperhatikan masukan publik. Jangankan untuk membatalkan pembahasan revisi UU, kritikan terhadap muatan isi yang bermasalah sama sekali tidak didengarkan. Tuntutan massa aksi reformasi dikorupsi yang lainnya yaitu mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) segera disahkan dan membatalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR mengalami hal yang sama. Jangankan dipertimbangkan untuk segera dibahas kemudian disahkan, RUU P-KS malah ditarik dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020. Sehingga jika masih ingin kembali dibahas, maka DPR harus kembali menyepakati untuk memasukan RUU ini ke dalam daftar prolegnas prioritas Tahun 2021. Sebuah tindakan kontraproduktif di saat angka kekerasan seksual terus meningkat.

Pimpinan KPK periode 2019-2023 pilihan DPR tetap dilantik pada Desember 2019 meski ditolak oleh banyak pihak. Berharap agar pimpinan KPK yang diragukan oleh banyak orang ini dapat membuktikan diri dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi ternyata malah mengecewakan. Selain upaya penindakan yang kian menurun, degradasi kepercayaan masyarakat kepada diperparah oleh tindakan salah satu pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran etik. Yaitu Firli Bahuri selaku Ketua KPK yang dijatuhi sanksi ringan berupa teguran tertulis oleh Dewan Pengawas karena menggunakan helikopter milik perusahaan swasta dalam perjalanan pribadi dari Palembang ke Baturaja. Tentu ini akan jadi tendensi buruk yang akan makin menggerus kepercayaan publik kepada lembaga anti rusuah yang saat ini ia komandoi.

Delegetimasi Hukum

Keengganan pemerintah dan DPR mendengarkan masukan publik menjadi ancaman serius bagi demokrasi. Kita memang dibolehkan menyampaikan pendapat, namun  itu hanyalah kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang semu. Seperti yang sudah kita lihat, beragam cara sudah dilakukan untuk menyampaikan aspirasi. Dari rilis kajian ilmiah atas RRU bermasalah sampai aksi massa, pemegang kewenangan sama sekali tidak menjadikan aspirasi publik tersebut sebagai bahan pertimbangan.

Fenomena seperti ini telah pernah dipaparkan oleh Steven Levitzky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018). Mereka menjelaskan tentang empat indikator kunci perilaku otoriter yang akan menggerus sendi-sendi demokrasi dalam sebuah negara. Salah satunya adalah penolakan terhadap aturan main demokrasi yang tampak dalam adanya penolakan atas legitimasi hukum yang berlaku.

Pengabaian produk hukum yang dibuat sendiri oleh pemerintah dapat dilihat dari proses pembahasan terhadap beberapa revisi UU bermasalah yang saat ini sebagian di antaranya telah disahkan. Tidak adanya ruang partisipasi publik untuk memberi masukan secara lisan maupun tertulis secara langsung telah melanggar ketentuan pada Pasal 96 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika terjadi upaya untuk melangkahi proses demi memotong waktu pembahasan agar menjadi lebih cepat, maka UU yang dibuat tersebut dianggap cacat formil.

Jika ada dugaan telah terjadi pelanggaran formil dalam pembentukan UU, konstitusi telah menyediakan jalur untuk menyelesaikannya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Namun jalan ini tentu tak selalu baik. Jika pembuat UU selalu berkilah dengan menyarankan melakukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi, maka lembaga peradilan ini tak ubahnya menjadi tempat pembuangan akhir pekerjaan bermasalah yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Memakamkan Demokrasi Indonesia

Gelagat pemerintah bersama dengan DPR makin mengkhawatirkan. Terutama dalam proses penyusunan produk hukum pada beberapa UU vital. Setidaknya hal ini telah nampak sejak keberhasilan revisi UU KPK dan UU Minerba. Pembentukan UU yang tidak lagi berpedoman pada aturan main secara perlahan akan mengubur demokrasi Indonesia.

Mungkin hal ini terdengar berlebihan, ketika menganggap proses bermasalah dalam pembentukan UU akan membunuh demokrasi Indonesia, karena selama ini kita hanya melihat dan menjadikan proses penyelenggaraan pemilu sebagai indikator utama sehatnya demokrasi. Itu merupakan hal yang keliru.

Bahkan seringkali pemilu dianggap “demokratis” jika dilaksanakan tepat waktu atau terdapat peningkatan angka partisipasi pemilih tanpa memperhatikan pelbagai permasalahan dalam penyelenggaraannya seperti politik uang. Serta kadar siginifikansi suatu pemilu ketika tidak tersedianya mekanisme recall saat aspirasi konstituen gagal dipenuhi.

Pandangan yang menjadikan “keberhasilan” penyelenggaraan pemilu sebagai variabel utama dalam demokrasi harus segera diluruskan. Penting untuk diperhatikan bahwa  tolok ukur untuk melihat sehat tidaknya demokrasi dalam sebuah negara tidak hanya dilihat dari penyelenggaraan pemilu. Di sana ada partisipasi politik seperti dalam menyampaikan usulan terhadap perubahan sebuah undang-undang, juga ada perlindungan terhadap kebebasan sipil untuk menyampaikan pendapat tanpa direpresi oleh aparat negara.

Apakah masih relevan menyebut diri sebagai negara yang demokratis?

Ilustrasi oleh Talia Sartika Bara

Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *