Artikel

Berhenti Memuja Politisi!: Sebuah Catatan dari Pemilu 2024

Pemungutan suara untuk pemilu 2024 Indonesia sudah dilaksanakan dengan aman dan lancar pada tanggal 14 Februari 2024 yang lalu. Pemilu yang digadang-gadang oleh CNN sebagai The World’s  Largest Single day Election,”[1]merupakan kulminasi dari persaingan dan pertarungan politik di level nasional yang berlangsung sejak sekurangnya 2 tahun yang lalu.

Menurut hasil hitung cepat sementara, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka diperkirakan akan memenangkan pemilu ini dan akan menjadi Pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang terpilih, menggantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang akan mengakhiri masa jabatannya.

Walau belum final, hasil hitung cepat menunjukkan kemenangan telak Pasangan Prabowo-Gibran atas kedua pesaingnya. Banyak yang kemudian bertanya-tanya bagaimana hal ini bisa terjadi? Mengapa paslon yang mendapat julukan dari Majalah Tempo sebagai “Produk gagal reformasi yang bersanding dengan anak haram konstitusi” diperkirakan akan menjadi pemimpin Indonesia untuk lima tahun ke depan?

Kemenangan pasangan ini tentu saja tidak terlepas dari peran sentral Presiden Joko Widodo yang merupakan ayah dari Gibran Rakabumi Raka, sang cawapres. Namun pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana beliau (Joko Widodo) mampu memosisikan dirinya sebagai seorang figur yang sangat berpengaruh dalam politik Indonesia sehingga dia dapat mewujudkan tujuannya yaitu melanggengkan pengaruh dan kekuasaannya?

Banyak hal yang dilakukan beliau menyangkut pemilu 2024 ini yang jika diperhatikan dengan seksama sudah sangat jelas pelanggaran etikanya, aturan-aturan yang ditabrak/diganti dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power).Untuk informasi dan bukti-bukti mengenai berbagai penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Presiden Joko Widodo dalam pemilu 2024 dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan penyelewengan yang terstruktur, sistematis dan massif dapat ditonton di podcast (youtube dan Spotify) Majalah Tempo, Bocor Alus, serta film Dirty Vote yang dirilis beberapa hari sebelum pemilu 2024. (Linknya Dirty Vote bisa didapat di sini: DIRTY VOTE – Full Movie (OFFICIAL)

Tulisan ini bukan mau membahas berbagai pelanggara dan penyelewengan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo karena mengenai hal tersebut sudah banyak dibahas di berbagai tulisan lain dan dalam pembicaraan baik dalam ranah umum atau pribadi. Yang ingin saya bahas adalah mengapa penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan yang terjadi dengan jelas itu tidak mampu dicegah oleh berbagai elemen dari masyarakat madani (Civil Society).

Jawabannya adalah karena adanya pemujaan berlebihan, kalau tidak mau disebut sebagai pengkultusan individu kepada Pak Joko Widodo yang dilakukan oleh sebagian besar elemen masyarakat di tanah air. Pemujaan tersebut secara langsung maupun tidak langsung membantu memupuk sifat-sifat otoriterianisme dan penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang dilakukan beliau. Kenapa hal ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena dari awal beliau maju bertarung dalam pilpres di tahun 2014, beliau mengusung nilai-nilai dan karakteristik politisi populis dimana dia menampilkan latar belakangnya yang sederhana walau kurang berwawasan. Namun beliau aktif melakukan blusukan untuk berdialog dengan masyarakat sehingga menjadikannya sosok yang sangat populer dan (sepertinya) merupakan antitesis dari politik Indonesia yang selama berdekade di dominasi oleh para elit politik yang berlatar belakang tokoh-tokoh nasionalis, agama dan militer. Pak Joko Widodo bukan berasal dari kalangan elit tersebut dan dengan cepat beliau dilihat sebagai sosok yang bisa membawa perubahan dan angin segar dalam politik Indonesia.

Ada kerinduan dari masyarakat yang menginginkan sosok pemimpin yang dapat berkomunikasi dan menunjukkan empati kepada rakyat setelah berdekade di dominasi oleh rezim Orde Baru dibawah Jendral Suharto. Peran tersebut dimainkan dengan sangat efektif oleh beliau sehingga dengan cepat beliau mendapatkan predikat, “orang baik.”

Pembangunan infrastruktur yang masif dalam dua periode kepemimpinan beliau, walau pada saat yang sama menaikkan beban utang negara ke level tertinggi dalam sejarah Indonesia dan berbagai kebijakan-kebijakan populis lainnya mendapatkan tanggapan dan dukungan yang positif dari masyarakat luas. Dukungan terhadap beliau kemudian bertransformasi menjadi pandangan-pandangan dan ekspresi di luar batas kewajaran, beliau dianggap tidak pernah salah. Jika ada kebijakan dia yang kurang baik terjadi itu bukan karena salah beliau tapi karena pengaruh buruk orang-orang di sekelilingnya, sehingga predikat “orang baik” menyelamatkan Pak Joko Widodo untuk bertanggung jawab atas berbagai kebijakan buruk yang diambil di bawah kepemimpinannya.

Dengan semakin marak dan intensifnya pemujaan masyarakat kepadanya, membuat Pak Joko Widodo semakin percaya diri dan merasa bisa melakukan apa saja termasuk melakukan pelanggaran etika, mengganti aturan dan hukum untuk disesuaikan sehingga memenuhi keinginan dan kepentingan pribadi dan keluarga. Parahnya, penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk melanggengkan kekuasaan tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat-perangkat negara. Semua dilakukan dengan kasat mata dan dibiarkan saja oleh masyarakat yang sudah keburu permisif dan terbuai (kalau tidak mau dikatakan tertipu).  Pembiaran tersebut termasuk dilakukan oleh para intelektual, akademisi dan tokoh-tokoh keagamaan yang seharusnya paling mempunyai kapasitas untuk mengawasi, mengkritisi dan mengingatkan dari awal apabila terjadi aksi penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Pemujaan berlebihan dengan memperlakukan politisi bak Idol yang kemudian menciptakan semacam fandom layaknya kepada seorang artis, akan membuat politisi tersebut lama kelamaan terlena dengan kekuasaan sehingga akan mudah terpengaruh oleh nafsu pribadi atau kelompok. Ketika hal itu terjadi mereka dapat melakukan berbagai penyelewengan dengan bebas tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakan-tindakan tersebut secara luas. Itulah yang kemudian terjadi saat ini. Fungsi check and balance dari masyarakat yang sangat penting dalam penyelenggaraan kelangsungan demokrasi menjadi hilang atau terabaikan.

Masyarakat lupa bahwa politisi juga manusia biasa yang mempunyai kelemahan dan rentan terhadap godaan korupsi, penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu ada hal lain yang dilupakan masyarakat dalam politik demokrasi elektoral yaitu pengawasan terhadap para politisi dan pemegang jabatan publik yang telah mereka pilih melalui proses pemilu. Kita berhak dan harus melakukan pengawasan dan meminta tanggung jawab atas mandat yang kita berikan kepada para politisi pemegang jabatan tersebut. Namun untuk kasus Bapak Joko Widodo hal tersebut tidak dilakukan sehingga membuat beliau yang seharusnya melayani dan bertanggung jawab pada masyarakat kemudian malah berbalik menjadi seorang penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi yaitu untuk terus bisa berkuasa.

Pertanyaan berikutnya adalah apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat madani (Civil Society) dalam menyikapi hasil pemilu yang baru lewat ini? Berikut ini ada beberapa cara:

  1. Seluruh elemen masyarakat harus aktif mengawasi dan mengkritisi proses pembuatan berbagai kebijakan. Peran media, akademisi, tokoh agama dan elemen masyarakat lainnya sangat penting dalam hal ini.
  2. Seluruh elemen masyarakat harus aktif menuntut realisasi berbagai janji yang pernah diucapkan oleh pejabat publik pada saat mereka berkampanye. Pejabat publik yang dimaksud di sini tidak hanya paslon Presiden dan Wakil Presiden tapi juga pejabat publik di setiap tingkatan terutama yang dipilih langsung oleh rakyat.
  3. Seluruh elemen masyarakat tidak boleh lelah dalam mengawasi dan mengawal segala tindak-tanduk para pejabat publik terutama dari pola tingkah mereka yang bisa membahayakan atau mempunyai dampak luas kepada masyarakat umum. Pengawasan tidak boleh berhenti saat setelah pemilu selesai, justru setelah mereka terpilih dan sudah mulai bekerja maka pengawasan tersebut harus benar-benar dilakukan.
  4. Masyarakat harus berani bersuara dan aktif meminta pertanggungjawaban para pejabat publik apabila mereka melakukan kesalahan/penyelewengan, bukan malah memaklumi atau menyalahkan orang lain.
  5. Dan ini yang paling penting: Jangan pernah memuja politisi! Sebaik apapun orangnya jika dia dipuja terus-menerus, orang tersebut akan sangat rentan untuk berubah menjadi sosok otoriterian yang dapat menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar semua hal termasuk melanggar hukum (dan/atau mengganti hukum sesuai dengan keinginannya yang kemudian dijadikan pembenaran bahwa yang bersangkutan  “tidak melanggar hukum”) dan melanggar etika untuk mencapai tujuannya.

Sayangnya saat ini hal-hal yang dikhawatirkan akan mengancam demokrasi sudah terlanjur terjadi karena kelalaian kita sendiri. Harapannya adalah masyarakat sadar bahwa kontribusi yang mereka berikan dengan melakukan pemujaan berlebihan terhadap seorang tokoh politik agar segera dihentikan. Berhentilah memuja politisi! Awasi kinerja mereka, kritisi kebijakan-kebijakannya dan pastikan mereka bekerja dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat. Ingat, kita adalah warga negara bangsa ini yang hidup, bekerja dan membayar pajak kepada pemerintah sehingga penyelenggara negara yang di dalamnya adalah para politisi ini bisa bekerja dan menjalankan pemerintahan dengan baik, terbuka dan untuk kepentingan umum.

Kita berhak menuntut sistem politik, kebijakan dan pemerintahan yang baik. Jangan mau terima  jika hak-hak kita dibelenggu. Selalu awasi dan kritisi para pembuat kebijakan dan para pejabat publik yang kita pilih. Jangan perlakukan mereka seperti penguasa, buang mental feodal yang sayangnya masih melekat cukup kuat dalam budaya kita. Jika kita ingin bangsa ini maju, bekali diri kita dengan pengetahuan, pendidikan dan informasi yang baik sehingga tidak mudah dihasut atau diadu domba. Jangan malas untuk berpikir atau hanya sekedar memikirkan kepentingan diri sendiri karena kita semua adalah bagian dari bangsa ini. (*

[1] https://edition.cnn.com/2024/02/13/asia/indonesia-general-election-explainer-intl-hnk/index.html

 

 

About author

Sejarawan Asia Tenggara dan dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan.
Related posts
Artikel

Biennale yang Dikecam, Diamuk, dan Dirindukan: Telaah Arsip 50 Tahun Jakarta Biennale (Bagian Pertama) 

Artikel

Apakah Kita Masih Perlu Partai Hari Ini?

Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *