Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
***
BAGIAN KEDUA
Du Puy menjabat residen Padang menghadapi situasi yang sangat sulit–Monopoli garam dan sewa opium diperkenalkan–Izin sementara bagi para pegawai untuk melakukan perdagangan–Akses ke Pelabuhan Padang dibuka untuk kapal-kapal asing–Tindakan-tindakan penegakan hukum—Instruksi-instruksi Pemerintah tentang hubungan-hubungan dan kontrak-kontrak dengan wilayah-wilayah sepanjang pantai dan Pedalaman Sumatera Barat—Hubungan dengan VII Kota—Du Puy meminta otorisasi menduduki Simawang; Pemerintah menolak—Relasi Belanda dengan dua Tuanku Saruaso—Argumen lanjutan dari Du Puy tentang urgensi menduduki Simawang—Otorisasi Pemerintah menduduki Simawang apabila nanti satu kesepakatan dengan para pemimpin pribumi telah dibuat. Kesepakatan dengan sejumlah pemimpin pribumi yang menyerahkan Kerajaan Minangkabau kepada Belanda—Simawang diduduki—Komandan militer diminta untuk merealisasikan kekuasaan efektif Belanda pada kampung-kampung di sekitar Simawang “dengan tangan besi”—Pemerintah Pusat keberatan dengan kesepakatan pribumi semacam itu dan menolak operasi militer ofensif—Sulit Air ditaklukkan—Ekspektasi Komandan militer–Du Puy mengemukakan argumen pentingnya operasi-operasi militer lebih lanjut—Kebimbangan Pemerintah—Serbuan Paderi atas pos Belanda di Simawang—Pemerintah memutuskan mengutus Letnan Kolonel Raaf ke Padang dengan “kekuatan militer yang memadai”.
Pada Mei 1819, saat mulai menjabat sebagai Residen Padang, Du Puy menghadapi situasi yang amat sulit. Respek terhadap kekuasaan di banyak tempat sudah hilang dan di luar tempat-tempat yang telah diduduki—Padang, Pariaman, Air Haji dan Pulau Cingkuk—Pemerintah tak punya daya apa pun. Dari arsip-arsip Kompeni nyaris tidak ada lagi yang dapat diambil, dan Pemerintah Hindia Belanda musti mendapatkan informasi ekslusif dari anggota Raad van Indië, Chassé, yang pada 25 tahun sebelumnya (1792-1794) menjadi kepala pedagang di Padang.[1]
Jika kita menimbang bahwa du Puy sedari awal sudah merasakan kesulitan dengan daerah pedalaman yang belum banyak diketahui, maka akan jelaslah bahwa baik bagi dirinya sendiri, anak buahnya dan Pemerintahan Hindia Belanda, kesalahpahaman tidak bisa dihindari. Mereka tak punya pengetahuan yang cukup untuk menilai sejarah pendudukan Belanda sebelumnya; mereka hanya punya sedikit alat bantu dan harus berurusan dengan rakyat yang tak pernah memandang diri sebagai warga negara dan hidup sepenuhnya merdeka dari kekuasaan Eropa. Adat dan kebiasaan mereka juga sedikit diketahui. Namun bagaimanapun juga, seorang penilai netral terhadap Pemerintahan Hindia Belanda di Padang maupun di Pusat tidak bisa lepas dari menagih janji untuk secara serius mengusahakan pemerintahan yang baik dan dalam banyak aspek bisa berusaha meraih hasil terbaik di sana.
Salah satu tindakan paling awal adalah menyelamatkan kas keuangan. Hak-hak ke dalam dan keluar seperti yang berlaku di masa Pemerintahan-antara Inggris tetap dipertahankan. Pada September 1819 monopoli garam diperkenalkan dan pada Januari 1820 ketentuan-ketentuan baru mengenai sewa opium di pedalaman Sumatera Barat resmi berlaku (resolusi Gubernur Jenderal pada 6 September 1819 Nomor 3 dan 2 Oktober 1820 Nomor 15). Di sisi lainnya, pada artikel 6 dalam Resolusi 4 Oktober 1819 Nomor 3, Residen diberi tugas untuk menyelidiki “apakah mungkin, dan bila mungkin jenis-jenis apa, pajak-pajak akan dipungut di wilayah Padang dan sekitarnya tanpa perlawanan dari penduduk.” Tugas ini tampaknya tanpa hasil sampai waktu—seperti terlihat selanjutnya—persoalan perjalanan kapal, perdagangan, pajak dan sebagainya di Sumatera Barat dibahas khusus tahun 1822.
Mempertimbangkan bahwa perdagangan di Padang memang sepenuhnya dijalankan para pedagang Inggris, Pemerintahan Hindia Belanda—sesuai Resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 5 Desember 1820 Nomor 21—membolehkan secara tentatif para pegawai di sana menjalankan perdagangan menurut cara-cara lama, kecuali hanya bagi penerima hak-hak ke dalam dan keluar. Ini dianggap satu-satunya cara efektif saat itu untuk menangkal pengaruh asing.
Sesuai nasehat Chassé, segera setelah Belanda mengambil alih Padang, pelabuhan-pelabuhan di sana dibuka untuk “kapal-kapal Amerika dan kapal-kapal asing lainnya” dan larangan tentang hal itu semasa Pemerintahan Inggris dianulir (Publikasi 6 September 1819). Meskipun demikian, hingga 1822 tidak ada usaha khusus dilakukan untuk memajukan perdagangan di sana dan mengembangkan wilayah Padang sekitarnya.
Demi kepentingan ketertiban umum di ibukota, du Puy membangun “pasukan penjaga sipil” yang terdiri dari: 2 sersan dengan gaji masing-masing 24 gulden sebulan, 4 kopral dengan gaji 16 gulden serta anggota-anggota bergaji 12 gulden, selain beberapa orang Nias (satu mandor 12 gulden sebulan dan 12 opas bergaji 9 gulden); aturan ini disetujui melalui Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 23 September 1820 nomor 6.
Sebagaimana telah diketahui, sepanjang abad 17 dan 18 VOC sering membuat kontrak dengan daerah-daerah sepanjang pantai, di mana mereka semaksimal mungkin berusaha menerapkan sistem monopoli kepada rakyat, dengan balasan mereka akan dilindungi dari para musuh yang datang melalui lautan. Namun, dalam kontrak-kontrak tersebut orang-orang Sumatera tidaklah dianggap sebagai subjek yang tunduk pada Kompeni, tapi lebih sebagai sekutu.
Pada 1820, du Puy memusatkan perhatian kepada kontrak-kontrak tersebut. Banyak kontrak tidak ada lagi dalam berkas arsip dan semuanya juga lebih kurang telah kadaluarsa. Du Puy ingin memperbaharui kontrak-kontrak tersebut, tapi untuk itu meminta perintah langsung dari Pemerintah Pusat seperti terbaca dalam surat resmi tertanggal 17 Agustus 1820.
Untuk memahami spirit Pemerintahan saat itu penting juga mengetahui keputusan yang diambilnya dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 3 Januari 1821 Nomor 20, sesuai advis anggota Dewan Hindia Belanda Chassé serta Tuan HW Muntinghe.
Pertama-tama Residen diberitahu bahwa “Pemerintah memandang penting seluruh regen dan pemimpin adat di Sumatera Barat kembali diberikan dokumen-dokumen di mana kewajiban-kewajiban dan hubungan-hubungan dengan mereka dinyatakan secara tertulis. Namun, akan lebih efektif menyesuaikan aturan untuk regen-regen di wilayah Pesisir melalui voorschrift[2] atau acte van verband[3] dan untuk wilayah-wilayah lebih ke Pedalaman melalui contracten[4] karena mereka hanya bisa dianggap sebagai subjek Pemerintahan pada tingkat yang lebih kurang daripada yang di sepanjang pantai.”
Kemudian kepada Residen juga disampaikan bahwa instruksi-instruksi atau kesepakatan-kesepakatan yang dibuat—kecuali variasi-variasi bersifat lokal—seharusnya memuat hal-hal pokok berikut:
- Kultur dan perdagangan sepenuhnya bebas dengan membayar pajak-pajak yang telah atau dalam waktu dekat akan ditentukan, terkecuali restriksi-restriksi yang telah berlaku dan akan disebutkan nanti. Pemerintah tidak akan menuntut penyerahan produk-produk apa pun, dan para petani sepenuhnya merdeka hasil usaha mereka akan dibawa ke mana
- Untuk kesejahteraan rakyat, para kepala pribumi sedapat mungkin mendorong masyarakatnya untuk mengembangkan budidaya kopi khususnya merawat secara teratur dengan penuh perhatian[5]
- Kepada para kepala dimaksud akan diberikan premi, seperempat gulden untuk setiap pikol kopi yang diserahkan dari wilayah mereka
- Dalam pemilihan kepala-kepala baru perlu diperhatikan sejauh mana para calon berhasil mendorong budidaya kopi di wilayahnya masing-masing[6]
- Para kepala harus memastikan seluruh produk dibawa ke market di Padang dan musti mencatat jumlah batang kopi yang ditanam di distrik mereka
- Para kepala harus mengusir orang-orang berbahaya dari distrik mereka, khususnya orang-orang asing
- Para kepala harus mengawasi perdagangan gelap dan secara umum mengikuti serta mempertahankan secara benar penerapan aturan-aturan yang telah ada, baik tentang lalu lintas kapal dan lainnya
- Para kepala harus memenuhi segera permintaan-permintaan, baik dari rakyat maupun dari pihak Pemerintahan
- Para kepala tidak boleh memungut bea perdagangan
- Perselisihan tidak boleh diselesaikan dengan kekerasan, tapi musti diserahkan solusinya kepada Residen
- Para kepala yang berkaitan musti memperbaharui kembali kesepakatan-kesepakatan, yang dibuat tahun 1820 tentang sewa-opium, mengenai hak-hak uang tunai yang diperoleh terkait pemakaian hal tersebut
- Para kepala musti tegas mengawal penerapan aturan-aturan tentang monopoli garam
Kemudian, dalam hal itu Residen diberitahu juga “untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam dan penuh kehati-hatian tentang pertimbangan dan saran untuk memperkenalkan pajak tanah, khususnya pada kebun-kebun kopi, apabila tidak bisa segera sekarang atau nanti belakangan.”
Aturan-aturan Pemerintah ini tampaknya tidak membawa hasil. Persoalan pajak belakangan dibahas terpisah, tapi dalam arsip-arsip pada periode tersebut kita tidak menemukan kontrak-kontrak baru apa pun dengan berbagai wilayah. Bahkan mungkin saja hal itu memang tidak pernah eksis, sebab relasi Belanda dengan rakyat pribumi segera mengalami perubahan drastis.
Di awal pendudukan kita di Padang keadaan sangat tentram. Hanya di penghujung tahun ada beberapa masalah dengan rakyat VII Kota yang “berusaha menyerang teritori Pemerintah” dan “membakar kampung Pariaman” (resolusi Gubernur Jenderal tanggal 9 Maret 1820 Nomor 8). Sebagai hukuman “beberapa operasi militer dijalankan oleh garnisun di Padang.” Pada Februari 1820 konflik-konflik yang berkaitan dengan hal tersebut berhasil diselesaikan melalui kesepakatan.[7]
Sementara itu, du Puy berulangkali didorong untuk mengurus pendudukan di Simawang serta melakukan interferensi dengan Padang Darek [Padangsche Bovenlanden]. Kita sampaikan dalam kesempatan ini apa yang kita dapatkan dari arsip-arsip resmi.
Relatif beberapa hari setelah Padang diambil alih—seperti terbaca dalam surat resmi tanggal 15 Juni 1819 Nomor 28 dan 29—du Puy memberitahu Pemerintah Hindia Belanda bahwa sepeninggal Inggris, pos militer di Simawang ditinggalkan begitu saja. Kehadiran suatu sekte, disebut orang-orang Paderi atau para ulama, yang aktif di pedalaman Minangkabau perlu disikapi dengan memfungsikan kembali pos tersebut. Lebih lanjut du Puy mengusulkan penempatan seratusan prajurit Bugis di sana.
Mudah dipahami, Pemerintah Hindia Belanda tidak begitu menyetujui saran yang didasarkan atas informasi yang masih superfisial tersebut. Atas advis Komandan Pasukan dan anggota Raad van Indië Chassé melalui resolusi Gubernur Jenderal tanggal 6 November 1819 Nomor 13—melalui mana kita juga bisa tahu saran-saran dari Residen du Puy—diberikan jawaban bahwa memecah kekuatan pasukan yang telah ada di Padang rasanya kurang bijak; bahwa Pemerintah belum memprioritaskan pemfungsian kembali pos militer di Simawang ataupun penguatan garnisun di Padang; bahwa garnisun di Padang juga dalam waktu mendatang dirasa tidak akan lagi ditambah; bahwa Pemerintah belum melihat manfaat memperkuat benteng lama yang telah ada di sana atau menduduki kembali pos militer di Simawang; sebaliknya, garnisun di Padang harus tetap utuh agar “bisa digunakan semaksimal mungkin apabila terjadi hal-hal yang tidak diiinginkan.” Sang Residen diminta untuk menempatkan artileri di Apenberg untuk memproteksi Padang lebih baik.
Itulah yang sepenuhnya kita ketahui tentang apa yang dibahas masa itu. Namun sikap Pemerintah Hindia Belanda masih belum terlalu jelas; menurut hemat kami, tampaknya du Puy menyarankan pendudukan kembali pos militer di Simawang justru untuk lebih melindungi Padang dari serbuan orang-orang Paderi yang bisa saja terjadi.
Pada surat tanggal 16 September 1819 Nomor 61 Residen memberitahu Pemerintah bahwa dua Tuanku Saruaso, yang semasa kekuasaan Inggris dipanggil oleh Letnan Gubernur Raffles ke Bengkulu, telah kembali dari sana tanpa ada tindak-lanjut apa pun. Mereka diakui Pemerintah Inggris sebagai representasi Istana Kerajaan Minangkabau dan karenanya diberikan pendapatan bulanan masing-masing 100 dan 20 gulden. Residen menilai kebijakan itu tidak perlu diubah sehingga berniat mempertahankannya serta meminta persetujuan Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah memberikan jawaban (melalui resolusi Gubernur Jenderal tanggal 9 Agustus 1820 Nomor 17) bahwa perwakilan istana Minangkabau ini untuk saat sekarang bukanlah satu kebutuhan; tapi suatu saat mungkin mereka ada gunanya untuk pendudukan Minangkabau di masa mendatang. Karena itu, mereka setuju memberikan tambahan penghasilan untuk Tuanku yang lebih tua 50 gulden sebulan dan yang muda 10 gulden.
Melalui surat resmi pada 11 Agustus 1820, di mana du Puy berada di Batavia untuk membahas berbagai hal dinas, dia kembali membicarakan pendudukan Simawang.
Du Puy memberitahu Gubernur Jenderal bahwa dia baru menerima Resolusi 6 November 1819 Nomor 13 pada April 1820 (komunikasi antara Batavia dan Representasi Luar Jawa[8] saat itu masih lemah!). Atas permintaan berulang berbagai distrik di Minangkabau yang meminta bantuan Pemerintah Belanda dari serbuan kaum Paderi, du Puy hanya dapat memberikan jawaban diplomatis, tapi juga memberi harapan bahwa permohonan mereka itu mungkin nanti bisa terpenuhi.
Bahkan setelah menerima Resolusi Gubernur Jenderal tersebut, du Puy “melihat kesukaran untuk memadamkan harapan tersebut. Di satu sisi, dia melihat pemenuhan permintaan tersebut akan bermanfaat bagi kepentingan Belanda nantinya. Di sisi lain, karena permintaan bantuan tersebut benar-benar urgen disampaikan masyarakat, du Puy khawatir apabila ditolak, mereka akan mencari bantuan ke tempat lain.”[9]
Setelah secara “teliti dan hati-hati menimbang argumen-argumen apa yang dapat diajukan untuk membangun relasi lebih dekat dengan Kerajaan Minangkabau“ du Puy berkeyakinan “bahwa hubungan yang lebih dekat bermanfaat bagi pemerintahan di Padang”.
- Sebab situasi kekacauan yang disebabkan oleh serangan dan perampokan kaum Paderi di pedalaman sehingga sebagian besar pertanian dan perdagangan mengalami kemandekan serta menimbulkan kerugian langsung terhadap hak-hak eksternal dan internal Padang. Maka, hal ini perlu diatasi dengan memulihkan kembali ketertiban umum.
- Sebab tindakan-tindakan akan dilakukan untuk mencegah semakin meluasnya kekuasaan Paderi yang semakin masuk ke wilayah kekuasaan Pemerintahan [Hindia Belanda] dan melalui itu juga diharapkan perluasan wilayah penguasaan.
- Sebab Pemerintah mengharapkan wilayah yang luas, banyak penduduk dan produktif tersebut semakin meningkat dalam kemakmuran.
Lebih lanjut, sang Residen menyampaikan bahwa “saat itu adalah waktu yang sangat tepat untuk mengambil langkah tersebut. Para penduduk yang telah merasakan keunggulan kaum Paderi dan terkepung oleh ajaran-ajaran aneh mereka hanya menantikan komitmen dari bantuan Pemerintah Belanda untuk kemudian kembali menghadapi kaum Paderi dengan serius.” Untuk “memperoleh informasi lebih lengkap tentang hal itu” du Puy mengirim satu komisi[10] menuju Pedalaman “untuk menyelidiki pandangan dari penduduk dan para kepala pribumi serta situasi sesungguhnya yang terjadi pada distrik-distrik di Minangkabau. Komisi tersebut, beberapa hari sebelum bertolak dari Padang, telah menulis sebuah surat yang diteken oleh para pemimpin Minangkabau. Isinya mereka semua berjanji akan menyerahkan wilayah mereka, seperti yang telah berlaku di wilayah pesisir, kepada Pemerintahan, asalkan mereka dibantu dan dilindungi oleh Pemerintah tersebut dari kaum Paderi.
Atas alasan-alasan ini, Residen memberi pertimbangan kepada Pemerintah untuk “memberinya kewenangan untuk menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin pribumi di pedalaman, yang akan menjadi basis serah terima wilayah mereka kepada Pemerintah, dan selanjutnya penempatan satu pos militer, apakah di Simawang atau tempat lainnya, dengan kekuatan 100 personil serta beberapa meriam, di mana seorang pegawai Eropa dapat ditunjuk menjabat sebagai asisten Residen nantinya”.
Melalui resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 11 September 1820, nomor 23, dan memuat surat Residen du Puy dalam format di atas, memberikan pertimbangan bahwa sejauh ini Pemerintah, yang sebenarnya belum memiliki pengetahuan mendetail mengenai situasi-situasi lokal, dapat menilai usulan Residen tersebut memiliki landasan cukup bagus dan masuk akal. Dalam kasus yang bias, untuk menekankan perlindungan pendudukan Padang yang cukup strategis, Pemerintah mengenyampingkan sementara pertimbangan-pertimbangan untuk tidak memperluas kekuasaan di luar Jawa.
Oleh karena itu, Residen diberikan kewenangan “jika tidak terjadi hal-hal tidak diinginkan sekembali ke Padang, Residen dapat membuat kontrak-kontrak dengan para pemimpin pribumi di Pedalaman, yang akan menjadi basis penyerahan tanpa syarat wilayah mereka dan pengambilannya oleh Pemerintah, serta selanjutnya menempatkan pos militer, di Simawang atau tempat lainnya, dengan seratusan personil dan beberapa meriam, untuk melindungi para penduduk dari kaum Paderi serta memulihkan kembali perdamaian di Pedalaman Minangkabau”.
Sekaitan dengan hal itu, sesuai Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 23 September 1820 No. 4 de Commandant der Troepen[11] ditugaskan memperkuat garnisun di Padang dengan 80 tentara infanteri dan 20 tentara artileri pribumi juga “sejumlah opsir yang memadai”, serta memerintahkan komandan militer di Padang “jika kontrak-kontrak dengan para pemimpin pribumi di Pedalaman telah dilakukan” untuk mengirim satu pasukan ke Semawang sesuai permintaan Residen “atau ke tempat lain yang Residen inginkan”
Tak berapa lama sang residen mengambil tanggung jawab melalui kewenangan yang diberikan padanya. Segera setelah dia kembali dari Batavia (dan setelah kedatangan tambahan pasukan yang disebut tadi di Padang), “para kepala daerah dataran tinggi” datang kembali dan meminta dengan sangat “untuk dilindungi dari kekuasaan kaum Paderi yang semakin lama semakin kuat.” Dengan “beberapa kepala yang datang untuk tujuan tersebut”, di antaranya Tuanku Alam Begagar Syah dari Pagaruyung,[12] keturunan langsung dari apa yang disebut belahan bangsawan istana Minangkabau dahulunya, dibuatlah perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821,[13] dengan terjemahan Belanda berikut:[14]
“Kontrak, yang dibuat oleh Residen Padang, James du Puy, untuk dan atas nama Pemerintah Pusat Hindia Belanda, yang diberikan kewenangan untuk itu; dengan para utusan kepala wilayah yang merupakan entitas Kerajaan Minangkabau, yang diberikan kewenangan oleh seluruh kepala pribumi dalam daerah tersebut, pada sisi lainnya.
- Pasal 1
Para kepala tersebut dalam hal ini melakukan pemberian dan penyerahan secara tanpa syarat wilayah Pagaruyung, Sungai Tarab dan Saruaso, beserta daerah-daerah lainnya Kerajaan Minangkabau, kepada Pemerintah Belanda di Hindia Timur
- Pasal 2
Para kepala pribumi tersebut berjanji dengan khidmat, baik atas diri mereka sendiri maupun penduduk mereka dan keturunannya, untuk mematuhi segala perintah Pemerintah dengan tepat waktu, secara tanpa kecuali, dan tidak akan pernah membantahnya
- Pasal 3
Pada pihak Pemerintah, Residen berjanji akan mengirimkan satu detasemen militer dengan kekuatan 100 tentara dikomandoi perwira-perwira Eropa dengan 2 meriam lapangan, untuk mengambil wilayah-wilayah yang diserahkan dan menempati pos di Simawang, dengan tujuan melindungi para penduduk dari apa yang dinamakan orang-orang Paderi, mengusir mereka serta memulihkan kedamaian di Pedalaman
- Pasal 4
Para kepala pribumi tersebut setuju untuk menyiapkan kuli sebanyak yang dibutuhkan serta mengurus makanan mereka
- Pasal 5
Kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang telah lama berlaku di wilayah ini serta hubungan-hubungan timbal-balik yang telah ada antara para kepala dan penduduk mereka, sepenuhnya tetap diakui dan tidak akan diganggu selama tidak bertentangan dengan persyaratan-persyaratan di atas
- Pasal 6
Demikianlah kesepakatan ini dibuat, bersumpah dengan Alquran dan sebagai bukti otentik ditanda-tangani oleh para kepala tersebut, atas nama mereka sendiri dan keturunan mereka, pada ruangan pertemuan di Padang, dengan kehadiran Tuanku Panglima Sutan Raja Mansur Alam Shah, Tuanku Bandaro Raja Johan, seluruh penghulu di Padang dan pemimpin para pedagang yang berasal dari daerah-daerah yang tersebut di atas dan berdomisili di Padang, pada hari Sabtu tanggal sepuluh bulan Februari tahun delapan belas duapuluh satu; atau menurut penanggalan Melayu hari ke-delapan bulan Jumadil Awal tahun dua-belas tiga-puluh enam Hijriah; kontrak ini dibuat salinan persisnya tiga rangkap, satu dikirim kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal di Batavia , satu lagi pada Residen di Padang dan terakhir untuk Tuan Gadis di Saruaso.
L.S.[15]
Residen Padang
Sebagai saksi:
Tuanku Panglima Sutan Raja Mansur Alam Shah
Diikuti tanda-tangan:
- Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Begagar dari Pagaruyung
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Saruaso
- Yang Dipertuan Sutan Krajahan Alam dari Saruaso
- Datuk Basuko dan Datuk Mudo, atas nama sendiri dan 12 penghulu Batipuh
- Datuk Satu dan Datuk Palindi, atas nama sendiri dan 6 penghulu Singkarak
- Datuk Raja Nanda dan Datuk Raja Bagagar, atas nama sendiri dan 8 penghulu Saning Bakar
- Datuk Raja Nan Sati, atas nama sendiri dan 5 penghulu Bunga Tanjung
- Datuk Gadang Maharaja Lela, atas nama sendiri dan 5 penghulu Pitalah
- Datuk Sati, atas nama sendiri dan 6 penghulu Tanjung Barulak
- Datuk Raja Buhet, atas nama sendiri dan 4 penghulu Gunung Raja
- Datuk Panghulu Besar, atas nama sendiri dan 4 penghulu Batu Sangkar
- Datuk Maharaja Lela, atas nama sendiri dan 6 penghulu Sumpur
- Datuk Sari Pada, atas nama sendiri dan 6 penghulu Melala [Malalo]
- Datuk Nakodah Intan dan Datuk Paduka, atas nama sendiri dan 40 penghulu Sembilan Kota
- Datuk Mangun Yang Tuah dan Datuk Bandara Muda, atas nama sendiri dan 6 penghulu Semawang
Atas ordonansi Residen
Asisten-Residen dan Sekretaris
A.F. VAN DEN BERG
Setelah kontrak dibuat, pos di Simawang segera ditempati oleh satu detasemen dengan 100 personil dan dua meriam lapangan pada 28 Februari 1821.[16]
Para kepala daerah-daerah yang telah diserahkan dalam perjanjian segera meminta “agar kampung-kampung Paderi terdekat segera digempur dan dibakar”. Namun, Residen memandang lebih efektif “untuk menggunakan cara-cara lunak agar mereka tunduk pada Pemerintah”. Untuk tujuan itu, dia mengirim “sejumlah surat kepada para kepala kampung-kampung terdekat, yang telah menyatakan tunduk pada kekuasaan kaum Paderi” (surat Residen tanggal 29 Maret 1821 Nomor 45).
Pada tanggal 27 April Residen harus menyampaikan berita bahwa “cara-cara lunak yang digunakannya untuk menarik kampung-kampung sekitar Simawang untuk mengakui kekuasaan Pemerintah Belanda tidak membuahkan hasil” (surat No. 69); Komandan di Simawang juga tak bisa menegaskan klaim Residen atas wilayah Pagaruyung, Saruaso dan Sungai Tarab. Oleh karenanya, Residen dengan komandan militer di Padang, Kapitein L. Goffinet, sepakat bahwa dalam rangka menegakkan kekuasaan “perlu menggunakan cara-cara yang lebih keras, dan menugaskan perwira tersebut untuk berangkat secara langsung ke Simawang.”
Setelah menerima berita tersebut, Pemerintah Hindia Belanda memandang sang Residen telah melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya dalam Resolusi 11 September 1820:” di satu sisi dengan mensyaratkan penyerahan seluruh daerah Kerajaan Minangkabau, pada sisi lainnya dengan mengarahkan para kepala pribumi yang sedang minta perlindungan tersebut kepada kontrak yang mensyaratkan penyerahan wilayah”. Sebagai konsekuensinya, operasi militer segera diturunkan agar Pemerintah dapat mengambil alih wilayah yang diserahkan sesuai kontrak yang disepakati; operasi militer “yang sesungguhnya bertentangan dengan maksud-maksud Pemerintah, yang dalam perkara ini memang ingin menjadi pengayom tapi bukan inisiator penyerangan, dan lagipula menimbulkan kekhawatiran mengenai keselamatan satu detasemen yang kecil dan jauh seperti yang ditempatkan di Simawang”.
Karena itu, pada Resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 1 Juni 1821 Nomor 22, Residen ditanyai informasi-informasi lebih mendetail “dan menugaskannya agar sebisa mungkin menghindari operasi-operasi ofensif di sekitar Simawang; baik karena pendudukan pos di sana nyatanya berbeda dari yang dimaksudkan dalam resolusi sebelumnya tanggal 11 September 1820 Nomor 23, juga karena Pemerintah memandang membahayakan bagi keselamatan satu detasemen kecil yang ditempatkan di Simawang itu”.
Dalam surat resmi Residen yang memuat berita tentang kontrak yang telah dibuat tadi dan pengiriman pasukan ke Simawang, dia juga mengusulkan “mengikuti jejak orang-orang Inggris” untuk menugaskan pejabat sipil di Simawang. Pemerintah kemudian memberikan Residen kewenangan “apabila keadaan memungkinkan untuk menempatkan otoritas sipil di Simawang dengan permintaan persetujuan lebih lanjut, dengan retensi 350 gulden per bulan, serta melaksanakan misi khususnya untuk mengawasi kepentingan, yakni orang yang dipandang tenang dan cakap, tahu dengan bahasa dan adat penduduk, serta mampu melakukan penyelidikan dan pengambilan keputusan yang fair jika terjadi perselisihan”.
Namun pemberian kewenangan tersebut tanpa tindak lanjut; niat “mengikuti jejak orang-orang Inggris” hanya tinggal rencana. Hal ini mungkin karena semakin cepatnya perkembangan permusuhan di sana dan bisa jadi juga sebab tidak adanya pejabat yang memenuhi persyaratan yang diminta Pemerintah. Dalam Resolusi Pemerintah 19 Februari 1822 Nomor 18 tampaklah bahwa Letnan Satu Artileri Kluppel ditunjuk “sekaligus menjadi komisaris untuk perkara-perkara sipil di Padang Darat”.
Kontrak tanggal 10 Februari 1821 kembali dijustifikasi oleh du Puy dalam surat resmi tanggal 17 Juli 1821 Nomor 127, dengan garis-garis besarnya dimuat kembali dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 13 Oktober 1821 Nomor 25.
Di sana kita baca a.l. Residen du Puy berpendapat bahwa kompetensi mereka yang membubuhkan tanda tangan untuk melakukan perjanjian penyerahan wilayah-wilayah mereka tak perlu diragukan lagi.” Apalagi mereka memang berasal dari wilayah itu dan ini dibuktikan dengan perwakilan pemimpin-pemimpin pribumi yang datang”; bahwa “mengenai pemilihan kata general pada kontrak dalam hal wilayah yang diserahkan, hal ini dikarenakan mustahil menyebut tiap-tiap kampung kecil, yang bahkan tidak dihafal sepenuhnya oleh pemimpin-pemimpin pribumi yang datang untuk melakukan perjanjian”. Dan Residen menilai memang pemimpin-pemimpin itulah yang bisa diajak untuk melakukan kontrak, sebab mereka—meskipun tidak secara riil berkuasa—bagaimanapun juga satu-satunya yang punya hak untuk memerintah dan karena itulah tak diragukan lagi dapat melakukan penyerahan wilayah.”
Betapa minimnya pengetahuan tentang situasi Padang Darat saat itu tampak dari info-info dalam Resolusi tersebut yang disampaikan oleh Du Puy: ”Selama sepuluh tahun seorang ulama dari Pasaman telah menyatakan diri sebagai nabi atau utusan dari Langit untuk memperbaiki ajaran Muhammad; pelan tapi pasti dia mendapat pengikut, meski para pemimpin Minangkabau menolak mengikuti ajakannya; sejumlah pemimpin tersebut kemudian dibunuh sehingga menimbulkan perang dan kesusahan yang masih berlangsung sampai sekarang.”
Jenderal de Kock, yang menyerahkan “Laporan tentang Institusi-Institusi Militer di Padang” pada 12 April 1823, mencatat bahwa yang diketahui orang hanyalah bahwa “Di Padang Darat sebagian penduduk berusaha membedakan diri dengan yang lainnya, baik melalui penggunaan simbol-simbol lahiriah tertentu, maupun penerapan kebiasaan-kebiasaan dan ibadah-ibadah baru yang tidak bersedia diikuti penduduk lainnya; dan bahwa para reformis tersebut, dikenal dengan nama kaum Paderi, tak segan-segan menggunakan cara-cara pemaksaan tidak sah untuk mengajak kaum sebangsanya. Namun, apa pun yang menjadi tujuan sebenarnya dari kaum Paderi itu yang termuat dalam ajaran-ajarannya, dan menjadi sumber kebencian utama orang-orang Melayu[17] kepada mereka, kaum pribumi ini kemudian berpaling kepada otoritas Belanda dan mempertimbangkan penyerahan diri kepadanya. Tentang hal-hal ini sayang sekali banyak ketidakpastian sampai saat ini, disebabkan susahnya komunikasi dengan daerah ini dan sukarnya membahas dan melakukan penyelidikan kepada yang berkepentingan di tempat mereka masing-masing. Dan hingga sekarang masih belum ada solusinya.”
Jadi tak heran terjadilah “kekurangan pengetahuan akan situasi lokal yang sangat bisa dimaafkan,” sehingga sejumlah kekeliruan menjadi tak terhindarkan.
Seperti disampaikan sebelumnya, sesuai laporan Residen tanggal 27 April 1821 Kapten Goffinet berangkat ke Simawang untuk melakukan penetrasi kekuasaan kita pada kampong-kampung di sekitar “melalui penggunaan kekuatan.” Atas dorongan Residen, dia melakukan “pergerakan militer ke Kampong Sulit Air, atas dasar keengganan nyata kaum Paderi di sana untuk tunduk pada kekuasaan Belanda.”
“Opsir yang cakap ini” kita baca dalam laporan umum dari Jenderal de Kock yang disinggung tadi,” dalam kesempatan itu mencurahkan segenap keberanian dan semangatnya dalam menjalankan tugas; dia melakukan serangan ke Kampong Sulit Air tanggal 28 April [1821], tapi mendapati perlawanan keras dari kaum Paderi yang tidak disangka ternyata memiliki benteng di sana, sehingga sampai tanggal 30 dia belum berhasil menaklukkan kampung tersebut tanpa nantinya (karena sedikitnya jumlah pasukan) akan menderita kerugian besar. Meskipun demikian, dia memandang perlawanan kaum Paderi tersebut di masa depan takkan menjadi masalah besar; Bicara tentang kejadian tersebut, dalam laporannya tanggal 5 dan 18 Mei 1821, yang dibutuhkannya hanyalah tambahan kekuatan garnisun dengan 50 orang Eropa, juga meraim howitzer diameter 6 duim [ibu jari], dengan mana dia yakin akan dapat menundukkan seluruh kampung Paderi dan terutama Lintau—yang kata orang merupakan benteng Paderi terkuat—juga dia percaya bahwa dalam dua bulan setelah penambahan pasukan tersebut, dia akan dapat membuka komunikasi antara Padang dan Jambi serta nantinya bahkan sampai ke Palembang. Penambahan kekuatan tersebut disetujui, tapi serbuan tanpa pengumuman resmi perang tidak diperkenankan.”
Dalam surat resminya per tanggal 23 Mei 1821—yang dirujuk dalam Resolusi Gubernur Jenderal pada Raad/Dewan tanggal 29 Juni 1821 Nomor 31—di mana Residen du Puy melaporkan serbuan terhadap kaum Paderi di sekitar Simawang, dia memberitahukan bahwa tiga kampung musuh telah dihancurkan dan empat meriam kecil berhasil direbut dari orang-orang Paderi, sementara kerugian di pihak kita tak begitu berarti.
Tiga kampung apa saja—selain Sulit Air—yang diserang tidak dapat dipastikan dalam sumber-sumber kita. Menarik untuk dicatat usulan du Puy “untuk menggantikan orang-orang Bengali dan Melayu yang ditugaskan di Padang serta tak banyak berguna, dengan personil-personil yang lebih cakap”; satu usulan yang tidak ditindaklanjuti; Pemerintah saat itu sedang fokus menyempurnakan compagniën[18] yang ditempatkan di Sumatera Barat.
Dalam surat resmi per tanggal 17 Juli 1821 Nomor 127 yang sebagian dulu telah disinggung, Residen kembali menyebut tentang tugas yang diamanatkan kepadanya dalam Resolusi 1 Juni 1821 Nomor 22 untuk menghindari operasi-operasi ofensif. Hal ini telah diteruskannya kepada pihak-pihak berkompeten, tapi dia berpendapat bahwa “tindakan-tindakan keras penting untuk menahan laju kaum Paderi dan juga untuk melindungi wilayah-wilayah kekuasaan Pemerintah”; untuk menguatkan opininya itu “dia merujuk kepada contoh orang-orang Inggris, yang mengirim 60 pasukan Sipahi ke daerah pedalaman dari satu benteng kecil di Natal.”
Dalam tulisan selanjutnya (tanggal 7 Agustus 1821 Nomor 165) Residen menyampaikan bahwa situasi kondisi saat itu menguatkan keyakinannya; komandan militer menyampaikan kepadanya bahwa serangan terhadap kaum Paderi tidak akan membawa hasil yang baik jika—dalam rangka mengikuti amanat Pemerintah untuk menghindari operasi ofensif—dia tidak diizinkan untuk melakukannya.
Surat resmi tanggal 17 September 1821 (Nomor 173) du Puy lagi-lagi ke persoalan itu: orang-orang Paderi kembali menyerang kampung-kampung yang memihak kita, dan dia “memiliki kecemasan atas akibat-akibat merugikan bila tidak bereaksi ofensif atas mereka.”
Dengan segala desakan ini tampaknya Pemerintah masih memiliki keraguan; dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 13 Oktober 1821 No. 25, merujuk pada berita-berita dari Padang, dinyatakanlah urgensi “untuk mengirimkan tambahan kekuatan berupa personil dan kebutuhan-kebutuhan perang ke sana, untuk dapat digunakan dalam saat urgen nantinya menghadapi kaum Paderi dan para pendukung mereka”, tapi sekaligus diamanatkan kepada sang Residen,” untuk segera langsung memastikan situasi di Pedalaman, dan juga khususnya, menyelidiki apakah kaum Paderi telah menguasai Kerajaan Minangkabau dan apakah seluruh Kerajaan telah berada dalam kendali mereka,”; dan seterusnya “secara mendetail memberikan penilaian-penilaian yang nantinya Pemerintah dapat pertimbangkan, jika seandainya kaum Paderi memang telah mengambil alih Kerajaan Minangkabau dan berada di bawah kendali mereka, untuk mengusir mereka dari sana serta menundukkan Kerajaan di bawah kekuasaan Pemerintah”.
Dari sini terlihat jelas lah betapa sedikitnya Pemerintah Hindia Belanda mengetahui situasi dan kondisi di Sumatera Barat.
Segala keraguan ini akhirnya sirna, ketika dalam laporan 30 September 1821, diterima kabar, “bahwa orang-orang Paderi berani melakukan serangan terhadap pos kita di Simawang, meskipun mereka mundur dengan membawa korban.”[19]
“Sekarang jelaslah…” tulis Jenderal de Kock dalam laporan yang kita sebut tadi ”Setelah menimbang apa-apa yang telah terjadi, melihat semakin lancangnya kaum Paderi, yang senantiasa menolak untuk tunduk pada kekuasaan Belanda, dan ketidaksenangan yang diwujudkan dalam tindakan yang kurang lebih berbentuk kekerasan, serta dengan terbuka melakukan perlawanan, tanpa ragu melakukan penyimpangan-penyimpangan yang layak dapat hukuman, sekaligus menjadi penyebab merananya, bahkan mandeknya perdagangan di Pedalaman. Kini, saya sampaikan, meskipun kelihatannya sulit atau bahkan mustahil untuk sepakat dengan laporan-laporan yang diterima hingga sejauh ini, yang sebenarnya didasarkan pada situasi riil di sana, tapi harus kita ambil keputusan:
- Bahwa kaum Paderi memiliki sumber daya yang kekuatannya dinilai secara keliru oleh Pemerintah Belanda karena minimnya pengetahuan lokal
- Dalam jangka panjang dikhawatirkan kekuatan militer Belanda yang ada di Sumatera Barat tidak mencukupi untuk mengamankan apa yang dijanjikan dalam Perjanjian/ Traktat 10 Februari 1821 kepada para penduduk Kerajaan Minangkabau, khususnya menyangkut tindakan terhadap kaum Paderi
Namun, apakah atau sejauh mana, di luar apa yang selama ini telah terjadi, masih ada kemungkinan untuk menjaga ketertiban dalam waktu lama tanpa instrumen kekerasan—hal tersebut sebegitu jauh belum diputuskan. Namun, Pemerintah memandang bijak untuk mengutus perwira utama ke Padang untuk mengomandoi suatu kekuatan militer memadai di Padang, sebagai upaya menumbuhkan rasa hormat di kalangan penduduk dan sekaligus diberikan wewenang mengerahkan pasukan, setelah koordinasi intensif dengan Residen Padang dan sesuai dengan situasi, serta setelah mendapat pengetahuan memadai atas keadaan.”
Dalam Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 23 Oktober 1821 Nomor 1 barulah tindakan-tindakan yang diperlukan diambil sesuai dengan isi kalimat-kalimat tersebut. Perintah melakukan ekspedisi diberikan kepada Letnan Kolonel AT Raaff, ketika itu Pelaksana Tugas Kepala Staf Umum, yang kemudian bertolak 4 November 1821 dari Batavia dan sampai di Padang 8 Desember 1821.
Kekuatan pasukan yang menemaninya sesuai arahan Resolusi tersebut terdiri dari:
-Satu flankcompagnie[20] dari Resimen ke-18
-Pasukan untuk mencukupi flankcompagnie dari Resimen Infanteri ke-19 yang telah ada di Padang -Penguatan Detasemen Artileri |
:
: : |
4 opsir dan 150 personil
27 personil 10 personil |
-Pasukan yang sudah ada di Sumatera Barat | : | 8 opsir dan 307 personil |
TOTAL PASUKAN | : | 12 opsir dan 494 personil |
Mereka terdiri dari: 284 personil infanteri dan 20 pasukan artileri bangsa Eropa, 50 tentara Bengal, 96 pasukan infanteri dan 44 pasukan artileri pribumi.
Dari gudang senjata di Padang[21] ditambah 5 meriam (1 houwitser metal 5 ½ duim,[22] 1 kanon metal 6 duim dan 3 kanon metal 1 ½ duim), yang kemudian dilengkapi dengan amunisi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dengan mendatangkan peluru-peluru artileri tajam, peta-peta, pemantik, skering dll yang diperhitungkan untuk kebutuhan selama 6 bulan. Belakangan, 30 ribu peluru artileri dan 800 peluru meriam juga didatangkan. (*)
Ilustrasi @mitahmiwuwu
Catatan kaki:
[1] Petrus Theodorus Chassé, dari 1826 sampai 1829 menjabat Letnan Gubernur Jenderal adalah Saudara dari Jenderal Chassé yang terkenal.
[2] Peraturan/ Instruksi
[3] Akte Kerjasama
[4] Kontrak
[5] Lebih lanjut disebutkan beberapa variasi tentang tanaman-tanaman pelindung serta lebar tanaman semak-semak kopi
[6] Tampak di sini Pemerintah Hindia Belanda ketika itu tidak begitu memahami institusi-institusi pribumi di Sumatera Barat!
[7] Asumsi de Stuers (pada halaman 44) seolah-olah tindakan kita memusnahkan panci-panci pembuatan garam menjadi pemicu utama kekacauan tersembut; kita lebih cenderung pada opini Francis (karya sebelumnya Bagian III hal. 157) yang menyebutkan bahwa orang-orang VII Kota tampaknya ingin memperpanjang kekacauan yang telah mereka buat pada masa kekuasaan [Inggris] sebelumnya; narasi de Stuers dari sudut pandang kronologis tampaknya tidak tepat.
[8] [Buitenbezittingen]
[9] Maksud “tempat lain” di sini mudah dipahami: “ke tetangga kita [saat itu], orang-orang Inggris di Bengkulu atau Natal”. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan mengingat sikap Raffles yang telah kita bahas.
[10] Menurut Francis, III hal. 158, 12 orang tentara pribumi “menemani dua bersaudara Tuanku Saruaso” ke Simawang. Menurut de Stuers juga komisi tersebut terdiri dari dua tokoh dan personil yang sama. Pendapat Lange (I hal. 22) bahwa satu detasemen 12 orang dikirim untuk “menduduki pos di Simawang” sebenarnya kurang tepat.
[11] [Catatan penerjemah: Harfiah berarti ‘Komandan Pasukan’. Tidak jelas di sini dimaksudkan komandan seluruh pasukan Belanda di Hindia Belanda atau komandan pasukan Belanda yang telah ada di Sumatera Barat.]
[12] Tuanku Alam Begagar Syah ini adalah sang kemenakan, dan karenanya sesuai institusi adat wilayah itu, menjadi waris sah dari Raja Muning. Beliau kemudian menjadi Regen Tanah Datar.
[13][Catatan penerjemah: karena kami tidak memiliki dokumen atau catatan tentang isi perjanjian tersebut dalam bahasa lokal atau bahasa perjanjian itu dibuat, maka kami ikuti saja terjemahan penulis)
[15] [L.S. = lectori salutem (bahasa Latin), harfiah berarti salam untuk pembaca, digunakan dalam surat untuk pembaca yang tidak diidentifikasi secara khusus]
[16] Lange (I hal. 23) secara tidak sengaja menulis 18 Februari 1821 sebagai tanggal pendudukan pos SImawang
[17] Demikianlah dalam kutipan-kutipan selanjutnya para pribumi yang menjadi lawan kaum Paderi dinamai, meskipun kaum Paderi itu sendiri sama-sama orang Melayu. Untuk kepraktisan kami mengikuti pembedaan ini.
[18] [Catatan penerj. Compagnie bisa diartikan perusahaan atau pasukan setingkat kompi (100-150 personil). Dalam konteks ini kami belum bisa pastikan yang paling sesuai]
[19] Tentang pertarungan-pertarungan selanjutnya, yang disebut oleh Lange (I hal. 24), kita tak menemukannya disebut dalam dokumen-dokumen yang kami miliki; pertempuran-pertempuran tersebut juga tidak signifikan.
[20] [harfiah: pasukan sayap]
[21] Lange (I hal. 28) secara keliru menyebutkan bahwa meriam tersebut dibawa oleh Raaff (dari Batavia). Detail-detail militer ini didasarkan pada laporan Jenderal de Kock.
[22] [1 duim=1 ibu jari=ukuran panjang 2,54 cm]
Izin membaca dan ngambil untuk referensi