
Keputusan DPR untuk mengganti Hakim Konstitusi Aswanto di tengah jalan bukanlah persoalan yang dapat diterjemahkan sebagai keputusan politik semata. Pasalnya langkah mengejutkan yang bagai guntur di siang bolong itu mencerminkan tingginya libido politik DPR yang secara serampangan menempuh cara paksa untuk mengendalikan MK. Bahkan keputusan DPR untuk memasang Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto memperlihatkan betapa lembaga legislatif itu tidak sungkan mengangkangi undang-undang yang ia buat sendiri.
Bertentangan dengan UU MK
Dalam 19 tahun usia MK yang berjalan berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003—undang-undang yang mendasari peradilan konstitusi itu telah mengalami beberapa kali perubahan melalui UU Nomor 8 Tahun 2011 dan UU Nomor 7 Tahun 2020—di mana ketentuan masa jabatan Hakim Konstitusi dapat dikatakan menjadi inti perubahan. Semula berdasarkan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003, seorang Hakim Konstitusi memiliki masa jabatan selama 5 tahun yang dapat diperpanjang satu kali sehingga maksimal menjabat selama 10 tahun. Selain itu, UU Nomor 24 Tahun 2003 juga membatasi masa jabatan Hakim Konstitusi bilamana telah berusia 67 tahun. Batas usia inilah yang kemudian diperpanjang hingga 70 tahun berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011 di samping adanya ketentuan dua kali masa jabatan. Sementara perubahan undang-undang MK terbaru berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2020 tidak lagi mengenal periodesasi, sehingga aturan main ihwal masa jabatan Hakim Konstitusi kian diperlebar dengan batasan usia 70 tahun atau telah menjabat selama 15 tahun.
Perubahan UU MK tersebut diiringi dengan aturan peralihan pada Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 yang menyatakan Hakim Konstitusi yang tengah menjabat saat perubahan undang-undang terjadi dianggap memenuhi syarat sepanjang masa tugasnya masih memenuhi ketentuan batas masa jabatan. Artinya, ketentuan ini juga berlaku bagi Aswanto yang mulai menjabat sejak 21 Maret 2014 sekalipun ia telah mengalami perpanjangan masa jabatan pada 21 Maret 2019 ketika ketentuan masa tugas masih diatur berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011. Singkat kata, Aswanto sejatinya berhak atas masa jabatan hingga 21 Maret 2029.
Landasan hukum inilah yang jelas-jelas diterobos DPR dengan mengganti Aswanto di tengah jalan. Bahwa alasan DPR yang menyatakan masa jabatan Aswanto telah habis tidak dapat dibenarkan dengan logika hukum apapun. Bahkan bilamana meminjam cara berpikir DPR berdasarkan ketentuan masa jabatan di UU Nomor 8 Tahun 2011 yang tidak lagi berlaku, Aswanto pun seharusnya masih dapat menjabat hingga 21 Maret 2024. Hal itu juga harus didahului dengan selesainya masa jabatan Aswanto untuk dapat digantikan, sehingga Guntur Hamzah hanya dapat masuk setelah masa tugas Aswanto berakhir dan bukan turun-naik di tengah jalan.
Berawal dari Surat MK kepada DPR atau Karena Putusan?
Menyitir keterangan Jubir MK, pencopotan Aswanto diawali dari surat MK kepada DPR pada tanggal 21 Juli 2020 perihal pemberitahuan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 atas pengujian Pasal 87 huruf a dan huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020. Melalui surat itu, MK memberi konfirmasi kepada lembaga pengusul bahwa Hakim Konstitusi yang tengah menjabat tidak lagi dibatasi oleh periodesasi. Akan tetapi oleh DPR surat itu ditanggapi secara serampangan dengan mencopot Aswanto.
Berbeda dari keterangan tersebut, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto, justru menilai pencopotan itu disebabkan oleh kinerja Aswanto yang tidak berkomitmen kepada DPR. Menurut Bambang, Aswanto seharusnya menjadi perpanjangan tangan DPR demi menjaga kepentingan di antara Majelis Hakim Konstitusi, bukan malah mengambil peran dalam menganulir produk hukum buatan lembaga pengusulnya. Kenyataan ini memperlihatkan adanya konflik kepentingan antara DPR sebagai lembaga pengusul dengan Aswanto terkait dengan kinerjanya sebagai Hakim Konstitusi. Indikasi itu dapat ditinjau melalui putusan MK terkait UU Cipta Kerja, di mana Aswanto merupakan satu dari 5 Hakim Konstitusi yang menilai undang-undang tersebut inkonstitusional.
Alasan Bambang inilah yang tampaknya menjadi dasar bagi DPR untuk menempuh cara paksa itu. Namun, atas dasar apa seorang Hakim Konstitusi bertanggung jawab kepada lembaga pengusulnya? Ketentuan pertanggungjawaban itu bahkan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sebaliknya memberi posisi independen kepada Hakim Konstitusi. Lebih jauh lagi, cara paksa DPR justru menunjukkan upaya legislatif untuk mencampuri kekuasaan kehakiman yang sejatinya harus bersih dari segala bentuk konflik kepentingan serta kontrol lembaga manapun, termasuk lembaga pengusulnya. Bila ditinjau kembali berdasarkan undang-undang MK hingga UUD 1945, hubungan antara Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusul telah selesai ketika mekanisme pengisian jabatan dilakukan. Dengan kata lain, tidak terdapat perikatan hak dan kewajiban antara Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusulnya.
Di tengah kritik deras dari berbagai pihak atas lumpuhnya fungsi pengawasan DPR, keputusan mencopot Aswanto di tengah jalan benar-benar mengejutkan. Kian hari MK semakin jauh ditarik untuk terjebak dalam politik transaksional. Bukan tidak mungkin, bila kecenderungan politik semakin kuat menundukkan MK, masuknya Guntur Hamzah hanya akan memperlihatkan dirinya tampil sebagai politisi bertoga di Medan Merdeka. (*)