Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
Dalam karyanya yang sohor “Onze Indische Financiën Nieuw Reeks Aantekeningen”[1], mantan menteri daerah koloni E de Waal pada bagian VI (halaman 118 dst) memberikan semacam “sumbangan besar atas sejarah resmi” daerah Padang. Usahanya itu dikatakan belum “sepenuhnya sempurna, tapi menyuguhkan sketsa yang harapannya akan dilanjutkan oleh para ahli”.
Pada halaman 122 dia menyampaikan bahwa alasan sesungguhnya pendudukan kita atas daerah pedalaman Padang dan keterlibatan kita dalam Perang Paderi masih digali dari arsip-arsip yang tersedia. Tentang fakta-fakta politis konflik ini masih berupa “asumsi-asumsi yang berserakan”.
Tanpa hendak menyebut diri salah satu dari “para ahli” yang dimaksud Tuan de Waal, dengan persetujuan Menteri Koloni saya bermaksud meneliti data tentang perkembangan otoritas kita di Sumatera Barat pada arsip-arsip yang masih tersedia. Memang pada beberapa hal kadang tak banyak hasil yang saya cari, tapi pada hal-hal lain sangat banyak yang didapatkan. Sehingga, saya berpendapat dengan menyampaikan hal-hal di bawah ini sedikit banyak saya dapat berkontribusi terhadap penulisan sejarah Sumatera Barat.
Teringat akan slogan qui trop embrasse[2], saya akan fokus pada periode awal Perang Paderi (1819-1825), dengan harapan nanti periode selanjutnya akan dibahas dengan metode serupa.
===
BAGIAN PERTAMA
Tinjauan umum atas pemerintahan sementara Inggris-Perjalanan Raffles ke Padang pedalaman-Rencana-Rencana Raffles-Para Tuanku dari Saruaso-Pertemuan Raffles dengan para penghulu di Solok-Raffles mengunjungi Saning Bakar, Simawang, Saruaso dan Pagaruyung dan meninggalkan satu detasemen di Simawang-Harapan-Harapan Raffles-Keadaan pos militer di Simawang. Du Puy ditunjuk mengambil alih pendudukan Padang Barat dari Inggris dan instruksi-instruksinya-Keberatan Raffles atas pengambil-alihan—Du Puy kembali tanpa hasil-Sikap Raffles ditolak oleh Lord Hastings-Du Puy kembali ditunjuk sebagai komisaris dan residen di Padang-Dibbetz wakil komisaris-Bendera Belanda berkibar di Padang pada 22 Mei 1819-penyerahan Air Bangis ditolak Inggris-Pembicaraan-pembicaraan tentang penolakan itu-Pulau Batu dikuasai.
Setelah kekuasaan Nederlandsche Oost-Indische Compagnie[3] di sepanjang pantai Barat Sumatera beralih ke tangan Inggris secara memalukan pada tanggal 30 November 1795, yang terakhir pun mendirikan kantor di Padang, Air Bangis dan Pulau Cingkuk—menambah benteng sebelumnya yang telah ada di Bengkulu, Natal dan Tapanuli. Di Padang ditempatkan seratusan tentara Bengali dan sejumlah pasukan pribumi dari Bengkulu; tapi secara umum Inggris jarang berurusan keluar dari tempat mereka.
Kata De Stuers[4],
”Sebagai perhimpunan dagang, mereka (East India Company) melihat bahaya jika memaksakan kekuasaan; sehingga hanya membatasi diri memberikan konsultasi dan membiarkan penduduk pribumi mengurus diri mereka sendiri asalkan tidak mengganggu urusan perusahaan. Di luar Padang mereka melewati daerah berawa-rawa. Tindakan kejahatan jarang dihukum karena pelakunya tidak ditemukan. Bila otoritas ikut masuk, maka pembuangan selama periode tertentu saja jadi hukuman terberat. Bisnis perusahaan lagi-lagi tidak signifikan (bahkan di bawah pemerintahan Belanda). Para pegawai perusahaan yang diserahi koloni sepenuhnya mengambil banyak keuntungan untuk diri sendiri. Tampaknya usaha mendapatkan keuntungan-keuntungan baru dianggap menjadi kepentingan segelintir orang.”
Seberapa kecilnya orang-orang Inggris–setidaknya sampai 1818– tertarik selain kepada keuntungan bisnis langsung terlihat dari laporan yang dibuat Letnan Jenderal de Kock pada 12 April 1823 tentang “gangguan-gangguan di daerah Padang” kepada Gubernul Jenderal. Kita baca “Raaff[5] baru tahu bahwa ketika Inggris berkuasa kaum pribumi meminta bantuan dan sokongan menghadapi kaum Paderi. Karena Inggris merasa tidak cukup kuat, mereka menggunakan cara-cara lunak. Padang berhasil dijauhkan dari kaum Paderi dengan pemberian emas dan hadiah.”
Kondisi umum selama kekuasaaan Inggris dapat kita baca dari informasi Francis, yang pada 1825 membantu residen de Stuers dan dari 1834-1837 bahkan menjadi residen wilayah “Padang dan Sekitarnya”.
Menurutnya, apabila gangguan ketentraman terjadi di masa Inggris, berita tentang itu dikirim ke Bengkulu. Selanjutnya, sejumlah personil pasukan dikirimkan yang kemudian kembali ke Bengkulu apabila persoalan dianggap tuntas. Memang tidak ada ancaman yang benar-benar serius terjadi, tapi ketika Grant menjadi residen pada 1807-1814 terjadi perselisihan dengan VII Kota di Selatan Pariaman. Karena tidak diatasi dengan baik, hal tersebut membawa masalah lanjutan bagi Inggris. Kepala daerah VII Kota kemudian dipanggil menemui Grant untuk membahas apa-apa yang jadi persoalan; tapi hal ini tidak terlaksana. Sang Kepala bersikukuh untuk menyelesaikan masalah di Pariaman seperti kebiasaan sebelumnya. Satu ekspedisi kecil mengatasi para pemberontak, tapi mengalami kekalahan bahkan dua meriam direbut. Kekalahan ini tidak bisa ditebus. Penduduk VII Kota terus menerus mengancam orang-orang Inggris dan penduduk Padang sehingga dipandang perlu membuat benteng perlindungan di Apenberg –bukit kecil di muara sungai Padang—dengan gudang-gudang luas yang diisi bekal darurat yang cukup untuk enam bulan. Sehingga, apabila terjadi hal tidak diinginkan seluruh penduduk Nasrani bisa berlindung ke sana.
Jadi benarlah informasi yang disampaikan oleh Tuan Waal, bahwa “pada bulan Mei 1819 yang kita dapat kembali dari Inggris hanyalah secuil wilayah pantai yang terabaikan, dengan Padang sebagai pusatnya.” Namun, jika kita timbang-timbang situasi pada tahun 1819, musti kita catat juga kontak yang dilakukan oleh Raffles dengan wilayah pedalaman yang sebelumnya tak begitu dikenali, dimulai pada 1818.
Raffles ketika itu menjabat Letnan Gubernur Bengkulu sehingga menjadi pimpinan pertama pendudukan Inggris di Sumatera Barat. Tiba di Bengkulu pada Maret 1818 dia segera merencanakan mengunjungi Padang dan sedapat mungkin memperoleh pengetahuan tentang situasi di kerajaan lama Minangkabau “yang telah lama membangkitkan rasa penasarannya, berhubung dia memiliki minat mendalam terhadap sastra Timur”.[6]
Itulah alasan perjalanannya ke Padang Darat[7] yang dikemukakan kepada publik; ekspedisi itu dipandang sebagai representasi minat ilmiah Raffles, sehingga tidak heran dia ditemani oleh seorang peneliti, Dr. Horsfield. Profesor Veth[8]menunjukkan bahwa Raffles adalah seorang dengan “bakat-bakat istimewa, pandangan-pandangan brilian dan semangat kerja yang luar biasa”. Selama di Bengkulu dia menggunakan segala cara membendung penyebaran kekuasaan Belanda di Nusantara dan meluaskan pengaruh Inggris. Sehingga tampak dari aktivitas-aktivitas Raffles, bukanlah kemajuan ilmu pengetahuan tapi tujuan politis lah sebagai alasan utama. Orang-orang Belanda masa itu di Sumatera Barat hanya bisa sampai menjadi penguasa wilayah-wilayah pantai, sehingga bila Padang dan sekitarnya musti diserahkan kembali maka mereka tidak bisa mengklaim apabila Inggris telah memiliki pendudukan di pedalaman. Apabila hal itu terjadi maka Inggris akan semakin kukuh di pedalaman Sumatera. Kebetulan saat itu peluang sedang bagus, sebab kaum Paderi sedang gencar-gencar meluaskan pengaruh dan menyingkirkan pimpinan-pimpinan adat. Beberapa pemimpin ini bahkan telah mencoba memohon bantuan kepada Inggris.
Untung bagi kita, rencana Raffles yang dipandangnya sangat hebat itu dan dirancang dengan seksama tidak disetujui Lord Hastings, Gubernur Jenderal Hindia-Inggris, sehingga langkah-langkah yang dilakukan tidak ditindaklanjuti.
Dalam perjalanan ini (16 sampai 30 Juli 1818) Raffles ditemani 5 orang Eropa lainnya termasuk istrinya, 50 pasukan Bengali dan seratusan kuli, seorang Tuanku/ pemimpin adat di Padang, sejumlah pedagang pribumi terkemuka, dua kerabat kerajaan Minangkabau yang akan memainkan peranan bertahun-tahun ke depan.
Yang disebut belakangan, yakni dua orang Tuanku dari Saruaso menyatakan diri dan juga diakui Inggris sebagai wakil kerajaan Minangkabau. Padahal, mereka hanyalah anak laki-laki dari Tuan Gadis, mantan istri penguasa yang sah Raja Muning, sehingga menurut adat pribumi mereka tak punya hak atas klaim yang mereka buat.[9]
Melalui pemberian uang atau hadiah barang, Raffles bisa mengatasi keberatan beberapa tempat terhadap perjalanan yang dilakukannya. Pada malam tanggal 19 Juli 1818, setelah melewati daerah Pauh dan XIII Kota, rombongan Raffles tiba di Salayo dan Solok.
Esoknya, di tempat itu diadakanlah pertemuan dengan para penghulu yang “jumlahnya ratusan”. Raffles menyatakan maksud perjalanannya dan juga menanyakan apakah mereka setuju Belanda kembali berkuasa di Sumatera Barat. Pertanyaan ini secara mutlak dijawab tidak setuju oleh seluruh hadirin, sehingga ditulislah sebuah surat kepada Raja Inggris yang ditandatangani oleh para penghulu terkemuka. Kesejahteraan wilayah itu dimohonkan melalui kemurahan hati Raja Inggris; Raffles menamakan surat itu “surat resmi bernilai tinggi”, satu penilaian yang tidak keliru mengingat tujuan-tujuan yang ingin diraihnya. Setelah membahas hal-hal politis lainnya, para penghulu yang jumlahnya banyak itu pulang dengan membawa hadiah.
Pada 21 Juli 1818, perjalanan dilanjutkan ke Saningbakar, yang disebutnya “kota dengan banyak penduduk.” Hari berikutnya dengan menaiki kapal menyeberangi Danau Singkarak rombongan sampai di Simawang, satu kampung di atas bukit kecil dekat mulut sungai Ombilin yang airnya berasal dari danau.
Dari Simawang, rombongan bertolak ke Saruaso dan Pagaruyung, bekas ibukota kerajaan Minangkabau yang dulu pernah sangat berjaya. Di Saruaso Raffles diterima oleh Tuan Gadis yang disebut tadi, yang olehnya—mungkin atas saran putra-putranya dua Tuanku Saruaso—dipandang sebagai penguasa wilayah pedalaman.
Dalam perjalanan kembali ke Simawang, Raffles mencoba melakukan kontak dengan kaum Paderi, tapi sayang tak satu pun yang berani menjadi utusannya; yang dapat dilakukannya hanyalah meninggalkan sepucuk surat di atas sepucuk bambu di satu “tempat yang sepi.” Balasan yang diterimanya dengan cara yang sama sederhana saja: kami ingin hidup damai jika Kompeni mau membantu penyebaran ajaran agama yang benar.
Karena permintaan penduduk, bendera Inggris dikibarkan di Simawang. Sebagai pasukan penjaga, Raffles meninggalkan satu detasemen dengan 12 tentara Bengali. Detasemen kecil ini kemudian ditambah jadi 80 orang, memikul beban untuk tetap netral terhadap partisan.[10] Dengan cara ini Raffles berharap hubungan yang agak damai dengan kaum Paderi. Seorang opsir, Tuan Salmon—yang pada 1816-1817 jadi residen Padang—ditunjuk bertugas di Simawang, dengan misi utama mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang apa yang sedang terjadi di pedalaman. Karena tak lama kemudian Kantor Kompeni Belanda yang lama harus diserahkan kembali kepada Belanda, pasukan Inggris di Simawang langsung ditarik. Tuan Salmon tidak bisa menjalankan misi yang ditugaskan.
Setelah Raffles meletakkan dasar bagi hubungan kita nantinya dengan daerah pedalaman, dia kembali ke Padang melewati rute yang berbeda—melalui Paninggahan dan Koto Tangah.
Raffles sangat puas dengan hasil perjalanannya. Tulisnya, ”Dari segi politis, hasil-hasil yang sangat besar boleh kita nanti. Masih belum lama berlalu ketika kedaulatan Minangkabau diakui di seluruh Sumatera. Pengaruhnya bahkan sampai ke pulau-pulau lain di sekitar. Orang-orang yang terhubung dengan keluarga kerajaan Minangkabau masih diberikan penghormatan kerajaan. Apabila kita menyokong otoritas mereka, dengan mudah pemerintahan sentral akan didirikan. Sungai-sungai yang mengarah ke pantai Timur Sumatera bisa menjadi penghubung dengan pusat pemerintahan. Dan di bawah pengaruh Inggris, Sumatera akan kembali mencapai kejayaannya.”
Seperti diketahui, rencana-rencana Raffles ini tidak terealisasi. Gubernur-Jenderal Inggris di Bengali tidak menyetujuinya dan segera memerintahkan penyerahan “residensi Padang” kepada pemerintahan Hindia Belanda pada 1819. Serentak dengan penyerahan kekuasaan, pasukan Inggris di Simawang pun meninggalkan posnya.
Bagaimana kondisi pos Inggris di Simawang semasa aktif? Menurut de Stuers[11], “Pasukan Inggris di Simawang, yang di pusat pedalaman itu, selama setahun tak pernah diganggu”; dan “Orang-orang pribumi, baik kaum Paderi maupun orang-orang Melayu,[12] tidak menentang kehadiran Inggris.”
Namun Francis[13]–yang sama kapasitas kehadirannya dengan de Stuers di sana dalam mendapatkan info-info lokal dan umumnya berusaha memiliki pandangan-pandangan yang netral–menyampaikan bahwa pos pasukan Inggris di Simawang “sering diganggu dan diserang oleh orang-orang Paderi.”
Mana yang benar di antara keduanya, kami tak berani memutuskan. Namun dalam satu aspek sangat mungkin yang dikatakan Francis. Apalagi alasan yang mungkin dari penambahan jumlah pasukan sampai mencapai 2 opsir dan 100 tentara serta 4 meriam pada Mei 1819? Lagipula lazim diketahui bahwa kaum Paderi tak segan-segan menggunakan senjata untuk menyebarkan ajaran mereka. Mengapa mereka mentolerir hadirnya benteng pasukan “kafir” selama itu?
Sesuai Traktat pada 13 Agustus 1814, koloni-koloni Belanda yang dalam penguasaan Inggris di Hindia Belanda di Nusantara akan dikembalikan seluruhnya. Penyerahan Jawa terjadi pada 1816, dan akan disusul koloni-koloni lainnya.
Untuk pengambilalihan pendudukan di Padang, pada Mei 1818 ditunjuklah James du Puy. Dia sebelumnya Sekretaris pemerintahan-Antara Inggris, kemudian sekembalinya kekuasaan Belanda di Jawa sebagai Sekretaris Utama dan anggota Raad van Financiën.[14] Komisaris Jenderal menunjuknya sekaligus sebagai Residen Padang dan diberikan satu instruksi yang berisi “poin-poin rahasia” berikut ini[15]:
- “Jika tiba-tiba terjadi penolakan Pemerintahan Inggris atas penyerahan daerah Padang dan sekitarnya selain dari yang tercantum dalam persyaratan-persyaratan, bertentangan dengan instruksi yang diberikan kepadanya sebagai Residen,[16] dan khususnya berlawanan dengan artikel 12 persyaratan tersebut. Maka dalam hal itu, jika dituntut darinya untuk memberikan pengakuan legalitas, sebagai salah satu yang disyaratkan dalam penyerahan tersebut, dia haruslah menjelaskan kepada Otoritas Inggris dengan terus terang, bahwa dia memiliki beban yang serius untuk tidak melakukan pengambil-alihan atas dasar ini”
- “Jika Letnan Gubernur Inggris atau residen masih bersikeras dengan posisinya setelah penjelasan ini, maka dia harus menanyakan secara tertulis dan kategoris tentang pengambil-alihan ini. Dan jika terjadi penolakan atau mengulur-ulur jawaban, haruslah dia mengajukan keberatan atas nama Yang Mulia (Raja Belanda) terhadap tindakan tersebut dan segera kembali ke Batavia.”
Tampaknya, Komisaris Jenderal punya alasan untuk berasumsi bahwa keberatan-keberatan Raffles akan dijawab dengan instruksi sedemikian. Bagaimana selanjutnya, yang jelas du Puy yang pada 27 Mei 1818 telah berada di kapal Zs. Ms. Fregat Wilhelmina dengan satu infanteri kompeni bangsa Eropa dan sejumlah pasukan artileri, bertolak dari Batavia. Dia harus balik lagi tanpa hasil, setelah setibanya di Bengkulu mendengar bahwa Raffles belum menerima perintah penyerahan daerah Padang dan sekitarnya dari (Gubernur Jenderal Inggris di) Bengali. Sehingga tidak bisa dibahas hal apa pun tentang penyerahan itu, selama Belanda tidak mengakui kewajiban menutupi biaya administrasi Pemerintahan Inggris yang jumlahnya mencapai 170.000 dolar.
Tindakan du Puy ini didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda dan mengadu kepada Lord Hastings yang sama sekali tidak menyetujui sikap Raffles. Raffles datang secara pribadi ke Kalkuta, tapi dia tak berhasil mengubah pikiran sang Gubernur Jenderal, setidaknya tentang hal-hal yang terjadi di Sumatera. Pesan-pesan resmi Lord Hastings kepada Pemerintah Hindia Belanda dari 10 Oktober sampai 7 November 1818 dalam Resolusi pada 5 Februari 1819 nomor 15 disimpulkan “memuat ketidaksetujuan atas sikap Knight Raffles tentang Palembang, Lampung dan Padang” dengan penekanan serius terhadap yang bersangkutan untuk “tidak lagi mencampuri urusan Palembang dan Lampung serta segera menyerahkan Residensi Padang kepada Pemerintah Belanda.”
Oleh karena itu, du Puy yang sebenarnya “telah ditunjuk oleh Komisaris Jenderal sebagai Residen Padang, tapi sejak itu juga bertugas sebagai Residen Bantam [Banten]” pada Resolusi 9 Februari 1819 Nomor 4 kembali “diangkat dan ditunjuk” sebagai Residen Padang dan selaku komisaris pengambil-alihan wilayah itu dari otoritas Inggris.
Pada artikel 3 Resolusi di atas ditetapkan, bahwa pemerintahan di Padang untuk sementara “berdiri sendiri dan diawasi oleh pegawai yang jumlahnya sama dengan semasa Pemerintahan Inggris.” Pada artikel 4 ditentukan bahwa “Opsir komando kapal Zr. Ms. Fregat Wilhelmina, yakni Kapitein ter Zee[17] Dibbetz yang akan mengangkut bakal Residen, akan ditunjuk sebagai wakil komisaris dalam proses pengambil-alihan kekuasaaan. Namun, hanya sebatas pengambil-alihan langsung dan hal-hal seremoni lain yang dipandang perlu.”
Pada 25 April 1819 du Puy kembali bertolak dari Batavia, ditemani pegawai-pegawai yang akan ditunjuk untuk Sumatera Barat, 150 pasukan infantri bangsa Eropa, 12 pasukan artileri dengan dua 6-uers(?). Pada 17 Mei 1819 mereka sampai di Padang dan pada tanggal 22 bulan yang sama bendera Belanda telah dikibarkan.
Pendudukan Inggris terdiri dari 6 perwira dan 201 anggota, termasuk yang di Simawang. Atas permintaan mereka sendiri dan setelah disetujui Inggris, 76 pasukan Bengali dan pribumi masuk ke dinas pemerintahan Belanda. Total Belanda jadinya memiliki 238 pasukan, yang sebagian di antaranya dua detasemen berisi masing-masing 6 tentara dikirim ke Pulau Cingkuk dan Air Haji. Pada 24 Juli 1819 di Pariaman ditempatkan satu garnisun dengan satu opsir dan 12 tentara.
Air Bangis tetap dikuasai Inggris. Sebab dulunya tempat ini ditinggal begitu saja oleh Belanda sehingga menurut Residen Inggris di Natal dan didukung oleh Raffles, Belanda tak punya hak lagi di sana. Menurut pandangan kita [Belanda] hal itu sebaliknya. Kita baca dalam Resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 3 Oktober 1820 Nomor 28: “Menurut retroacta [?] jelaslah bahwa di Air Bangis sampai tahun 1793 sudah ada garnisun kecil Kompeni Hindia Timur Belanda. Namun, ketika pasukan ini ditarik untuk memperkuat garnisun di Padang, bendera Belanda diserahkan kepada kepala-kepala pribumi di Air Bangis untuk disimpan, sampai akhirnya orang-orang Inggris juga mendapati halnya seperti itu.”
Tentang persoalan Air Bangis ini, baik antara Pemerintahan Inggris dan Belanda maupun antara Gubernur Jenderal kedua negara (Lord Hastings dengan Baron van der Capellen) serta du Puy dan Raffles terlibatlah korespondensi yang cukup lama.
Pada 28 Juni 1820, Raffles menulis kepad du Puy, “Disebabkan lamanya vakum posisi komando pada daerah sekitar Padang yang diklaim kembali oleh Belanda, yakni Air Bangis, dan untuk menunjukkan rasa hormatnya terhadap Pemerintah Belanda, dia [Raffles] memutuskan untuk mengosongkan pos [Inggris] di wilayah itu, dengan harapan Pemerintah Belanda dalam menunggu keputusan otoritas yang lebih tinggi juga tidak mengambil alih tempat itu. Jika halnya tidak begitu, maka dia [Raffles] akan mengajukan keberatan.”
Namun, du Puy justru membuat keputusan untuk mengambil alih Air Bangis, tampak dari surat yang ditulisnya pada 7 Agustus 1820. Hal itu kemudian didukung oleh Resolusi 3 Oktober 1820 yang disebutkan tadi, pada Nomor 28. Pertimbangannya, “bahwa apa pun nanti keputusan finalnya, bagi penguasa sah nanti pasti akan ada gunanya apabila tetap ada representasi Pemerintah Eropa di sana.”
Untuk hal itu, satu komite dari Padang dikirim ke Air Bangis. Tapi, belum sampai bertugas komite itu kembali lagi karena ternyata pasukan Inggris masih di sana. Residen Inggris di Natal menyampaikan tidak mengetahui perintah untuk mengosongkan Air Bangis (Resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan (Raad) pada 17 Oktober 2020 Nomor 34).
Kasus itu untuk sementara dalam keadaan status quo, meskipun tetap dibahas dalam korespondensi resmi. Kita baca pada Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 17 Agustus 1821 Nomor 1: “Dari surat khusus Lord Hastings bertanggal 10 Maret lalu bisa kita lihat pandangan otoritas lebih tinggi Inggris tentang hal ini, yang tampaknya mencela sikap Tuan Raffles dalam persoalan tersebut.”
Semenjak itu, persoalan Air Bangis diselesaikan oleh antar pemerintahan di Eropa dan baru pada Traktat London Tahun 1824 menemukan solusi awalnya.
Sementara itu, Raffles—menurut surat dari Residen dan Komandan Militer Padang pada 6 November 1823 Nomor 257—masih menagih janji Belanda “untuk tidak menduduki pos di Air Bangis sebelum ada keputusan otoritas tertinggi jika dia telah menarik garnisun Inggris dari sana.” Namun Residen Raaf menjawab bahwa dia tidak memiliki kewenangan terikat dengan perjanjian itu, meskipun dia pada saat yang sama juga menulis kepada Pemerintahan Hindia Belanda,“Selama orang-orang Paderi masih berada di sekitar Air Bangis, representasi otoritas kita di sana dalam situasi dan kondisi saat ini akan lebih banyak untung daripada ruginya” bagi kita (Resolusi Gubernur Jenderal pada Dewan tanggal 24 Februari 1824 Nomor 19).
Setelah ditetapkan dalam artikel ke-9 Traktat London yang menyatakan bahwa Pos Dagang pada Benteng Marlborough dan seluruh pendudukan Inggris Raya di Pulau Sumatera diserahkan kepada Raja Belanda, ketika Kolonel H.J.J.L de Stuers menjabat Residen dan Komandan Militer Sumatera Barat, Natal dan daerah bawahan sekitarnya termasuk Tapanuli dan Air Bangis diambil alih oleh otoritas Belanda pada 1825. Penyerahan Air Bangis terjadi pada 19 Juni 1825 (Resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 1 November 1825 Nomor 10). Mayor Rothmalder ditugaskan sebagai pimpinan otoritas sipil dan militer atas Natal dan daerah-daerah bawahannya.[18]
Mungkin di sini tepat pula untuk menyampaikan bahwa pada September 1819 “Pulau Batu yang berada di bawah pemerintahan Padang” juga telah diambil alih. Dan bahwa atas dasar signifikannya perdagangan dengan pulau itu pada masa lalu, yang kemudian dipindahkan ke Bengkulu, Aceh dan Pulau Pinang (Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 9 Agustus 1820 Nomor 13). Karena itu, Residen tidak dapat memberi kepastian apakah kepulauan Batu memang sejak dulu sudah dalam kekuasaan Belanda. Produk utama yang banyak dibuat di pulau ini adalah minyak kelapa. Menurut informasi yang diperoleh Residen, kepulauan ini—yang dulu pernah berada di bawah hukum [Belanda]—bisa membawa hasil yang tidak sedikit. Residen kemudian memutuskan mendirikan pos pasukan di sana. Empat tentara Bengali, yang telah tinggal di sini sejak September 1819, kemudian digantikan oleh personil militer Madura atau pribumi (Resolusi Gubernur Jenderal tanggal 18 September 1822 Nomor 7).
Namun semenjak 1825 setelah Traktat London, tampaknya wilayah-wilayah pulau di sebelah Barat Sumatera agak terabaikan, seperti terlihat dari pembahasan-pembahasan kita selanjutnya. (*)
Ilustrasi @mithamiwuwu
Catatan kaki:
[1] Keuangan Hindia Belanda
[2] Terlalu banyak pembahasan sehingga tidak fokus (Istilah Bahasa Perancis)
[3] Kompeni Hindia Belanda (VOC)
[4] De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra (Pendudukan dan Penyebaran Kekuasan Belanda di Sumatera Barat) oleh Mayor Jenderal HJJL Ridder de Stuers, diterbitkan oleh PJ Veth Amsterdam, PN Van Kampen, 1849, halaman 28 dst
[5] (Salah satu perwira pasukan Belanda)
[6] Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stanford Raffles, new ed. 1835, Vol. I hal 386 dst
[7] Padangsche Bovenlanden; maksudnya adalah wilayah pedalaman Sumatera Barat, bukan kawasan pantai.
[8] Gids 1849II, hal. 598
[9] Laporan dari residen De Stuers kepada Gubernur Jenderal, per tanggal 25 April 1825 Nomor 264; juga surat dari residen Du Puy dan Letnan Kolonel Raaff kepada Gubernur Jenderal tertanggal 1 September 1823 Nomor 194.
[10] (Kaum adat vs kaum Paderi, penerj.)
[11] Op cit hal. 48
[12] (Maksudnya kaum adat, penerj.)
[13] Herinneringen (Memoar), op cit, hal. 153
[14] Dewan Keuangan
[15] Resolusi rahasia Gubernur Jenderal pada 21 Mei 1818, No. 2
[16] Begitulah harfiah tulisan yang ada pada arsip di Departemen Koloni. Maksudnya bisa kita tangkap.
[17] (Setara kolonel, penerj.)
[18] Sangat aneh bagi kita, Jenderal de Stuers dalam karyanya yang kita kutip sebelum ini (halaman 41 dan 77 Bagian Pertama) justru menyatakan seolah-olah tak lama setelah Mei 1819, atau setidaknya setelah 1823, kita telah memiliki “satu pos yang terisolasi di pantai arah Utara, di Air Bangis”.