Artikel ini ditulis oleh E. B. Kielstra. Diterbitkan pertama kali pada 1887 dalam Bijdrage tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indie No. 36 tahun 1887, hal. 7-163 dengan judul asli “Sumatra’s Westkust van 1819-1825″. Diterjemahkan oleh Novelia Musda dan diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan non-komersil.
***
BAGIAN KETIGA
Laporan Raaff tentang situasi di Padang Darat–Jalan angkutan militer menuju Pedalaman melalui Ambacang–Pendudukan Sipinang–Pengiriman Pasukan ke Pedalaman–Pasukan bantuan pribumi–Gunung Diduduki–Rencana-rencana Raaff–Upaya negosiasi–Patroli ke Belimbing dan Sulit Air–Sungai Jambu menyerah–Sawah Tengah dan Tabiang dikuasai–Pendudukan Belanda di Gurun–Perubahan rencana semula–Penaklukan Belimbing–Negosiasi dengan para pemimpin Limapuluh Kota—Pertempuran melawan kaum Paderi dekat Gurun—Pagaruyung diduduki—Pendirian pos militer di Batusangkar—Penaklukan Saruaso dan kampung-kampung lain di Tanah Datar—Tanjung Barulak diduduki—Patroli ke Lintau—Operasi mandek sementara; di Tanah Datar diperkenalkan administrasi yang mulai teratur.
Letnan Kolonel Raaff, setibanya di Padang, mendengar bahwa di bulan September 1821 ada ancaman kerusuhan di Pariaman dan daerah-daerah sekitarnya. Sekelompok pribumi bersenjata telah membunuh opas (penjaga) seorang pejabat di Pariaman serta seorang tukang kayu yang sedang memperbaiki rumahnya. Namun, Residen baru memberitahukan ke Pemerintah Pusat pada 5 November 1821 bahwa ancaman ini telah berakhir dan persoalan tersebut, melalui tindakan-tindakan yang perlu diambil, dapat diselesaikan secara damai (resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 8 Januari 1822 No. 16).
Dalam laporannya yang paling awal, Raaff memberikan sejumlah informasi yang dapat dikumpulkannya tentang keadaan di Padang Darat saat itu. Meskipun saat ini kita lebih baik atau lebih lengkap mengetahui tentang keadaan tersebut dibanding Raaff pada masanya, tapi negosiasi-negosiasi yang dilakukannya serta laporan tentang apa yang diketahui Raaff tersebut, sedikit banyaknya masih penting untuk dijadikan rujukan.[1]
Bagian daerah pedalaman yang terpenting dan terbesar di balik wilayah Padang di masa lalu merupakan Kerajaan Minangkabau, di bawah seorang Raja; kerajaan ini berbatas Utara ke Aceh; Timur ke Siak, Indragiri dan Jambi; Selatan dengan Indrapura dan Barat oleh perbukitan Barisan. Karena ketiadaan para pewaris yang sah, kerajaan ini pecah tiga di bawah kekuasaan belahan keturunan raja-rajanya. Karena sebab ini lah banyak wilayahnya ke arah Utara mungkin tereduksi secara signifikan.
Tiga cabang ini kemudian berkuasa bersama. Ada satu di Pagaruyung, satu di Saruaso dan terakhir di Sungai Tarab, sehingga dirujuk dengan nama tempat kedudukannya tersebut (yang semuanya di wilayah regensi Tanah Datar). Kekuasaan mereka memang diberikan pengakuan dahulunya oleh VOC, tapi Raaff menyampaikan adanya “keraguan apakah Tuanku Saruaso memang memiliki wewenang memadai untuk kekuasaan yang diklaim tersebut.”
Tentang orang-orang Paderi—yang mana Tuanku Pasaman selalu disebut sebagai reformator utama, pendiri ajaran baru dan tokoh penyebar dengan kekerasan—Raaff mengatakan mereka mungkin bagian dari sekte Wahabi “yang dipandang oleh orang-orang Turki sebagai heretik dan pemberontak agama Islam”. Setelah memaparkan tindakan-tindakan Wahabi di Arabia dan kebencian luar biasa yang dirasakan kaum muslimin terhadap mereka, Raaff berpendapat bahwa “hal demikian sebagian menjelaskan permusuhan antara orang-orang Melayu dengan kaum Paderi, begitu juga ketidak-percayaan Paderi terhadap kita ketika mereka mengetahui kita bersekutu dengan kaum Melayu pribumi; sekarang situasinya sudah makin meruncing, kepercayaan kaum Paderi terhadap Pemerintah Hindia Belanda boleh dibilang sudah habis.”
Setelah penyelidikan lanjutan oleh Raaff, dia semakin yakin, “Walaupun diasumsikan dari awal bahwa posisi Pemerintah tidak perlu terlalu eksplisit dan kita kemudian menggunakan seluruh cara untuk tujuan tersebut, tidak dapat diharapkan hasil yang maksimal bisa diwujudkan.”
Lagipula Raaff mengetahui (seperti sebelumnya kita singgung),” bahwa semasa kekuasaan Inggris, penduduk pribumi telah meminta bantuan dan dukungan menghadapi pengaruh kaum Paderi. Namun karena merasa tidak cukup kuat, Inggris menggunakan cara-cara yang lebih lunak.”
Orang-orang Inggris memang “berhasil menjauhkan Padang dari kaum Paderi melalui uang dan pemberian; tapi hal ini niscaya membawa imej kepada kaum Paderi bahwa mereka memang berhak menguasai wilayah Minangkabau,” dan segala upaya kita untuk melakukan negosiasi mungkin akan ditolak atas dasar itu.
Setelah pendudukan Simawang keadaan ternyata tidak lebih baik bagi kita, “Disebabkan upaya-upaya yang terlalu lemah–sebagai akibat kurang pengetahuan atas situasi lokal dan tidak memadainya sarana-sarana yang digunakan— segera setelah Simawang diduduki…’ sehingga‘ …semakin banyak daerah yang merasa tidak mendapati dukungan yang dinantikan atau diharapkan dari Pemerintah Hindia Belanda bergabung dengan orang-orang Paderi, dan banyak yang lainnya menjadi bimbang; dengan hasil yang tidak menggembirakan ini, kita hanya bisa mempertahankan koneksi antara Padang dan Simawang sekedarnya saja.”
Raaff berpendapat bahwa satu-satunya jalan “untuk mengambil kendali penuh atas situasi yang terjadi” adalah dengan pertama-tama membuat kaum Paderi merasakan secara telak keunggulan kita; dan pada sisi lainnya memberikan perlindungan dan dukungan kepada para sekutu pribumi kita dengan cara yang lebih menguntungkan bagi mereka melalui bantuan yang kita janjikan; setelah itu barulah kita bisa “masuk ke dalam negosiasi-negosiasi di mana kemasyhuran senjata-senjata Belanda dan otoritas Pemerintah Pusat sama sekali tidak bisa ditimbang-timbang lagi.”
Untuk melakukan operasi militer di Pedalaman pertama sekali yang dibutuhkan adalah memastikan koneksi yang lebih baik antara Padang dan Simawang. Sampai ketika itu, perhubungan antar kedua tempat tersebut melalui jalan yang ditempuh Raffles melewati Saning Bakar, tapi jalan ini lama-lama tidak memadai sama sekali. Kondisi jalan setapak dari Padang ke Saning Bakar sudah sangat buruk dan penyeberangan melalui Danau Singkarak hanya melalui sarana-sarana yang kurang layak serta banyak dikomplain.
Guna melacak koneksi yang lebih baik antara Padang dan Pedalaman, Raaff pun melakukan perjalanan pada 21 Desember 1821, ditemani Kapten L. Goffinet dan Kapten F. Laemlin serta Letnan Satu Artileri F.G. Kluppel, bersama serombongan detasemen infantri.
Esoknya tiba di Pariaman, Raaff melakukan pertemuan dengan pemimpin-pemimpin pribumi daerah sekitarnya untuk memberitahukan misi perjalanannya; “yang mana hal ini membawa begitu banyak kegembiraan bagi hadirin sampai mereka menawarkan diri untuk memberinya bantuan menghadapi orang-orang Paderi”.
Pada 24 Desember 1821 mereka sampai di Kayu Tanam, di mana informasi-informasi lebih detail tentang jalan (melalui Ambacang) menuju Pedalaman berhasil diperoleh. Sehingga, Raaff memutuskan bahwa seluruh transportasi militer mulai saat itu melakukan perjalnan dari Padang lewat Jambak, Ulakan, Pakandangan, Kayu Tanam, Tambangan dan Sipinang menuju Simawang. Tanggal 26 Desember komandan ekspedisi tersebut sudah di Padang lagi.[2]
Segera setelah Raaff sampai di Padang, satu detasemen infanteri di bawah Letnan Satu H.L. Brusse dikirim ke Sipinang untuk menduduki tempat itu. Raaff berharap dapat menghimpun pasukan ekspedisi di daerah itu dan di Simawang serta ingin koneksi antar kedua wilayah segera terhubung. Kepada Brusse diberikan satu instruksi untuk “salah satunya menjadikan perhatian agar melakukan kontak dengan para pribumi melalui cara yang efektif.” Instruksi yang sama disampaikan kepada opsir yang memegang komando di Simawang.
Di Padang selanjutnya segala sesuatunya lebih lanjut dibicarakan dengan Residen tentang apa yang diperlukan guna perbaikan rute militer yang baru. Kita baca dalam Resolusi Gubernur Jenderal pada Raad tanggal 19 Februari 1822 Nomor 16 ada seorang kepala pribumi, namanya Radja Melano, yang ditunjuk Residen untuk menjadi “Supervisor jalan dari Padang ke Pedalaman” dengan bayaran 40 Gulden per bulan serta sejumlah uang yang disediakan untuk perbaikan urgen kondisi jalan. Bahwa kondisi jalan antara kedua kawasan itu sangat buruk dapat dilihat dari “penambahan satu kuli untuk setiap tiga tentara untuk mengangkut ransel, tambah kuli-kuli yang diatur untuk menopang pasukan yang melakukan mars,” dan tampak dari “penambahan eksepsional setengah ransun arak kepada pasukan yang melakukan mars dari dan ke Pedalaman.” Dua tindakan ini disetujui oleh Pemerintah Pusat dalam Resolusi yang disebut tadi.
Kemudian dilakukan tindakan-tindakan untuk memperluas perbekalan pangan pada tahapan-tahapan etape serta menyediakan tempat bermalam dst. Untuk mengangkut barang-barang, sekitar 200-an kotak portabel pun dibuat.
Residen dan Komandan Militer memang telah saling sepakat untuk menghimpun mayoritas kekuatan militer di Padang Darat “agar dapat lebih solid menghadapi kaum Paderi.” Namun, tidak menutup kemungkinan upaya-upaya akan ditempuh “untuk penyelesaian-penyelesaian secara damai tanpa harus menggunakan kekerasan.”
Pasukan dengan tujuan Pedalaman melakukan mars dengan detasemen-detasemen yang masing-masing terdiri dari 50 personil. Segera setelah persiapan dipandang maksimal, Kapitein Laemlin berangkat dengan transport pertama pada 11 Januari. Di saat yang sama, “Seorang utusan– bangsa Arab dan ulama terpandang– yang karena telah lama tinggal dan berhubungan dengan masyarakat di Padang bisa jadi jaminan akan karakternya yang baik, dikirim menemui para pemimpin Paderi untuk memberitahukan maksud-maksud Pemerintah Belanda terhadap daerah Pedalaman, serta meyakinkan mereka bahwa Pemerintah tidak mengintervensi ajaran-ajaran agama yang dianut.” Hasilnya, beberapa pemimpin pribumi secara tertulis merasa senang untuk “membuat suatu kesepakatan dengan Pemerintah” surat resmi du Puy tanggal 16 Januari 1822 No. 16, disebutkan dalam Resolusi tanggal 19 Februari yang ditulis di atas).
Tanggal 4 Februari 1822 di Padang Darek telah berhimpun: 400 orang personil baik infanteri maupun artileri, meriam houwitser 5 ½ duim, satu 6-ponder tembaga, tiga veldstukje[3] metal ukuran 1 ½. Mereka dibekali dengan kebutuhan-kebutuhan perang, serta “kebutuhan-kebutuhan mulut yang wilayah itu tidak sediakan serta sangat penting bagi pasukan.” Semua dihitung untuk persiapan lebih dari 6 minggu.[4]
Pasukan yang sebagian besar bangsa Eropa itu jelas tidak besar; hal ini karena kita berharap kepada pribumi-pribumi Melayu pada distrik-distrik sekitar yang telah menjanjikan akan membantu dan pada kesempatan-kesempatan khusus dikumpulkan melalui perantaraan para pemimpin mereka. Pengalaman segera mengajarkan bahwa pasukan tambahan ini secara umum tidak begitu banyak membantu, meskipun kadang jumlah mereka sampai 12 atau 15 ribuan orang dan kira-kira seperenam dari mereka memiliki senjata api rakitan lokal.
Sewaktu mars pasukan kita ke Pedalaman, berhubung jauhnya jarak antara Tambangan dan Sipinang, satu pos perantara didirikan lagi di daerah Gunung.
Jadi, pasukan yang ditujukan untuk ekspedisi di Gunung, Sipinang dan Simawang telah siap sedia ketika Raaff tiba di Simawang tanggal 6 Februari, yang kemudian memberikan keputusan tentang operasi-operasi yang akan dimulai di Gunung. Menurutnya, sebelum lebih jauh melakukan penetrasi ke Pedalaman, yang pertama dikuasai adalah VI Kota, terletak di lembah antara Gunung Merapi dan Singgalang, sebelah Utara Gunung; dari sana barulah pasukan diarahkan ke Lintau, daerah yang diperkirakan menjadi markas utama pasukan Tuanku Pasaman. Melalui cara ini, ketika terus maju ke Tanah Datar, sayap kiri dapat diamankan; lagipula Raaff menganggap Tuanku Pasaman akan sulit mengelak dari serbuan Belanda, sebab Limapuluh Kota dan Agam menurut berita yang dia terima telah menyatakan akan melawan kaum Paderi, juga Siak, Inderagiri dan XIII Kota bermusuhan dengan mereka.
Mungkin tak perlu kita ulangi lagi di sini, bahwa pengetahuan lokal tentang daerah-daerah sekeliling Lintau tidak memadai. Raaff hanya mengandalkan informasi dari para pribumi yang terlalu optimis untuk membuat rencana-rencana tersebut; anggapan-anggapannya itu ternyata di kemudian hari terbukti keliru.
Sebelum melakukan tindakan ofensif, seorang Arab bernama Sjech Ahmet[5] diutus berbekal beberapa surat untuk para pemimpin VI Kota, satu untuk Tuanku Pasaman dan satu pengumuman untuk seluruh rakyat Kerajaan Minangkabau. Surat-surat tersebut ditulis sendiri oleh Raaff, setelah menimbang bersama dan juga disetujui oleh Residen.[6]
Surat untuk Tuanku Pasaman memuat alasan-alasan kedatangan Raaff, yang sebenarnya sesuai dengan keinginan yang diungkapkan oleh sejumlah pemimpin pribumi, bahwa mereka sudah lelah dengan kekuasaan ilegal kaum Padri. Dalam surat itu, sang Tuanku diundang menghadiri pertemuan di mana mereka dapat menegosiasikan kepentingan mereka vs kepentingan pribumi, tidak lain supaya perang bisa dihindari; perang akan terjadi apabila Tuanku Pasaman melakukan penolakan supaya ada penyelesaian yang adil.
Pengumuman untuk rakyat Kerajaan Minangkabau bernada sama, menyatakan bahwa Tuanku Pasaman akan memikul beban kesalahan atas hal-hal buruk dan mengerikan dari perang apabila yang bersangkutan menolak negosiasi serta membuat perang terjadi. Para penduduk Kerajaan Minangkabau, khususnya yang di VI Kota, dalam kesempatan itu kemudian diajak untuk melepaskan diri dari cengkeraman Paderi serta memihak kepada Belanda.
Ketika menunggu jawaban dari surat-surat yang dikirimkan, khususnya kepada para pemimpin VI Kota, pada tanggal 7 dan 8 Februari dilakukan penjajakan ke Blimbing [Belimbing] dan Soelit Ajer “tidak ada tujuan selain menumbuhkan rasa hormat dari para penduduk serta memperkenalkan pasukan Raaff terhadap tembakan kaum Paderi yang cukup luar biasa jika melihat jumlah senjata yang digunakan.”[7]
Didapati bahwa wilayah itu, khususnya jalan penghubung dan jalan setapak, kelihatannya dipenuhi oleh ranjau.
Dengan rencana untuk lanjut ke Gunung, Raaff pada 9 Februari menuju Sipinang, ditemani Kapitein Laemlin dan 1 detasemen infanteri. Setibanya di sini, dia mendengar dari Kapitein Goffinet bahwa pos Sipinang tersebut beberapa kali diganggu sehingga dia memandang perlu menempatkan 33 personil, satu houwitser serta kanon ukuran 1 ½ duim pada bukit yang berada di depan.
Raaff berpendapat perlu segera menyingkirkan lawan dari wilayah sekitar Sipinang sehingga dia menunda mars ke Gunung sementara waktu. Ketika pada 10 Februari dia mengunjungi bukit dimaksud dengan Laemlin dan Goffinet, kampung Sungai Jambu dengan empat kampung kecilnya yang memiliki 900-an lelaki yang bisa membawa senjata menyatakan penyerahan diri; tapi kampung-kampung sekitar Sipinang seperti Sawah Tengah dan Tabieng, yang bertanggung jawab mengganggu pos kita tersebut, menolak untuk tunduk, meskipun sudah diajak oleh pemimpin (penghulu) Sungai Jambu.
Setelah kampung-kampung itu diganggu dengan sejumlah granat dan bola-bola meriam, di hari itu juga dilakukan penyerbuan; Goffinet, ditemani Letnan Satu J. de Leizer dan 40 orang, melakukan pergerakan mengurung, sementara Raaff ditemani Letnan Satu HL Brusse dan TL van Straceelen mengomandani 30 tentara melakukan serangan frontal. Tidak ada perlawanan yang berarti sehingga para pemimpin pribumi segera menyerahkan diri, menyampaikan bahwa mereka sebenarnya tidak berniat buruk, tetapi terpaksa melakukan tindakan-tindakan permusuhan karena dipaksa para penduduk kampung Laboeq.[8] Penyerahan diri mereka segera diikuti para pemimpin Parambahan.
Hari berikutnya (11 Februari) ketika tindakan-tindakan yang dianggap penting telah dilakukan dan sejumlah instruksi diberikan kepada para pemimpin yang menyerah, Raaff mendapat berita bahwa penduduk Laboeq telah menyerang kampong Sawah Tengah, Tabieng dan Parambahan. Untuk membantu mereka, esoknya tanggal 12 Goffinet turun dengan satu detasemen; dalam perjalanan mars, dua prajurit Eropa terluka, tapi ketika pasukan kita telah mendekati Laboeq, terlihatlah bahwa kampung ini sudah dibumi hanguskan oleh sekutu-sekutu baru kita tadi. Penduduk Laboeqseluruhnya melarikan diri; kemarahan orang-orang Melayu kelihatannya luar biasa, sehingga Goffinet yang hanya mengikuti mereka saja tanpa meletuskan satu peluru pun bisa menundukkan Gurun. Tiga belasan kampung antara Sipinang dan Gurun akhirnya berpihak kepada Belanda.
Meskipun kemajuan ini kurang sesuai dengan perencanaan yang dibuatnya, Raaff merasa berkewajiban menjanjikan kampung-kampung tersebut perlindungan dari kaum Paderi dan memerintahkan Kapitein Goffinet dengan 150 personil mengambil posisi strategis dekat Gurun. Kembali ke Sipinang, Raaff mendapat jawaban dari para pemimpin VI Kota “dan dari Agam” terhadap surat-surat yang dikirimkan. Balasan mereka bersifat elusif; mereka menyatakan senang hati ingin berpihak kepada Belanda, tapi mereka minta beberapa waktu untuk mengambil keputusan final di bawah janji tidak akan melakukan tindakan permusuhan.
Rangkaian kejadian di hari-hari terakhir ini membawa perubahan situasi secara signifikan; keadaan mengarahkan kita ke Tanah Datar. Raaff ingin membahas apa yang harus dilakukan dengan Residen yang sedang berada di Simawang, dan dia berangkat pada 14 Februari ke sana setelah sebelumnya memperkuat pos di Gunung dengan 50 personil dan mengurangi jumlah pasukan dari pos di Sipinang yang tidak terlalu urgen untuk menambah kekuatan di Gurun. Dengan memperkuat pos di Gunung, kita akan cukup terlindung dari sisi VI Kota, sebagai antisipasi posisi yang diambil wilayah ini nantinya.
Raaff sepakat dengan Residen untuk menyimpang dari rencana-rencana semula, setidaknya untuk sementara waktu; mereka sebaiknya memanfaatkan keuntungan-keuntungan yang telah diperoleh dan semangat menggebu orang-orang Melayu untuk sedapat mungkin segera melakukan serangan mematikan terhadap Lintau. Menurut info-info yang diterima, kesuksesan serangan ini menjadi penentu untuk mengakhiri peperangan. Hingga tanggal 17 Maret, ketika mars ke Lintau benar-benar dimulai, seluruh persiapan ditujukan untuk satu sasaran tersebut.
Untuk menjamin koneksi antara Simawang dan Gurun,[9] menjadi satu keniscayaan untuk menguasai Belimbing, kampung yang pada tanggal 7 dan 8 Februari menjadi obyek patroli. Serangan tanggal 19 Februari membuahkan hasil; sebagian penduduk lari ke arah Sulit Air, yang lain ke arah Saruaso.[10] Pada malam hari beberapa penghulu kembali; mereka menyampaikan bahwa Tuanku Nan Elok (salah satu pemimpin Paderi) dengan 100 sampai 150 orang tewas dalam pertempuran. Di pihak kita dua perwira luka ringan—Letnan de Liezer dan Kluppel; anggota biasa delapan orang terluka (dua berat dan tiga ringan).
Raaff bertolak ke Gurun, di sini dia mendengar bahwa tiga pemimpin wilayah Limapuluh Kota yang luas—Tuanku dari Bandjarlawas, Tandjong Alam dan Mandheling—meski mereka telah lama tak lagi bersama dengan Tuanku Pasaman, sedang dalam perjalanan dengan 8 sampai 10 ribu orang untuk menghadapi kita. Namun, ketika menerima berita pengumuman dari Sjech Ahmet mereka mengurungkan niat. Ketika info ini ditelusuri lebih lanjut, Raaff mencoba berunding dengan para pemimpin ini, khususnya Tuanku dari Bandjarlawas, sebagai panglima perang (kapala prang) di seluruh wilayah Limapuluh Kota. Dalam surat yang segera dikirim, mereka diundang melakukan pertemuan di Gurun atau bisa juga di tempat lain yang dipandang lebih pas. Raaff yang menilai pertemuan ini sangat penting menggunakan segala kemampuannya untuk membujuk Tuanku Bandjarlawas agar bersedia.
Dalam balasan surat yang diterima dari para pimpinan tersebut pada 23 Februari, undangan pertemuan itu tidak disebut; tapi nada balasan sangat baik, sebab mereka meminta agar komandan ekspedisi, perintah-perintah dan maksud-maksud yang dimilikinya dapat diketahui agar disampaikan kepada para penghulu,” karena mereka berkenan tunduk pada kekuasaaan Belanda.”
Dua hari kemudian diterima berita bahwa sepupu Tuanku Bandjarlawas pada 28 Februari akan datang ke Gurun untuk membahas lebih lanjut perkara yang dirujuk dalam korespondensi tadi; tapi justru pada esoknya, 26 Februari lenyaplah harapan itu dengan datangnya berita bahwa utusan tersebut tidak bisa hadir karena terjadi perubahan situasi.
Oleh karena perundingan yang direncanakan dengan Limapuluh Kota tidak berhasil, maka keadaan kita menjadi berbahaya, sebab “pada hari-hari terakhir bulan Februari” diterima berita kekuatan besar kaum Paderi, diperkirakan 20 sampai 25 ribu orang, berkumpul di sebelah Timur dan Tenggara Gurun, di bawah komando langsung Tuanku Pasaman, bersiap melakukan serangan. “Dengan kejujuran yang ada dalam laporan-laporannya…” tulis Jenderal de Kock, ”khususnya pada laporan tanggal 28 Februari, Raaff tidak menyembunyikan baik ancaman nyata yang mengepung diri dan pasukannya maupun kekhawatiran yang dirasakan; tapi dengan penuh percaya diri pada hasil usahanya Raaff tetap maju, mempersiapkan segala sesuatunya agar dapat tetap bertindak secara ofensif. Kapten-kapten di bawah komandonya merasa agak cemas dan berpendapat perlu dicari alternatif untuk bisa mundur dari pertempuran.” Namun, hasil pertempuran mengajarkan Raaff bahwa kepercayaan diri yang dimiliki tidak mengkhianatinya.
Pertempuran pada 1 s/d 4 Maret 1822 yang telah dibahas detail oleh Lange[11] hanya mendatangkan korban relatf kecil pada Belanda: Letnan Dua Straceelen terluka ringan, satu personil lebih rendah tewas, 5 luka berat dan lainnya 11 cedera ringan.
Raaff tampak puas dengan hasil usaha anak buahnya; dalam laporan tanggal 10 Maret, dia menulis, ”Semuanya berupaya mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki, sebagian yang terluka bahkan ikut bertempur ke Pagaruyung turut merayakan kemasyhuran hari ini (4 Maret) dengan rekan-rekan mereka.”
Musuh yang terdesak mundur, dengan kesusahan mendaki pegunungan tinggi dan berbatu di belakang Pagaruyung; pasukan kita mengikuti pergerakan mereka, sebelum tengah hari lokasi ini sudah dikuasai. Tuanku Pasaman lari ke Tapi Selo di daerah Lintau.[12]
Di dekat Pagaruyung Raaff memilih satu kawasan untuk mendirikan benteng Belanda. Benteng ini terletak di atas bukit Batu Sangkar, kemudian hari lebih beken dengan nama “Fort van der Capellen”.
Wilayah Tanah Datar sudah dalam genggaman. Saruaso dan banyak kampung lainnya sudah tunduk, dan Raaff segera bersiap menyerbu Lintau. Sebelumnya satu surat sudah dikirim kepada Tuanku Pasaman, tapi yang ini seperti yang sudah-sudah tetap tak terbalas.
Pada 17 Maret, sebagian besar pasukan kita terkonsentrasi di Saruaso. Esoknya langsung menyerang Tanjung Barulak dengan keberhasilan gemilang.[13]
Sementara pasukan di Tanjung Barulak beristirahat, tokoh bernama Tuanku Nan Gilé[14] datang ke Tuanku Saruaso yang paling muda, menawarkan diri menjadi pemandu dalam perjalanan maju menuju Lintau. Setelah juga bicara dengannya, Raaff memutuskan memanfaatkan tawaran ini dan langsung melakukan mars dengan Kapten Goffinet serta Laemlin dengan masing-masing 60 pasukan Eropa. Meriamnya, dengan sejumlah pasukan, tinggal sementara di Tanjung Barulak di bawah perintah Letnan Satu de Liezer.
Pada patroli yang dilakukan dengan jarak tempuh dua jam, semakin jelas bahwa medan menjadi halangan terbesar sehingga de Liezer dapat perintah membawa kembali meriam ke Saruaso, kecuali houwitser di kursi mortar ditinggalkan. Orang-orang Melayu menunjukkan rasa takut mereka yang besar terhadap para Paderi Lintau;” seratusan mereka bisa dibuat tunggang langgang hanya oleh beberapa Paderi dari sana.” Akibat rasa takut ini, pergerakan pasukan Raaff menjadi mandek; kuli-kuli yang disuruh tidak datang ke tempat yang ditentukan, sebab bagi komandan militer “tidak mudah membujuk atau memaksa mereka mengikuti pergerakan detasemen.”
Hasil kedua adalah de Liezer, ketika dia bergabung dengan Raaff pada pagi esoknya (19 Maret), hanya diiringi oleh 150 s/d 200 orang Melayu, daripada sepasukan besar kekuatan bantuan seperti yang diharapkan. Kekecewaan yang muncul begitu besar, sehingga setelah informasi tentang sulitnya medan yang akan dihadapi diperoleh, tidak terpikirkan lagi untuk tetap melanjutkan penyerangan ke Lintau dengan kekuatan yang ada. Sebelum menarik diri, Raaff juga sedikit memukul mundur orang-orang Paderi, untuk berada dalam posisi lebih baik mengenal medan. Ketika bergerak mundur, pemandu yang diyakini berkhianat langsung ditembak di tempat; belakangan diketahui orang ini kepercayaan penuh Tuanku Pasaman “dan telah disuap untuk mengarahkan pasukan kita di jalan yang penuh bahaya tersebut.”
Korban yang jatuh di pihak kita pada hari-hari pertempuran tersebut: 1 opsir (Letnan Dua C. le Roux, luka ringan) dan 40 personil pangkat lebih rendah (2 tewas, 9 luka berat dan 29 luka ringan).[15]
Sebab kekuatan yang ada tampaknya tidak mencukupi untuk menaklukkan Lintau, lagipula banyak personil yang mengalami sakit, Raaff bermaksud sementara waktu menghindari hal-hal yang memancing provokasi dan, setelah menimbang dengan Residen, hanya fokus memperkuat “perdamaian dan penaklukan” di Tanah Datar. Di sini diintroduksi “administrasi rutin” dan orang berharap para pribumi segera “mengetahui keinginan-keinginan Pemerintah melalui sarana-sarana yang baik dan efektif untuk mereka ikuti dengan patuh”.
Di antara sarana-sarana yang dimaksud di atas adalah pembicaraan mengenai kepentingan-kepentingan wilayah itu dengan para pemimpin pribumi; mereka diundang melakukan pertemuan awalnya pada 22 Maret 1822, kemudian secara teratur setiap 14 hari sekali. (*)
(Bersambung ke bagian IV)
Ilustrasi @mithamiwuwu
Catatan kaki:
[1] Diambil dari Rapport (Laporan) umum dari Jenderal de Kock tertanggal 12 April 1823.
[2] Menurut Lange (I hal. 29), Raaff sendiri yang pada saat itu pergi melewati Ambacang ke Tambangan, lanjut ke Sipinang dan Simawang. Hal ini tidak benar, seperti terlihat dari laporan Jenderal de Kock juga tersebut dan dalam resolusi Gubernur Jenderal pada Raad per tanggal 19 Februari 1822 No. 16, di mana dikatakan bahwa Residen Padang menyampaikan di tanggal 16 Januari sebelumnya No. 16 bahwa Letnan Kolonel Raaff “melakukan perjalanan singkat ke Pariaman dan Kayu Tanam” a.l. “untuk memastikan kondisi beberapa jalan menuju ke Pedalaman.”
[3] Falconet :meriam kecil
[4] Lange (I hal. 31) secara keliru menyebut amunisi dibawa untuk kebutuhan enam bulan.
[5] Kita awalnya menyangka tokoh ini sama dengan utusan, seperti telah disampaikan sebelumnya, yang pada Januari sebelumnya “dikirim untuk para pemuka Paderi”. Ternyata, dua orang itu berbeda.
[6] Lange (I hal. 32) menyebut tentang surat-surat untuk VI Kota dan Tanah Datar; kemudian (I hal. 35), menyebut untuk VI Kota dan Agam. Hal ini tentu kontradiktif; setidaknya kita asumsikan pendapatnya yang pertama tidak tepat.
[7] Kutipan dari laporan yang ditulis tahun 1823 ini mengkonfirmasi catatan dari Lange (I hal. 33, catatan 2e) yang mengoreksi informasi yang disampaikan oleh Jenderal de Stuers.
[8] [Penerj. Labuah?]
[9] Lange yang (I hal. 35 catatan kaki) dengan tepat memperingatkan agar tidak mengacaukan antara Gurun dan Gunung, ternyata melakukan kekeliruan tersebut pada bagian ini.
[10] Detail-detail pertempuran yang diceritakan oleh Lange (I hal. 37 ds) sesuai dengan data-data yang ada pada kita; tapi ada satu catatan, bahwa sungai yang disebut Mengkawe oleh Lange lebih dikenal dengan nama sungai/ batang Ombilin.
[11] Bagian I, hal. 39-43
[12] Informasi dari Stuers (I hal. 61) yang dipakai oleh Lange (I hal. 44) tentang bahaya yang dialami oleh Tuanku Pasaman pada saat itu, tidak dapat dikonfirmasi dalam sumber-sumber yang kami dapati.
[13] Lange (I hal. 45) memberi detail penyerangan ini dan sesuai dengan sumber-sumber kita. Namun, kita mencatat bahwa benteng-benteng musuh yang disebut Lange “tidak beraturan” disebut “sangat teratur” dalam laporan Jenderal de Kock, dan bahwa kekuatan Paderi yang menguasai lini musuh, menurut laporan tersebut, diperkirakan 15 sampai 16 ribu orang.
[14] [Penerj. Tidak jelas tokoh yang dimaksud di sini dari gelarnya yang kurang lazim di Minangkabau]
[15] Terkecuali angka terakhir ini, data kita sejalan dengan Lange (I, hal. 45-49) sehingga kita hanya mempersingkat dan menyebutkan yang perlu-perlu saja untuk tidak merusak jalan cerita.