“… Cintailah saudara laki-lakimu itu, hanya ia yang akan menjagamu, bukan suamimu kelak yang akan menjagamu!” pesan Ibu kepada Bungo Rabiah dalam kondisi sekaratnya. Dalam novel karya Pinto Anugrah ini, pesan tersebut tercetak miring pada halaman 16-17. Tidak tahu apakah cetak miring itu adalah kesengajaan untuk alasan tertentu, atau sekedar kesalahan cetak saja, tetapi bagi saya agaknya di sinilah awal dari kronik novel ini bermula, awal dari akhir konflik berdarah-darah di tengah rumah Rumah Gadang. Sekumpulan pesan. Bungo Rabiah mengamalkan pesan itu, mencintai saudaranya sendiri, dengan caranya.
Apa mungkin, Bungo Rabiah sebenarnya salah menafsirkan pesan ibunya yang sedang sekarat itu. Alih-alih memanifeskan “cinta” pada hubungan terlarang–incest, ia sebetulnya hanya cukup mencintai Magek Takangkang sebagaimana cinta sesama saudara.
Sebagaimana diketahui umum, dalam tradisi matrilineal Minangkabau, secara ideal laki-laki dewasa memerankan dua fungsi setidaknya. Sebagai mamak dan sebagai suami. Laki-laki sebagai mamak memang memainkan tanggungjawab “menjaga” klan matrilinealnya. Namun sebagai suami peran ini tidak diamanahkan kepada mereka atas istri, dan kemudian anak-anaknya. Dalam hal ini, Ibunda Bungo Rabiah benar, “… bahwa hanya ia (magek takangkang) yang akan menjagamu (Bungo rabiah), bukan suamimu kelak yang akan menjagamu!” Tatanan luhung tradisi memang mengatakan begitu.
Ibunda Bungo Rabiah juga benar dalam pesannya, bahwa ia harus memiliki keturunan anak perempuan, agar tidak punah. Dibawah ancaman “kutukan keturunan ketujuh” sekalipun, seharusnya–lagi-lagi dalam perspektif tradisi matrilineal–itu tidak akan menjadi persoalan, selagi Bungo Rabiah bisa memperoleh anak perempuan penerus garis matrilineal. Dari siapapun laki-laki, dan tidak harus dari saudara sendiri.
Selain kemungkinan salah tafsir oleh Bungo Rabiah atas pesan ibu, ada persoalan lain yang datang dari Ibu sendiri. Sang Ibu sepertinya memiliki logika unik dalam melihat bagaimana baiknya meneruskan keturunan Rumah Gadang Rangkayo, yang baginya mesti berlangsung melalui pembuahan rahim Bungo Rubiah oleh “kemurnian darah yang terjaga”. Kita tidak diberikan pengertian apa yang dimaksudnya sebagai “darah murni” dan kenapa itu penting. Karena sepertinya dalam tradisi, tidak ada konsep darah murni. Sekali lagi, kelahiran perempuan dari “darah tak murni” pun semestinya cukup memastikan eksistensi suatu kaum bisa terus berlanjut.
Di sinilah agaknya persoalan bermula, Bungo Rabiah menafsirkan darah murni itu adalah yang didapatkan dari pancaran saudara sendiri, Magek Takangkang. Bungo Rabiah (dan Magek Takangkang) mabuk dalam candu keyakinan mereka. “Cinta” itu meleset kedalam hubungan terlarang.
Selanjutnya, sebagaimana kita bersama baca, “darah murni” itu tidak memberikan anak perempuan. Si pemiliknya tersedak melihat wajah sendiri pada bayi laki-laki di pangkuan Bungo Rabiah. Penyesalan menghinggapi Magek Takangkang–“kerak-kerak neraka” menghantuinya. Ia melarikan diri dari coreng kesalahan dan ketertak-acuhan Bungo Rabiah, bertemu jalan keluar pada rombongan orang-orang berpakaian putih dimana potensi penebusan dosa (dan dendam) didapatkan. Seiring pelarian itu, dari darah yang “tak murni” seorang Tan Amo, justru malah Bungo Rabiah memperoleh penerus.
Dengan begitu, pembantaian berdarah di atas rumah gadang Rangkayo Rabiah, sebagai klimaks dari Novel pendek ini, tidak sepenuhnya mendasar pada pandangan puritan orang-orang putih. Ada dendam personal bercampur di situ–yang mengakar pada kesalahan tafsir dan pengaturan proposisi-proposisi logis atas segala sesuatu–dalam hal ini Pesan Orang Tua–atau Guru.
Perihal yang terakhir ini kita masuk pada mitem pendek lainnya. Magek yang sudah Kasim itu tergemap dengan nasihat Tuan Guru. Tuanku berpesan, “…, kita harus ingat juga, kita melakukan itu dengan jalan Yang di Atas! Bukan dengan jalan yang dibukakan iblis!” Pesan ini disampaikan Tuanku Guru kepada Magek Takangkang sesaat sebelum dilepas berjuang memerangi mereka yang kafir. Kita tau “Jalan Yang di Atas” itu muskil. Jelas tidak sesederhana menyerahkan sebilah pedang mengkilap pada seorang yang penuh dendam. Tafsir apa yang mungkin hadir dalam benak Magek Takangkang a.k.a Kasim Raja Malik menghadapi satu frasa “jalan Yang di Atas” dan satu benda “bilah pedang” digenggaman? Samakah dengan tafsir Tuanku Guru? Atau bahkan kehendak Yang di Atas?
Fragmen ini, dengan begitu memberikan pengertian kepada kita sebagai pembaca, kemelut Padri (setidaknya dalam fiksi ini) betul betul sebuah kemelut yang tidak sesederhana hitam di samping putih. Meskipun benar nilai-nilai puritan orang-orang putih mengental dalam struktur nilai gerakan mereka, narasi besar itu bertemu dengan rasionalisasi-rasionalisasi partikular di level agensi semacam Magek Takangkang. Kita tidak tahu lagi kibasan pedang di rumah gadang itu adalah untuk agama atau dendamnya. Untuk pemurnian atau hasil kedunguan. Ia sublim menjadi entah. Kita hanya takjub pada residu sublimasi itu, pada darah yang tercurai.
Pada realitas kita hari inipun barangkali, dikotomi kaum adat dan agama atas sejarah gelap itu tidak lagi bermakna. Rentang sejarah buruk itu pada akhirnya adalah kemelut tak terurai antara nilai-nilai puritan agama, tradisi lama dan tertutup kaum adat, pengalaman dan trauma personal, ketidaksabaran, kejumudan berfikir, dendam, cinta, kesalahpahaman yang tak perlu, agenda ekonomi kolonial, agenda ekonomi elit-elit lokal, solidaritas semu, dek inyo apak den, dek anyo induak den, dan sebagainya. Mempertahankan dikotomi itu akan menjadi terlalu simplistis, apalagi dengan tergesa mengambil posisi. Tak akan lebih baik dari taklid sempit Bungo Rabiah pada pesan ibunda dan Magek Takangkang pada Tuanku Guru-nya.
Akhirnya kita tersudut pada kata tafsir. Tafsir mengarahkan laku. Laku Bungo Rabiah, Magek Takangkang, laku kita. Satu kemampuan yang digenggam oleh masing-masing orang, dan entah bagaimana cara, mampu menghadirkan sentosa dan–diruang waktu yang lain–menghadirkan mala di tengah-tengah mereka. Masih menjadi pekerjaan penting membongkar rahasia bagaimana ia bekerja. Tapi setidaknya kita tahu dan belajar dari novel Pinto Anugrah ini, bahwa dalam babala kita perlu awas–agar tak menang menjadi arang, dan yang kalah menjadi abu. (*)
Ilustrasi oleh @graphirate