Ulasan Buku

Pendidikan dan Tuhan-Tuhan yang Disembah

“Tanpa sebuah narasi, hidup tidak akan bermakna.Tanpa makna, belajar itu tidak akan memiliki tujuan. Tanpa sebuah tujuan, sekolah-sekolah adalah rumah-rumah tahanan, bukan sebuah rumah yang memberikan perhatian”

Ungkapan tersebut dituliskan oleh Neil Postman di bagian pertama bukunya sebelum ia membahas lebih dalam tentang kecemasan-kecemasanya akan masa depan pendidikan. Membaca Matinya Pendidikan, Redefenisi Nilai- Nilai Sekolah hasil pemikiran Neil Postman ini seperti mendapatkan udara segar setelah melihat berbagai macam polusi pendidikan hari ini.

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1995. Tetapi apa yang dituliskan oleh Neil Postman kurang lebih 24 tahun yang lalu, tidak mempunyai perbedaan yang begitu signifikan dengan kondisi pendidikan hari ini. Postman menuliskan buku ini dengan niat dan harapan besar agar bisa menghasilkan perubahan perubahan dalam praktik pendidikan. Judul asli buku ini adalah The End of Education, dan kata “end” (dalam bahasa inggris) bisa bermakna ganda : “Tujuan” dan “Akhir” (mati). Dua kata dengan makna ganda ini seolah ingin mengatakan jika tujuan sebuah pendidikan itu tidak ada maka pendidikan itu sendiri akan segera berakhir.

Buku yang ditulisa dengan amat teliti ini terbangun dari dua bagian. Pada bagian pertama, Neil Postman menuliskan tentang kebutuhan terhadap tuhan-tuhan, tuhan-tuhan yang gagal, tuhan-tuhan baru yang gagal dan tuhan-tuhan yang bisa menolong.

Neil Postman tidak mengartikan “Tuhan” dalam pengertian yang begitu sempit hanya sebagai sesuatu yang telah menciptakan dunia dan memiliki perintah-perintah moral, tetapi lebih khusus lagi adalah sebuah pertimbangan untuk belajar. Neil Postman menggunakan kata “tuhan” sebagai sinonim dari kata “narasi”. Ia berpendapat bahwa dengan menggunakan kata tuhan, mengingatkan pada bayangan atau figur yang pasti untuk mengarahkan pemikiran seseorang pada gagasan yang menceritakan asal usul dan impian- impian masa depan, sesuatu yang memiliki kredibilitas, kompleksitas cukup dan kekuatan simbolis yang akan menjadikan seseorang mampu mengatur orang-orang di sekelilingnya.

Dalam dunia barat, berawal dari abad 13 dan lima ratus tahun sesudahnya,Tuhan telah menjadi pembenaran yang cukup berarti bagi pembentukan lembaga-lembaga pengajaran. Dari sekolah-sekolah tata bahasa, di mana anak-anak diajarkan untuk membaca injil, hingga universitas-universitas besar, di mana para laki-laki dilatih untuk menjadi pelayan-pelayan Tuhan. Bahkan pada saat ini ada beberapa sekolah di Barat, dan terutama di dunia islam, yang memiliki tujuan inti menyembah dan memuliakan kebesaran Tuhan. Dimanapun hal itu terjadi, maka tidak akan ada problem sekolah dan tentu saja tidak ada krisis sekolah (hal.4), dalam hal ini dengan jelas Neil Postman menyatakan di bagian awal bahwa, sekolah dengan gagasan-gagasan yang jelas akan memberikan tujuan dan kejelasan untuk belajar.

Kemudian, Neil Postman menjelaskan tentang bagaimana menjadi guru di sekolah agar tidak bisa digantikan oleh tuhan tuhan teknologi. Tuhan yang menawarkan hal-hal yang menyenangkan dalam hidup, efisiensi, dan kemakmuran (hal.13), karenanya pendidikan harus dilakukan tidak sekedar “mengajarkan apa yang ada” tetapi justru mempertanyakan “kenapa semua itu ada”. Dalam hal ini kita bisa melihat pada praktik praktik pendidikan hari ini di saat siswa diajarkan program-program komputer, tetapi tidak diceritakan tentang bagaimana asal usulnya, tidak dibahas proses penciptaannya, bahkan bagaimana pengaruhnya terhadap masa depan dunia. Padahal harusnya hal-hal mendasar seperti ini harus ada dalam praktik praktik pendidikan.

Lalu jika teknologi sudah menyediakan seluruhnya, muncul pertanyaan: untuk apa sekolah jika sekolah hanya menghadirkan hal hal yang telah disediakan teknologi? Dengan tegas Neil Postman menjawab untuk menumbuhkan kepercayaan diri, menceritakan tentang makna dan tujuan, menghormati proses belajar dan toleransi. Hal ini dapat membangkitkan dan mengilhami pendidikan sekolah jika keberadaan semua yang terlibat bisa saling bekerja sama dan berbagi.

Kemudian, pada bagian pertama tentang tuhan-tuhan yang gagal, Neil Postman menyatakan bahwa sekolah-sekolah, atau praktik-praktik pendidikan menuntut pemujaan terhadap tuhan Konsumerisme dan tuhan Kemanfaatan Ekonomi. Kemanfaatan ekonomi merumuskan bahwa Anda adalah apa yang anda perbuat untuk mendapatkan penghidupan; sedangkan konsumerisme merusmuskan Anda adalah apa yang bisa anda kumpulkan (hal:49). Dalam hal ini jelas bahwa praktik-praktik pendidikan di sekolah menuntut segala yang terlibat untuk memenuhi kemanfaatan ekonomi dan konsumerisme. Jika sekolah-sekolah tetap menyembah utuh tuhan-tuhan ini maka, siswa akan selalu dituntut untuk bisa mencapai apa-apa yang dibutuhkan ekonomi pasar dunia. Misal, sejak kecil anak-anak diberikan pertanyaan tentang cita-cita dan pada umumnya anak-anak akan menjawab tentang pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan oleh pasar dunia, seperti menjadi pilot, dokter dan profesi-profesi serupa lainnya, sehingga Neil Postman mencemaskan bahwa tuhan konsumerisme dan tuhan kemanfaatan ekonomi akan membawa sekolah-sekolah menuju akhir dari masa depan pendidikan.

Saat Neil Postman menjelaskan tentang tuhan-tuhan baru yang gagal, yang dimaksudnya dalam hal ini adalah tuhan multikulturalisme, yaitu narasi tentang konsep- konsep kebaikan dan kejahatan, hal-hal yang tidak hanya mengubah atau meremehkan gagasan tentang pendidikan masyarakat, tetapi mengarahkan kita pada akhir pendidikan. Mengapa hal demikian terjadi? Karena jika sekolah-sekolah menerapkan kurikulum multikultural, maka tema pokok pendidikan di sekolah akan menjadi terpecah-pecah. Padahal seharusnya yang lebih kita pahami adalah sekolah bisa menciptakan kurikulum yang menghapuskan garis-garis pemisah atau membuat semua yang terlibat dalam praktik-praktik pendidikan itu tidak berjarak sedikit pun.

Tuhan-tuhan yang bisa menolong dijelaskan secara lebih rinci dan mendalam pada Bagian II. Pada bagian ini ada 5 narasi atau gagasan Neil Postman untuk sistem pendidikan di sekolah.

Pertama hapuskan praktik-praktik pendidikan tentang saling mempersaingkan keunggulan, karena itu adalah sebuah gagasan tentang upaya-upaya putus asa, bahwa seharusnya setiap orang sadar kita semua berada dalam kesamaan.

Kedua, setiap manusia berbuat kesalahan-kesalahan. Salah satu sifat dasar kita adalah berbuat salah. Di sekolah haruslah ilmu pengetahuan diajarkan menjadi sesuatu yang lain dari sebuah cara untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan, ketika pemikiran bekerja ketika itu juga pengoreksian terhadap kekeliruan-kekeliruan dilakukan. Pada dasarnya Neil Postman mengharuskan adanya tujuan atau idealisme sekolah yang berorientasi untuk mengobati penyakit–penyakit pada ilmu pengetahuan yang dimutlakkan kebenarannya, salah satunya adalah harus adanya ajaran berpikir kritis di sekolah karena tidak ada yang mutlak atau kebenaran akhir dari ilmu pengetahuan.

Ketiga, memberikan kaum muda ilmu pengetahuan dan keinginan untuk berperan serta dalam pengalaman yang agung, mengajarkan kepada mereka bagaimana cara berargumentasi meskipun argumentasi-argumentasi buruk sekalipun. Semua sudut pandang diperbolehkan yang akan membawa mereka pada pertanyaan-pertanyaan yang berbobot untuk memastikan bahwa mereka mengetahui apa yang terjadi ketika argumentasi-argumentasi itu berhenti.

Keempat, ajarkan anak tentang hukum keanekaragaman. Kita mempelajari Albert Einstein bukan dikarenakan dia seorang Yahudi, kita mempelajari Aristoteles bukan karena dia orang Yunani atau kita mendengarkan Beethoven bukan karena dia adalah orang Jerman yang tuli. Dalam hukum keanekaragaman, kita mempelajari mereka bukan untuk mengembangkan atau meningkatkan rasa kebanggaan diri, tetapi karena dua alasan, yaitu : Pertama, karena mereka menunjukkan bagaimana vitalitas dan kreativitas kemanusiaan ternyata bergantung pada keragaman.Kedua, karena mereka menyusun standar yang hingga saat ini dianut oleh orang orang yang beradab. Neil Postman berpendapat bahwa hukum keanekaragaman akan menciptakan manusia-manusia yang cerdas.

Kelima, kita adalah pencipta dunia, dan penjalin kata-kata. Itulah yang membuat kita menjadi cerdas, dan dungu, bermoral dan tak bermoral; toleran dan keras kepala. Itulah yang menjadikan kita manusia.

Ceritakan hal ini disekolah, ajak kaum muda untuk meneliti bagaimana kita meningkatkan derajat kemanusiaan kita dengan mengkontrol rumusan-rumusan, yang denganya kita membicarakan dunia. Buku ini dengan jelas menggambarkan bahwa pendidikan memang lanskap yang teramat luas untuk dibahas. Penjelasannya terbukti tidak hanya sekedar hubungan guru-siswa seperti selama ini dipahami otoritas- otoritas pendidikan namun jauh lebih luas dan kompleks. (*)

Judul Buku : Matinya Pendidikan, Redefenisi Nilai-Nilai Sekolah.

Penulis : Neil Postman

Jumlah halaman : xiv + 294

Tahun Terbit : 2019 (Immortal Publishing & Octopus – Yogyakarta)

ISBN : 978-602-5868-26-9

 

Related posts
Ulasan Buku

Petani Perbatasan: Antara Pemberdayaan dan Teknokrasi Pembangunan

Ulasan Buku

Dua Buku dari Talang Mamak

Ulasan Buku

Pekanbaru, dari Hilir ke Hulu

Ulasan Buku

Tuanku Nan Renceh: Catatan untuk Irwan Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *