Muhammad Saleh (1841-1920) merupakan pengusaha terbesar di pantai barat Sumatra di akhir abad 19 hingga awal abad 20. Salah satu prestasi terhebatnya adalah mendirikan MDP (Maskapai Dagang Pariaman) pada tahun 1901. MDP merupakan perusahaan pertama milik pengusaha lokal yang terbesar di zamannya yang dikelola secara modern. Pengelolaan secara modern ini maksudnya bahwa MDP dikelola secara profesional dengan sistem manajemen, pengelolaan keuangan, dst. yang jelas dan terukur.
MDP bisa dikelola secara modern berkat usaha Muhammad Saleh mempelajari ilmu berhitung, membaca, dan pengelolaan keuangan secara otodidaktik, tanpa pernah masuk sekolah Belanda pada zaman itu. Saleh mempelajari semuanya dengan sistem berguru langsung kepada orang yang pandai. Dalam hal belajar membaca dan menulis misalnya, ia datang sendiri ke rumah orang yang pandai, dan mengutarakan keinginannya untuk fasih membaca serta menulis. Atau dalam hal berhitung dan pengelolaan uang, ia belajar dari pedagang-pedagang yang keluar-masuk di Pariaman saat itu.
Namun, sebelum mendirikan MDP, usaha Muhammad Saleh untuk belajar tersebut berkaitan dengan berbagai macam jenis pekerjaan yang pernah dicobanya agar tetap bisa bertahan hidup, seperti menjadi penjaga toko, tukang elo pukek, penjaja ikan kering, awak perahu serta nahkoda perahu, penyedia kebutuhan harian Asisten Residen Belanda di Pariaman, sampai “tukang uang” atau akuntan. Pengalaman berniaga di laut dan darat serta hubungan baik dengan berbagai macam orang, baik antar etnis di Sumatra ataupun dengan orang Belanda selama masa kerja serabutan itulah yang menjadi basis kekuataan MDP sebagai pemasok garam, ikan laut, daun nipah, ke daerah darek Minangkabau (darat) sekaligus menjadi pemasok komoditi pertanian seperti sayur-sayuram, gula, tembakau, dan gambir dari darek ke daerah pasisia (pesisir) di kemudian hari.
Muhammad Saleh menuliskan sendiri perjalanan hidupnya tersebut, dari remaja sebagai buruh kasar hingga sampai mendirikan MDP, dari tahun 1904 sampai 1914, menggunakan aksara Arab gundul dalam bahasa Minang. Catatan tersebut diselamatkan oleh cucu Muhammad Saleh, S.M. Latief, dan kemudian dialihaksarakan ke aksara latin, dengan tetap berbahasa Minangkabau, serta diolah sebuah otobiografi dengn judul Hidoeik dan Perasaian Ambo: Moehammad Saleh Datoek Orang Kaja Besar pada tahun 1933. Pada tahun 1965, otobiografi tersebut diterjemahkan ke bahasa Indonesia, dan diterbitkan kembali tahun 1975.
Buku Saudagar Pariaman: Menerjang Ombak Membangun Maskapai (LP3S, 2017) karya Prof. Mestika Zed (Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang) yang kita bahas saat ini ditulis berdasarkan “autobiografi” Muhammad Saleh yang sudah dialihkaksarakan ke aksara latin tersebut; sebuah usaha penulisan kembali perjalanan hidup saudagar penting ini dalam bentuk yang lebih mudah dibaca oleh generasi sekarang.
Namun begitu, buku Saudagar Pariaman (2017) ini berbeda dengan versi Hidoeik dan Perasaian Ambo (1933) dalam beberapa hal. Pertama, peralihan dari bentuk otobiografi ke bentuk biografi. Versi S.M Latif masih mempertahankan aspek-aspek otobiografis dari versi asli catatan M. Saleh tersebut. Sedangkan, versi Mestika Zed terdapat pembagian tematik meskipun tetap berdasarkan kronologi perjalanan hidup Saleh. Penyusunan secara tematik seperti itu, membuat kita lebih mudah menggali banyak pelajaran dari setiap momen perjalanan Muhammad Saleh. Selain itu, yang tak kalah penting sekaligus menarik dari versi Mestika Zed ini, yaitu adanya penambahan penjelasan perihal konteks sosial-budaya masyarakat pantai barat Sumatra dan secara lebih spesifik konteks kebudayaan Minangkabau pesisir pada abad 19.
Dari buku tersebut kita dapat melihat bagaimana perjalanan hidup Muhammad Saleh (1841-1920) melalui dua masa “masa transisi.” Pertama, dalam konteks politik, transisi dari dari era pasca Perang Padri (1803-1838) ke era Politik Etis (1901). Kondisi Perang Paderi adalah salah satu sebab semakin terbukanya hubungan antara masyarakat Minangkabau di daratan dan pesisir. Akibat perang Paderi, banyak penduduk di daerah daratan yang bermigrasi ke berbagai daerah, termasuk ke daerah pesisir. Ini kemudian membuat hubungan antara daratan dan pesisir semakin terbuka, salah satunya dalam pengertian bahwa masyarakat pesisir banyak kemudian mempunyai hubungan keluarga dengan masyarakat daratan. Muhammad Saleh adalah generasi yang lahir dari hubungan antara orang darat yang migrasi karena Perang Paderi ke daerah pesisir. Namun, Saleh bukan generasi “emas” yang dibesarkan oleh Politik Etis. Ia tak terlibat dalam cita-cita perjuangan kemerdekaan, justru cucu (Syahbuddin Latif) dan piut (Rusli Rahim) yang terlibat dalam momen kebangsaan tersebut. Ia justru hanya mendapatkan keuntungan dalam hal dampak sistim ekonomi yang dibawa oleh Politik Etis yang membuatnya memungkinkan untuk mendirikan perusahaan MDP tersebut.
Kedua, dalam konteks perdagangan, Muhammad Saleh terlibat sebagai pelaku dalam masa peralihan dari perdagangan komoditi laut dan perdagangan komoditi pertanian. Transisi ini juga menandai transisi dari transportasi laut menggunakan perahu ke transportasi darat menggunakan pedati. Saat itu, membawa dagangan dari Pariaman ke daratan lewat Padang awalnya masih menggunakan jalur laut. Muhammad Saleh adalah perintis jalur darat untuk membawa dagangan seperti minyak kelapa, dari Pariaman ke daerah daratan, menggunakan pedati. Dan Saleh juga mengalami transisi transportasi-perdagangan dari pedati ke kereta api. Masa-masa berbagai transisi tersebut menjadi latar yang cukup penting bagi perjalanan hidup Muhammad Saleh sebagai buruh, nahkoda, pedagang kecil, sampai saudagar.
Namun, ada satu topik yang tidak terlalu dieksplorasi lebih dalam, bahkan tidak dijadikan topik pembahasan di antara topik-topik lainnya, yaitu perihal etika dagang yang dipraktikkan Mohammad Saleh di akhir abad 19 sampai awal abad 20 tersebut. Secara khusus memang tidak disebutkan oleh Mestika Zed mengenai etika dagang dalam buku ini. Namun begitu, menurut saya, dari lika-liku kisah Muhammad Saleh tersebut kita bisa melihat bagaimana etika hidup keseharian yang dijalani Saleh kemudian dimanifestasikannya sebagai “etika dagang.”
Setidaknya ada beberapa etika yang diterapkan oleh Muhammad Saleh dalam berdagang. Pertama, persoalan korelasi antara pendidikan dan perdagangan. Dalam persoalan ini, Muhammad Saleh selalu mengutip nasihat ayahnya yang mengatakan bahwa untuk apa bekerja kalau tidak untuk menambah akal budi. Nasihat ini kemudian menjadi asumsi yang selalu dipakai Saleh ketika bekerja dengan orang lain. Meskipun ia butuh pekerjaan untuk bertahan hidup, namun bila pekerjaan itu hanya membutuhkan tenaganya, maka ia akan berusaha mencari pekerjaan lain yang tak sekedar membutuhkan tenaga, tetapi juga pikirannya.
Etika inilah yang membuat Saleh tak mau menjadi buruh selamanya. Dari buruh kasar ia pelan-pelan beralih menjadi buruh terampil. Usahanya untuk “menambah akal-budi” yaitu dengan belajar membaca dan menulis termasuk belajar mengaji. Meskipun sebagai buruh kasar waktu itu ia tak membutuhkan kemampuan membaca-menulis, tapi berkat etika hidup yang diajarkan oleh ayahnya, ia pun dengan kemampuan membaca-menulis dan kemudian berhitung berhasil menaikkan kualitas pekerjaannya dengan cara menjadi nahkoda perahu yang membawa komoditi dari Pariaman ke Sibolga yang saat itu membutuhkan kemampuan berhitung. Etika “bekerja dengan akal-budi” terus dipegang oleh Saleh sampai akhirnya ia berhasil mendirikan MDP.
Karena etika itu pulalah, ketika Muhammad Saleh sudah jadi saudagar, ia memperlakukan pekerjanya dengan cara yang berbeda pada zaman itu. Ia sengaja melakukan apapun bersama-sama dengan pekerjanya, bahkan tak jarang ia turun tangan membantu tugas pekerjanya bila kondisi-kondisi tertentu butuh tambahan orang. Ia juga menjaga hubungan baik dengan mereka, memberikan hak mereka tepat waktu dan sesuai hasil, bahkan kemudian banyak pekerjanya yang disuruhnya untuk mendirikan usaha sendiri-sendiri. Dengan kata lain, etika “bekerja dengan akal-budi” ini tak hanya dilakukannya sendiri ketika ia masih menjadi pekerja, tetapi juga dipraktikkannya kepada para pekerjanya di kemudian hari.
Selain itu, yang tak kalah penting dari etika dagang Muhammad Saleh ini adalah sistim “bagi hasil” yang diterapkannya. Saleh tidak menggunakan sistim upah atau gaji, melainkan melalui bagi hasil. Dengan sistim bagi hasil ini, bila usahanya sedang dapat laba besar, maka seluruh pekerjanya mendapat bagian yang juga lebih besar, tetapi bila laba sedang tipis, semua orang—termasuk Saleh sendiri—mendapat bagian yang sedikit juga. Cara-cara Saleh memperlakukan para pekerjanya inilah yang membuat banyak orang mau bekerja dengannya. Bahkan ia tak jarang harus menolak beberapa orang yang mendaftar ingin bekerja dengannya karena sudah terlalu banyak orang yang diterimanya.
Terakhir, Saleh adalah tipe pedagang yang tidak menyukai monopoli. Ia justru tipe pedagang yang membangun usahanya lewat cara berkongsi. Pariaman pernah menjadi daerah penghasil garam terbaik di abad 19. Tetapi akibat monopoli Belanda, rumah-rumah produksi garam milik rakyat diberangus. Waktu itu Saleh masih belum kuat usahanya, bahkan ia hanyalah pedagang kecil. Namun, ketika ia sudah mulai kuat, ia berhasil melawan monopoli Belanda dengan membalikkan produksi garam rakyat sehingga banyak penduduk yang mempunyai pekerjaan untuk itu. Selain itu, ketika terjadi lagi monopoli produksi dan distribusi minyak kelapa oleh pedagang lain di daerah pantai barat Sumatra, Saleh berusaha melawan praktik monopoli itu dengan cara menciptakan sumber-sumber produksi baru atas minyak kelapa itu melalui penyebaran produksinya ke masyarakat, sehingga kemudian monopoli yang dilakukan pedagang lain terhadap minyak kelapa bisa dikalahkan. Meski Saleh berkali-kali melakukan persaingan tajam dengan kompetitornya, tapi tak jarang ketika kompetitornya lemah, ia malah mengajak kompetitor tersebut bekerja sama, bahkan tak jarang kompetitornya berhasil dibuatnya sama-sama berjaya dengan dirinya.
Itulah sedikit contoh etika hidup sekaligus etika dagang yang bisa kita rekonstruksi dari perjalanan hidup Muhammad Saleh; prinsip hidup yang mengantarkan Muhammad Saleh mulai dari sebagai buruh sampai berhasil menjadi saudagar; prinsip hidup dari seorang tokoh di abad 19 yang sangat layak kita kontekstualisasikan ke kondisi masyarakat hari ini di abad 21. (*)
Judul buku: Saudagar Pariaman Menerjang Ombak Membangun Maskapai
Penulis : Meztika Zed
Jumlah halaman: L + 394
Tempat dan tahun terbit: Jakarta, 2017
Penerbit: Pustaka LP3S
ISBN : 978-602-7984-27-1
* Tulisan ini pernah disajikan sebagai bahan diskusi buku Saudagar Pariaman: Menerjang Ombak Membangun Maskapai (LP3S, 2017) di CTI, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, sekitar tahun 2017.