Reportase

Di Tengah Badai Diskriminasi: Kisah Anak-anak Muda Mentawai di Padang

Anak Muda Mentawai

Suatu hari di pertengahan 2000-an, seorang perempuan berdiri di sekitar Pelabuhan Muaro, Padang. Seorang diri ia menunggu keluarganya yang hari itu tiba dari Mentawai. Tiba-tiba seorang laki-laki di sana bertanya: anak mana? “Mentawai,” jawab perempuan itu dengan enteng. Namun apa yang didengarnya kemudian membuatnya trauma mendalam dan enggan mengungkapkan identitasnya untuk waktu cukup lama:

“Oh, Mentawai, bisa dibayar sama teh botol berarti, ya?”

Perempuan asal Mentawai itu bernama Lia. Dan Lia tidak sendiri. Di Padang, yang konon adalah salah satu kota paling kosmopolit di masa Hindia Belanda, terdapat sejumlah anak muda Mentawai yang pernah mengalami berbagai bentuk diskriminasi. Ini adalah kisah tentang mereka, tentang anak-anak muda dari kelompok minoritas yang selama ini dipinggirkan, didera beragam stigma, sembari melawan sebisanya.

Ditolak di Lapangan Kerja

Di Mentawai, Lia serta anak muda Mentawai lainnya dibesarkan dalam keberagaman. Perbedaan agama bukanlah persoalan besar bagi mereka. Seseorang bisa saja mengaku Kristen dan pada saat yang sama juga mengaku penganut Arat Sabulungan. Orang-orang tua mereka cukup terbuka menerima berbagai ekspresi keagamaan. Warga dalam satu kampung bisa beda-beda agamanya. Bahkan dalam sebuah keluarga ada yang berlainan agama. Meski di sisi lain proses ‘akulturasi’ di Mentawai pada masa lalu penuh darah dan pemaksaan, secara umum warganya relatif terbuka.

Tapi Padang bukan Mentawai. Begitu mereka datang ke Padang—di mana mereka adalah minoritas, tidak hanya minoritas secara etnis namun juga agama—untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan, apa yang mereka dapati membuat mereka terhenyak.

Endang Sapalakkai, misalnya. Mahasiswi asal Mentawai ini tidak menyangka bahwa agama yang dianutnya ternyata menjadi penghalang untuk mendapat pekerjaan.

“Saya pernah memasukkan lamaran pada sebuah toko, saat itu hal yang ditanyakan bukan kemampuan serta kejujuran saya, tapi agama saya. Saya lalu sadar saya tidak akan diterima di toko itu karena iman saya berbeda. Ya, saya pun mencari sumber penghasilan lain. Meski tidak mudah, tapi begitulah,” tutur Endang.

“Jujur saya terkejut dengan situasi seperti ini. Di Mentawai, saya biasa bergaul dengan orang dari berbagai agama. Intinya masalah agama tidak begitu menjadi persoalan di Mentawai. Sebelum ke Padang, saya juga sempat tinggal di Jakarta. Di sana seperti di Mentawai-lah. Orang-orangnya cukup terbuka. Tapi begitu pindah ke Padang, saya itu, ya, agak kaget,” lanjutnya.

Meski Endang berasal dari keluarga Aparatur Negeri Sipil (ASN), tapi tidak berarti ia aman secara ekonomi. Menurut Endang, gaji ASN di Mentawai tidak mencukupi untuk menutupi biaya pendidikan dia dan saudara-saudaranya. Karena itu ia harus bekerja di sela-sela perkuliahan, bahkan sampai harus mengambil cuti kuliah. Namun, mencari kerja di Padang ternyata tidak mudah bagi perempuan etnis Mentawai seperti dirinya.

Ditolak Pemilik Kost

Tidak hanya menjadi penghalang saat mencari kerja, latar belakang agama (dan etnis) juga membuat mereka kesulitan mendapat rumah kost.

“Saya berani jamin, 80% anak mentawai kesulitan mencari tempat kost di Padang. Mereka mengalami diskriminasi. Sedih sekali, nampaknya kami masih belum begitu bisa diterima di kota ini,” kata Nimus dari Forum Mahasiswa Mentawai Sumatera Barat (Formma Sumbar).

Ucapan ini disambut anggukan setuju anggota Formma lainnya yang sedang duduk di sebelah Nimus. “Memang begitu. Silakan saja tanya sama anak-anak Mentawai Lain,” ucap mereka dengan nada pasti. Menurut mereka, saat ini setidaknya terdapat 2000-an anak muda Mentawai di Padang.

“Biasanya, kalau kita cari kost, yang ditanya oleh ibuk kost-nya itu asal daerah kita. Kalau kita bilang Mentawai, maka biasanya kita akan ditolak secara halus. Seperti dengan alasan kost sudah penuh. Ya, saya maklum, mungkin karena agama kita juga, ya,” tutur Lia, yang selama di Padang tidak hanya pernah mengalami pelecehan verbal seperti dikisahkan di awal tulisan, namun juga mengalami kesulitan mencari tempat kost.

Endang juga punya pengalaman serupa. Suatu kali ia menemani kawan perempuannya (juga berasal Mentawai), mencari tempat kost. Setelah pemilik kost dan teman Endang sepakat soal harga, tiba-tiba kesepakatan itu dibatalkan setelah pemilik kost mengetahui kalau mereka berasal dari Mentawai. Pemilik kost, katanya baru ingat kalau kamar kost itu sudah disewakan pada orang lain.

Diusir Warga

Lia sempat tinggal di satu rumah kost. Penghuni lain rumah kost itu berasal dari etnis dan agama mayoritas. Di sana, Lia merasa cukup kesulitan untuk berbaur. “Kadang memutar lagu-lagu rohani bisa jadi masalah bagi teman satu kost. Ada juga kesan kalau mereka ‘jijik’ sama saya. Piring dan gelas punya saya, jarang ada yang mau sentuh, apalagi dipakai buat makan dan minum,” kenang Lia. Selain itu, Lia juga pernah mendengar cap-cap buruk seperti “anak Mentawai tidak bisa menjaga kebersihan.”

Pengucilan dan penolakan serupa itu, mau tidak mau memaksa mereka untuk tinggal dalam satu kontrakan, menciptakan komunitas sendiri. Di tempat-tempat semacam inilah mereka akhirnya berkumpul, berdiskusi, dan berbagi dalam banyak hal.

Tapi, upaya mencari lingkungan yang tepat bagi komunitasnya juga tidak mudah. Beberapa tahun yang lalu, mereka pernah diusir warga di suatu wilayah di Padang karena dituduh sering melakukan ibadah di rumah yang mereka kontrak.

Nimus ingat betul momen tersebut. “Waktu itu kami sedang konsolidasi, menentukan sikap terhadap keputusan pemerintah pusat menjadikan Siberut sebagai KEK [Kawasan Ekonomi Khusus]. Banyak mahasiswa asal Mentawai dari berbagai organisasi berkumpul di kontrakan itu. Tapi kami dikira beribadah, didatangi warga, lalu disuruh pindah. Kata warga kalau mau beribadah di gereja saja, jangan di kontrakan. Kami kumpul-kumpul juga bukan waktu KEK ini sedang hangat-hangatnya saja, tapi juga saat ada kebijakan-kebijakan lain yang perlu kita tinjau atau mendiskusikan perkembangan terbaru di Mentawai.”

Tersingkir di Lapangan Budaya

Saat pertama kali mengunjungi Gedung Kebudayaan Sumatera Barat, hal yang menarik perhatian adalah mural besar di salah satu ruangan gedung tersebut. Mural ala mooi indie itu menampilkan sawah, gunung, rumah gadang, rangkiang, lengkap dengan penduduknya yang dicitrakan makmur dan bahagia. Sama sekali tidak ada simbol-simbol yang dapat mewakili budaya lain di luar budaya Minangkabau yang ada di Sumatera Barat pada mural tersebut, seperti Sikerei dengan tato di badannya.

Mural tersebut hanyalah satu contoh. Di luar gedung, orang akan dengan mudah menemukan contoh-contoh lain. Mulai dari iklan di media sosial sampai buku-buku pelajaran, baik yang diproduksi pemerintah maupun swasta, Sumatera Barat seringkali diidentikkan dengan Minangkabau.

Joel alias Pitto Gagai, salah seorang seniman asal Mentawai, sudah cukup lama resah dengan kondisi di atas. Sedikit banyaknya, ia melihat dominannya simbol-simbol kebudayaan Minangkabau seperti dalam mural tersebut sebagai cerminan dari terpinggirkannya kebudayaan Mentawai di Sumatera Barat.

“Kenapa, ya, sepertinya hanya orang bersawah saja yang dianggap berkebudayaan. Masyarakat Mentawai sebetulnya tidak merasa terwakili oleh sawah. Baru-baru ini saja ada yang bersawah di Mentawai. Kami juga tidak punya gunung seperti Gunung Marapi. Kesan saya, yang terus ditampilkan sebagai ikon kebudayaan Sumatera Barat itu hanyalah Minangkabau dengan rumah gadang dan rangkiang-nya atau tarinya. Kenapa kalau acara resmi tari Minang yang sering tampil? Nah, bagaimana dengan tari lain, bagaimana dengan Uma, rumah tradisional kami. Bagaimana dengan rumah-rumah tradisional etnis lain yang hidup di Sumatera Barat? Bagaimana dengan tato Mentawai? Apa tidak dianggap bagian dari kebudayaan [yang ada] di Sumatera Barat?” jelas Pitto sambil tertawa geli.

“Oh ya, saya pernah ke Anjungan Sumatera Barat di TMII [Taman Mini Indonesia Indah], dan saya hampir menangis melihat Uma kami diposisikan di tempat yang agak tersuruk dan kurang terawat. Padahal Uma itu penting sekali artinya bagi masyarakat Mentawai,” lanjut Pitto.

Kondisi seperti di atas sebetulnya sudah cukup sering diprotes oleh budayawan-budayawan maupun akademisi asal Sumbar. Tapi suara budayawan asal Mentawai yang ikut menyatakan protes nyaris tidak terdengar. Pitto sendiri mengaku merasa canggung untuk protes atau berdialog langsung dengan pemerintah soal dipinggirkannya budaya Mentawai, dan penyebabnya berkaitan dengan stigma terhadap tato—salah satu bagian penting dalam kebudayaan Mentawai.

“Saya ‘kan penggiat tato Mentawai, badan saya penuh tato. Nah, di tempat-tempat umum, dari cara orang memandang, saya tau mereka anggap saya seperti kriminal. Bagi orang lain tato mungkin haram, tapi bagi orang Mentawai ini identitas. Bukan gaya-gayaan, apa lagi ingin jadi preman. Dalam pikiran saya, apa suara orang bertato ini akan didengar? Nanti saya dibilang ‘ah, preman tau apa soal budaya’.”

Buta Budaya dan Eksploitasi Alam di Mentawai

Sementara itu, bagi Nimus yang juga bertato, dipinggirkannya budaya Mentawai tidak hanya dapat membuat anak muda Mentawai menjadi bungkam karena dihantui perasaan inferior sebagai orang tidak berbudaya, tapi juga punya dampak langsung terhadap Mentawai. Ia melihat ada semacam ‘buta budaya’ yang efeknya tidak main-main. Dalam soal status tanah ulayat, misalnya.

“Kami ingin memberitahu kalau di Mentawai juga ada tanah ulayat, sama seperti di Minang. Nah, tanah-tanah ini yang dari dulu sering diambil oleh perusahaan-perusahaan,” jelas Nimus.

Nimus kemudian berkata jika saja para legislator dan pejabat pemerintah di Padang serta di Jakarta memahami bahwa tanah ulayat di Mentawai sama sakralnya dengan tanah ulayat di Minangkabau, mereka mungkin tidak akan dengan gampang memberi konsensi ke perusahaan yang ujung-ujungnya mengakibatkan kerusakan lingkungan di Mentawai.

“Dari kecil kami melihat kayu-kayu dibawa tongkang-tongkang entah ke mana. Tapi apa yang kami dapat? Lingkungan rusak, banjir! Siberut yang dulu tidak pernah kebanjiran sekarang bisa banjir,” lanjutnya.

Dikutip dari Mongabay.com, banjir yang melanda Siberut beberapa tahun terakhir adalah banjir terbesar sejak 1986. Meski secara alamiah Siberut memang berpotensi mengalami banjir, namun banjir yang muncul akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari eksploitasi hutan. Adanya penebangan hutan yang tidak mempertimbangkan tata ruang yang ramah lingkungan telah memperparah dampak banjir. Bukanlah kebetulan jika wilayah-wilayah rawan banjir di Siberut saat ini merupakan wilayah bekas konsensi penebangan hutan serta wilayah yang hutannya tengah digarap perusahaan.

Kepentingan Pemodal dan Asal-usul Diskriminasi Terhadap Orang Mentawai

Perlakuan diskriminatif dalam berbagai aspek yang dialami anak-anak muda Mentawai punya latar yang cukup kompleks. Aktivis, akademisi, serta budayawan yang saya wawancarai melihat indikasi kuat bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pemodal punya andil besar dalam membentuk serta melanggengkan diskriminasi terhadap orang Mentawai.

Ocha Mariadi dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM)—sebuah organisasi yang sejak lama telah mengadvokasi berbagai isu di Mentawai—menjelaskan bahwa stigma serta diskriminasi terhadap orang Mentawai sudah muncul setidaknya sejak 1950-an, sejak upaya pemerintah untuk ‘menertibkan’ penganut Arat Sabulungan di Mentawai.

Sebagaimana kepercayaan lokal lainya, Adat perkawinan dalam Arat Sabulungan dinilai tidak cocok oleh pemerintah dengan agama-agama resmi. Namun ternyata yang ‘ditertibkan’ bukan hanya adat perkawinan namun juga kepercayaan itu sendiri, termasuk perkakas kebudayaan Mentawai seperti Uma dan perangkat ritual lainnya.

Saat itu Sikerei yang masih mempraktekkan Arat Sabulungan mengalami berbagai teror. Yang menentang ‘penertiban’ lari, atau mempraktekkan Arat Sabulungan secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, Arat Sabulungan (dan kebudayaan Mentawai itu sendiri), menjadi sesuatu yang tabu dan mendapat cap sebagai terbelakang.

Sagu yang merupakan makanan pokok Mentawai, diganti pemerintah dengan beras demi Swasembada Beras. Padi yang tidak cocok dengan kondisi tanah di Mentawai, dianggap lebih superior ketimbang sagu, sampai akhirnya penduduk Mentawai bergantung pada pasokan beras dari Sumatera daratan. “Sagu distigmakan tidak bergizi dan mengkonsumsinya menjadikan orang bodoh,”  terang Ocha.

Selain itu ada juga prasangka bahwa orang Mentawai memiliki semacam kelemahan secara genetik.  Ocha mencatat bahwa pada 1990, Bupati Padang Pariaman [saat itu Mentawai masih setingkat Kecamatan di daerah administratif Kabupaten Padang Pariaman dengan Zainal Bakar sebagai Bupati] mengapungkan wacana ‘transmigrasi lajang’. Demi mempercepat kemajuan Mentawai, para lajang, duda, serta pensiunan akan ditransmigrasikan untuk menikahi gadis-gadis Mentawai dan diberi 2 hektar tanah.

“Seperti itulah diskriminasi terhadap etnis Mentawai. Bahkan para prianya dipandang tidak layak menikahi gadis Mentawai,” kata Ocha.

Bagi Ocha, itu semua akhirnya “menyebabkan sebagian besar anak-anak Mentawai saat itu, generasi yang tumbuh pada 1960-an, 70-an, 80-an dan 90-an, tumbuh dengan kepercayaan diri yang rendah dan krisis identitas diri sehingga malu mengaku sebagai orang Mentawai. Mereka sering dikucilkan dalam pergaulan, dianggap kotor, bau, berpendidikan rendah, punya ilmu mistik/guna-guna, suka mencuri, perempuannya murahan, dst.”

Sebagian besar stigma tersebut terus bertahan sampai kini.

“Diskriminasi dan stigma terhadap Orang Mentawai terus bertahan seiring dengan eksploitasi yang dilakukan pada daerah itu. Di Mentawai yang sangat kaya hasil hutan, sejak 1970-an, banyak perusahaan [dengan] HPH (Hak Pengusahaan Hutan) atau perusahaan kayu yang diberi izin di sana,” lanjut Ocha.

Dan Ocha tidak bisa untuk tidak curiga bahwa semua kondisi tersebut sejak dari awal adalah sesuatu yang sengaja dibiarkan “agar kekayaan alam Mentawai bisa dikeruk sedemikian rupa.”

Dikutip dari Myrna Eindhoven (2007: 70), saat masih tergabung dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Kepulauan Mentawai merupakan 80% dari seluruh luas wilayah Padang Pariaman. Sepertiga dari total pendapatan daerah Padang Pariaman berasal dari Mentawai. Saat itu, seperti dilansir Law-justice.co, antara 1963 sampai 1992, terdapat 6 perusahaan di Mentawai yang mengelola setidaknya 285 ribu hektar hutan.

Jumlah kawasan konsensi sempat turun di masa-masa awal berpisahnya Kepulauan Mentawai dari Kabupaten Padang Pariaman pada 2000. Masih mengutip Law-justice.co, dari 2001 sampai 2007 terdapat 6 perusahaan yang beroperasi dan menguasai kurang lebih 100 ribu hektar lahan. Jumlah perusahaan berkurang dalam masa-masa berikutnya, namun total lahan yang dikuasai perusahaan, kembali meningkat. Sampai 2018,  terdapat 3 perusahaan yang masih beroperasi dan menguasai setidaknya 118 ribu hektar hutan. Ini belum termasuk konsensi untuk penebangan hutan skala kecil.

Saat ini 82 persen luas hutan di Mentawai dikuasai oleh negara sebagai hutan produksi dan konservasi, 18 persen sisanya dikuasai Pemerintah Kabupaten, ungkap Kortanius Sabaleaka, Wakil Bupati Mentawai pada tempo.co pada Oktober 2020. Dan yang berwenang membagi-bagi 82 persen luas hutan itu pada pihak ketiga dalam skema HPH dan HTI adalah pemerintah pusat.

Namun adanya perusahaan-perusahaan tersebut, masih menurut Kortanius, “jujur tidak ada manfaatnya, dana Bagi Hasil HPH di Mentawai yang diberikan oleh pemerintah pusat hanya 2 Miliar per-tahun”. Menurut Kortanius lagi, jumlah itu untuk menanggulangi dampak banjir saja tidak cukup.

Senada dengan Kortanius, Ocha juga mengamati bahwa kontribusi perusahaan-perusahaan itu terhadap masyarakat Mentawai bisa dikatakan sangat minim. Sampai awal 2000-an, saat Mentawai mendapat status sebagai Kabupaten, infrastruktur seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat tidak memadai.

Kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut tampaknya juga tidak membawa dampak signifikan bagi kesejahteraan penduduk Mentawai. Dalam dua puluh tahun terakhir, Mentawai selalu menyandang status sebagai Kabupaten dengan tingkat kemiskinan penduduk tertinggi di Sumatera Barat. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat (BPS Sumbar), dari tahun 2002 sampai 2020 persentase penduduk miskin di Kabupaten Kepulauan Mentawai selalu lebih tinggi dibanding Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat. Meskipun dalam dua puluh tahun itu jumlah penduduk miskin Mentawai menurun tiap tahunnya, tapi penurunan jumlah tersebut jauh lebih lambat dibanding Kabupaten/Kota lain di Sumatera Barat daratan.

Stereotyping dan Minangkabausentrisme  

Sementara itu, Juniator Tulius, antropolog asal Mentawai, melihat bahwa stereotyping terhadap masyarakat Mentawai berawal dari generalisasi terhadap orang Mentawai. Misalnya soal label ‘perempuan murahan’. Ia tidak memungkiri bahwa, sama seperti perempuan dari etnis lain, sejumlah kecil perempuan Mentawai “mungkin kerja sambilan sebagai wanita penghibur.” Hanya saja, orang-orang kemudian menganggap kebanyakan perempuan Mentawai mempunyai profesi yang sama, padahal kenyataannya bukan begitu.

Sebagian perempuan Mentawai lainnya, menurut Juniator, “ada yang bekerja sebagai tukang jahit atau kerja di rumah makan.” Sejumlah orang yang menggeneralisasi itulah yang kemudian “mendiskreditkan sebuah kaum,” lanjutnya. Sama seperti etnis minoritas lainnya, masyarakat Mentawai di Padang pun kemudian cendrung membentuk komunitas sendiri. “Berkumpul sesama orang satu kampung demi mendapat rasa aman, sekuritas.”

Juniator menambahkan “awalnya sudah salah persepsi dan salah informasi tentang Mentawai. Mereka melihat masyarakat Mentawai sebagai masyarakat terbelakang, makan babi.”

Di sisi lain, Heru Joni Putra, budayawan asal Sumatera Barat, menilai bahwa segala perlakuan diskriminatif terhadap masyarakat Mentawai yang sudah berlangsung sejak lama itu tidak bisa dilepaskan “dari tata kelola pemerintahan dan pendidikan yang sudah tidak adil terhadap Mentawai.”

Heru mengamati berbagai kebijakan yang diputuskan untuk Mentawai sangat Minangkabausentris, termasuk kebijakan kebudayaan. Menurut Heru, meski kebijakan-kebijakan yang dihasilkan mengatasnamakan Sumatera Barat, namun kebijakan-kebijakan itu cendrung bertitik tolak dari pertimbangan satu pihak saja, yaitu Minangkabau. Akibatnya, kebudayaan-kebudayaan non-Minangkabau yang ada di Sumatera Barat akhirnya hanya menjadi ‘anak bawang’, tidak begitu diperhitungkan, terpinggirkan, termasuk kebudayaan Mentawai

“Dalam hal pendidikan, misalnya dalam literasi kebudayaan, Minangkabau cendrung diposisikan sebagai kebudayaan yang beradab selamanya, sementara Mentawai diposisikan sebagai kebudayaan yang perlu diberadabkan,” kata Heru memberi contoh.

“Ini yang menyebabkan sebagian warga Minangkabau seringkali gampang merendahkan orang Mentawai dengan satu dan lain cara,” lanjutnya.

Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat (Disbud Sumbar), Gemala Ranti, yang diwawancarai lewat panggilan Whatsapp (27/10), mengatakan bahwa dalam visi Disbud Sumbar, kebudayaan Minangkabau memang cendrung lebih diprioritaskan.

“Tentu mayoritas yang dilebihkan, sama dengan provinsi lain, ya. Di Aceh, atau di daerah lain juga begitu,” tutur Gemala.

Namun begitu, menurut Gemala, Disbud Sumbar bukannya tidak memahami keragaman budaya yang ada di Sumatera Barat. Menurut Gemala lagi, saat ini setidaknya ada 7 etnis dengan budayanya masing-masing di Sumatera Barat. Karena keterbatasan anggaran, tidak semua kebudayaan bisa “difasilitasi dan dibina secara berkelanjutan” oleh Disbud Sumbar.

Gemala memberi contoh bagaimana kebudayaan-kebudayaan non-Minang di Sumatera Barat, termasuk Mentawai, diberi ruang dan difasilitasi. Dalam Pekan Budaya Daerah yang baru-baru ini digelar, “5 etnis diberi ruang yang sama. Sama-sama ditampilkan budayanya masing-masing. Tapi 2 etnis lagi belum bisa kita ikutkan karena, ya itu tadi, keterbatasan anggaran,” lanjutnya.

Di akhir wawancara, Gemala menekankan bahwa Disbud Sumbar sama sekali tidak berniat menganaktirikan atau berlaku diskriminatif terhadap kebudayaan non-Minangkabau di Sumatera Barat. Selama kepemimpinannya, Gemala menyatakan dalam mengimplementasikan berbagai programnya Disbud Sumbar selalu mengupayakan terlibatnya tiap unsur budaya yang ada di Sumbar. “Ke depannya akan kita tingkatkan lagi, kalau dapat semua unsur budaya mendapat tempat yang layak,” tutupnya.

Dalam dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) 2017-2021 Dinas Kebudayaan Sumatera Barat versi revisi yang saya peroleh, memang disebutkan secara gamblang bahwa visi Dinas Kebudayaan Sumatera Barat ialah “terwujudnya kehidupan yang berbudaya berdasarkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

Berbagai program yang direncanakan Disbud Sumbar dalam RENSTRA tersebut, juga didominasi program terkait kebudayaan Minangkabau. Sepanjang empat tahun, Disbud Sumbar punya program prioritas yaitu Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Budaya dengan indikator pencapaian: meningkatnya pelaksanaan pendidikan Muatan Lokal Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Di bawah program prioritas tersebut, terdapat sejumlah program lainnya. Ada 6 program Urusan Kebudayaan, di antaranya: Program Pengembangan dan Penguatan Nilai Budaya yang akan diwujudkan dalam beberapa kegiatan di antaranya penelusuran sejarah Minangkabau dan penyusunan Pergub Warisan Budaya Minangkabau tak Benda; Program Pengelolaan Kekayaan Budaya yang akan diwujudkan dalam kegiatan seperti Festival Pakaian Tradisi Perempuan Minangkabau, publikasi Sastra Minangkabau di Media Cetak, serta Pengadaan Pakaian Tradisi Budaya Minangkabau dalam Rangka HKG.

Untuk program Pembinaan dan Pegembangan Pendidikan Budaya direncanakan kegiatan seperti penyusunan kurikulum dan modul nilai-nilai Keminangkabauan; Pelestarian dan Aktualisasi Nilai-nilai Matrilineal; Lomba Kato Bajawek Pasambahan; Penyusunan Ensiklopedia Bahasa Minangkabau; serta Workshop Sastra Minangkabau.

Sedangkan untuk Program Pemberdayaan dan Penguatan Eksistensi Lembaga-lembaga Adat Seni dan Budaya direncanakan kegiatan seperti Penguatan Adat dan Nagari; Peningkatan Wawasan Adat Bagi Pengurus KAN, LKAAM, dan Bundo Kanduang; serta Penerapan Nilai-nilai Adat Minangkabau Bagi Generasi Muda di luar daerah.

Munculnya Kembali Wacana DIM: Memperkusut yang Sudah Kusut

Di tengah kondisi-kondisi di atas, wacana pembentukan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM) kembali muncul. Para penggagas DIM hendak mengubah Provinsi Sumatera Barat menjadi Daerah Istimewa Minangkabau. Dalam naskah Ringkasan Rancangan Undang-Undang DIM (RUU DIM), para penyusunnya mengklaim bahwa DIM adalah solusi bagi Sumatera Barat.

Secara sekilas naskah RUU tersebut juga membahas soal Mentawai. Penyusunnya mengklaim bahwa DIM bisa memajukan Mentawai. Namun anak-anak muda Mentawai tidak melihatnya demikian.

“Tidak percaya saya. [Dalam RUU DIM] mana ada solusi nyata buat masalah Mentawai,” geleng Nimus yang telah mempelajari naskah tersebut dan tidak melihat pentingnya DIM bagi pemberantasan korupsi, minimnya fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta kerusakan lingkungan di Mentawai.

Sebaliknya, menurut Nimus yang ada hanyalah upaya “meninggikan kebudayaan Minang saja.” Misalnya, ia melihat penyusun DIM seolah menganggap Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah bisa begitu saja diterapkan di Mentawai, padahal mereka punya pijakan sendiri soal bagaimana menjalani hidup ini.

Goergerius, mahasiswa asal Mentawai lainnya, yang juga sudah mempelajari naskah tersebut, punya pendapat serupa. Baginya, DIM akhirnya hanya “akan meninggikan derajat budaya Minangkabau. Padahal kami juga punya budaya sendiri, aturan adat sendiri, serta kebijakan-kebijakan, atau apa itu, local wisdom sendiri.”

Lia juga menolak DIM. “Saya cemas jadinya, DIM ini akan memperkuat diskriminasi terhadap kaum minoritas seperti kami ini, karena itu, konsepnya hanya mengutamakan Minangkabau saja. Padahal yang penting itu justru saling menghargai, tidak menganggap satu budaya lebih baik dibanding budaya lain.”

“Saya jelas menolak DIM!” tegas Endang. “Bagi saya pemikiran seperti itu tidak mempertimbangkan keragaman budaya dan agama. Cobalah kita mulai sekarang saling menghargai saja, tidak mempersoalkan agama atau identitas.”

Sambil menunjukkan instastory anak-anak muda Mentawai lainnya yang menyatakan menolak DIM, Pitto berkata, “tidak bisa saya bayangkan nasib tato Mentawai kalau ada DIM.” Baginya DIM hanya akan melestarikan stigma buruk terhadap tato, dan ujung-ujungnya terhadap budaya dan masyarakat  Mentawai itu sendiri.

Masalah yang tak kalah penting penting bagi Nimus adalah soal tidak dilibatkannya masyarakat Mentawai dalam merumuskan wacana-wacana seperti DIM. Menurut Nimus, saat ini Mentawai tidak kekurangan sumber daya manusia untuk diajak berembuk soal masa depan Sumatera Barat.

“Senior kami sudah ada yang jadi Doktor, selain banyak juga yang sudah sarjana, belum lagi mahasiswa-mahasiswa Mentawai yang cukup progresif. Tapi kenapa mereka tidak dilibatkan atau dimintai pendapat oleh tim penyusun DIM ini. Ini ‘kan semacam anggapan kalau kami tidak bisa memikirkan soal-soal ‘berat’ seperti DIM ini.” Padahal, sambung Nimus, “dalam zaman digital ini kami terus mengembangkan kapasitas intelektual serta memperkaya wawasan dengan berbagai referensi yang bisa kami akses di internet.”

Tidak hanya soal DIM, dalam banyak hal mereka merasakan hal yang sama. Dalam berbagai kebijakan yang akan berpengaruh terhadap  Mentawai yang diputuskan di Padang atau Jakarta, menurut mereka mayoritas masyarakat Mentawai sebetulnya merasa tidak dilibatkan. “Kami mungkin dianggap cukup menerima saja. Ini tidak betul ini!” lanjut Nimus.

Selain punya potensi mempertajam diskriminasi, anak-anak muda Mentawai seperti Nimus menenggarai adanya ancaman lebih serius yang terkandung dalam DIM. Menurut mereka, jika memang betul-betul diwujudkan, efek DIM di Mentawai bisa sangat merusak.

Saat ini Nimus melihat bahwa pusat-pusat ekonomi di Kepulauan Mentawai didominasi oleh etnis non-Mentawai. Toko-toko kelontong serta usaha sejenis lainnya, lebih banyak dijalankan oleh etnis Minang dan Batak. Sementara itu, resor-resor dikuasai pengusaha asing kecuali satu resor besar yang pemiliknya seorang Mentawai. Di saat yang sama, tongkang-tongkang terus mengangkut kayu dari pelabuhan Pokai di Siberut, namun masyarakat Mentawai merasa tidak diuntungkan.

“Belakangan ini, saya amati sudah banyak [penduduk Mentawai] yang bertanya-tanya kenapa yang diuntungkan [oleh kegiatan ekonomi] di Mentawai hanya etnis tertentu saja. Sekarang itu sudah mulai muncul kecemburuan sosial. Meski tidak tampak di permukaan, tapi itu ada, dan itu yang membuat saya sangat khawatir,” terang Nimus.

Kalau direalisasikan, Nimus dan kawan-kawannya khawatir DIM malah akan mengeraskan etnosentrisme di kalangan masyarakat Mentawai lalu memantik konflik sosial. Masyarakat Mentawai yang melihat bahwa mereka dipinggirkan secara ekonomi di negerinya sendiri kini   akan makin merasa dipinggirkan, karena DIM, mengulang perkataan Georgerius, “hanya meninggikan derajat suku Minangkabau.”

Dulu dan Sekarang

Lia (dan juga Georgius) merupakan anggota Formma Sumbar. Formma Sumbar saat ini mengontrak satu bangunan sebagai sekretariat di suatu kawasan di Padang. Di tempat ini, warganya cukup terbuka. Tiap Idul Adha mereka bahkan mendapat daging kurban dari para tetangga. Dengan cukup aman mereka mengadakan banyak aktivitas intelektual di bangunan yang bersebelahan dengan masjid itu. Bersama mahasiswa dan anak-anak muda dari berbagai etnis, mereka kerap mengadakan pemutaran film sampai diskusi-diskusi terkait isu-isu sosial terhangat.

Dulu Lia masih merasa kalau teman-teman satu kampus serta lingkungan yang lebih luas kesulitan menerima keberadaannya. Ia menangkap adanya rasa tidak suka dalam tatapan orang-orang. Berbagai stigma ditujukan padanya sampai-sampai membuat ia enggan menyebut Mentawai sebagai asalnya.

Kini situasinya sudah lumayan membaik.

“Puji  Tuhan, sebagian anak-anak muda di kota Padang yang saya temui hari ini sudah bisa menerima perbedaan. Ketika saya mengatakan kalau berasal dari Mentawai, mereka dengan antusias bertanya soal bagaimana budaya Mentawai dan hal lainnya tentang Mentawai.”

Dalam soal penolakan oleh pemilik kost, Lia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan semua pemilik kost. Ia tidak menampik kadang ada teman-teman dari Mentawai yang kurang peka dengan teman satu kost yang berbeda agama. Ia misalnya pernah mendengar tentang adanya anak Mentawai yang tetap menyetel musik saat teman satu kostnya yang muslim tengah beribadah.

“Saya menyesali teman-teman yang belum memiliki kesadaran untuk menghargai satu sama lain. Kalau saya ada di sana, tentu saya akan melarang sikap seperti itu. Semestinya kita ini ‘kan harus saling memahami, saling menghargai,” ucap Lia sambil menambahkan bahwa tidak semua pemilik kost di Padang menolak anak Mentawai, ada juga yang cukup terbuka dan tidak  membeda-bedakan agama dan etnis.

Nimus, Pitto, dan Goergerius, sependapat kalau belakangan ini mereka mulai merasa nyaman bergaul dengan sebagian anak muda di kota Padang. Meski begitu, mereka tetap menekankan bahwa berbagai bentuk diskriminasi yang masih dialami etnis Mentawai sebagai persoalan serius yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. (*)

*Liputan ini merupakan bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan Norwegian Embassy untuk Indonesia.

Ilustrasi oleh Amalia Putri

 

About author

Alumni Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Andalas.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *