Pagi masih terasa lembab di lereng gunung Sago, jorong Sikabu-kabu, nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang (Sitapa), kecamatan Luak, kabupaten Lima Puluh Kota. Gunung Sago yang mistis itu sebagiannya masih tertutup kabut. Sisa hujan masih terasa di pematang sawah areal Batang Soriak. Bulir-bulir air menunggu jatuh di ujung rerumputan. Siska dan beberapa orang temannya lewat di pematang itu. Agak licin, Siska mengembangkan tangannya untuk menjaga keseimbangan kakinya.
Mereka sudah berjanji untuk melihat Mak Icun dan Mak Ida bertanam padi. Sawah itu milik Etek Dewi. Mak Icun dan Mak Ida hanyalah pekerja atau buruh tani. Manjek upah begitu para buruh tani ini menyebut perkerjaan mereka. Di nagari Sitapa kini tidak lagi banyak orang yang berprofesi seperti Mak Icun dan Mak Ida.
Mak Icun dan Mak Ida menyacahkan pantatnya di petak persemaian benih. Mereka memotong benih yang menghijau, memasukkannya ke penampannya. Mereka mulai dari pinggir, menunduk seperti rukuk dalam sholat. Menegakkan badan, menyibakkan air dengan kaki, lalu mencuatkan benih dibekas sibakan kaki itu. Benih yang sudah di tanam itu membuat garis panjang. Tak lupa bercerita satu sama lainnya. “Ota di ateh bendi” (bercerita-cerita sambil bekerja), kata mereka. Sambil bercerita, kerjaan juga tetap bisa dijalankan. Siska memperhatikan lekat-lekat benar laku tubuh Mak Icun dan Mak Ida.
Siangnya, Siska dan temannya sengaja pula pergi melihat Pak Syafwan menyabit padi. Padi itu juga bukan miliknya. Seperti halnya Mak Icun dan Mak Ida, dia juga hanya buruh yang bekerja manjek upah di sawah orang lain. Pak Syafwam tidak sendirian. Ada Pak Buyung, Ramli, Ismail, dan juga Uni Lema. Siska menyaksikan proses demi proses menyabit padi. Ia pun ikut melakukan beberapa proses.
Beberapa hari setelahnya, Siska bertemu dengan Uda Ipul. Siska tertarik dengan pengairan di sawah yang digarapnya. Kenapa sawah yang digarap Uda Ipul cukup banyak air. Sementara sawah di lokasi lainnya agak kurang. Kenapa ada paralon panjang yang membentang hingga ke dalam sawah. Ipul menerangkan bahwa ini kebetulan musim hujan. Sehingga air cukup banyak. Kalau hujan tidak datang beberapa hari saja, jangan harap sawah akan berair. Untuk itu, perlu menambah modal produksi untuk membeli paralon. Sehingga air bisa langsung dibawa dari sumbernya. Langsung masuk ke sawah yang digarapnya.
***
Ada pemandangan yang begitu berbeda di Sabtu pagi, 25 November 2023 di lokasi persawahan Taruko jorong Padang Panjang, Nagari Sitapa. Dua petak sawah milik ibu Upiak Payobadar yang telah menguning mesik itu akan dipanen dengan cara yang berbeda. Di beberapa sudut sawah yang akan dipanen itu terpasang umbul-umbul tiga warna, kuning merah, dan hitam. Umbul-umbul itu menandakan akan ada sebuah perayaan di lokasi tersebut.
Dua orang laki-laki 40 tahunan duduk di pematang sawah dengan begitu gelisahnya. Sabit yang matanya mengkilap tak lepas dari tangan mereka. Tangkainya mereka putar-putar tiap sebentar. Layaknya sebuah senjata, mereka tampak siap untuk berperang. Barangkali sabit tajam itu telah melewati ritual-ritual khusus. Namun begitu, mereka tampak cemas. Kecemasan itu semakin terasa ketika salah satunya terus bertanya. “Jam berapa kita mulai?”
Ya, di sawah Taruko itu, sebagaimana yang disebar di flyer, akan dilangsungkan sebuah pertunjukan tari karya Siska Aprisia. Seorang koreografer sekaligus penari muda Sumatera Barat asal kota Pariaman yang sekarang memilih tinggal di kota Yogyakarta. Pertunjukan ini menjadi satu rangkaian penting dari Legusa Festival—sebuah perayaan aktivitas seni anak nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang. Kegiatan yang, untuk tahun ke 6 ini, difasilitasi oleh Kemdikbudristek, melalui Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan.
Siska mengenakan pakaian merah maroon. Ia dibantu oleh 5 orang lainnya. Mereka tampak sedang bersiap-siap untuk memulai pertunjukan, memulai suatu peristiwa. Beberapa orang pembantu ini tampak mengikat seonggok jerami yang dilekatkan bersamaan sebuah paralon sepanjang 2 meter. Setelah dipastikan segala properti siap, mereka berdiskusi sebentar seraya menundukkan kepala. Mengeja doa untuk kelancaran pertunjukan tersebut.
Jam 9 lewat sedikit, terdengar ada pengantar pertunjukan dari pengeras suara: Bahwa, sebentar lagi akan berlangsung pertunjukan dari Siska Aprisia yang berjudul Tunduk Pada Tanah—sebuah karya tari yang merangkai peristiwa. Peristiwa yang dimaksud adalah laku hidup dan laku tubuh para petani di nagari Tanjung Haro Sikabu-kabu Padang Panjang ketika turun ke sawah. Tempat dimana hidup mereka bergantung. Karya ini merupakan hasil live in Siska Aprisia di Sitapa.
Setelah pemberitahuan itu berakhir, ansambel Talempong Pacik ditalu di tepi sawah. Para pengunjung mulai mencari tempat yang nyaman menurut mereka. Ada yang memilih duduk di pematang sawah, ada juga yang memilih berdiri di pinggir jalan.
Dua orang laki-laki berjalan pelan menuju petak sawah yang menguning itu. Mereka mulai menunduk. Di tangan kanan sabit dikaitkan pada bagian bawah tangkai padi. Tangan kiri memegang rumpunya. Batang padi terpotong. Pertemuan sabit dan rumpun padi ini menghasilkan bunyi yang seolah menjadi soundscape untuk pertunjukan Siska. Setelah semua rumpun terpotong, kumpulan tangkai padi itu diungguk di bawahnya. Peristiwa menyabit padi ini menjadi satu layer dalam pertunjukan Siska.
Pada layer yang lain, di belakang para penyabit padi, pada area yang telah disabit, Siska mengikuti dengan gerakan. Area itu kemudian menjadi panggung bagi Siska Aprisia.
Dengan was-was, Siska mulai melangkahkan kakinya. Langkah serupa sedang berjalan di tanah bancah berlumpur. Tangannya dikembangkannya, seolah sedang membantu menyeimbangkan langkah kakinya. Kakinya mungkin sedang terbenam, namun ia tampak mengangkatnya. Terbenam lagi, diangkat kembali. Setelah terangkat ia kemudian menyibakkan tunggul jerami dengan kakinya. Mungkin ia sedang maroncah sawah. Ia lalu menunduk, menggerakkan tangannya seperti sedang mencuatkan sesuatu di tanah sawah.
Tepat di tengah-tengah, ia kembali menunduk. Kembali ia serupa sedang menanam, lalu ada yang diseraknya ke banyak penjuru. Gerakan itu dilakukan berulang-ulang. Tak lama berselang, kedua laki-laki tadi telah telah sampai di ujung. Begitu cepat kedua laki-laki itu bergerak. Sesekali mereka menyeka peluh di pelipis mata, lalu kembali menunduk. Agaknya, gerak tubuh menyabit padi sepertinya sudah membentuk tulang belulang mereka. Berdiri tegak lalu menunduk, tegak lagi menunduk lagi. Laku tubuh serupa ini yang sedang dirangkai Siska.
Siska sedikit memberi jeda atas gerakan-gerakannya. Setelah mengambil nafas panjang, ia pun memulai kembali gerakan yang lain. Ia membuka kaki, mengayun langkah, membentuk gerakan seperti langkah silat. Dengan gerak pasti ia menceburkan dirinya pada tumpukan batang padi yang teronggok. Ketika bangun, di tangannya sudah ada satu buah bulir padi. Bulir padi itu di bawa ke arah penonton. Dengan bulir padi itu, ia seolah sedang mengkomunikasikan hal yang begitu penting. Namun entah apa.
Dua laki-laki yang bermandi peluh itu tetap saja melakukan aktivitasnya seperti bagaimana biasanya. Kadang ia melintas dihadapan Siska, untuk berkomunikasi satu sama lain. Setelah berkomunikasi, mereka mulai mengumpulkan rumpun padi yang sudah disabit untuk diungguk kembali pada satu tempat. Siska juga mengikuti aktivitas itu. Siska berjalan ke satu titik yang lain, ia mengambil terpal besar berwarna biru. Terpal itu dijunjung di kepala. Setelah kembali ke tangah sawah, mereka bertiga membentangkannya.
Setelah tikar terbentang, padi kembali diungguk menjadi setengah lingkaran. Dua oang laki-laki tadi mengambil sebentuk tali untuk mengikat pangkal padi. Lalu menghempaskan pada alat manual yang mereka sebut dengan lambuak, sebuah alat manual untuk pemisah padi dengan tangkainya. Dibuat dari kayu berbentuk segitiga, di bagian depan bilah-bilah bambu dipaku sedikit jarang. Ketika batang padi dihempaskan maka padi-padi akan terpisah dan masuk dalam di ruang-ruang bilah tersebut.
Padi terungguk rapi, dua orang laki-laki mulai malambuak. Siska juga melakukan hal yang sama. Hempasan padi di lambuak menghasilkan bunyi yang perkusif. Sementara di beberapa sudut sawah, 5 orang pembantu karya ini masuk dengan berjalan begitu pelan. Mereka menjunjung jerami yang diikat bersamaan dengan sebuah paralon. Dari dalam paralon pun itu mengeluarkan bunyi serupa aliran air.
Dari bunyi-bunyi itu kemudian direspon Siska. Ia mulai berdendang. Sambil berdendang ia kembali bergerak serupa langkah silat. Kadang-kadang ia memutar-mutarkan kaki di tikar yang berjerami. Ia serupa sedang mengingatkan penonton satu laku mairiak padi. Sebuah proses purba masyarakat agraris saat memisahkan padi dari tangkainya.
Lima orang dengan paralon menyambungkan masing-masing paralon. Sambungan yang acak itu kadang membentuk sebuah gunung. Gunung yang dahulu menghilirkan air kepada yang hidup di bawahnya. Kali ini dalam bentuk yang lain, paralon disambung memanjang. Siska berjalan ke ujungnya. Ia tampak sedang menampung air. Ia membasuhkan ke muka dan kepalanya. Ia menampung lagi, kemudian menyeraknya ke berbagai penjuru.
Di penghujung pertunjukan, paralon kembali disatukan, kali ini membentuk sebuah lingkaran. Siska, dan lima orang yang membantunya, serta 2 laki-laki penyabit padi ikut terhubung saling menggenggam tangan. Ini seperti sebuah ajakan untuk kembali menyatukan segala soal, berbagi resah, lalu duduk bersama. Barangkali dengan duduk bersama tidak ada kusut yang tidak selesai. Ibarat sebuah sawah, berair sawah di atas, maka sawah di bawah juga ikut lembab karenanya.
***
Barbara Hatley, seorang Profesor Emeritus di program Asian Languages and Studies, Universitas Tasmania, Australia. menulis dalam buku Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru. Ia membuka tulisannya begini. “Seni pertunjukan sudah sejak lama mempunyai posisi penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia, untuk menunjukkan kekuasaan, mempererat hubungan sosial dan merayakan nilai-nilai bersama.”
Pada kalimat selanjutnya, ia mempertegas dengan pertanyaan-pertanyaan. Sejauh mana seni pertunjukan terus melakukan peran yang sama pada awal abad ke 21 ini? Dan bagaimana acara kesenian tersebut mencerminkan dan memberikan sumbangan bagi lingkungan sisial yang ada di sekitarnya?
Pertanyaan tersebut kemudian dijawab oleh sekelompok intelektual, aktivis kebudayaan, pekerja seni pertunjukan yang menggelar pertemuan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, tepatnya di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya. Pertemuan itu berlangsung pada akhir Juni tahun 2010 silam. Jawabannya dikumpulkan dalam buku yang saya sebutkan di atas.
Lalu, di tempat yang jauh dan tersuruk di pedalaman Sumatera Barat, di nagari Sitapa, 13 tahun kemudian, tepatnya pada akhir November tahun 2023. Digelarlah sebuah acara kesenian: Legusa Festival. Sebuah perayaan aktivitas seni pertunjukan anak nagari, dimana mereka mempertemukan kelompok-kelompok seni di masyarakat dengan beberapa seniman. Antara mereka saling berbicara, saling mencurahkan isi hati, saling memberi makna satu sama lain. Makna yang mereka serap itu kemudian ditata dalam bentuk karya. Lalu karya tersebut dikembalikan lagi dalam bentuk pementasan di tengah-tengah masyarakat.
Peristiwa festival serupa ini, oleh anak nagari Sitapa dilekatkan satu istilah yang inklusif sekaligus ideologis: festival warga. Sebuah festival yang dipelopori, diinisiasi, dan dihidupi oleh masyarakatnya.
Bagi anak-anak nagari Sitapa festival ini dibayangkan sebagai satu laboratorium untuk memproduksi pengetahuan bersama. Pengetahuan itu dipresentasikan dalam ragam pertunjukan. Dengan satu tujuan: memberikan tawaran baru atas rusaknya jalinan sosial masyarakat.
“Tunduk Pada Tanah,” adalah salah satu dari karya itu. Sebuah karya yang oleh Siska, dimulai dengan pendekatan kewargaan. Dengan tinggal bersama petani. Mengikuti mereka ke sawah. Mendengar keluhan-keluhan. Berbincang-bincang mengenai persoalan, dan mencoba menjangkau harapan-harapan mereka. Dengan meminjam laku tubuh para petani, Siska kemudian merangkai sebuah peristiwa kesenian. Peristiwa itu dihadirkan kembali pada konteks sosialnya.
Pada karya itu, untuk menyampaikan pesan-pesan sosialnya, Siska seolah tak membutuhkan tata lampu, rekayasa tata artistik rumit lengkap dengan tanda penandanya, komposisi bunyi yang mungkin memberi hidup pada geraknya. Kesemua itu telah ada tersedia di. hadapan para pemirsanya. Bahkan lebih dekat dari urat nadi mereka sendiri.
Terlihat keharuan di wajah-wajah penonton yang hadir pada pagi itu. Ibu-ibu yang pulang dari sawah, penjaja makanan, ataupun para pengedara motor dan mobil yang sengaja berhenti di tepi jalan. Ibu-ibu bertudung dengan sabit di tangannya, agaknya paham benar dengan peristiwa yang dirangkai Siska. Mereka seolah seperti sedang menonton laku mereka sendiri. Laku tubuh, sekaligus laku sosial mereka.
Barangkali melalui sebuah paralon, Siska ingin mengajak masyarakat Sitapa menerobos lorong waktu. Ke masa yang jauh dan mungkin juga teduh. Masa dimana para akademisi dan juga intelektual asing benar-benar takjub dan penasaran dengan kehidupan masyarakat di pedalam Minangkabau itu.
Akan tetapi, hari ini, Siska malah terlempar ke situasi rapuhnya hubungan sosial di antara mereka. Ketika yang tersisa hanyaalah keengganan untuk saling berbagi satu sama lain, dan kecendrungan untuk mau menang sendiri. Sawah-sawah yang digambarkan dalam mamangan: Baraia sawah di ateh, lambok sawah di bawah, agaknya menjadi kearifan untuk pemanis di bibir saja. Nyatanya, demi bisa sawah kita basah berair, kita membiarkan orang lain kekeringan. Atau bahkan, demi perut berada, kita membiarkan hati menjadi kosong belaka.
Agaknya Siska telah memberi satu gerak yang menggarik dalam diri penonton. Dengan pendekatan yang dilakukannya, agaknya telah memancing respon yang positif dari para reseptornya. “Saya mengapresiasi sekali apa yang dilakukan Siska. Membiarkan seluruh indera menemukan data, penghargaan terhadap sejarah ketubuhan warga, serta pelibatan, dengan sendirinya memaksa seniman menemukan ukuran-ukuran baru. Saya kira, metode penciptaan demikian, seperti “Tunduk pada Tanah”, patut dipromosikan untuk festival warga,” Kusen Alipah Hadi, ketua Koalisi Seni Indonesia memberi jempol pada pesannya di chating WAnya. (*)
Dokumentasi Legusa Festival
Editor: Randi Reimena.