Pemandangan alam Minangkabau yang tampak pada karya-karya foto Edy Utama sungguh permai sekali. Kita bakal menemukan beberapa pokok gambar seperti hijau-kuning areal persawahan; sungai berair jernih; gunung berwarna biru; langit cerah berawan putih; hijau segar lereng bukit; rumah bergonjong dan kubah masjid; pohon kelapa berjejeran; tegak-kokoh tebing purba; jalan berkelok membelah perkampungan; rombongan perempuan berpakaian adat dan masih banyak lagi. Dan bila pokok-pokok gambar itu diringkus ke dalam beberapa kata kunci, di antaranya: sawah-ladang, gunung Marapi, perempuan, komunal, adat, dan agama, pada gilirannya hal itu akan membawa kita bersua dengan konsepsi klasik tentang alam Minangkabau sebagaimana yang sering kita dengar dalam khazanah pepatah-petitih.
Saya menyimak khazanah fotografi lanskap tersebut melalui laman-laman media sosial serta beberapa salinan karya yang dikirimkan fotografernya. Dalam jumlah yang lebih besar lagi, karya-karya itu dipamerkan di Galeri Taman Budaya Sumatra Barat, 28 Agustus – 7 September 2021. Pameran itu menampilkan karya fotografi lanskap Edy Utama selama 25 tahun ini dan dirangkum dalam tajuk “Minangkabau Cultural Landscape”.
Paling tidak, ada tiga bentuk respons umum yang dihaturkan oleh para pemandang atas karya-karya tersebut. Pertama, foto pemandangan alam sebagai jalur menuju kenangan. Dalam respons seperti ini, para pemandang memaknai bentangan alam dan kehidupan masyarakat di dalam foto tersebut sebagai proyeksi dari hari lalu mereka. Agaknya, situasi yang sedang mereka hadapi sekarang sudah jauh berbeda dengan apa yang pernah dirasakan dahulu. Dengan demikian, hamparan foto pemandangan alam itu menjadi penghubung diri mereka dari saat ini ke masa dahulu, sekalipun misalnya lokasi di foto itu bukan tempat yang pernah mereka diami sebelumnya.
Kedua, foto pemandangan alam sebagai bahan konfirmasi. Tak dapat dipungkiri bahwa ada juga kecendrungan masyarakat yang memaknai Minangkabau sebagai negeri yang permai belaka sebagaimana dalam narasi pariwisata. Segala hal yang berhubungan dengan Minangkabau hanyalah yang berkaitan dengan keindahan alam dan segala yang berkaitan dengannya saja. Bahkan, dalam taraf lebih jauh, segala kabar yang katakanlah tidak mengenakkan tentang Minangkabau dianggap tidak layak dikemukakan karena akan merusak citra permai alam Minangkabau. Negeri ABS-SBK ini cukup diwakili oleh segala hal yang indah saja. Dalam konteks itu, foto pemandangan alam menjadi konfirmasi bahwa Minangkabau masih seperti nilai-nilai ideal, yang harmonis belaka, semenjak dahulu sampai sekarang. Minangkabau masih baik-baik saja.
Terakhir, sikap skeptis terhadap foto pemandangan alam. Dalam pandangan serupa ini, foto-foto pemandangan alam dianggap punya potensi untuk mengalihkan perhatian kita dari kenyataan lain yang berbanding terbalik dengan keindahan alam dalam foto tersebut. Kenyataan yang sedang dihadapi manusia saat ini tidak lagi seharmonis yang ditampilkan di dalam foto pemandangan alam. Dengan demikian, di tengah semakin berkembangnya komunikasi visual di era internet ini, ketika segala tempat bisa ditampilkan seindah mungkin, sikap skeptis seperti itu selalu mengingatkan kita bahwa foto pemandangan alam—sebagaimana juga kaitannya dengan produk-produk promosi wisata lainnya—senantiasa tak cukup menjadi representasi suatu wilayah. Dan oleh karena itu, orang-orang yang skeptis dengan jenis foto ini mengharapkan masyarakat tidak meluputkan kenyataan lain bahwa di balik keindahan suatu daerah selalu tersimpan persoalan-persoalan pelik yang entah kapan bisa diselesaikan.
Tiga cara melihat tersebut mempunyai aspek faktual yang dibawanya masing-masing, yang bila dirangkai satu sama lain, menunjukkan dimensi paradoks dari kondisi alam dan budaya Minangkabau hari ini: Keindahan alam sama nyatanya dengan kerusakan alam pada banyak wilayah di Minangkabau; di suatu tempat tertentu kita masih bisa menemukan kedekatan antara kondisi nyata dan bayangan ideal tertentu tentang Minangkabau sebagaimana di saat yang sama di wilayah lain di Minangkabau kita bisa menemukan bentuk nyata dari keterpisahan jauh antara realitas sosial dan proyeksi ideal alam budaya Minangkabau itu sendiri; foto atas keindahan pemandangan alam itu dapat digunakan untuk memantik ingatan pada masa tertentu dalam hidup kita sebagaimana di saat yang sama ia juga bisa digunakan untuk memiuhkan perhatian kita dari persoalan sosial yang bertolak belakang dari keindahan pemandangan itu sendiri; semua hal itu jelas bertali dengan semangat komunal dalam budaya Minangkabau yang masih ada sebagaimana semangat individual yang tinggi juga bukan sesuatu yang fiktif di negeri ini.
Saya meletakkan dimensi paradoks tersebut sebagai konteks sosial yang bersemayam dalam keseharian kita sebagai kepelikan hidup orang Minangkabau hari ini. Dan kini, konteks sosial itu sedang berhadap-hadapan dengan karya Edy Utama, yang dengan suatu dan lain cara, bagi saya malah menjadi sebuah teror, yaitu teror yang muncul sebagai efek benturan antara apa yang disebut sebagai kepelikan hidup kita sebagai orang Minangkabau hari ini dan kepermaian pemandangan alam yang ditampilkan secara visual.
Dan, teror itu terasa semakin kentara tatkala keterpukauan kita pada pemandangan alam dalam foto-foto tersebut pada gilirannya mesti berhadap-hadapan dengan semakin banyaknya fakta yang menunjukkan bahwa resiko tandasnya “pemandangan alam” di Minangkabau saat ini semakin tinggi.
Kompas (2/09/21, hal. 13) memberitakan bahwa, menurut data BPS, tahun 2019 luas sawah di Sumatra Barat adalah 194.282 hektar dan selama 10 terakhir sudah susut sekitar 14.000 hektar. Dalam beberapa tahun belakangan, maraknya industri pemandangan alam yang menyasar tempat-tempat baru dan tersembunyi, apalagi yang tidak mempedulikan dampak-dampak kerusakan lingkungan akibat intensitas lalu-lalang manusia hingga pengalihan fungsi lahan hijau menjadi kawasan penginapan hingga tempat bermain, semakin menunjukkan tanda-tanda ketandasan lahan semakin meningkat.
Kondisi tersebut terasa semakin mengerikan bila kita tidak hanya melihat potensi kerusakan itu dari aspek industri pemandangan alam saja, melainkan juga dari industri perkebunan, industri perumahan, industri petualangan, industri liburan keluarga, dan masih banyak lagi. Bagaimana pun juga, saat ini, daerah-daerah yang masih dianggap menyisakan pemandangan alam yang bagus, termasuk Sumatra Barat, menjadi sasaran investasi dari beragam jenis industri yang seperti itu. Lahan-lahan di kota semakin menyempit dan ruang kota semakin meningkatkan kadar tekanan hidup, berbagai industri yang bertopang pada romantisasi “keasrian alam pedesaan” itu pun ditembakkan secara brutal ke berbagai daerah di Indonesia. Sebagian besarnya tanpa pertimbangan serius atas resiko ketandasan lahan hidup.
Ketika kita sadar bahwa resiko tersebut semakin meningkat dan otoritas pun tak punya visi untuk mengatasinya, keindahan pemandangan alam dalam karya foto akan terus memproduksi teror untuk kita.
Tapi, kita memang butuh teror yang seperti itu; teror yang dapat membuat kita terus-menerus tidak nyaman dengan kenyataan bahwa semua wilayah yang sampai saat ini masih bisa dijadikan sebagai representasi dari keindahan alam Minangkabau itu akan segera lenyap; teror yang kembali mengingatkan kita bahwa pada prinsipnya fotografi lanskap hanyalah “salinan terbatas” dari kenyataan sebenarnya dan di luar skala-bingkai kamera itu kenyataan yang terjadi tentu lebih rumit dan kompleks.
“Saya tak sanggup lama-lama memandang foto-foto Bung,” begitu ujar saya kepada Edy Utama. Ketika foto-foto itu memantulkan kesegaran di kedua mata dan kepermaian alam yang disorotnya terus-terusan memukau saya dari satu foto ke foto lain, maka saat itu juga pikiran saya terganggu terus-menerus. Teror seperti itu terus belanjut ketika Edy Utama membeberkan fakta bahwa tak sedikit dari lanskap alam yang ditampilkan dalam fot-foto itu sudah tidak ada lagi. Ternyata, para pemandang lain yang pada mulanya menatap karya-karya itu dengan penuh pesona pun ikut tersentak oleh kenyataan pahit tersebut.
Dalam sebuah percakapan, ada seorang pemandang foto Edy Utama yang bertanya: apakah teror yang saya rasakan itu hanyalah sebatas pengalaman personal dari saya saja atau memang bisa ditemukan ujung benangnya dari apa yang diusung oleh fotografernya sendiri? Pertanyaan tersebut wajar saja muncul bila si pemandang itu hanya melihat hamparan foto-foto Edy Utama saja tanpa mencaritahu pilihan-pilihan lain yang diambil oleh senimannya di luar perkara apa yang tampak di dalam foto-foto tersebut.
Bila hanya dilihat dari karya foto saja, memang, tidak ada tendensi untuk menjadikan foto lanskap itu sebagai suatu karya yang mengandung teror. Justru sebaliknya, Edy Utama benar-benar berhasil mengarahkan skala-bingkai kameranya pada bagian alam yang dapat menunjukkan kepermaian, keharmonisan, dan komunalisme masyarakat Minangkabau. Agaknya, di dalam foto itu, terlalu sukar menemukan bagian-bagian yang dapat ditangkap sebagai suatu ikhtiar menyampaikan semacam ironi.
Namun begitu, impresi yang sampai kepada kita sebagai pemandang tidak hanya melalui apa yang tampak saja, melainkan juga apa yang ditulis sebagai informasi dari foto-foto tersebut, serta semua pilihan-pilihan yang diambil oleh fotografernya untuk menampilkan karya-karya itu kepada kita. Edy Utama menjelaskan bahwa ia tidak mencantumkan informasi detail dari lokasi yang dipotretnya. Tindakan itu dilakukannya jelas sebagai sebuah pilihan politis, bukan sekadar ketidakinginan untuk memberitahukan. Ia menyembunyikan informasi lokasi pemandangan alam yang indah itu justru untuk meminimalisasi potensi kerusakan alam di sana.
Bentangan alam yang ditampilkan dalam foto dan narasi yang menyertainya merupakan suatu jalin-kelindan yang penting untuk memaknai visi yang dikandung karya-karya tersebut. Melalui tindakan yang disebutkan tadi, Edy Utama menggunakan keterangan foto tidak sebatas sebagai syarat adanya informasi saja, melainkan sebagai elemen penting bagi kita untuk memaknai karya-karyanya dengan cara yang berbeda; tanpa adanya keterangan yang seperti itu, kita pun bakal membawa pemaknaan foto tersebut ke arah yang berbeda. Dengan cara demikian, suatu keterangan foto mendapatkan fungsi paling krusialnya, yakni bagian dari piranti estetik untuk menghadirkan visi tertentu dari suatu karya.
Jadi, menjawab pertanyaan si pemandang tadi, apa yang saya sebut sebagai teror tersebut sudah ada biangnya di dalam konteks sosial yang disadari fotografernya ketika mengambil hingga memamerkan gambar lanskap tersebut. Melalui pilihan untuk menyembunyikan detail lokasi tadi (pilihan yang tampak sederhana tapi justru secara politis sangat penting) beserta berbagai narasi yang melingkupinya, kita patut bersyukur bahwa Edy Utama tetap membawa teror itu ke dalam pameran karya fotografi lanskapnya kali ini.
Tentu saja, ikhtiar untuk menghadirkan teror seperti itu dalam suatu pameran foto lanskap bisa dilakukan dengan berbagai strategi lain dan daya yang lebih besar, namun apa yang sudah dilakukan Edy Utama pada konteks ini, saya kira, sangat berhasil memberikan tendensi yang berbeda untuk fotografi lanskap. Bila umumnya fotografi jenis ini dianggap ujung-ujungnya kembali berdansa di jalan buntu yang bernama “promosi kawasan” (atau apa pun istilah lain yang beririsan makna dengan itu), Edy Utama setidak-tidaknya telah menambahkan sensibilitas lain kepadanya, dengan cara menampilkan suatu lanskap tidak sebatas sebagai “pesona” belaka, tetapi juga sebagai “perkara”. (*)
Catatan: Foto-foto yang ditampilkan merupakan milik Edy Utama yang dikirimkan ke pengarang tulisan ini. Warna foto mengalami sedikit degradasi setelah diupload ke situs.