Isu tentang permasalahan bumi terus digulirkan lewat berbagai cara: pembicaraan di ruang-ruang formal, kampanye di platform digital, penanaman bibit pohon dengan massa ribuan orang, diskusi di kedai kopi, hingga dalam seminar-seminar akademik di ruangan ber-AC.
Selain cara-cara di atas, isu bumi nyatanya juga bisa disampaikan secara “santai-santai serius” melalui medium seni, salah satunya tari. Lewat tari, isu-isu mengenai krisis iklim dan upaya merawat bumi bisa dikemas sedemikian rupa menjadi pertunjukan yang punya daya tarik tersendiri.
Di Malam Puncak Anugerah Kebudayaan Indonesia 2023, 27 Oktober 2023 di Grand Sahid Jaya, Jakarta, bumi dan persoalannya diangkat lewat “Bumi Seperti Kita”. Ini adalah tari karya koreografer Hartati. Malam Puncak Anugerah Kebudayaan Indonesia 2023, memang mengusung tema berkenaan dengan keberlangsungan nasib bumi di masa depan.
“Bumi Seperti Kita,” adalah wujud kegelisahan dan keresahan yang menyentuh ruang personal si pengkarya terhadap kondisi alam tentunya turut menjadi beban pikiran yang harus ia pikul sebagai seorang seniman. Kegelisahan atas nasib bumi di masa depan tentu milik siapa saja termasuk seniman, bukan? Dan seniman seperti Hartati memilih tari sebagai mediumnya, sebagai corong untuk untuk menyuarakan pentingnya sembari berharap dapat menggugah munculnya kesadaran rasa tanggung jawab bersama untuk merawat bumi. Bumi yang dengan ketabahan luar biasa, tak pernah lelah memberi manfaat.
Sebagaimana tertuang di dalam sinopsis “Bumi Seperti Kita”: Berkatilah pohon yang tak pernah sampai. Berkatilah air yang tak pernah tiba. Berkatilah udara yang tak kunjung hadir. Berkatilah tanah yang lenyap. Bumi seperti kita, dari zaman ke zaman, selalu tabah menunggu dunia yang berbeda dan manusia yang tak lagi sama. Bumi seperti kita, tak pernah lelah dalam menumbuhkan, seperti rumput kecil di antara bebatuan yang kering dan tajam.
Bumi dan Kita
Melalui “Bumi Seperti Kita”, Tati mencoba untuk mengeksplorasi bagaimana hubungan manusia, tradisi dan alam yang telah hidup berdampingan sejak lama. Bahwa citraan beragam tradisi di pelbagai daerah yang semakna berupa “upacara” perayaan yang bertujuan untuk berterima kasih kepada alam, sudah demikian mendarah daging.
Bumi dan manusia tak dilihat sebagai sekadar hubungan antara objek dan subjek oleh karya ini, melainkan telah menjadi satu kesatuan yang utuh, mutlak dan kembali ke pemaknaan sesungguhnya: “tubuh” semesta. Sakit satu, sakit keduanya. Bumi sakit, manusia akan terkena dampaknya. Manusia sakit, bumi akan menanggung pula kesakitan tersebut.
Tradisi kemudian hadir sebagai penyembuh atas rasa sakit tersebut, tradisi yang berupaya bertahan meski sering kali dihantam gelombang ‘gadang’ modernitas yang perlahan menenggelamkan dan mempersempit lahan di mana tradisi itu hidup dan tumbuh.
Tradisi yang dilakukan sebelum atau setelah panen, misalnya, yang dihadirkan Tati di dalam pementasannya, prosesnya masih tetaplah ada meski dengan ruang yang terbatas. Di awal pementasan, seluruh penari tampak menjunjung bibit padi di dalam besek bambu yang ditaruh di atas kepala, kemudian mengitari panggung. Sementara, tangan mereka memegang wadah serupa yang berisikan tanah.
Di panggung, sebuah meja panjang menjadi tempat ditaruhnya bibit-bibit padi di dalam besek bambu tersebut dan penari terbagi menjadi dua kelompok, di kiri dan di kanan. Meja tersebut, menurut hemat saya, adalah perumpamaan bumi, sedangkan para penari adalah manusia yang mengelilinginya. Di sekitar meja itu itulah gerakan serupa memikul, menanam, menyemai hingga menadahkan tangan ke udara seperti berdoa, ditampilkan. Barangkali ini adalah simbolisasi yang dipilih Tati atas usaha dan ikhtiar penjaga tradisi, orang-orang yang masih sadar terhadap keberlangsungan bumi dan isinya. Ia hadir sebagai perwujudan dari upaya merawat bumi yang terus-menerus dilakukan hingga sekarang.
Ragam tradisi masyarakat agraris yang tak bisa dipisahkan dari bumi itu sendiri, kini makin ditinggalkan. Bukan karena pelakunya ‘malas’ melestarikannya, namun ruang untuk hidupnya tradisi-tradisi masyarakat tani itu sendiri yang makin menyempit, meski pertanian adalah sektor yang menyangkut hidup orang banyak.
Seperti meja yang sempit di atas panggung yang terbatas dalam pementasan, ruang-ruang hidup tradisi semakin tergerus oleh “birahi” ambisi pembangunan mega proyek, kebutuhan atas hunian mewah, pabrik-pabrik industri, hingga menggenjot infrastruktur berupa jalan yang semakin meniadakan sawah dan ladang. Manusia dengan latar kehidupan agraris dan tradisinya secara perlahan kehilangan ruang untuk prosesinya. Sekali lagi, hal itulah yang disorot oleh Tati di dalam “Bumi Seperti Kita”.
Masalah Bumi Adalah Masalah Kita
Kita tak bisa menutup mata bahwa dari hari ke hari kondisi bumi kian mengkhawatirkan. Secara global berdasarkan laporan World Wildlife Fund (WWF) yang berjudul Living Planet Report 2020, ancaman terhadap lingkungan di bumi kian semakin serius, yang mana jejak ekologi (ecological footprint) menjadi sebuah tolok ukur terhadap dampak dari kehidupan manusia terhadap alam yang terus mengalami peningkatan.
Jika dirangkum, aksi penebangan hutan yang dilakukan secara terus-menerus, pertanian yang tidak berkelanjutan, serta penambangan/penggalian adalah ancaman terbesar. Tak hanya itu saja, eksploitasi berlebihan juga dilakukan manusia pada spesies yang bertujuan untuk perdagangan hingga penangkapan besar-besaran.
Hilangnya habitat asli mereka yang dirusak, entah untuk pembangunan dan kepentingan lainnya, juga menjadi ancaman terhadap keseimbangan lingkungan. Invasi satwa hingga upaya mereka mencari suaka baru dan berekspansi ke pemukiman penduduk bukan pemandangan biasa lagi yang dapat ditemukan di pelbagai pemberitaan.
Ditambah lagi perubahan iklim dan polusi yang kian mengkhawatirkan. World Meteorological Organization (WMO) atau Badan Meteorologi Dunia mencatat, ratusan kejadian anomali iklim menimbulkan bencana katastropik. Seperti halnya kejadian suhu ekstrem di Rusia pada tahun 2010 silam yang menyebabkan kematian hingga 55,7 ribu jiwa. Dua tahun sebelumnya di tahun 2008, badai menerjang Nargis, Myanmar hingga menewaskan sebanyak 138,4 ribu jiwa.
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya krisis iklim juga disebabkan oleh degradasi lingkungan akibat eskalasi laju deforestasi di permukaan bumi. Sementara itu, berdasarkan data Global Forest Watch, sepanjang periode 2002-2022, sedikitnya 16 persen tutupan alami hutan habis dibabat.
Menanam, Merawat, Harapan
Jika dikaitkan kembali pada pementasan tari “Bumi Seperti Kita”, di tengah-tengah kondisi di atas, Tati memilih berfokus pada “ritual” merawat, menjaga, dan menyeimbangkan. Ia seperti menghindari mengutuk keras kerusakan yang terjadi secara gamblang. Koreografi serupa menanam bibit, bagi saya adalah simbolisasi bagi upaya untuk terus menanam, menumbuhkan, dan merawat harapan-harapan kecil.
Meski tak dapat dipungkiri bahwa pementasan ini tidak berdampak secara langsung terhadap pulihnya krisis, setidaknya ia bisa jadi pengingat bahwa perubahan itu tak melulu soal gebrakan besar. Sebagaimana halnya judul pementasan, Tati mengisyaratkan bahwa kita berkewajiban untuk “menjaga” bumi seperti menjaga tradisi dan diri sendiri. Dan semua bisa dimulai dengan hal-hal kecil di sekitar diri: menanam, merawat. Hal-hal kecil yang dilakukan secara sadar di tengah menyempitnya lahan dan krisis iklim yang dipicu sebab-sebab yang kompleks.
Sudah mulai terasa kan bahwa belakangan ini kian panas? Mari berbenah bersama dengan menjaga bumi, sebab bumi seperti kita. (*)
Foto-foto: Dokumentasi Anugerah Kebudayaan Indonesia