Reportase

Melapak: Memupuk Daya Juang

Lapak baca merupakan upaya kolektif dalam menyediakan bahan bacaan kepada khalayak ramai untuk dapat digunakan sebaik-baiknya. Biasanya lapak baca akan mengumpulkan bahan bacaan baik itu dari pelaku lapak baca atau dari para penyumbang buku yang nantinya dapat dibaca langsung di lokasi lapakan atau bahkan dipinjam dengan memberikan jaminan kartu tanda pengenal. Untuk setiap peminjaman buku atau yang ingin membaca di tempat tidak akan di pungut biaya.

Selain itu, lapak baca merupakan alternatif di tengah perpustakaan yang cenderung ribet dalam perkara pinjam meninjam buku. Di lapak baca pula, buku, sebagai salah satu sumber pengetahuan yang dapat menjadi media untuk mencari sebuah kebenaran, dapat mewujud sebagai alat dalam perjuangan.

Pada Senin, 3 Februari, 2020, beberapa mahasiswa Universitas Andalas mengadakan melapak bersama dengan tag-line #CariKawan. Lokasinya di Segitiga Gedung Kuliah E. Beberapa hari menjelang kegiaan tersebut, tersebar pamflet seruan mengajak berbagai komunitas baca di lingkungkan kampus untuk melapak bersama. Tidak hanya komunitas baca, siapa saja yang ingin berpatisipasi dalam kegiatan ini juga diundang. Sepengetahuan saya, undangan untuk melapak bersama dalam lingkungan kampus baru kali ini terjadi. Walau masih disambut dingin oleh warga kampus mau pun oleh sebagian komunitas baca di lingkungan kampus, kegiatan tersebut tetap harus diapresiasi.

Arsip Garak.id

Dalam lingkup Universitas Andalas sebetulnya telah tersebar beberapa kumpulan lapak baca seperti Lapak Baca Fisip, Simpang Revolusi, serta lapak baca dari organisasi HMI dan PMII. Satu sama lain memiliki posisinya masing – masing dan tidak menunjukkan adanya permusuhan atau bahkan perebutan pengaruh. Saya berpendapat iklim seperti ini mesti dijaga, karena apa guna menunjukkan siapa diri paling keren jikalau maksud dan tujuannya seirama.

Dalam kegiatan#CariKawan itu, saya sempat berdiskusi dengan Pram, salah satu penyelenggara melapak bersama. Ia berkata “Apa kabar dengan isu-isu kampus hari ini? Seperti penolakan PTN-BH sebagai komersialisasi pendidikan, apakah masih layak untuk diperjuangkan?”

Betul adanya, kelanjutan dari upaya penolakan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) seakan mengalami jalan buntu. Beberapa kampus lain telah beralih status dari Badan Layanan Umum (BLU) menjadi PTN-BH. Gerakan penolakan tetap ada, namun kebijakan status menjadi PTN-BH tetap pula jalan. Begitu pula dengan Universitas Andalas, mungkin sedikit hari lagi akan menjadi PTN-BH.

Saya sebagai mahasiswa Unand merasa ada banyak persoalan untuk dipecahkan bersama. Gejolak untuk mencari jalan keluar tampak pasang-surut, kadang dalam satu masa begitu kuat, setelah itu hilang. PTN-BH adalah contohnya, gerakan penolakannya bahkan telah dilakukan oleh mahasiswa Unand ketika UU Perguruan Tinggi disahkan tahun 2012, dengan jalan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Setelah itu gerakan-gerakan dalam bentuk demonstrasi di lingkungan kampus. Hingga tahun 2019, gerakan menolak komersialisasi pendidikan ini seakan kehilangan arah.

Dengan adanya lapak baca di banyak sudut-sudut kampus, secara tidak langsung telah terbangun upaya menjaga pergerakan. Sebab lapak baca bukan hanya tempat satu atau dua orang membaca dan meminjam buku tanpa ada interaksi lebih lanjut. Di sana terbangun diskusi-diskusi perihal permasalahan aktual, seperti masalah PTN-BH di atas, dengan berbagai macam sudut pandang. Cara-cara ini saya anggap dapat senantiasa menghangatkan isu, sehingga orang akan terus mengingat ada hal yang belum beres. Untuk membahas sebuah isu secara bersama, tidak harus dengan cara mengundang secara formal dengan surat dan di ruangan berpendingin udara, bukan?

Buku-buku yang tersedia bisa menjadi modal untuk menganalisa sebuah fenomena. Tidak berhenti di sana, setelah membaca dapat langsung dibicarakan isi dari buku tersebut dengan orang yang telah membaca atau pun tahu dengan tema dari bacaan tersebut. Sehingga akan terbentuk suatu pemikiran yang utuh karna ada proses diskusi. Lapak baca memungkinkan ini terjadi.

Dokumentasi @abdissallam

Tidak ada keuntungan finansial dalam menyelenggarakan lapak baca terutama di kampus. Saya melihat semangat utamanya adalah menyebarkan virus membaca kepada mahasiswa sekaligus menghidupkan ruang publik. Ketika sebuah ruang publik telah ada dan berisi diskusi-diskusi santai namun kritis, upaya membangun gerakan kolektif tidak akan sulit. Gerakan bukanlah sesuatu yang instan. Perlu proses panjang sebelum memutuskan apa yang akan diperjuangkan, sehingga tepat sasaran.

Perlu kiranya untuk menyelenggarakan #CariKawan secara berkelanjutan, tentunya dengan makin melibatkan banyak kalangan. Bukan tidak mungkin upaya kolektif ini berjalan terus menerus hingga menjadi budaya. Lapak baca harus terus ada, kapan pun dan di mana pun, di sudut-sudut kampus atau pusat-pusat keramaian sebuah kota. (*)

 

Arsip Garak.id

Arsip garak.id

Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *