Auditorium Ngalau I–selanjutnya disebut Audit Ngalau Sampik terletak di pinggiran kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Di depannya terbentang aspal ringkih dengan lalu-lalang truk, angkutan umum, dan dinding tebing yang dominan hijau. Karakteristik tempat ini bukanlah sebuah spot hingar-bingar pusat pergaulan anak muda Payakumbuh. Area ini biasanya disewakan untuk pesta resepsi pernikahan, dan sejumlah agenda protokoler pemerintah setempat. Mendadak sehari penuh pada 26 Juni 2023, kawasan tersebut di-remake sedemikian rupa menjadi gelanggang ramai di mana beragam unit usaha lokal, komunitas, dan ratusan orang berkumpul, dengan pertunjukan musik sebagai agenda utama.
Batas-batas gender, usia, kelas sosial, pendidikan, ekonomi seakan bias jika ditakar dari selubung tampilan para pengunjung yang hadir hari itu. Kode berpakaian umum orang-orang yang tampak hari itu seolah disulap sama berwarna hitam. Tipikal para scenester dan pemburu konser musik. Hetero-homoseks, pria-wanita, tua-muda, rombongan remaja tanggung, yang datang bersama gerombolan ataupun pasangan. Pasangan kasmaran, para pegiat media lokal, teman-teman komunitas musik, seni, hingga kopi–semua tumpah di Audit Ngalau Sampik jadi satu. Inilah Meladju!
***
1.300 km dari Payakumbuh, sebuah kota bernama Bogor perlahan muncul sebagai salah satu kancah musik bawah tanah berpengaruh di tanah air. The Jansen lahir dari kancah tersebut. Bersama Skandal dari Jogjakarta dan Lomba Sihir dari Jakarta, mereka menjajal panasnya pit di Payakumbuh—sebuah kota kecil di dataran tinggi Sumatera Barat. Kota kecil itu dipilih sebagai salah satu kota yang disambangi ketiga band dalam rangkaian tur Sumatera, di samping Pekanbaru dan Batam. Di Pekanbaru dan Batam, mereka bermain di event bertajuk Panggung Panas. Di Payakumbuh eventnya bernama Meladju. Ini adalah debut pertunjukan mereka di Sumatera.
Meladju diorganisir oleh Gerilya GRBK, sebuah kolektif anak muda di Payakumbuh. Kilau lampu sorot sedang menyinari ketiga grup musik itu dengan terang selama dua tahun terakhir. Bukti jelasnya silakan tengok panggung-panggung mereka belakangan ini, selalu penuh dengan kerumunan di bibir panggung yang senantiasa kompak bernyanyi. Baik The Jansen, Skandal, dan Lomba Sihir begitu dinantikan presensinya malam itu.
Ini bukan opok-opok. Gerilya GRBK sebagai penyelenggara memang berhasil merancang event ini dengan cukup matang. Mulai dari segi format, konsep, hingga hal-hal kecil namun krusial lainnya. Seperti keberadaan sponsor di venue yang tak mengganggu, dan layout per pos yang mengisi venue dibuat tak terlalu berjarak. Hingga mencegah keruwetan dengan persediaan tiket yang terbatas agar crowd tidak membeludak.
Persiapan macam itu, seperti pengingat sebetulnya, bahwa sesungguhnya kualitas pertunjukan musik sama sekali tidak ditakar dari kuantitas pengunjung. Seperti yang tercermin dalam postingan Gerilya GRBK di akun Instragramnya: “Tiket segera habis, kami tetap berangkat dengan atau tidak dengan kalian!!!”,
Barangkali mereka mencoba untuk tak ambil pusing soal urusan jumlah pengunjung. Atau gampangnya, mereka memang tak mau ambil pusing dalam hal yang tak perlu diambil pusing. Semuanya mesti berjalan dan terus meladju
Menjamu para pengunjung dengan hiburan untuk seluruh panca indera, dan cara mereka tidak hanya lewat musik. Ini pun membuat Meladju menjadi lebih dari sekedar pertunjukan, sebab acara ini merupakan semacam communities-connection dalam spektrum Payakumbuh dan sekitarnya.
Komunitas motor serta berbagai retail unik dan gerai UKM terkurasi, terlibat dalam Meladju. Mulai dari yang menjual aksesoris hingga sepeda, bahkan ada jasa cuci sepatu @kusuaksepatu, serta kuliner tumpuan lokal yang tersebar di venue. Sebut saja dua di antaranya Kedai Nasi Nanak, dan Sate Danguang-danguang In Bur–yang punya kiprah legendaris dalam dunia kuliner lokal. Lebih lanjut Meladju juga menyiapkan langgam adu tangkas untuk para brewer kopi lewat kompetisi berjudul Tarung Kemampuan Menyeduh (Tarkam). Lokasi agenda Tarkam pun dibuat terpisah dari area outdoor panggung konser, yaitu terletak di dalam gedung auditorium.
Konsep event yang ditawarkan efektif menarik para pengunjung untuk menikmati konser musik sambil menyeruput kopi dan menyantap kuliner sedap yang tersedia di suasana hutan pinggir kota. Di acara ini, semua yang hadir hari itu bisa mendapatkan kesempatan untuk mengapresiasi langit Payakumbuh, makanan dan musik yang nikmat dalam waktu kebersamaan. Waktu bersantai setelah kalap menghadapi hari Senin pun semakin diperkuat suasananya, berkat venue yang dibiarkan asri agar jujur terhadap unsur plant based building.
…
Kondisi langit sekitar Sumatra memang tak menentu di pengujung Juni lalu. Hari yang terik sangat, sebentar kemudian berubah mendung tebal disertai hujan berangin. Pancaroba memaksa saya mengitari kota dengan sempoyongan. Saya tiba di Payakumbuh dari Pekanbaru agak telat. Setelah singgah lebih dahulu ke kediaman Prabu, kami berkemas ringkas lalu membawa diri ke Audit Ngalau Sampik di mana guyuran hujan menyambut kedatangan kami.
Tapi hujan bukan halangan. Kurang lebih 300 orang yang hadir mengenakan atribut santai, dengan tertib memasuki venue acara setelah pintu dibuka. Suasana Audit Ngalau Sampik malam itu layaknya sebuah konser dengan skala menengah (atau malah intimate concert?). Orang-orang berdiri, berkeliling, dan duduk lesehan di area. Menurut teman-teman yang hadir lebih dulu, sejak sore area sekitar venue sudah ramai. Meski konser ini berlangsung di awal hari kerja, namun tidak menyurutkan semangat penonton untuk hadir. Beberapa orang yang kami temui juga datang dari kota sekitar, sebagai halnya juga ada dari Pekanbaru yang khusus datang demi menonton para headliner untuk yang kedua kali. Beberapa band penampil juga membawa merchandise berupa kaus sebagai bagian dari promosi. Selang beberapa menit sehabis break salat Isha hujan pun agak reda, formasi penuh Skandal mengambil alih panggung—menyapa penonton yang rela diterpa gerimis.
Penampilan Skandal menghangatkan dinginnya udara. Di awal-awal crowd belum terlalu padat, dan pit belum “panas” karena gerimis. Namun Skandal punya setlist yang cukup enerjik. Mendarat jauh-jauh dari Yogyakarta untuk bermain di sini, mereka bermain maksimal, meski semalam sebelumnya telah mentas di Pekanbaru. Crowd berujung dengan sangat apresiatif. Skandal membuat banyak yang hadir malam itu bernyanyi bersama. Rupanya sebagian besar penonton Payakumbuh telah hafal lirik-lirik lagu Skandal. Prabu teman saya itu, yang ternyata personel band Raumdeuter (ini grup musik atau Thomas Muller?) terkesima dengan permainan riff, pula distorsi gitar milik Robert dengan sedikit sentuhan grunge. Sampai Sidha sang vokalis memberi kode pada penonton untuk mengikutinya bertepuk tangan sambil diiringi “Percuma” yang selalu menjadi andalan penutup mereka saat perform. Para penonton terlihat fokus dan sesekali mengangkat gadget-nya untuk kepentingan dokumentasi.
Setelah Skandal, terlihat para remaja lelaki, ada yang berambut gondrong dan berbaju hitam merangsek ke depan panggung, pertanda The Jansen bakal tampil. The Jansen mulai membakar panggung dengan sajian arsitektur sound “new old classic” ala powerpop punk yang mereka usung. Sejak set pertama, crowd sudah memanas. Mayoritas penonton laki-laki sudah tidak bisa menahan keinginan mereka untuk segera melompat dan stage dive. Tampak beberapa orang risih hingga mundur ke belakang, karena mungkin belum terbiasa dengan pemandangan seperti itu.
Agak sulit untuk melihat wajah kecuali mereka yang berada di sebelah saya. Postur-postur menjadi siluet di antara teriakan liar dan ledakan energi. Sepanjang durasi set live The Jansen yang cenderung mid-tempo dan down stroke itu, saya dibikin senyum sendiri dengan tingkah kerumunan barisan depan yang menggila: moshing, stage dive, kick spin, hingga head walk. Mungkin maksud hati agar suasana makin meriah. Malah di tengah gemuruh kesempitan, ada penonton lain yang sempat naik pitam akibat persentuhan. Mujur ada yang segera ambil tindakan melerai. Insiden saling berang tersebut dapat diredam dengan sekejap. Aksi liar penonton di penampilan musik punk aslinya memang seru, selama tidak resek dan usil. Dan penonton lainnya tak henti-hentinya untuk bersenandung bersama saat The Jansen memainkan “Mereguk Anti Depresan Lagi”, “Langit Tak Seharusnya Biru”, hingga “Kau Pemeran Utama Di Sebuah Opera”.
***
Meladju tidak cuma menyumbang keramaian di Payakumbuh, namun juga turut berkontribusi terhadap geliat musik lokal. Selain tiga band di atas, band-band Sumatra Barat turut unjuk gigi seperti Ghost Buster, Jhon Selon, Sunna, Manhorse, Dizzy, No Justice, De Train To Jupiter, dan Diskcoveria. Formasi yang beragam secara musikal, namun disatukan ‘spirit’ sidestream.
Dizzy, No Justice, De Train To Jupiter, adalah beberapa dari banyak band arus pinggir yang belakangan ini terus merangsek di kota-kota di Sumbar. Di berbagai gigs di kota-kota di Sumbar, nama-nama itu kerap mengisi line-up. Selalu ada band baru dari ceruk musik tersebut sepertinya yang lahir setiap sebulan sekali. Tak ada jumlah tepatnya tapi dari pengamatan seruntulan saya, sepertinya memang selalu hadir band-band metal, punk, hingga hardcore di berbagai gigs yang baru mendebutkan kiprahnya atau bahkan dari segi karya macam obrolan “cubo dangaan band baru ko-ha” di tongkrongan. Meladju tampaknya hadir untuk mengakomodir perkembangan ini.
Fenomena kemunculan sporadis band-band baru di ranah lokal tersebut, tanpa bermaksud mengesampingkan band-band lainnya, ada satu band hardcore yang cukup krusial masuk ke kisaran radar telinga saya belum lama ini: Ghostbuster.
Jujur saya bukanlah pendengar aktif dari musik keras seperti metal ataupun hardcore. Meskipun pada masa kuliah juga sempat terpapar oleh musik-musik tersebut, ironisnya selalu tidak pernah meluangkan waktu buat mengulik lebih jauh. Pernah tujuh tahun lalu, seorang teman mengabarkan tentang keberadaan sebuah band bernama Ghostbuster. Saya hanya tahu sebatas kalau Ghostbuster ini adalah band yang sudah lama terbentuk di Padang.
Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata Ghostbuster pada awal karirnya menjadi bagian dari sejarah gerakan kontra-budaya di Padang. Masa ketika gelap dan terang bercampur aduk bagi skena musik bawah tanah Padang–atau apa pun mereka menyebutnya, terserah. Jelas tak bisa disangkal pada medio akhir ’90-an hingga dekade awal 2000, berbagai kota sedang asyik terbakar kreativitas pasca Soeharto dilengserkan oleh Bank Dunia. Waktu di mana komunitas Do It Yourself (DIY) mulai bermunculan menancapkan taji mereka sebagai bagian dari kontra-budaya di “Kota Tercinta” pada masa itu.
Alih-alih terbawa kultur arus utama yang berupaya menggenjot nilai-nilai konsumerisme, para pionir masa itu malah mempropagandakan budaya tandingan berlandaskan etos DIY, kebersamaan, serta kolektivisme. Siapa sangka di masa itu banyak hal menggelitik dan unik bagi komunitas musik bawah tanah Padang sendiri. Mulai dari setelan hitam dengan rantai anti copet, serba-serbi gigs yang dibubarkan, jalan berjejaring ke negara tetangga.
Di sela-sela Meladju, saya bertemu Ghosbuster, salah satu dedengkot hardcore Padang itu, yang masih bertahan hingga sekarang. Dan saya pun ngobrol-ngobrol singkat bersama band yang sudah merasakan naik-turun ekosistem musik Sumbar ini.
Ghostbuster sudah terbentuk sejak tahun 1999 silam di Padang. Setelah berdiri selama dua belas tahun Ghostbuster telah mengeluarkan debut album berjudul Recycle Your Life pada 2011 dengan format cakram padat (CD), album ini menyusul rilis di ruang musik digital pada 2020.
Dalam satu rentang waktu berkarya, tak jarang sebuah kolektif musik menemukan momentum, di mana perubahan bukan hanya sebuah keniscayaan, namun juga keharusan untuk mencari siasat agar tetap bertahan. Sejak eksistensinya di 1999, mereka mengalami rentang krisis yang tak mudah dilalui. Kebosanan, writer’s block, pula faktor eksternal selama pagebluk yang lalu, hingga soal pergantian personel demi personel.
“Kami ngalamin sih masa-masa naik-turun ekosistem musik di Sumatra Barat, kayak hilang beberapa lama, lalu tiba-tiba muncul lagi,” sambung pria yang akrab disapa Dagor itu.
Ghostbuster bisa bertahan hingga hari ini karena mereka bukan band yang berdiri sendiri dan merasa bisa jalan sendiri. Mereka terus mengorganisir lingkaran terkecil yang seradar dengan Ghostbuster. Membangun jejaring seluas yang bisa mereka dapatkan, dan berkolektif semampu mereka.
“Syukurnya di Ghostbuster, kami punya teman-teman namanya Street Team yang support kami terus ketika kami main. Street Team ini terdiri dari beberapa teman yang ngeband juga. Biasanya setiap ada yang ngundang Ghostbuster main, kita kasih rekomendasi untuk menambah line-up biar teman-teman kami juga bisa manggung,”
“Tapi kalau misalnya budget si penyelenggara terbatas, ya udah kami bagi-bagi aja budget yang satu awalnya cuma buat Ghostbuster, dipecah buat band teman-teman yang main juga, gitu. Karena kesempatan untuk manggung itu kan termasuk yang terpenting buat band,” ungkap Dagor.
Sebagai ‘band tua’ berusia 24 tahun, mereka sudah sampai pada titik dimana tampil di prime time atau tidak bukanlah masalah. “Yang terpenting kami gak lupa buat bersenang-senang untuk teman-teman yang datang dan teman-teman yang sudah berjibaku buat ngadain acara.”
***
Malam di Audit Ngalau Sampik seolah melaju cepat. Ghosbuster baru saja selesai main di Meladju, di Payakumbuh—kota kecil di dataran tinggi, 122 km dari Padang di pesisiran. Begitu juga Manhorse dan De Train To Jupiter yang juga berbasis di Padang. Crowd masih bersemangat. Napas yang sesak mesti dibawa barang sebentar menjauhi kerumunan. Saya terpaksa melewatkan penampilan Lomba Sihir. Namun kata rekan saya Prabu, Lomba Sihir bisa menghibur penonton seperti biasa dengan aksi panggung yang interaktif, dan warna musik mereka yang berbeda. Jika The Jansen memanaskan suasana, Lomba Sihir kembali mendinginkan dengan sajian lagu-lagu pop yang mengalun. Kata Prabu, “mereka tampil rapih” malam itu, meski dengan format yang tidak komplit. Memang tepat untuk mendengarkan tembang “Semua Orang Pernah Sakit Hati” di malam Juni yang dingin.
Tidak ada kendala berarti terjadi di konser tersebut. Saya tidak tahu apakah event organizer untung atau tidak. Kendatipun saya percaya musisi yang tampil mendapat bayaran manggung yang layak, dan para pengunjung juga gembira. Meladju berjalan lancar, meninggalkan senyum di semua penikmat musik dengan berbagai warna yang hadir di Audit Ngalau Sampik, sejenak melupakan esok harinya harus kembali menyambung rutinitas, kerja, kerja, kerja, sampai kena tifes. (*)
Penyunting: Randi Reimena
Foto-foto: @belangacreativ & @Thejansen_id