Reportase

Jembatan Masa Lalu dalam Film Menemukan Tanah Terjanji pada Surau dan Sasaran

Film “Menemukan Tanah Terjanji pada Surau dan Sasaran” adalah film kedua garapan sutradara S. Metron Masdison dan produser Adi Osman yang saya tonton. Sebelumnya saya telah menonton “Daun dan Tulang: Kepingan Memori Rasa”. Film ini berdurasi 33 menit. Tanpa saya sebutkan pun sudah kentara dari judulnya bahwa film ini menceritakan soal surau dan sasaran.

Film ini benar-benar epik, bahkan sebelum ia diputar. Setidaknya itu menurut saya. Kekaguman pertama saya berawal dari judul, yaitu pada frasa ‘tanah terjanji’. Saya menduga asbabul nuzul dari kata ini diambil dari kisah Israiliyat. Di mana kata tanah terjanji mengandung kesakralan tinggi tentang tanah yang dijanjikan tuhan pada keturunan Ibrahim.

Tapi sebagaimana yang dicatat Nuremberg Chronicle yang ditulis Hartman Schedel pada 1493, keturunan Ibrahim kemudian terusir dari tanahnya sendiri dan dijadikan tawanan oleh Raja Babilonia Nebukadnezar II: Babylonian Cativity. Meskipun sempat kembali dari Babel, mereka kemudian terusir lagi pada masa kekaisaran Romawi menguasi Byzantium.

Jika dugaan saya benar bahwa Metron mengambil kata itu dari kisah israiliyat atau merujuk ke sana, maka Metron benar-benar orang yang tidak waras dalam meramu simbol dan menyembunyikan makna. Sebab selama film ini diputar seakan-akan Metron sedang berbisik-bisik ke pangkal telinga saya bahwa surau dan sasaran saat ini bernasib sama dengan tanah terjanji dalam kisah Israiliyat: terbuang dari muasalnya.

Zera Permana, seorang peneliti tambo, pernah berkata pada saya bahwa dalam tambo ada potongan yang menyebut bahwa Minangkabau konon adalah Yahudi yang hilang. Maka dengan itu saya membayangkan Metron dan kawanannya adalah Musa, sementara film ini adalah tongkatnya. Dengan itu ia berusaha menuntun bangsa yang kehilangan muasal ini kembali pada akarnya: surau dan sasaran.

Dulu sekali, surau-surau tua yang hampir membusuk di makan usia di seluruh wilayah Minangkabau adalah pusat pendidikan yang penting. Banyak dari ilmu yang zaman sekarang hanya disediakan kampus-kampus adiluhung Indonesia dengan biaya mencekik bisa didapat di surau, mulai dari ilmu hukum, obat-obatan, astronomi, sastra dan lain sebagainya.

Seperti kata Donny Eros dalam film yang terus berputar, bangsa ini berhutang besar pada tradisi surau. Kalau bukan karena takut terjebak pada kejayaan masa lalu, tentu saya akan buat tabel berisi nama tokoh-tokoh besar yang punya persentuhan dengan tradisi surau di Minangkabau sebanyak tiga halaman utuh.

Menurut Buya Apria Putra, akademisi dan filolog, salah satu narasumber dalam film ini, di Minangkabau, terutama di dataran tinggi, aliran yang cukup berperan dalam tradisi surau ialah Thariqat Naqsabandiyah dan Samaniyah. Thariqat Naqsabandiyah disediakan untuk kaum-kaum tua yang sudah muak pada dunia, sementara thariqat Samaniyah lebih dekat anak-anak muda. Thariqat Samaniyah melakukan variasi dalam pola pendidikan dengan menambahkan silat sebagai bahan ajar untuk menarik minat kaum muda. Lantaran hal itu, lanjut Buya Apria, Thariqat Samaniyah punya hubungan yang lebih erat dengan lokalitas, dengan kebudayaan Minangkabau.

Meskipun begitu, ternyata surau bukanlah murni sumbangsih Islam pada kebudayaan Minangkabau. Kalian tidak perlu terkejut dan menuduh saya sebagai penista agama atau melabeli saya kafir lantaran nama saya yang tidak Islami. Sebab dalam film yang terus berputar, Buya Apria Putra menyebut memang begitu adanya. Jauh sebelum kemunculan Islam, surau telah ada dan berfungsi sebagai tempat mengasah spiritualitas agama-agama pra-Islam. Ketika Islam datang surau tidak dihilangkan, namun Islam mengisinya dengan esensi dan nilai baru.

Walaupun nama saya mirip rasul pelarian Nasrani, tapi saya pernah mondok cukup lama juga. Setidaknya saya masih ingat cara mengurai akar kata surau lewat metode nahwu dan saya tidak menemukan akar bahasanya sama sekali. Lagipula, secara etimologi kata surau juga tidak mampu diterjemaahkan oleh bahasa Arab.

Tapi kalau kita merujuk pada argumen Buya Apria yang mengutip pula dari perkataan Syafnir Abu Naim bahwa surau telah dijadikan tempat pendidikan agama pra-Islam di Minangkabau, maka saya mendapati asal kata ini, yaitu diambil dari bahasa sanskrit dengan ejaaan suraukas yang berarti rumah para dewa. Bisa jadi juga kata ini benar-benar murni berasal dari bahasa lokal, tentu para ahli linguistik yang dapat menjawab ini.

Film terus berputar. Permainan visual di dalamnya menjembatani saya ke masa lalu di mana eksistensi surau dan sasaran masih berlangsung.

Rasanya ingin mengumpat melihat bagaimana progresi satu scene ke scene lain di film ini. Sayangnya tidak etis apabila saya mengumpat dalam tulisan ini untuk memberi tanda kekaguman saya.  Bayangkan, ketika Buya Apria Putra membuka kitab-kitab berisi abjad Arab tanpa baris dan menjelaskan panjang lebar tentang apa-apa yang melekat pada surau, tiba-tiba ketika terucap kata silat dari mulutnya, scene berganti ke sasaran di mana remaja-remaja beradu langkah. Atau ketika dua orang gadis bertukar jurus di rimba dalam, dipandu musik khas Minang dengan tempo yang cepat: banting-membanting, lipat-melipat, gunting-menggunting. Lalu pada suatu lompatan atas sebelum kedua gadis itu menghempas tanah, frame seketika  berubah menjadi hitam, malam.

Ajaib benar!

Saya membayangkan pesilat-pesilat muda yang ditampilkan dalam film ini adalah legiun para pendekar yang dibenci Belanda pada masa paderi atau setelahnya. Sudah benarlah Fatris MF dalam sebuah artikel untuk majalah luar negeri menyebut wilayah ini sebagai Tanah Para Pesilat.

Dulu—mungkin ketika saya masih duduk di bangku kuliah—saya berpikir bahwa pesilat yang berlatar belakang surau menjadikan silat beladiri semata atau olahraga belaka. Tapi dalam film ini dijelaskan bahwa silat yang lahir dari tradisi surau dibekali kepandaian agama, adat, kesehatan dan obat-obatan.

Kata Buya Zuari Abdullah yang juga menjadi narasumber dalam film ini, kajian itu diistilahkan dengan falsafah malangkah-langkahan kaji ka halaman sebagai upaya menerapkan seluruh pengetahuan yang mereka dapati di atas surau ke sasaran. Sebab itu dalam gerak langkah pesilat, kita bisa melihat karakter ideal orang Minangkabau itu sendiri.

Satu-satunya bagian capuk dari film ini hanyalah iklan menggangu para pejabat yang sok baik dan berkeinginan menjadikan tempat sakral ini sebagai komiditi wisata. Tapi karena film ini didanai oleh mereka, maka izinkan saya merevisi pikiran saya dengan mengasosiasikan ceramah mereka sebagai iklan layanan masyarakat. (*)

About author

Pemerhati sejarah
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *