Reportase

Cerita dari Saniangbaka: Menjaga Hutan, Merawat Kehidupan

Muhammad Rizki, 37 tahun, sudah keluar masuk rimba sejak duduk di bangku Tsanawiyah. Di Nagari Saniangbaka, ia dikenal sebagai “urang parimbo.” Saking seringnya bepergian ke hutan sendirian, keluarganya mengira ada semacam “penyakit” yang telah merasuki tubuh Rizki.

“Saya sempat diobati ke dukun karena disebut memiliki kelainan karena sering ke rimba,” katanya saat kami menyusuri hutan di Saniangbaka, untuk melihat bunga Rafflesia Arnoldi, Rabu pekan lalu.

Selain Rizki, saya juga ditemani oleh Fadli dan Pak Jen. Fadli adalah sepupu Rizki dan sama-sama hobi menjelajahi hutan. Walaupun tidak mengenyam bangku kuliah, mereka berdua tahu banyak soal flora, mulai dari nama ilmiahnya hingga jenis spesiesnya, terutama jenis tumbuhan jamur.

“Saya belajar otodidak saja, gabung grup-grup pecinta tumbuhan di sosial media,” kata Rizki.

Sedangkan Pak Jen adalah pria berusia 50 tahunan yang mengelola ladang bawang di lereng bukit dekat pintu rimba. Dari ladang itu tampak jelas danau Singkarak terhampar, dikelilingi perbukitan dengan kampung-kampung yang terselip di lerengnya.

Di sepanjang perjalanan lebih kurang satu jam, pria berjenggot ini kerap melontarkan joke khas bapak-bapak, walaupun sering tidak lucu, dan memang begitu adanya—tetapi saya harus tetap tertawa, sebagai bentuk penghargaan atas upaya Pak Jen menghibur kami selama di perjalanan.

Nagari Saniangbaka berada di sisi barat Danau Singkarak, berbatasan langsung dengan hutan hujan tropis Bukit Barisan. Sebelum jembatan di dekat Pasar Sumani, ada jalan belok kiri dan dua kilometer dari situ sampailah di Saniangbaka.

Hamparan sawah di sisi kanan jalan dengan latar Danau Singkarak akan memanjakan mata saat memasuki nagari ini. Sedangkan di sisi kiri jalan, tampak gugusan bukit hijau dan padang ilalang di kajauhan, tumbuh di atas bukit berbatu.

Rizki adalah orang yang pertama kali menemukan bunga Rafflesia Arnoldi di hutan Saniangbaka pada 2014. Ketika itu ia senang bukan main. Bunga langka, yang selama ini tidak pernah ia lihat secara langsung, ternyata tumbuh di pinggir kampungnya.

Sejak saat itu, ia makin sering masuk hutan. Dari 2014 hingga 2022 saja, ia tidak dapat menghitung lagi berapa kali sudah menemukan rafflesia di hutan Saniangbaka.

“Kalau ada waktu, hampir tiap minggu saya pergi masuk ke rimba,” kata ayah empat anak ini.

Sedikitnya ada tiga titik yang menjadi habitat Rafflesia Arnoldi di sini. Hutan Gaduang Beo, adalah salah satu titik yang kami kunjungi. Saat itu ada 9 bonggol rafflesia di situ. Satu di antaranya sedang mekar sempurna.

Pada 2022 lalu, Rizki mendata ada 27 bunga raflesia yang mekar di hutan Saniangbaka. Sedangkan sepanjang Januari 2023 ini, sudah ada dua rafflesia yang mekar.

Saat melihat rafflesia secara langsung, saya merasa takjub. Suasana hutan yang hening dipadu dengan suara owa saling bersahutan di kejauhan bikin bulu remang saya berdiri.

Apakah seperti ini pula perasaan Dr. Joseph Arnold, seorang dokter, pecinta alam, dan penjelajah, saat pertama kali melihat bunga ini di pedalaman Manna, Bengkulu Selatan pada tahun 1818.

Suasana hati Dr J. Arnold dapat digambarkan dari petikan suratnya kepada seorang temannya:  … here I rejoice to tell you what I consider as the greatest prodigy of the vegetable world, to tell you the truth, had I should, I think i have been fearful of mentioning the dimensions of this flower, so much does it exceed every flower I have ever seen or heard of now for the dimensions which are the most astonishing part of the flower. It measures a full yard across… (Mabberley,1985 dalam Susatya, 2011).

Asal-usul Penamaan Rafflesia yang Penuh Intrik

Agus Susatya, dosen dari Universitas Bengkulu yang menulis buku Rafflesia: Pesona Bunga Terbesar di Dunia,mengulas sejarah singkat penemuan rafflesia. Menurutnya, proses penamaan pertama kali untuk jenis Rafflesia merupakan suatu cerita yang sangat menarik layaknya sinetron masa kini. Penuh intrik, politik, dan ketamakan.

Tidak seperti yang diyakini secara umum, sebetulnya orang asing yang pertama melihat jenis Rafflesia, bukannya Stanford Raffles ataupun Dr Joseph Arnold, tetapi Louis Auguste Deschamp, seorang dokter dan penjelajah alam asal Perancis, yang pada akhir abad ke 18 berlayar ke Jawa.

Sempat ditangkap Belanda, tetapi oleh Gubernur Jendral Belanda saat itu, Van Overstraten, Deschamp tidak ditahan dan diminta untuk melakukan ekspedisi di Pulau Jawa selama tiga tahun dari 1791 sampai dengan 1794.

Deschamp kemudian secara aktif menjelajah dan mengumpulkan banyak spesimen tumbuhan di pedalaman pulau Jawa, dan kemudian menulis draf awal Materials Towards a Flora of Java.

Deschamp pertama kali melihat, mengumpulkan spesimen, dan menggambarkan Rafflesia yang ditemukan di Pulau Nusakambangan pada tahun 1797 atau 20 tahun lebih dahulu dari pada penemuan Dr Joseph Arnold yang menggemparkan itu.

Setahun kemudian, 1798, Deschamp pulang ke Perancis dengan semua koleksinya. Saat mendekati Selat Inggris, kapalnya ditangkap dan semua koleksinya dirampas oleh Inggris. Pada saat itu, setelah melihat rampasan koleksi spesimen, para ahli botani Inggris sadar bahwa Deschamp telah menemukan jenis yang sangat unik dan tidak pernah dilihat sebelumnya. Ada semacam kompetisi rahasia antar ahli botani tentang siapa yang akan menerbitkan jenis yang sangat menakjubkan itu.

“Mereka (orang Inggris) juga berpendapat siapapun orangnya, jenis yang mencengangkan itu harus dideskripsikan atau dinamakan oleh orang Inggris, bukan Belanda apalagi Perancis,” kata Agus Susatya.

Sehingga Raffles, yang saat itu sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu, memerintahkan William Jack untuk segera mendeskripsikan jenis yang ditemukan di Bengkulu Selatan.

William Jack merupakan seorang dokter dan penjelajah alam, yang menggantikan Dr Joseph Arnold. Artikel William Jack menamakan jenis tersebut sebagai R. titan, dan dikirimkan ke London pada bulan April 1820. Malangnya artikel dari William Jack secara misterius tidak langsung diterbitkan.

Sampai kemudian Robert Brown membacakan penemuan yang menggemparkan di hadapan anggota Linnean Society pada tanggal 30 Juni 1820. Artikel dari William Jack akhirnya diterbitkan pada bulan Agustus 1820. Robert Brown menamakan jenis baru sebagai Rafflesia arnoldii R.Br.  R. Br. merupakan singkatan dari Robert Brown.  Nama jenis ini merupakan nama yang digunakan untuk menghormati, Sir Stamford Raffles dan Dr. Joseph Arnold.

Kisah di atas merupakan sebuah ironi, karena William Jack-lah yang mengirimkan beberapa spesimen dari Bengkulu Selatan yang boleh jadi digunakan oleh Robert Brown untuk mendeskripsikan jenis baru tersebut.

Cerita Masa Lampau dari Hutan Saniangbaka

Hari itu tujuan kami adalah Gaduang Beo. Ini adalah hutan lebat di pinggiran Nagari Saniangbaka, yang menyimpan kekayaan plasma nutfah beragam. Tetapi ini tidak hanya sekadar hutan. Ada cerita menarik yang tersimpan di dalamnya, tetapi “hanya sedikit saja orang yang tahu,” sebut Rizki.

Di hutan ini ada jalan selebar lebih kurang tiga meter, dilapisi batu kali di permukaannya. Ini adalah jalan lama yang dipakai orang Saniangbaka saat migrasi ke kawasan Koto Tangah, Padang.

Nama hutan Gaduang Beo merujuk pada sebuah bangunan, yang oleh masyarakat disebut gaduang, di dalam hutan. Bangunan itu pada masa lampau dijadikan semacam tempat peristirahatan bagi mereka yang akan menuju Padang sekaligus kantor pos pengamanan. Orang yang lewat di jalan mesti bayarkan sejumlah uang. Karena itulah, menurut Rizki, dinamakan Gaduang Beo (bea). Hal itu juga diamini oleh tetua kampung yang saya temui.

Jalan di bawah rindangnya hutan Bukit Barisan itu dulunya jalur dagang yang ramai. Infrastruktur seperti jembatan, saluran air dan bekas pondasi bangunan masih bisa dijumpai.

Saya terperangah ketika melihat sebuah jembatan berpondasi beton di tengah lebatnya hutan, melintasi sebuah anak sungai. Kerangka besi penyangga balok kayu pada jembatan ini masih ada, digerogoti lumut dan tanaman merambat. Aripin, seorang pria berusia 62 tahun, berkata pada saya kalau jalan itu pernah digunakan sebagai akses mengungsi ketika masa PRRI. Ia mendapat cerita dari orang tuanya. Ketika itu orang-orang Sumani dan Saniangbaka menyelamatkan diri ke hutan saat kerusuhan terjadi ketika itu.

“Berdasarkan cerita orang tua kita dulu, waktu itu banyak pemuda kampung yang dikejar tentara dan melarikan diri ke dalam hutan,” ujarnya di sebuah kedai kopi di Pasar Sumani. Aripin lahir pada 1961, dua bulan setelah PRRI ditumpas.

Bekas jembatan di rimba Saniangbaka

Ia ingat kisah dari neneknya, ketika itu ada salah seorang kerabat mereka yang lahir dalam masa pengungsian di dalam hutan. Beberapa anggota keluarganya juga ada yang dibunuh. Benar atau tidaknya cerita ini, penumpasan PRRI di Sumatera Barat ketika itu banyak memakan korban dari kalangan sipil.

Jejak penaklukan nagari-nagari semasa PRRI di sekitar Danau Singkarak masih dapat dijumpai hingga sekarang. Setelah pasukan PRRI ditumpas, Jakarta membangun tugu-tugu, yang kata Aripin, jelek sekali dan mengganggu pemandangan. Tugu itu merupakan tanda ‘penaklukan’ yang keberadaannya masih ada di sejumlah nagari hingga sekarang.

Rizki termasuk generasi yang belakangan mengetahui kalau hutan di belakang kampungnya menyimpan nilai sejarah. Kini, bersama sejumlah anak muda lainnya, ia mengelola sebuah perkumpulan yang dinamai Belukar. Kegiatannya berfokus pada konservasi hutan dan jelajah alam: menjaga hutan Saniangbaka agar tetap lestari.

Belukar akan memandu pengunjung yang ingin melihat bunga Rafflesia. Jumlahnya cukup banyak di hutan Saniangbaka. Selain itu, Belukar juga memfasilitasi kegiatan tracking atau napak tilas di hutan melewati jalan tradisional yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Melindungi Hutan, Menyelamatkan Nagari

Rizki dan Fadli menyadari betul kalau saat ini ancaman terhadap hutan dan kerusakan lingkungan sedang mengancam. Mereka tidak mau bicara muluk-muluk soal bagaimana menyelamatkan hutan.

Salah satu caranya adalah turun ke hutan dan selalu edukasi masyarakat. Melibatkan partisipasi warga untuk jaga hutan, kata Rizki, memang bukan hal yang mudah. “Walaupun hutan di sini masih hijau, kalau masyarakat tidak paham, hutan bisa rusak,” katanya.

Pada 2011, misalnya, pernah terjadi penebangan besar-besaran di hutan Saniangbaka. Rizki bilang saat itu banyak pohon-pohon besar berusia ratusan tahun, dibabat habis. Sepengetahuan Rizki, kayu-kayu itu dibeli oleh pengusaha kepada warga. Juga melibatkan sejumlah aparat.

Agustus tahun lalu, ada warga yang menggali anak sungai di dalam hutan untuk cari emas. Awalnya cuma pakai dulang. Rizki yang kala itu sudah mengetahui aktivitas tersebut masih membiarkannya.

Tidak lama setelah itu, saat Rizki pergi jelajah hutan, ia dengar suara mesin menderu dari hutan. Menyelinap di antara semak, Rizki lihat ada mesin dompeng menyedot pasir-pasir dari sungai.

“Saya ingatkan mereka kalau penambangan emas itu ilegal dan bisa ditangkap polisi,” katanya. Kepada para penambang itu, Rizki bilang kalau dia kenal dengan petugas dari Dinas Kehutanan. Setelah itu aktivitas penambang emas itu berhenti.

Saat kami menyusuri hutan, tampak sisa-sisa peralatan tambang seperti terpal dan papan penyaring pasir di tepi anak sungai itu. Lubang-lubang tambang sebesar mulut perigi juga masih terlihat menganga.

Sisa-sisa tambang emas ilegal di rimba Saniang Baka

Menurut Rizki, alih fungsi hutan atau deforestasi adalah masalah yang rumit, melibatkan kepentingan-kepentingan segelintir orang di balik kekuasaan negara. Kalimantan, misalnya, adalah contoh paling gamblang bagaimana negara jorjoran melepas hutan untuk dijadikan kebun sawit dan pertambangan. Semuanya berjalin-berkelindan demi kepentingan sedikit orang.

Hutan di Sumatera juga menunjukkan tren serupa. Jutaan hektar hutan di pulau ini sudah berubah jadi perkebunan sawit dan lubang-lubang tambang. Global Watch Forrest mencatat laju deforestasi hutan di Pulau Sumatra termasuk yang tercepat di Indonesia, setelah Kalimantan.

Sementara hutan di Sumatera Barat juga melihatkan tren penyusutan. Pada periode 2011-2021, provinsi ini kehilangan 139.590 atau lebih dari satu setengah kali luas Kota New York. Kerusakan hutan terjadi karena berbagai penyebab seperti bisnis ekstraktif skala besar, pembalakan liar, maupun pertambangan emas ilegal dan lain-lain.

Sumatera, adalah satu-satunya pulau di bumi ini dimana gajah, harimau, badak dan orangutan bisa ditemukan bersamaan. Sayang, keempatnya kini berada di ambang bahaya akibat deforestasi.

Masyarakat adat dan penduduk lokal punya pemahaman terbaik untuk menjaga hutan yang berharga bagi mereka dan penting bagi kelangsungan hidup umat manusia. Masyarakat lokal yang memiliki hak yang kuat atas tanahnya adalah kelompok yang paling efektif untuk memerangi perambahan hutan. Demikian hasil studi Bank Dunia dalam konferensi tahunan tentang tanah dan kemiskinan Land and Poverty Conference 2017 silam.

Itulah yang saat ini tengah diupayakan Rizki, Fadli, dan Perkumpulan Belukar. Meski terlihat remeh, setidaknya Rizki sudah melangkah maju, melakukan tindakan nyata dalam menyelamatkan hutan.

“Melindungi hutan ini sebenarnya melindungi kehidupan, kalau hutan rusak, binasa orang yang hidup di bawahnya,” kata Rizki yang bekerja sebagai kepala dapur untuk acara kenduri pernikahan di Saniangbaka ini. (*)

 

About author

Jurnalis. Tinggal di Padang.
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *