Reportase

Dari Laga-laga ke Laga-laga

Bandar-bandar dagang di pesisir barat Sumatera seperti Pariaman lahir dari sejarah panjang perniagaan serta gemeratak tulang dan simbahan darah. Pariaman di masa lampau salah satu bandar dagang tersibuk di Sumatera yang tidak hanya menjadi pusat ekonomi tapi juga lahan subur bagi kriminalitas. “Jika pada suatu daerah terdapat lumbung kriminal, pasti ada seni bela diri yang lahir di situ” kata Syofyan Nadar, Tuo silek aliran Harimau Singgalang, pada suatu pertemuan dengan saya. Karena itu pula silat berkembang pesat di Pariaman, sebab, sebagaimana dikatakan Sejarawan Gusti Asnan, “saudagar-saudagar membutuhkan pengawal untuk menjamin kelansungan hidup mereka.”

Berbagai aliran seperti Silek Sunua, Silek Tuo, Kapak Balam, dan Pauh tumbuh dari latar sejarah seperti itu. Dan dari latar sejarah yang sama, 29 tahun yang lalu lahir seorang anak bernama Siska Aprisia, salah satu di antara koreografer perempuan dari Sumatera Barat.

***

Aliran-aliran silek yang berkembang di Pariaman, secara umum memiliki persamaan. Tiap aliran memiliki langkah balabeh, salam, permainan jurus, rangkaian tangga, kelit berkelit mengunci dan membuka kuncian sesama pandeka.

Namun ada satu jenis silat yang berbeda, silat ini bernama Ulu Ambek.

Seperti aliran silat lainnya dari Pariaman, Ulu Ambek punya kuda-kuda yang tinggi serta perpindahan langkah yang pendek dan cepat. Hanya saja, saat bertarung para petarungnya tidak bersentuhan secara fisik. Tak ada gemeretak tulang dalam Ulu Ambek, yang ada ialah pertarungan batiniah. Seorang peneliti mendeskripsikannya sebagai “Not just self defense, not dance, not play, but ‘A Play Of Inner Power’”.

Meski tidak bersentuhan secara fisik, pertarungan Ulu Ambek adalah pertarungan yang kuat dan sengit di mana harga diri dan kehormatan dipertaruhkan. Efeknya bisa tidak main-main. Seorang pendekar yang kalah bisa buluih, malu semalu-malunya. Meski raganya tidak terluka, tapi jiwanya babak-belur, kondisi psikologisnya terganggu. Setelah dikalahkan, pendekar tersebut akan takut melihat laga-laga tempat digelarnya Ulu Ambek. Ia bahkan akan ketakutan mendengar dampeang, dendang pengiring Ulu Ambek. Ia mengalami semacam depresi yang bisa berakhir dengan kematian.

Pada pengembangannya di dunia seni pertunjukan, unsur-unsur yang terdapat pada Ulu Ambek sering diadaptasi. Di kampus seni, unsur musikal dan gerak pada Ulu Ambek dijadikan materi untuk ujian mata kuliah Pendekatan Tradisi, tugas akhir dan isian musik tari.

Sudah ada beberapa seniman yang melakukan pembacaan dan riset terhadap Ulu Ambek namun belum secara menyeluruh. Mereka hanya mengambil beberapa unsur dari Ulu Ambek untuk kebutuhan karya sehingga ketika karya telah selesai, ada bagian-bagian yang tidak maksimal.

***

Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di Pariaman, Siska memilih masuk ke Institut seni di Padang Panjang untuk menimba ilmu tari. Di sini, ironisnya, Siska yang telah lama mendengar tentang Ulu Ambek baru mengetahui kalau silek tersebut berasal dari tempat ia tumbuh besar. Ia pun mulai mencari tahu lebih dalam soal Ulu Ambek.

Namun Siska ‘masuk’ ke Ulu Ambek bukan sebatas sebagai koreografer melainkan seorang anak sasian yang tengah berguru.  Setelah melakukan riset awal tentang Ulu Ambek, pada 2016 Siska berangkat ke daerah Sungai Asam, Padang Pariaman,  untuk menemui seniman Ulu Ambek. Seniman Ulu Ambek tersebut dipanggil Andah. Siska mengutarakan niatnya untuk belajar Ulu Ambek.

Andah pun bersedia mengajari. Selama satu minggu Siska menginap di rumah Andah. “Selama seminggu saya menginap dirumah Andah. Saya tidak hanya fokus belajar Ulu Ambek saja. Saya juga mengikuti kegiatan Andah. Mulai dari Andah terbangun di pagi hari, kemudian berangkat kerja. Ketika Andah ke sawah, kami juga ikut. Saya juga memperhatikan bagaimana tindak tutur Andah kepada anak dan istrinya. Bagaimana Andah bersikap kepada kami dan masyarakat di Sungai Asam. ” Ungkap Siska kepada saya.

Pada masa-masa tersebut Siska menciptakan karya tari yang berjudul A-Was-Pada (2016) dan Kembara Rasa (2017) hasil kolaborasi dengan Jumaildil Firdaus, musisi asal Sirukam. Karya-karya ini mengadaptasi spirit gerak Ulu Ambek. Dalam A-Was-Pada, terlihat bagaimana kemampuan awal anak sasian seorang murid yang baru belajar silat. Gerak kudo-kudo dalam proses pemantapan, sikap pasang yang masih meraba-raba. Namun pada karya Kembara Rasa, ketangkasan gerakan Ulu Ambek Siska sudah mulai terbentuk—gerak balabeh, kudo-kudo, kaidah langkah Ulu Ambek—jika dibandingkan dengan karya sebelumnya. Siska juga membawa unsur penting pada Ulu Ambek ke atas panggung: dampeang.

Tak lama setelah itu, Siska mengikuti Festival Tlatah Bocah XII di Magelang pada tahun 2018. Pada acara ini Siska menampilkan karya tari dengan judul BaSaBa. Karya ini bisa dilihat sebagai bentuk perkenalan diri Siska di perantauan. Unsur-unsur Ulu Ambek masih dibawanya ke dalam karya ini. Siska merangkai gerakan kaidah silat Ulu Ambek dengan rampak galembong. Bagian akhir karya ini ditutup dengan dendang Buai Anak.

Setelah karya tari BaSaBa saya meyakini akan ada karya tari yang diciptakan Siska dengan membawa Ulu Ambek secara utuh ke atas panggung karena saya melihat wacana Ulu Ambek yang diusung Siska pada karya-karyanya terus berkembang.

Benar saja, pada 11 Agustus tahun 2021, melaui postingan di Instagram Siska memperkenalkan karya barunya—The Sounds After Solitude. Karya ini dapat dilihat sebagai upaya Riska untuk menggenapi perjalanan tubuhnya yang belum selesai. Belum selesai dalam artian tubuh yang tidak memiliki pijakan tradisi. Sebagai seorang penari dan koreografer, Siska menyadari bahwa ia tidak punya kekuatan tradisi di dalam tubuhnya. Siska merasakan adanya kekosongan karena tidak punya akar tradisi yang jelas, ia bisa menarikan banyak gerak tapi kosong pada pijakan gerak. Dan setelah 4 tahun belajar dan membedah Ulu Ambek, Siska nampaknya makin menyadari bahwa Ulu Ambek yang bisa mengisi kekosongan itu, memberinya pijakan gerak.

The Sounds After Solitude ditampilkan di Jogjakarta pada acara Arjog 14 Agustus 2021. Dengan pakaian pandeka pada silat tradisi Minangkabau lengkap dengan deta, ia tampil di panggung dengan set menyerupai laga-laga permainan Ulu Ambek. Laga-laga berbentuk persegi panjang itu dikontruksi dengan lantai arena pertunjukan dan dialas dengan bilang bambu. Bambu tersebut disatukan dengan ikatan lapiah tulang baluik. Berbeda dengan laga-laga tradisi, laga-laga pada karya ini dibagi menjadi empat bidang berbentuk persegi.

Karya ini dibuka dengan menampilkan ritual yang dilakukan seorang pendekar sebelum memasuki laga-laga Ulu Ambek. Dimulai dengan berlutut sambil menekurkan kepala, Siska tidak langsung bergerak merespon bunyi musik. Ia seperti memberi waktu kepada tubuhnya untuk beradaptasi dengan ruang sekitar. Beberapa saat kemudian, Siska perlahan memapah tubuhnya untuk bergerak. Gerakan dimulai serupa orang mengeja langkah. Dalam alunan musik yang terus berjalan, Siska memasuki laga-laga. Siska melakukan sikap pasang pendekar. Kuda-kudanya begitu tegap dan tajam.

Pada bidang pertama laga-laga, Siska melantunkan dampeang. Di bidang pertama laga-laga ini tercermin proses awal ketika Siska belajar Ulu Ambek. Di sini ia menemui guru untuk belajar dan melengkapi segala syarat untuk menjadi murid. Setelah itu Siska belajar melangkah, merapal gerak, memaknai gerak, dan memahami ruang.

Kemudian pada bidang kedua, melalui gerakan yang ditampilkan, terlihat bagaimana Siska mengalami benturan, masalah yang datang, dan penolakan-penolakan. Siska mengalami kondisi di mana ia jatuh bangun mengatasi kondisi fisik dan keadaan batinnya. Selanjutnya pada bidang ketiga, Siska menunjukkan beberapa gerak yang tidak berasal dari Ulu Ambek untuk mewakili perjalanan tubuh Siska selama ini, seperti gerak meliuk dan stakato.

Hanya pada bidang keempat Siska tidak membatasi diri di satu bidang. Di sini ia bolak-balik dari satu bidang ke bidang lain untuk kembali lagi ke bidang ke empat. Perpindahan-perpindahan yang cepat ini, seperti menunjukkan pertarungan antara tubuh Siska di masa lalu dengan tubuhnya di masa kini. Sampai beberapa saat sebelum pertunjukan berakhir, Siska tidak lagi berpindah bidang. Di sini ia bertahan sambil terus memperagakan gerak-gerak yang dieksplorasinya dari Ulu Ambek. Di bidang terakhir ini, ia seperti telah mengalami metamorfosa, menjadi Siska yang baru, yang terlengkapi berkat pertarungan-pertarungan di bidang-bidang sebelumnya.

Ini merupakan karya yang mengusung Ulu Ambek secara menyeluruh ke atas panggung.  Kekosongan-kekosongan gerak dan pemaknaan pada karya Siska sebelumnya—gerak yang masih terbata-bata, belum lengkapnya unsur Ulu Ambek yang dibawa ke atas panggung, terlengkapi dan menjadi utuh.

The Sounds After Solitude dari segi bentuk gerakan sudah matang. Mulai dari kudo-kudo yang kokoh, langkah kaidah silat, sikap pendekar di laga-laga dan ketepatan gerakan Ulu Ambek. Segala macam unsur Ulu Ambek pada karya-karya sebelumnya yang masih terpisah-pisah disatukan Siska pada karya ini. Mulai dari laga-laga, filosofi, ritual sebelum memasuki laga-laga, dampeang, langkah, dan gerakan silat.

Menyaksikan The Sounds After Solitute seperti menonton film dokumenter perjalanan tubuh Siska Aprisia. Bagaimana Siska berangsur-angsur memahami tubuh dengan keseluruhan ruangnya dan melengkapi segala kekurangan. Hingga sampai pada titik terang pencarian kekosongan pada tubuh tersebut. Upaya Siska membawa Ulu Ambek secara utuh ke atas panggung patut diapresiasi. The Sounds After Solitude menjadi pembuka jalan bagi kemungkinan untuk mengeksplorasi Ulu Ambek lebih jauh dan lebih dalam tanpa membuatnya menjadi sekadar tempelan pada karya.

Secara tradisi Siska tidak bisa bertanding di laga-laga Ulu Ambek. Hanya laki-laki yang diperbolehkan bertarung di laga-laga yang sakral itu.  Tapi Siska menciptakan laga-laganya sendiri, tempat ia bertarung, mengubah ide dan keresahannya menjadi sebentuk karya. (*)

 

*Tulisan ini dikerjakan bersama Randi Reimena

 

 

 

 

 

 

Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *