Artikel

Apa yang Bisa Kita Bicarakan Soal Pantek

Suatu sore, seorang anak lelaki berusia enam tahun sedang menonton televisi bersama kedua orang tuanya. Apa yang tayang di layar persegi empat itu ialah film The Gods Must Be Crazy karya sutradara Jamie Uys. Saat kamera membidik pantat karakter Xixo sebagai orang suku pedalaman Afrika, spontan si anak berkata, “Yah, pantek-nya kelihatan.” Dari kalimatnya, anak itu seperti ingin melucu. Namun, ayahnya malah menepuk pelan mulut si anak dan menasihatinya, “Eh, tidak boleh bicara begitu. Kotor.” Si anak jadi bingung. Dari kejadian itu hingga film berakhir, pikirannya dipenuhi tanda tanya: apa yang salah dengan pantat? Apakah tidak boleh seseorang mengucapkan kata pantat?

Kisah di atas merupakan kejadian nyata yang dialami oleh teman saya, Adam Ibnu Aulia (27), sewaktu ia kecil. Kita bisa mengerti mengapa sewaktu kecil ia menganggap kata pantek sebagai bahasa Minangkabau dari kata pantat dalam bahasa Indonesia. Banyak kata di dalam bahasa Indonesia yang berakhiran at menjadi berakhiran ek di dalam bahasa Minangkabau, contohnya surat (surek), dapat (dapek), sikat (sikek), ikat (ikek), silat (silek). Di dalam pikiran anak berumur enam tahun, yang mendengar dan mendengarkan orang tua dan teman-temannya berbahasa Minangkabau, logika perubahan akhiran seperti itu akan mudah diaminkannya. Namun, kata pantek tidaklah berarti pantat karena di dalam bahasa Minangkabau ada kata lain yang bisa diartikan sebagai pantat: kapetong dan ikua. Jika tidak berarti ‘pantat’, apakah pantek ini, sampai-sampai membuat seorang ayah melarang anaknya mengucapkan kata tersebut?

Asal-usul Kata Pantek

Akan sangat menyenangkan jika kita bisa mengetahui asal-usul dari satu hal. Sayangnya, tidak ada keterangan yang pasti perihal asal-usul dan kapan kata pantek pertama kali diucapkan oleh masyarakat Minangkabau. Sumber paling lama tentang kata pantek saya temukan di dalam kamus susunan Johannes Ludovicus van der Toorn, Minangkabausch-Maleisch-Nerdelangsch Woordenboek (1891). Pantek, di dalam kamus tersebut, ditulis pantè: de cunnus (Latin) yang berarti ‘vulva/vagina/alat kelamin perempuan’. Pantek yang ditulis dengan huruf k pertama kali muncul di dalam Kamus Minangkabau-Indonesia (1985) terbitan Pusat Bahasa, yang memiliki arti sama, ‘alat kemaluan perempuan’. Setidaknya, dengan adanya kamus susunan Johannes Ludovic van der Toorn tersebut kita bisa berpendapat bahwa masyarakat Minangkabau telah mengucapkan kata pantek pada tahun 1800-an, dan bisa jadi jauh sebelum itu.

Pantek Sebagai Kata Makian

Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin menjelaskan dahulu penggunaan kata makian di dalam tulisan ini. Dalam KBBI V, makian diartikan sebagai, “n kata keji yang diucapkan karena marah dan sebagainya.” Sedangkan memaki berarti, “v mengucapkan kata-kata keji, tidak pantas, kurang adat untuk menyatakan kemarahan atau kejengkelan.” Dengan begitu, memaki tidak hanya bisa ditujukan ke lawan tutur, tetapi juga terhadap segala hal di dunia ini, bahkan ke diri si penutur sendiri. Hal itu berbeda dengan menghina dan mengumpat. KBBI V mengartikan menghina sebagai, “v merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting)” dan “v memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan)”. Sedangkan mengumpat diartikan sebagai, “v mengeluarkan umpat(an); memburuk-burukkan orang; mengeluarkan kata-kata keji (kotor) karena marah (jengkel, kecewa, dan sebagainya).” Dua kata itu memiliki tendensi arti yang ditujukan ke lawan tutur (orang).

KBBI V mencatat bahwa memaki ialah respon seseorang atas emosi yang dirasakannya, marah dan jengkel. Namun, bagaimana jika seorang penutur memaki bukan untuk menyatakan emosi lain yang dirasakannya, seperti ketakutan, kekaguman, kebahagiaan, keterkejutan, atau kebahagiaan? Misalnya dalam contoh ketika seorang penutur menang togel dan ia berkata:  “Pantek, kanai ampek angko!” (Pantek, pasangan saya tembus empat angka!). Apakah itu masih bisa disebut sebagai memaki? Jika kita merujuk KBBI V, tentu jawabannya adalah tidak.

Akan tetapi, seorang linguis seperti Magnus Ljung, di dalam bukunya Swearing: A Cross-Cultural Linguistic Study (2011: 22-23), tetap mengkategorikan hal tersebut sebagai memaki (swearing). Ia tidak mengotak-ngotakkan emosi yang dibawa ketika seseorang memaki, baginya “memaki […] memiliki makna emotif untuk mengungkapkan keadaan pikiran penutur.” Keadaan pikiran itu bisa banyak hal, berang, sedih, takut, dan senang. Yang jelas, penutur menggunakan kata makian (tabu, kasar, vulgar) dalam mengungkapkan pikirannya tersebut, seperti ditulis lebih jauh oleh Ljung “Salah satu fungsi dari makian adalah menjelaskan secara langsung emosi yang dipikirkan oleh penutur ketika memaki […] dan pilihan tersebut, seperti marah, terkejut, senang, hanya bisa dilihat dari konteks, kapan di mana, dan pada siapa si penutur memaki”.  Di dalam tulisan saya ini, makian dan memaki dipahami seperti rumusan Ljung tersebut.

Sekarang mari kita lanjutkan pembahasannya. Sebagaimana yang terdapat di dalam kamus bahwa pantek berarti‘kelamin perempuan’, pantek masuk ke dalam nomina (kata benda) dan ia merupakan kategori makian anggota tubuh atau lebih khususnya makian organ seksual (sexual organ). Namun, dari penelitian yang telah ada dan pengalaman saya sebagai penutur bahasa Minangkabau, penggunaan kata pantek nyaris tidak pernah merujuk ke makna aslinya (kelamin perempuan). Mari kita lihat contoh penggunaannya di dalam kalimat:

  1. Hoi Pantek! Kurang sanang ang jo den? (Hoi Pantek! Kamu ada masalah apa sama saya?)
  2. Yolah sabana pantek paja tu ma! (Memang sebenar-benar pantek dia!)
  3. Hoi Pantek, kama se ang mailing salamo ko? (Hoi Pantek, ke mana saja kamu menghilang selama ini?)
  4. Pantek! Iko yo rancak jam ang ko (Pantek! Mantap benar jam tangan kamu.)
  5. Pantek amak/mande/induak/ang/kau! (Pantek ibumu!)

Dalam contoh-contoh tersebut, hanya pada kalimat nomor lima, yang jika kita lihat dari kalimatnya, kata pantek berkemungkinan membawa arti aslinya: vagina ibumu!

Selain nyaris tidak pernah merujuk ke makna aslinya, pantek nampaknya juga tidak punya makna tunggal. Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana masyarakat memaknai pantek, saya menyebarkan kuesioner ke beberapa daerah di Sumatera Barat: Padang, Pariaman—Padang Pariaman, Bukittinggi—Agam, Batusangkar—Tanah Datar, Payakumbuh—Lima puluh Kota, Painan—Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Dharmasraya, dan Sawahlunto. (Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah membantu saya menyebarkan dan mengumpulkan data tersebut di situasi pandemi ini).

Di dalam kuesioner saya menulis sebuah pertanyaan, “Menurut Anda, apa arti kata pantek?” dengan sepuluh opsi jawaban: bajingan, kurang ajar, tahi, bangsat, vagina, pendosa, payudara, penis, laknat, dan terkutuk. Sepuluh pilihan jawaban itu semata-mata agar penutur bisa memilih salah satu yang dirasanya cocok dalam menggambarkan kata pantek yang selama ini ia ucapkan atau dengarkan pada kehidupan sehari-hari, karena jika memang dari awal tahu dan bermaksud memaki alat kelamin perempuan, ia tentu akan langsung memilih opsi vagina.

Namun, data yang dikumpulkan teman-teman tidak sesuai dengan rancangan awal karena ternyata ada beberapa kendala di lapangan. Salah satu yang paling besar ialah susahnya mencari penutur yang mau membahas kata ini, terutama dari rentang usia 35 tahun ke atas. Meski begitu, setidaknya dari data yang terkumpul kita bisa melihat bagaimana perwakilan masyarakat “muda” di suatu daerah memaknai dan menggunakan kata pantek.

Beginilah penampakan data penutur tersebut:

  • Batusangkar—Tanah Datar: 3 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 19—54 tahun
  • Payakumbuh—Lima puluh Kota: 2 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 25—30 tahun
  • Padang: 2 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 24—26 tahun
  • Sawahlunto: 2 laki-laki dan 1 perempuan dengan rentang usia 19—21 tahun
  • Bukittinggi—Agam: 2 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 24—26 tahun
  • Pariaman—Padang Pariaman: 4 laki-laki dan 2 perempuan dengan rentang usia 20—23 tahun
  • Dharmasraya: 4 laki-laki dan 3 perempuan dengan rentang usia 21—27 tahun
  • Solok: 4 laki-laki dan 4 perempuan dengan rentang usia 21—24 tahun
  • Painan—Pesisir Selatan: 3 laki-laki dan 3 perempuan dengan rentang usia 19—29 tahun
  • Sijunjung: 4 laki-laki dan 4 perempuan dengan rentang usia 17—29 tahun

Dari 55 jawaban, yang memilih opsi vagina hanya berjumlah 19 orang. Sisanya menjawab kurang ajar (16), bajingan (10), laknat (3), bangsat (6), pendosa (1).

Hal lain yang juga menarik ialah jawaban dari pertanyaan selanjutnya tentang kata kasar untuk menyebut kelamin perempuan. Dari 19 orang yang menjawab vagina pada pertanyaan pertama, hanya 7 orang yang menjawab pantek sebagai kata kasar untuk menyebut kelamin perempuan. Selebihnya menjawab pepek (10) dan cepet (2) sebagai kata kasar untuk menyebut kelamin perempuan.

Hasil survei tersebut menegaskan bahwa pemaknaan atas kata pantek itu beragam, bukan hanya antar daerah, melainkan juga antar individu. Dan hampir semua penutur dalam data tersebut tidak merujuk pada kelamin perempuan ketika dihadapkan dengan kata pantek, terutama dalam memaki. Di sini kita menemukan salah satu keunikan dari kata makian semacam pantek, seperti yang ditulis oleh linguis bernama Magnus Ljung di atas:

“Keistimewaan kata makian adalah hadirnya kata-kata tabu yang tidak digunakan sesuai makna referensial atau denotatifnya, tetapi berfungsi secara eksklusif sebagai indikasi keadaan pikiran penutur. Sehingga memaki tidak memiliki makna dalam arti ekspresi referensial. Sebaliknya ia memiliki makna emotif untuk mengungkapkan keadaan pikiran pembicara.”

Jika kita lihat dari konteks budaya Minangkabau, keragaman makna yang terjadi barangkali bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, seperti yang ditulis A.A.Navis di dalam bukunya, Alam Terkembang Jadi Guru (1984), bahwa di Minangkabau ada empat langgam kata atau langgam kato: kato mandaki (kata mendaki) yang ditujukan bagi lawan bicara yang lebih tua, kato manurun (kata menurun) yang ditujukan kepada lawan bicara yang lebih muda, kato malereang (kata melereng) yang ditujukan untuk lawan bicara yang memiliki kedudukan terhormat di dalam adat, dan kato mandata (kata mendatar) yang ditujukan bagi lawan bicara yang sebaya. Bisa dikatakan bahwa, secara ideal, masyarakat Minangkabau dituntut untuk berhati-hati dan berpandai-pandai dalam memilih kata, sesuai dengan lawan tuturnya. Kedua, Minangkabau, dan banyak kebudayaan lain, juga memiliki beberapa pantangan, salah satunya untuk menyebut nama anggota tubuh, yaitu kelamin. Hal itu menyebabkan kata pantek yang merujuk langsung pada arti sebenaranya yaitu kelamin perempuan, tidak patut diucapkan sebab ia terlalu vulgar dan kasar meskipun diucapkan di antara dua orang yang sebaya. Untuk mengantisipasinya, digunakan eufemisme—misalnya metafora—dari benda lain untuk merujuk organ tubuh tersebut karena, tentu saja, pembicaraan mengenai hal itu tak bisa dihindari, misalnya antara ibu dan anak perempuannya atau nenek dan cucu perempuannya.

Untuk perihal yang terakhir itu, saya punya cerita dari teman perempuan saya semasa kuliah, Latifa Ibrya (26). Ia orang Agam, tepatnya di Nagari Ampang Gadang, Kecamatan Ampek Angkek. Sewaktu ia akan pergi merantau untuk berkuliah di Padang, neneknya menitipkan sebuah pesan kepadanya. Kira-kira pesan itu berbunyi seperti ini, “Tolong dijago sawah nan sapetak tu.” (Tolong dijaga sawah yang sepetak itu). Tentu saja teman saya tidak memaknai frasa sawah nan sapetak sebagai sebenar-benar sepetak ‘sawah yang sepetak’, tetapi ‘kelamin perempuan’. Si nenek berupaya menasehati agar teman saya itu berusaha menjaga dirinya di tanah rantau. Istilah sawah nan sapetak memang sudah populer di tengah masyarakat Minangkabau untuk merujuk kelamin perempuan. Selain sawah nan sapetak, ada juga istilah, antara lain, nona, ameh, kue sopik, bika, lopek, punyo ka, epuk, ani, momok,dan apam.

Eufemisme kata pantek juga hadir dalam bentuk bunyi yang dianggap lebih halus walaupun kata itu tetap masuk dalam kategori makian, misalnya pantuak, pantak, pantang. Meski begitu, asumsi itu tidak berlaku di semua daerah di Sumatra Barat karena pada beberapa daerah, misalnya di Sungai Tarab, Tanah Datar, kata pantak sama kasarnya dengan kata pantek. Sementara itu, di Tarandam, Inderapura, kata pantek diucapkan patek—adanya peluruhan huruf n—dan bunyi yang hadir menjadi patuk.

Minimnya penggunaan kata pantek untuk membicarakan kelamin perempuan di lingkungan tuturan menyebabkan makna asli dari kata itu makin lama makin pudar, jika tidak bisa dikatakan hilang. Hal itu membuat pantek tidak lebih dari sebuah kata tabu yang kasar dan pantang untuk diucapkan.

Keragaman makna dan pudarnya makna asli itu pula yang membuat kata pantek bisa disebut sebagai sebenar-benar kata makian jika kita merujuk kriteria di dalam buku Ljung tadi, bahwa salah satu karakter penting yang dimiliki sebuah kata makian ialah hilangnya makna asli dari kata itu ketika digunakan di dalam sebuah ujaran. Dengan kata lain, kata itu akan menjadi kata makian jika ia berada di konteks tertentu yang membuat maknanya berubah.

Ljung memberi contoh kata fuck di dalam bahasa Inggris. Fuck baru bisa dikatakan sebagai sebuah makian ketika ia tidak membawa arti sebenarnya, intercourse (berancuk). Kalimat, I fucked her, let’s fuck! atau you want to fuck or what? bukanlah sebuah makian karena ia membawa arti aslinya. Sementara itu,fuck you, what the fuck, atau for fuck’s sake baru bisa dikatakan sebagai makian karena ungkapan itu tidak merujuk ke makna aslinya.

Contoh kata yang hampir mirip seperti itu juga bisa kita temukan dalam bahasa Minangkabau, misalnyakata anjiang (anjing). Di dalam budaya tuturan, anjiang juga digunakan untuk merujuk hewan berkaki empat, misalnya dalam kalimat, “Bara den pulangan anjiang ang tu?” (Berapa aku mesti membayar untuk membeli anjingmu itu?) atau “Anjiang buru” (Anjing buru/anjing untuk berburu). (Oleh beberapa orang, kata anjiang, walau digunakan sesuai makna aslinya seperti contoh di atas, masih dianggap kasar. Bahkan, para orang tua mencoba mengganti kata anjiang dengan yang lebih halus seperti wawaw, onomatope dari suara anjing, ketika ingin menjelaskan hewan berkaki empat itu kepada anaknya, terutama pada anak kecil). Namun anjiang contoh-contoh seperti ini bukanlah kata makian. Anjiang baru menjadi sebuah kata makian jika terkait ke sebuah konteks.

Contohnya bisa dilihat dalam adegan berikut: Pada suatu siang, di Jln. Dr. Moh. Hatta, dua orang terlibat pertengkaran di tepi jalan karena penutur 1 (lelaki berusia 20 tahun) mengendarai sepeda motor dengan ugal-ugalan sehingga menyenggol setang motor penutur 2 (lelaki berusia 25 tahun). Akibat senggolan itu, sepeda motor yang yang dikendarai dua penutur tersebut oleng dan menabrak pembatas jalan. Penutur 2 kemudian mengejar penutur 1 yang masih berusaha menegakkan sepeda motornya. Sebelum penutur 2 melepaskan bogemnya ke wajah penutur 1, penutur 2 berkata dengan nada tinggi, “Hoi, Anjiang!” (Hoi, Anjing!). Penutur 1 berusaha menangkis bogem dari penutur 2, dan dalam usaha untuk menembus pertahanan penutur 1, penutur 2 berkata lagi dengan nada tinggi, “Cari masalah ang jo den, Anjiang!” (Kau sudah mencari masalah denganku, Anjing!). Penutur 1 tidak mau kalah, ia juga ikut berkata dengan nada tinggi, “Ang nan pakak baok onda, Anjiang!” (Kau yang tak pandai mengendarai motor, Anjing!).

Atau adegan lainnya: Ada dua penutur yang telah lama berkawan akrab. Pada suatu sore, di Kafe Bengras, penutur 1 datang dengan sepeda motor yang baru saja dibelinya. Melihat itu, penutur 2 yang sudah lebih dulu duduk di kafe tersebut berkata kepada penutur 1, “Anjiang!Gagah e onda ang lai.” (Anjing!Mantap kali motormu).

Kata anjiang di dalam dua contoh adegan di atas menjadi kata makian karena ia tidak menghadap langsung ke makna aslinya. Pada contoh pertama, kita boleh berpikir bahwa si penutur bisa jadi bermaksud menuduh lawan bicaranya bersifat seperti anjing, atau menyamakan ia dengan anjing, tetapi tetap saja ia tidaklah menunjuk ke sebenar-benar hewan berkaki empat itu (kata benda). Anjiang di dalam kalimat itu telah terbeban makna lain, misalnya sifat purba dari‘kebinatangan’ atau ia telah dibebankan nilai haram dari agama, menimbang bahwa mayoritas masyarakat Minangkabau beragama Islam. Sedangkan pada contoh kedua, kata anjiang di sana menjadi semacam kata yang menegaskan impresi yang kuat atas kekaguman si penutur terhadap sepeda motor milik penutur lainnya.

Akan tetapi, pantek memiliki kasus yang berbeda dengan anjiang atau fuck. Anjiang dan fuck masih digunakan hingga sekarang untuk merujuk makna asli dua kata tersebut—kita bisa menonton film-film Hollywood terkini atau dokumenter seri History of Swear Word (2021) garapan Netflix untuk mengetahui kata fuck masih digunakan untuk membahas intercourse (berancuk), dan untuk kata anjiang kita bisa melihatnya di kehidupan masyarakat Sumatra Barat yang di beberapa daerah masyarakatnya menggandrungi olahraga berburu babi dengan anjing. Sedangkan pantek—setidaknya dari data yang saya dan teman-teman kumpulkan—nyaris tidak pernah digunakan untuk merujuk ke makna referensialnya, karena untuk menyebut ‘kelamin perempuan’ ada kata kasar lain seperti cepet dan pepek.

Hal ini membuat kata pantek otomatis sudah menjadi kata makian jika diucapkan. Baik itu dalam kondisi penutur sedang marah, “Kurang sanang ang jo den, pantek!” (Ada masalah kamu sama saya, pantek!), kagum, “Pantek, hebat ang lai!” (Pantek, hebatnya kamu!), bahagia,”Pantek, den manang bete!” (Pantek, saya menang togel!), atau bahkan hanya dengan menyebut kata itu di saat terkejut, sedih, atau terluka. Dengankata lain, pantek tidak membutuhkan konteks khusus seperti kata anjiangdan fuck pada contoh di atas untuk menjadikannya sebagai kata makian. Ia telah menjadi kata makian yang berdiri sendiri dan siap digunakan sebagai penyalur segala emosi yang kita rasakan. Seorang penutur bahasa Minangkabau tidak perlu bersusah payah mengetahui arti kata pantek untuk memaki segala hal di dunia ini dan seorang pendengar tidak perlu bersusah-payah mengetahui arti kata pantek untuk membuat ia berang, terkejut, atau tertawa ketika seseorang mengucapkannya.

Sifat yang sama ternyata juga dialami oleh kata makian lain dari rumpun bahasa dan kategori yang sama, yaitu bujang dalam bahasa Batak, khususnya Batak Toba. Di dalam KBBI V, kata bujang memiliki tujuh arti: n anak laki-laki dewasa; jaka, n anak perempuan; gadis; perawan, n anak laki-laki; budak, n laki (perempuan) yang belum menikah (kawin), n kl orang laki-laki gajian; jongos, nkl Bt kemaluan, n kl Bt janda. Dari banyaknya opsi itu, kita mengambil arti dua terakhir yang disematkan simbol Bt yang berarti berasal dari bahasa Batak: kemaluan dan janda.

Namun, dalam bahasa Batak, bujang hanya memiliki satu arti, yaitu ‘kelamin perempuan.’ “Saya belum pernah mendengar kata bujang digunakan untuk menyebut janda,” kata Agus Mulia, seorang peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara kepada saya melalui pesan Whatsapp (Kamis, 2 September 2021). “Arti bujang itu hanya satu: kelamin perempuan,” ujarnya. Ketika saya menjelaskan sifat kata pantek di dalam bahasa Minangkabau, beliau menyatakan bahwa hal yang persis sama juga terjadi dengan kata bujang di dalam bahasa Batak, “Kata bujang bukan semata-mata makian dengan makna ‘kelamin perempuan’. Maknanya meluas menjadi makian kasar, dan tidak jarang si pemaki tidak mengetahui makna kata bujang yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kalau bujang itu adalah bentuk makian kasar. Sebab yang menggunakan kata bujang sebagai makian bukan hanya suku Batak, melainkan juga suku-suku lain, seperti Melayu, Aceh, Nias, dan Jawa yang tinggal di Sumatera Utara.” Agus juga mengatakan bahwa kata pantek sempat populer di Medan. Banyak orang Medan yang menggunakan pantek tanpa tahu arti sebenarnya. Tidak hanya melintasi batas makna, ternyata kata makian juga mampu dengan cepat melintasi batas geografi dan budaya—makian yang melintas.

Latar belakang yang menyebabkan kata bujang pantang diucapkan juga hampir sama dengan yang terjadi pada budaya Minangkabau. Agus menjelaskan, “Karena kata merujuk hal-hal yang sensitif, maka penyebutan kata itu tidak dibenarkan secara langsung. Pantang. Dalam masyarakat Batak banyak kata yang berhubungan dengan diri, badan, dan sebagainya yang tidak boleh disampaikan secara langsung. Bahkan, untuk menyebut nama istri/suami saja haruslah menggunakan kata-kata yang sopan. Pantang menyebut nama istri orang dengan nama langsung,” tuturAgus. Karena kelamin tidak bisa disebut secara langsung, muncul eufemisme lain di dalam bahasa Batak, misalnya puna dan tokkana (barangnya/anunya).

Kesamaan dua kasus kata makian di atas tidak saja memberi kita kesimpulan bahwa kata makian yang berasal dari kategori kelamin berpotensi mengalami perubahan makna. Seiring dengan berjalannya waktu, ia akan menjadi kata “kasar” yang mampu berdiri sendiri ketika diucapkan tanpa perlu dibebankan makna referensial.

Dua kasus itu juga menjelaskan bahwa seksualitas merupakan hal yang sungguh tabu dalam masyarakat Minang dan Batak. Saya kira, makian, seperti puki, cuki, laso, dan jancuk, mengalami hal yang sama dengan bujang dan pantek. Tentu akan sangat menarik jika seksualitas dan kata makian di Nusantara ini bisa kita jadikan satu pembahasan pada waktu yang lain. Khusus sekarang, mari kita kembali ke pantek.

Baiklah. Sebelum menutup bagian ini, saya punya dua contoh menarik soal bagaimana pantek telah dilihat secara tidak tepat oleh para peneliti. Pertama, penelitian yang dikerjakan Sari Deswita Ningsih yang berjudul “Nomina Makian dalam Bahasa Minangkabau di Terminal Aua Kuniang Bukittinggi” (Jurnal Bahasa dan Sastra, Vol. 5 No. 2 Tahun 2018). Di dalam penelitian itu ia mengalihbahasakan pantek menjadi fuck dalam kalimat, “Pantek lai jaleh dek ang!” menjadi “Fuck, mengerti kamu!”

Penelitian lainnya berjudul “Ungkapan Makian Bahasa Minangkabau di Kenagarian Taluk Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar” (Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1 No. 1 September 2012; Seri E 339—425) oleh Refmiyanti dkk. Di sana ia mengalihbahasakan pantek menjadi busyet di dalam kalimat, “Pantek basegak tomat den dek garobang ang,” menjadi “Busyet tumpah tomat saya karna gerobak kamu.”

Barangkali apa yang dilakukan dua peneliti itu bukanlah hal yang besar, tetapi dari sana kita bisa melihat bahwa bagi peneliti sendiri makna dari kata pantek itu tidak jelas. Bukannya melihat pantek sebagai kata yang berdiri sendiri sehingga tidak bisa dibandingkan dengan fuck (atau busyet), mereka malah memadankannya dengan dua kata tersebut. Selain itu, bagaimana bisa fuck digunakan, sedangkan kata itu tidaklah akrab bagi kita, bahkan bagi masyarakat di Aua Kuniang. Perihal kata busyet, saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh peneliti sehingga menggunakan kata tersebut, yang malah menambah ketidakjelasan konteksnya. Bagi saya, pantek, ya, tetap ditulis pantek karena pantek adalah pantek.

Pantek dan Kreativitas

Apa yang akan kita bahas pada sub bab ini ialah semacam efek samping dari sifat kata pantek yang bisa digunakan tanpa harus menghubungkannya dengan arti aslinya. Salah satu efek samping itu ialah luwesnya kata ini diutak-atik dan dikreasikan oleh masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat yang senang menggunakan kata pantek dengan berbagai macam bentuk dan cara ialah anak muda. Maka, mari kita memasuki bagian ini dari sana.

Membicarakan pantek atau makian secara keseluruhan bisa dikatakan tidak bisa dilepaskan dari dunia pergaulan anak muda dan ikatan pertemanan. Hal itu seolah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan jika kita membahas kata makian. Inas Nur Rasyidah dalam artikelnya “Aku Memaki Maka Aku Muda” yang termaktub dalam buku Karnaval Caci Maki: Menelusuri Makian dari Hasrat Sampai Nilai (2012), menyebut anak muda/remaja sebagai“konduktor makian.” Menurutnya,anak muda merupakan pabrik emosi yang berjalan 24 jam dengan sistem distribusi yang kencang (atau dalam istilah psikolog Elizabeth B. Hurlock, masa remaja adalah periode ‘badai dan tekanan’). Kata makian, selain memiliki keunikan dalam segi kebahasaan, juga memiliki hubungan dengan bagian otak manusia yang mengatur emosi: kebahagiaan, ketakutan, kekecewaan, kemarahan, dan lainnya.

Emma Byrne, dalam bukunya Swearing Is Good for You: The Amazing Science of Bad Language (2017), menjelaskan bahwa salah satu organ di otak kita yang cukup penting dalam menyebabkan seseorang memaki ialah amigdala. Amigdala adalah sekelompok saraf sebesar kacang almon yang terletak di dekat pangkal telinga dan dimiliki oleh kedua bagian otak—yang juga dimiliki oleh mamalia, ikan, reptil, dan burung. Bagian yang hadir dari perkembangan evolusi manusia sejak 250 miliar tahun yang lalu.

Byrne mengambil contoh dari penelitian dua orang dokter asal Skotlandia, Edward Hitchcock dan Valerie Crains, terhadap pasien yang sedang dioperasi untuk menunjukkan bagaimana amigdala bekerja. Si pasien, yang awalnya tenang, tiba-tiba menjadi berang dan memaki ketika amigdalanya distimulasi dengan sengatan listrik. Si pasien bahkan bingung mengapa ia bisa berang setelah sengatan listrik itu dimatikan. Itu tidak saja membuktikan bahwa amigdala mampu memprovokasi seseorang untuk memaki, tetapi juga bagaimana kata-kata makian merupakan media yang bisa mewadahi emosi impulsif. Si pasien tentu bisa saja mengatakan “Saya merasa ada sengatan listrik di dalam kepala saya,” atau “Aduh, rasanya sakit sekali!”, tetapi kata-kata makianlah yang dipilihnya. Memaki, dengan begitu, merupakan semacam jalan pintas untuk mengungkapkan sesuatu yang kompleks dengan cepat.

Kita tentu paham bagaimana rasanya memaki bersama teman-teman dekat. Kita bisa menakar kedekatan pertemanan suatu kelompok hanya dari seberapa banyak kata-kata makian terucap di dalam obrolan mereka tanpa menyebabkan perselisihan. Dengan kata lain, mereka tidak lagi menyembunyikan emosi yang dirasakan terhadap satu sama lain, misalnya ketika mereka merasakan kebahagiaan, keterkejutan, kekaguman, kelucuan, dan kekesalan. Emosi-emosi yang meletup-meletup tersebut, ketika berada di mulut, menjelma kata-kata makian.

Dengan alasan itu pula kita menjadi tidak heran jika lagu Pantek Amak Kalian dari B Strax meledak dan menjadi lagu yang diminati oleh sebagian besar anak muda Minang, bukan hanya di Sumatera Barat, melainkan juga di seluruh Indonesia pada tahun 2011-an. Lagu yang ditulis oleh rapper Minang yang merantau ke Solo itu bercerita tentang kemuakan seorang anak muda yang menderita di tanah perantauan terhadap tingkah teman-temannya anak kuliahan. Ia secara langsung mengarahkan kemuakannya tersebut di dalam lirik: musisi Duri pantek, mahasiswa dari Duri. (Di dalam skena musik hip-hop, kata-kata makian sudah biasa digunakan, terutama dalam jenis “lagu sindiran”. Di Indonesia, kita juga mengenal lagu Lagu Jorok-nya Baon Cikadap yang digemari pada masanya). Lagu-lagu seperti itu menjadi stimulus bagi pendengar, terutama anak muda, untuk membuka aliran emosi di dalam diri mereka. Ketika mereka ikut bernyanyi, kata-kata tersebut seolah ikut melepaskan emosi yang telah lama tertahan.

Bagaimana kata pantek dikreasikan sedemikian rupa juga bisa kita lihat dari terjadinya penambahan imbuhan ma-: mamantek (memantek). Contoh penggunaannya di dalam sebuah kalimat: “Jan mamantek gaya ang, Anjiang!” (Jangan memantek gaya kau, Anjing!) atau “Mamantek gaya paja tu, dang.” (Memantek gaya dia). Biasanya, dari pengalaman saya dalam mendengar dan memaki, penggunaan kata mamantek selalu disandingkan dengan kata gaya sehingga makna dari kata mamantek bisa kita simpulkan sebagai sesuatu yang ‘bersifat pantek’. Dalam konteks ini, pantek telah menjadi kata sifat yang baru.

Contoh lainnya ialah penggunaan kata pantek dalampantun berikut ini. Entah siapa yang pertama kali yang mengucapkannya, yang jelas pantun seperti ini sangat populer di kalangan anak muda:

            Etek-etek jua lamang

            Pantek amak ang

 

            Etek-etek jua tahu

            Pantek amak kau

           

            Amai-amai jua lapiak

            Pantek amak ang lo liak

           

Percobaan bermain-main dengan kata pantek juga saya temukan di kertas demo mahasiswa ketika menuntut pembatalan revisi UU KPK dan RUUKUHPdi kantor DPRD Sumbar pada 2019. Salah satu teman saya masih menyimpan dokumentasi foto kertas demo itu. Sang penulis kertas demo itu menjadikan kata pantek sebagai akronim dari “Pergerakan Anti Ngawur Totalitarianisme Egoisme & Korupsi”. Di dalam situasi tersebut, kita melihat bahwa kata pantek menjelma sebagai simbol kekecewaan mahasiswa terhadap kelakuan pemerintah. Hal tersebut bisa kita kaitkan dengan salah satu fungsi psikologis dari memaki, yaitu bisa mengurangi rasa sakit. Salah satu penelitian tentang hal ini adalah eksperimen “baskom berisi es” yang dilakukan oleh Richard Stephen, psikolog dan dosen senior di Keele University. Ia menjelaskan dalam artikel yang dikeluarkan Keele University, “Swearing reduce pain-but not if you do everyday” (1/12/11). Tentu saja sakit yang bisa diredakan oleh makian bukan hanya luka fisik, melainkan juga mental dan sosial. Ia menjadi sumber tenaga bagi orang-orang yang tertindas, seperti mahasiswa penulis kata-kata protes di kertas demo tersebut.

Sementara itu, di dalam dunia seni, upaya mengeksplorasi kata pantek saya temukan di dalam sebuah puisi yang berjudul “Kuda Bawah Tanah”. Puisi itu termaktub dalam buku kumpulan puisi tunggal berjudul Odong-odong For de Kock (2013) karya Deddy Arsya, penyair kelahiran Bayang, Sumatera Barat. Baris puisi yang menggunakan kata itu tertulis seperti ini: Jakarta pantek ini menelan bensin berjuta galon. Saya pikir, kata pantek di dalam puisi itu telah mengalami perluasan makna dari hanya sekadar ‘kelamin perempuan’. Ia bisa menjadi kata sifat dari kata sebelumnya (Jakarta), misalnya “Jakarta yang bersifat pantek.”

Dalam pembicaraan saya dengan Deddy, ia mengatakan, “Kata itu saya gunakan sebagai bentuk ekspresi dari rasa kesal dan keheranan. Bisa juga berarti ekspresi dari perasaan tidak-habis-pikir. Dan saya tidak menggunakan kata itu sebagai metafora kelamin perempuan,” tulisnya melalui pesan Instagram (Kamis, 2 September 2021). Ketika saya bertanya mengapa ia memilih kata pantek ketimbang kata makian lain yang ada di bahasa Minang, ia menjelaskan “Pantek adalah puncak caruik (carut). Dalam strata kata kotor, kata itu berada di puncak paling atas.”

Pantek, lanjut Deddy ialah “kata yang sudah berdiri sendiri, yaitu kata yang digunakan sebagai ekspresi tanpa perlu dihubungkan lagi dengan kesadaran kalau kata itu sebenarnya bermakna ‘kelamin perempuan’.” Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Deddy sebagai orang Bayang, Pesisir Selatan. Di tempat Deddy tumbuh, kata pantek merupakan kata makian yang paling kasar. Ia juga mengaku kalau orang kampungnya pacaruik (pecarut). “Itu barangkali tipologi masyarakat pesisiran pada umumnya,” ucapnya. Tentu saja banyak cara dalam mengungkapkan ekspresi di dalam sebuah puisi. Dari banyak cara itu,Deddy Arsya memilih menggunakan kata pantek sebagai artikulasi dari luapan emosi yang ia rasakan. “Pada saat menulis puisi itu, saya rasa kata itu paling bisa membuat saya ‘merasa lebih baik’. Carut pada titik itu menjadi semacam ekspresi yang membebaskan.”

Contoh teranyar dari usaha menggunakan kata pantek secara kreatif saya temukan dalam sebuah judul cerita berbahasa Minang yang ditulis oleh Heru Joni Putra: “Laporan Penjurian Pantek Award 2020” (Garak.id, 25 Juli 2020). Sebuah penghargaan yang pantek, penghargaan menjadi pantek, pantek adalah penghargaan tertinggi. Banyak cara untuk memaknai judul tersebut. Yang jelas, pantek merupakan kata yang keras dan kasar. Bagi saya, melalui judul itu, penulisnya bermaksud mengkritik apapun yang berurusan dengan pertanggungjawaban. Segala laporan itu tidak berbobot, palsu, bersifat pantek.

Dua tahun belakangan ini, antara 2019-2020 Heru rajin menulis cerita berbahasa Minang di Garak.id. Seri itu dinamai cerita “Cubadak Kantang”. Cerita-cerita itu dilabelidengan “cerita tidak bermoral”. Dalam beberapa diskusi yang saya ikuti, Heru memang sengaja menggunakan bahasa Minang balai (pasar) dalam tulisannya sehingga tidak heran jika kita menemukan banyak kata makian di setiap episodenya. Pemilihan gaya bahasa seperti itu bisa dimaknai sebagai semacam gugatan atas sikap sebagian orang yang hidup dalam ideal akan bahasa Minang yang melulu luhur, sedangkan kita hidup di dunia nyata tempat keluhuran, kehinaan, kesucian, kekotoran berkelindan: Aku tidak peduli denganmu; mati anjiang saja dengan kamu.

 

DEMIKIANLAH kiranya apa yang bisa kita bicarakan ketika kita membicarakan pantek. Mulai dari bagaimana proses kata itu bisa disebut sebagai kata makian hingga bagaimana ia digunakan secara kreatif oleh masyarakat. Semoga kepantekan ini mampu memberikan pencerahan bagi sekalian pembaca dan berfaedah bagi dunia, sekurang-kurangnya bagi dunia perpantekan. Jika ada yang terlebih dan terkurang saya mohon maaf. Wasalam. (*)

About author

Alumnus Sastra Indonesia FIB Unand. Peneliti di RelAir. Warga Lab. Pauh 9.
Related posts
Artikel

“Mahaden”: Menjembatani Subjek dan Etnografi

Artikel

Orkes Taman Bunga dan Narasi Timpang WTBOS

Artikel

Tiga Diskusi, Empat Eksebisi: Catatan Sinematografi Teater Tendi Karo Volkano

Artikel

Roehanna Koeddoes dan Proyek Kolonialisme Tercerahkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *