Untuk pemain Among Us, apakah kalian pernah main game ini dengan tatap muka dalam satu lokasi? Bermain permainan yang dianggap game fitnah-fitnah ini, apabila bermain sendiri maka akan berkomunikasi, berdebat, meyakinkan rekan, atau memanipulasi pemain lain lewat teks dalam aplikasi tersebut. Pada posisi ini dibutuhkan kemampuan tekstual dan merangkai “cerita” untuk disampaikan kepada pemain lain. Pada level selanjutnya, bermain game ini disertai aplikasi lain yang dapat mempertemukan teman sepermainan secara audial, kemampuan di atas harus didukung dengan kesadaran akan intonasi suara. Apalagi ketika menjadi Impostor (penyemu), yang jika anda senang maka harus menyembunyikan bahkan memanipulasi suara kesenangan tersebut. Dan, apabila bermain Among Us secara tatap muka dan di satu tempat, maka seluruh kemampuan yang disebut di atas harus didukung dengan kesadaran akan tubuh, baik itu ekspresi wajah hingga gestur. Barangkali tidak disadari, tapi secara sederhana, itulah komponen-komponen dasar dalam berkomunikasi.
Dalam masa pandemi ini, publik memanfaatkan teknologi komunikasi digital untuk berkomunikasi. Seperti pembabakan di atas, teknologi ini ternyata mengurangi komponen komunikasi itu, dengan kata lain teknologi ini belum sampai menggantikan model komunikasi tradisional. Hal itu merupakan sedikit dari “kelapukan” teknologi komunikasi. Sebanyak yang lain inilah yang coba diperhatikan dan dipermainkan oleh kawan-kawan yang terlibat di Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #3, sebuah program dari Gubuak Kopi, di Kota Solok, Sumatera Barat. Program LLD #3 ini berlangsung selama bulan September 2020 lalu, dengan melibatkan berbagai macam seniman dari berbagai daerah, serta berbagai disiplin. Kali ini LDD mengangkat tema Silaturahmi, yang dalam pengantarnya ditegaskan bagaimana silaturahmi dalam kondisi pandemi saat ini. Ada lima garapan dalam agenda LDD #3, yang secara umum, merespon topik komunikasi dan berbagi sebagai lotus dari silaturahmi. Beberapa dari garapan tersebut dapat ditonton kembali di Instagram, Youtube, dan situs Gubuak Kopi.
Garapan pertama yang kentara menyoal komunikasi pada masa pandemi dan fasilitas teknologi informasi yaitu Gara-gara Icor. Digarap oleh Avant Garde Dewa Gugat, seorang seniman yang belakangan dikenal dengan musik eksperimentalnya. Dewa menampilkan komposisi musik eksperimental yang mengandung suara digital, suara “distorsi” akibat teknologi informasi, dan suara “distorsi” akibat masker. “Distorsi” yang dimaksud yaitu suara putus-putus akibat sinyal internet ketika kuliah secara daring dan suara yang teredam oleh masker ketika seseorang berbicara. Di samping itu, yang tak kalah penting yakni garapan ini ditampilkan secara daring di Instagram Gubuak Kopi.
Selanjutnya, garapan Theo Nugraha yang berjudul Mandanga Ota Urang. Garapan ini pula dipresentasikan secara daring di laman website Gubuak Kopi. Laman presentasi itu terdiri dari tiga bagian, yaitu video, foto, dan audio. Videonya menampilkan sebuah grup Direct Message di media sosial Instagram yang berjudul Mandanga Ota Urang, layaknya judul garapan tersebut. Video itu memperlihatkan anggota grup, secara bergantian, terus mengirim berkas audio yang terlihat grafik audionya. Masing-masing kiriman dengan audio yang berbeda juga dengan grafik yang berbeda. Sebagai catatan tambahan, grafik audio ini secara sederhana dapat dipahami dengan mengartikan titik terkecil sebagai suara terkecil atau sunyi, seterusnya apabila membesar maka akan keras pula suaranya. Meski tombol putar pada masing-masing kiriman dalam layar tersebut tidak terputar, kita mendengar pula beragam suara yang telah dikompos oleh penggarap sembari terus menonton peserta grup mengirim kiriman mereka. Ada suara dialog tentang buku kuliah—meski samar-samar, suara gesekan, suara melengking, suara pasir diayak, dan sebagainya. Suara-suara itu terkadang muncul ke permukaan, terkadang menjadi latar, atau saling tabrak satu dengan yang lain, sehingga membuat penonton mengalami semacam kekeosan. Ditambah, suara-suara itu kerap diulang.
Bagian berikutnya, ada tampilan tangkapan layar Direct Message Instagram masing-masing partisipan garapan mengirim berkas suara. Yang tidak grup. Dan terakhir, ada tiap berkas suara yang dikirim partisipan itu dalam sebuah pemutar musik, dan dapat di dengar masing-masingnya. Dua bagian terakhir ini semacam butiran-butiran ketika video tadi diurai, yang dapat dipreteli detailnya serta dapat dinikmati perindividunya. Pengalaman menikmati garapan Mandanga Ota Urang ini (khususnya bagian video) semacam artikulasi lain dari pengalaman warga internet menikmati konten media sosial sampai pada titik “keos”. Misalkan, anda mungkin pernah menonton Story Instagram—dengan visual dan audio yang beragam—sampai ujung dan bersih. Tetapi, anda tidak tahu apa yang anda cari, anda hanya sekadar menonton dan mendengar lalu terlewatkan. Kemudian, anda menutup aplikasi tersebut. Sesaat berlalu, anda membuka lagi aplikasi yang sama dan mengulangi kembali aktifitas yang sama.Saya sebut video Mandanga Ota Urang ini semacam artikulasi lain dari kondisi “keos” seperti di atas ialah ketika menikmati video berdurasi 17 menit itu dengan melihat grafik audio yang beragam serta suara yang tidak sewajarnya harmoni. Sehingga bentuk grafik dan suara itu hanya numpang lewat. Mudah-mudahan saja anda menekan kembali tombol Putar video tersebut (emotikon mencibir).
Kiranya, ini merupakan titik lapuk pada media sosial sebagai media berbagi yang sedang dipersoalkan garapan tersebut.
Di samping itu, pada proyek seni Basuo jo Babagi garapan Taufiqurrahman, topik berbagi yang terkandung pada silaturahmi diiringi gagasan kritis terkait tradisi. Dalam garapan ini, Ufik berkolaborasi dengan beberapa pemuda di Solok secara daring untuk mengirimkan gambar benda-benda di sekitar mereka. Gambar-gambar benda tersebut nantinya diolah oleh Ufik dan dijadikan beragam kolase. Dengan itu ia ingin menegaskan, tradisi merupakan bentuk adaptasi pada jamannya. Seiring dengan pandangan yang melihat tradisi sebagai inovasi pada jamannya, yakni suatu kegiatan yang diulangi dan dilestarikan tetapi tetap melihat situasi dan kondisi jamannya, sehingga tidak memposisikan tradisi sebagai suatu yang sudah pas dan mantap. Tentu saja, persoalan ini perlu dielaborasi lebih lanjut disertai contoh kasus. Mungkin seperti tradisi Ulu Ambek di Padang Pariaman. Dahulu tradisi ini dikenal sebagai resolusi konflik antar kampung, kini dengan perangkat hukum yang berlaku, tradisi ini berubah pula fungsi dan bentuknya.
Selanjutnya, garapan Tari Barulang oleh Siska Aprisia dan Utari Irenza justru fokus pada medium digital dalam mempresentasikan tarinya. Setelah mengeksplorasi gerakan dasar pada silat, mereka latihan secara daring dengan lokasi yang berbeda, satu di Agam, Sumatera Barat, dan satu lagi di Jogjakarta. Lalu, garapan tersebut dipresentasikan secara daring tetap dengan lokasi yang berbeda, ditambah beberapa lapis layar guna menegaskan nan “barulang”.
Dari lima garapan dalam LDD #3 ini, satu garapan tidak sempat saya ikuti, karena itu hanya empat saja yang coba saya sebut di sini. Beberapa garapan tersebut, selain merespon hal lapuk dalam teknologi informasi yang menjadi senjata “silaturahmi” pada masa pandemi ini, yang lapuk tersebut ternyata dipermainkan lewat medium teknologi informasi itu sendiri; dipresentasikan lewat medium media sosial Instagram, Youtube, website, dan aplikasi untuk konferensi. Ada semacam paradoks yang ganjil sekaligus positif, saat mengkritisi medium mutakhir untuk “bersilaturahmi” pula mengambil kesempatan pada medium tersebut.
Beberapa catatan dan presentasi garapan Lapuak-lapuak Dikajangi #3 dapat disimak di:
Website : Gubuakkopi.co.id
Youtube : Komunitas Gubuak Kopi
Instagram : Komunitas Gubuak Kopi/gubuakkopi
.
Penulis Adi Osman
Editor Setia Subakti
Ilustrator Graphirate