Seorang pria muda berjalan dengan buku yang dibawanya, duduk sembari meneguk kopi dan menghisap sebatang rokok di sebuah kedai antara Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Rambut panjang terurai indah dan ia mulai membuka buku yang dipinjamnya dari sebuah lapak baca yang dikelola secara mandiri oleh mahasiswa di kampusnya. Buku itu berjudul “Dilarang Gondrong”.
Praktik kekuasaan orde baru terhadap anak muda pada awal 1970-an, salah satunya pelarangan rambut gondrong nyatanya masih tersisa sampai saat ini. Pada masa orde baru, rambut gondrong diidentikan dengan berita-berita kriminal, bahkan framing media cetak saat itu berpengaruh besar dalam membentuk citra orang-orang yang berambut gondrong sebagai preman yang identik dengan tindakan kriminal, sehingga rambut gondrong dianggap sebagai hal yang buruk. Pelajar sekolah wajib memangkas rambutnya seperti ABRI, di birokrasi mereka yang berambut gondrong tidak akan mendapat pelayanan. Tak hanya itu, artis-artis pria yang berambut panjang juga ikut terkena dampak, mereka dilarang untuk tampil di TVRI. Ini semua mirip dengan kondisi di kampus-kampus. Mahasiswa laki-laki dilarang berambut panjang dan memakai kaos oblong, dikuatkan dengan tulisan yang dipajang besar-besar di depan pintu-pintu pelayanan akademik mahasiswa. Mereka sudah dipastikan tidak akan mendapat pelayanan administrasi di kampus, karena dianggap tidak rapi dan melanggar aturan kampus, hanya itu.
Tak sedikit diantara mereka para lelaki gondrong yang memuja estetika khas mereka sendiri yang merasa sakit hati karena tidak dapat menuntaskan misinya untuk memiliki rambut panjang. Dulu, di zaman orba rambut gondrong adalah sebuah identitas dan seringkali menjadi bentuk pemberontakan akan kebebasan berkehendak saat itu. Aksi anti rambut gondrong yang dilakukan pemerintah secara ekstrem adalah razia rambut gondrong. Lagi-lagi mirip dengan kampus dimana dosen membawa gunting saat ujian berlangsung.
Kejadian tersebut tak lantas diterima begitu saja oleh mahasiswa, aksi protes sudah beberapa kali terjadi di lingkungan kampus seperti pementasan seni, membuat spanduk dengan coretan pilok, dan aksi solo yang pernah dilakukan mahasiswa UNAND bernama Wahyu di tengah bundaran jalan lingkar Kampus Limau Manih Universitas Andalas, Kamis, 29 Agustus 2019 lampau. Tulisan spanduk yang sempat viral dituliskan Wahyu berisi “GONDRONG BUKAN BERARTI KRIMINAL, KLIMIS TAK SELALU INTELEKTUAL, PENDIDIKAN TIDAK MEMANDANG PENAMPILAN” dibawahnya juga terdapat tulisan “Dosa UNAND: PTN-BH, keamanan kampus, anak mandiri”. Aksi tersebut merupakan kritik terhadap pihak kampus lebih kepada polemik transparansi Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa jalur mandiri atau yang non-mandiri, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), serta soal keamanan kampus. Dia mengatakan aksi tersebut lebih kepada simbol, bahwa pihak kampus UNAND harus lebih memperhatikan masalah substansial di atas, ketimbang mempermasalahkan penampilan mahasiswanya.
Pelarangan rambut gondrong di lingkungan kampus menjadi obrolan di kedai-kedai kopi kampus. Ini semua tidak ada hubungannya dengan kerapian, karena konsep kerapian tersebut tidak jelas seperti apa, bahwa mahasiswa berambut gondrong juga bisa mengikat rambutnya agar tidak terlihat kusut. Beberapa kampus melarang mahasiswa berambut gondrong seringkali karena alasan kerapian, simbolisasi keteraturan, dan mempersiapkan mahasiswa pascakelulusan mereka agar mudah untuk masuk ke dunia kerja. Stereotip umum yang beredar di masyarakat bahwa yang berambut gondrong biasanya identik dengan moral, padahal sudah bukan rahasia lagi bahwa mereka yang berambut klimis dan bermoral malah melakukan tindak penyelewengan wewenang seperti korupsi yang sudah menjadi darah daging di pemerintahan. Mereka semua tak ada yang berambut gondrong.
Pelampiasan rambut gondrong sekarang mulai mendapat tempat, karena di situasi pandemi ini Ospek di kampus dilakukan secara daring. Banyak kita temukan mahasiswa yang ingin berambut gondrong mulai memanjangkan rambutnya. Ospek daring tentu bukan kabar baik, namun pada situasi inilah para “gondrongers” dapat mengambil hikmahnya dengan mulai merawat rambut panjangnya. Sudah saatnya juga pihak kampus fokus untuk mengatasi permasalahan yang substantif dan tidak lagi konservatif dengan melarang dan mengancam mahasiswa laki-laki yang merawat rambut panjangnya. Karena sekali lagi kita bertanya untuk apa?
Penulis Abdis Salam Fajri
Editor Setia Subakti
Ilustrator Talia Bara