Musik

Ketika Raze Menjajal Festival Musik Kekinian

Hari kedua Swarnaland Fest (19/03/23), Raze menjadi satu-satunya penampil yang menyodorkan musik metal. Sebuah genre musik yang bisa dibilang segmented, digemari oleh orang-orang yang karib disebut metalhead. Jenis musik ini adalah media katarsis yang tepat untuk meluapkan segala gundah dan gulana.

Dalam festival musik yang digelar di GOR Haji Agus Salim di Padang itu, Raze memang menjadi penampil favorit kami (saya dan si bangsat Luthfi). Pasalnya, mereka memaparkan musik keras pada penonton yang asing dengan genre tersebut. Tolok ukur saya atas klaim ini  bisa dilihat dari deretan penampil Swarnaland Fest yang bikin heboh, dan ragam jajak pendapat FYP Hunter, serta muda-mudi di berbagai linimasa. Coba saja senter ke belakang akun-akun menfess berbasis Sumatra Barat yang ada di Twitter.

Katakanlah ini merupakan festival musik populer secara demografis, dan lumayan bagi si Raze sendiri, lantaran bisa terpapar dengan orang-orang yang notabenenya tidak dengerin metal. Animo crowdnya pun cukup oke dan gokil. Yang penting keterpaparan mereka dengan metal dan musisi lokal itu sudah ada.” kata gitaris dan komposer Raze, Akbar Nicholas.

Penampilan Raze di festival musik yang condong diisi oleh musisi populer menunjukkan bahwa mereka tidak dibatasi oleh genre atau kancah. Mereka coba melampaui itu. Terbukti ketika Raze merilis trek 313 orchestra version. Mereka membaurkan medium seni lain dengan musik, tanpa sekedar menjadikan medium seni lain itu tempelan. Menggaet make up artist profesional, Sitty Amelia, dan penari kontemporer, Siti Annisa Irdhani dalam penggarapan visual trek 313. Trek ini juga hasil kolaborasi bersama orkestrator Deni Januarta, dan melibatkan duo vokal folk, The Secret. Ini memang patut dilakukan lantaran eksplorasi dan kolaborasi, menurut saya, adalah aspek penting dalam pendewasaan sebuah band. Guna memperkaya musik, serta memperkukuh identitas. Memang, fenomena musik silang genre sudah biasa terjadi. Kita sudah melihat kolaborasi antara Burgerkill dan Ungu, juga Deadsquad dengan Isyana, hingga Seringai bersama Raisa. Namun hal ini tetap menjadi layak sorot. Selain demi mengurai keistimewaan karya, juga menilik kondisi perkembangan scene independen di Padang yang masih minim tradisi pencatatan, dan pengarsipan.

Sejatinya saat ini kondisi pasar musik sidestream di Padang lebih settled. Jejaring yang terbentuk secara ekstensifmencakup rekan-rekan di bidang media, musisi, dan pengorganisir acara, hingga sekedar penikmat. Dari beragam kondisi, alih-alih hanya sebatas “lokasi” atau basis dari para musisi, Padang sudah jadi ekosistem yang terlibat bagi perkembangan pelaku musik di dalamnya. Namun, Padang masih terkendala defisit media. Media yang dimaksud di sini bukan hanya jadi tempat mejeng poster atau gig event melulu, tapi juga aktif mengapresiasi, membentuk wacana, menarasikan kota, juga mengisi aspek kritik dan pengarsipan. (Beberapa tahun lalu Padang punya webzine seperti nadaminor serta beberapa zine konvensional yang bekerja di ranah tersebut, namun barangkali karena keterbatasan sumberdaya, kerja-kerja itu akhirnya terhenti. Produksi pengetahuan soal musik sidestream di Padang dan Sumbar pun tersendat, ed).

Selama ini saya belum pernah terlalu giat berpartisipasi dalam scene arus pinggir di Padang, dan tidak punya akses berlebih pada referensi kancah independen kota ini. Sebagai pemula yang bermaksud baik namun tidak punya referensi mendalam, kepala saya lumayan pening saat mencari info lebih lanjut soal Raze di kanal media Sumatra Barat. Untungnya, band ini pernah beberapa kali diulas oleh media musik kenamaan. Di antaranya, adalah Musikeras–yang dimotori oleh jurnalis musik asal Jakarta, Mudya Mustamin.

***

Menjadi pembuka pergelaran malam itu, atraksi Raze yang dipacu mulai pasca waktu Magrib menuntut penonton yang menantikan Yura, d’Masiv, dan Kangen Band agar bersabar lebih lama. Antusiasme yang terasa di venue cukup memperkuat nuansa bak ajang nostalgia, lantas bisa terlihat sebagai bentuk pelestarian riuhnya sebuah pertunjukan musik metal. Hal itu ditunjukkan performa Raze menjajal panggung yang diwarnai dengan headbang, moshing, hingga lompatan hardcore. Semua tarian dan respon datang menyambut silih bergantinya lagu-lagu yang disuguhkan. Di panggung utama Swarnaland, Raze melepas enam lagu, gabungan dari dua mini album mereka sebelumnya, yaitu So Repeat This Line dan Ad Infinitum. Kedua mini album ini sudah liris dalam kurun waktu 2019-2021 di aneka ruang musik digital.

Mengusung musik yang keras dan kencang, sontak saja Raze membikin beberapa orang menari, melompat riang sejak pertama memainkan intro. Namun lebih banyak kerumunan yang hanya manggut, dan angguk-angguk kecil. Awalnya saya berharap bisa menyaksikan circle pit dan crowd surf di tengah kerumunan. Malah pemandangan tersebut tidak ditemukan, dan akhirnya saya sadar ekspektasi itu cukup naif. Lagipula event waktu itu tempatnya orang-orang melambaikan flashlight ponsel pintar mereka. Tak perlu circle pit dan crowd surf yang azasnya adalah bagian ‘berbahaya’ dari pertunjukan, serta bersimbah keringat. Respon ‘positif’ penonton selalu terikat pada peraturan-peraturan tak tertulis yang mustahil ditegakkan, karena toh mustahil pula dijabarkan.

***

Raze punya sound dan lirik umpama sebuah badai atau terjangan ombak. Berat, kasar, dan tidak brutal, tapi tetap artistik. Secara lirikal, apa yang Raze tawarkan terasa depresif dan puitis, namun tidak murahan. Band ini tidak banyak bicara hal-hal mistis, gore, subversif, satanis, atau tipikal topik metal lain di lagu-lagunya. Alih-alih Raze malah bicara tentang pergolakan dalam diri, soal isu environmental, dan krisis kemanusiaan. Cara bermusik seperti ini berkelindan lewat, misalnya, band metal Gojira dari Prancis, sebagai referensi. Raze mengadopsi dan mengeksekusi formula yang ada dengan cemerlang. Tanpa terasa generik dan monoton. Meksi termasuk dalam ranah serupa dengan band-band yang menjadi referensi, tapi dalam waktu yang sama, Raze juga terdengar berbeda.

Berdiri sejak tahun 2018, menurut saya Raze masih berstatus criminally underrated hingga sekarang. Walaupun sebenarnya, kurang eksposur tersebut merupakan hal yang cukup wajar, apalagi ditakdirkan sebagai band asal Sumatra Barat. Atau mungkinkah selama ini para penggemar Raze mengalami gatekeeping? Di mana mereka protektif pada akses dan pengetahuan mengenai Raze agar tidak banyak didengarkan oleh kalangan luas, biar edgy dan tetap segmented. Entahlah. Mujur band ini tidak miskin ide, dan masih mengamalkan konsistensi. Akbar Nicholas sempat menerangkannya pada kami. Mulai dari interpretasinya terhadap prioritas Raze, cerita pembuatan karya, hingga siasat agar tetap eksis:

Formatnya si Raze itu, dalam satu tahun harus ada karya dulu. Untuk sekarang, kami ga terlalu mikirin soal manggung. Memang, manggung itu rukunnya anak band. Cuma Raze sendiri mikirnya, kewajiban dulu yang dijalankan, yaitu komit bikin karya. Kami masih ngulik, untuk peningkatan di karya. Sebelum merilis karya, kami harus menduduki persoalan distribusi dulu. Baik itu soal data-data platform yang di kancah lokal, maupun global. Di struktur kerja sendiri, Raze masih dalam proses untuk meningkatkan itu. Seperti peningkatan kualitas saat perform. Contohnya, harus pandai membaca demografis crowd sebelum main. Kalo ndak, penguasaan panggungnya jadi kendor. Intinya integritas harus ditingkatkan, dan soal pemahaman industri. Tentu, basicnya karya harus ada dulu, tapi bermusik tidak cuma sesimpel bikin karya, lantaran kita juga harus sadar berada di mana kan? Harus sadar juga strength dan weakness kita itu ada di mana. Dan pasti harus melek dan keep up teknologi, media dan segala macam perkembangannya,” tuturnya sambil tersenyum.

Menjadi musisi dan merawat band, adalah sebuah petualangan. Perjalanan Raze sebagai salah satu unit metal Padang yang bereksperimen di ruang tersebut masih berlanjut. Mereka sedang dalam proses penggarapan materi untuk album yang bakal rilis di tahun ini. Ketentuan dan integritas band ini pun sudah nampak dari video musik bertajuk Genesis yang mereka lepas di kanal Youtube Raze pada Januari lalu. Video musik berdurasi kurang dari dua menit ini, merupakan salah satu bibit album mereka di 2023 ini.  Akbar menjamin album baru ini akan meluncur dengan lebih ganas dari rilisan mereka yang lampau. Mungkin ketika tulisan ini publish, album Raze sudah rampung. Kita tunggu saja. (*)

 

Editor: Randi Reimena

Foto: Ig @officialraze.idn

Related posts
Musik

Sewindu Merindu, Banda Neira Tumbuh dan Menjadi

MusikReportase

Satu + Tiga Hari Patara Fest

MusikReportase

Meladju Kencang, Payakumbuh

Musik

Membincang Rimpang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *