Artikel karangan Tessel Pollman ini diterbitkan dengan judul asli, “The Unreal War: The Indonesian Revolution Through the Eyes of Dutch Novelist and Reporters,” Indonesia, 69 (2000), hal. 93,–106. Diterjemahkan oleh Haldi Patra. Diterbitkan Garak.id untuk tujuan pendidikan, bukan tujuan komersil.
***
Salah satu dari novel-novel itu adalah Groen is de Oetan (green is the Utan).[1] Seorang penulis yang tidak begitu dikenal bernama G.M. Rossum menulis buku ini setelah 1947. Buku ini jelas mengandung elemen otobiografi. Sebagaimana novel-novel lain dengan genre serupa, novel ini dibuka dengan sebuah deskripsi tentang perjalanan dari Belanda ke Hindia-Timur yang dialami oleh seorang tentara muda. Gairah petualangan menginspirasi mereka.
Gairah petualangan dan romantisme yang tidak terbatas akan pelayaran yang jauh; dalam novel perang ini, banyak tentara yang digambarkan sangat bersemangat untuk bertugas di Hindia-Belanda, di sebuah negeri yang eksotis. Ke sanalah tujuan mereka, seperti yang disampaikan oleh kolonel kepada anak buahnya: “Saudara-saudara, kalian telah datang sejauh ini untuk menyelesaikan tugas yang sulit, yang juga merupakan tugas terhormat. Saya paham kesulitan kalian karena berada jauh dari rumah dan berada di daerah tropis ini, tetapi kuatlah. Waspada, tekun dan percayalah kepada Tuhan, lalu semuanya akan baik-baik saja.”[2]
Apa yang paling mencolok dari penggambaran karakter militer ini adalah seperti yang dideskripsikan oleh kolonel: para prajurit akan melaksanakan sebuah “tugas yang mulia.” Sebuah korps perdamaian. Dan Letnan Vermeulen, tokoh utama dari novel ini, percaya dengan karakterisasi ini.
Misi Pasukan Perdamaian yang idealistis ini, bagaimanapun, mengandung kritik ideologis, dan G. M. van Rossum mendeskripsikannya dengan piawai. Pertama, para pembaca bertemu dengan seorang radikal kiri, Nelis de Wit, alias Grouch, yang memberikan kesimpulan misi mereka sehari setelah mereka sampai di Jawa: “Jika seluruh kumpulan kapitalis busuk ini mendapatkan kesempatan, mereka sekali lagi akan mengeksploitasi orang-orang Indonesia. Dan kita harus tenggelam dalam kekacauan ini selama dua tahun dan dipaksa untuk melawan orang-orang yang belum pernah kita lihat.”[3]
Kata-kata Grouch menciptakan ketegangan yang hanya bisa dicairkan oleh serangan peluru musuh yang datang secara tiba-tiba. “Apakah kau memiliki banyak teman, Nelis?” Seorang tentara lain bertanya, mengungkapkan keberatannya kepada kesimpulan Nelis. Keberatan itu bukanlah karena ia yakin bahwa kritik Nelis tidak salah, tetapi karena kritik Nelis itu dibagikan oleh musuh dan sebaiknya tidak dibicarakan.[4] Seperti yang dialami oleh kebanyakan karakter sosialis dan komunis dalam cerita jenis ini, Nelis kemudian meninggalkan ideologinya dan mengadopsi pandangan dari kawan-kawannya: tentara Belanda bertempur untuk orang-orang Indonesia dan bukan untuk kapitalis kulit putih. Tema yang sama kemudian muncul pada halaman 124 dalam Groen is de oetan, ketika batalion Letnam Vermeulen, Nelis de Wit dan Mayor Hoogland mengantarkan sekelompok tawanan teroris ke penjara lokal. Kemudian, seorang pegawai yang berasal dari golongan elite sebelum perang menyambut mereka. Dalam sebuah pembicaraan, si pegawai bernostalgia tentang sebuah restoran di suatu kampung: ”. . . di mana, dia mencatat sambil menggosok tangannya yang gemuk, sebelum perang, orang-orang bisa makan steak terbaik di seluruh distrik Tang Eng An di Kampoeng Mesjied. ‘Kapan menurutmu tentara kita akan sampai di sana?’ Hoogland menatapnya dengan tajam. ‘Babi gemuk, pikirnya.’ Itukah alasan mengapa kami harus mempertaruhkan nyawa, agar kau bisa makan steak lagi—orang aneh dengan topi besar dan tangan seperti saus?”[5]
Fokus dari para tentara Belanda dalam novel ini sederhana: mereka tidak datang ke Hindia-Belanda untuk mengakomodasi kepentingan para kolonialis sebelum perang. Para kolonialis adalah para elite. Sementara itu tentara terdiri dari orang-orang dari berbagai kelas sosial, dan banyak dari para sukarelawan dan wajib militer tidak percaya kepada kelas yang lebih tinggi. Dalam novel ini, ketidakpercayaan tentara kepada para elite sering mengarah sampai ke perwira-perwira KNIL, yang anggotanya adalah bagian dari masyarakat kolonial. Dalam novel ini, pegawai yang makmur, terutama yang diperkebunan, sering menjadi target cemoohan. Para warga kolonial itu berada di luar ikatan solidaritas unit reguler Belanda yang menjadi tentara dan bertujuan untuk menolong para petani kecil, korban dari gerakan nasionalis teroris dan ekstremis.
Aliansi antara tentara Belanda dan petani kecil merupakan sebuah untaian ideologis yang mengikat novel-novel semacam ini, dan Groen is de oetan jelas adalah contohnya. Menuju akhir dari novel ini, Batalion Letnan Vermeulen menduduki sebuah kampung dalam teritori Republik di mana mereka menemukan dua orang teroris. Keduanya ditembak agar tidak mencelakai masyarakat sipil lainnya. Proses ini berkontradiksi dengan rumor di Belanda bahwa tentara mereka cenderung membakar seluruh desa apabila mereka mencurigai bahwa desa itu menyembunyikan teroris. Tetapi dalam Groen is de oetan, tentara Belanda tidak pernah menjarah kampung. Malahan, mereka membebaskannya. Setelah dua teroris itu tewas, “ . . . sosok-sosok seperti rangka muncul dari semua sudut dan celah desa. Laki-laki, perempuan, anak-anak. Dipenuhi oleh bekas luka, menderita karena malaria, layu dan seperti kerangka. Dan semua orang berteriak pada waktu yang bersamaan: bisakah kami ikut denganmu, toean? Kami ingin pergi, toean, bisakah kami pergi ke tempat lain, toean?”[6] Permohonan para petani ini untuk dievakuasi dari wilayah Republik diceritakan dalam lima belas halaman selanjutnya. Dalam halaman-halaman itu, penekanannya adalah pada kesetaraan ras antara tentara Belanda dan petani Indonesia. Dengan cara sederhana seorang tentara Belanda berkata, menunjuk pada seorang anak kecil, “. . . lihat anak kecil ini, jika ia tidak memiliki kulit cokelat dan tidak dipenuhi bekas luka, kalian akan yakin bahwa ia akan menjadi salah satu saudariku (annakie).”[7] Pada saat yang sama, ia memberikan permen yang dikirimkan oleh ibunya dari Belanda kepada semua anak-anak itu. Sementara itu, anggota batalion Letnan Vermeulen yang kuat, memandu orang-orang yang kuyu, sakit, dan miskin ke daerah yang lebih aman, salah seorang tentara Belanda membantu kelahiran saat perjalanan. Dalam usaha evakuasi itu, para tentara menyadari bahwa mereka kehabisan air, dan ketika seorang tentara meminta minum kepada rekannya, rekannya itu merespon: “Maaf teman, aku telah memberikannya ke anak-anak.”[8]
Setelah menempuh perjalanan jauh yang meletihkan, batalion dan ribuan warga desa akhirnya sampai di pos militer di mana kolonel menunggu mereka. Lalu sang kolonel memberikan pujian:
Tuan-tuan, saya akan pendek saja. Hari ini kita telah menyelesaikan pekerjaan bagus di bawah arahan komandan kalian. Saya mendengar ini tidaklah mudah, tapi kalian berhasil menyelesaikannya. Nanti, kalian akan mengingat kejadian ini ketika kita membaca bagaimana koran-koran di Belanda menggambarkan kita sebagai orang yang sadis dan pembakar kampung-kampung. Ketika kalian mendengar hal-hal itu, jangan gemertakkan gigi kalian, tetapi ingatlah wajah-wajah yang telah kalian selamatkan hari ini, kemudian kepuasan dari perbuatan baik ini akan mengimbangi fitnah di luar sana.[9]
Tema dari novel-novel ini berfokus pada solidaritas yang menyatukan, tidak hanya tentara, tetapi juga perwira, sukarelawan dan sejumlah orang. Tema ini muncul lagi sebelum akhir cerita. Pada halaman terakhir, diceritakan tentang jenazah Kopral Hartjesveld yang ditandu menuju makamnya. Dalam suasana itu, hubungan antara perwira dan anak buahnya digambarkan secara paternalistik, sebuah hubungan ayah-anak yang memang telah muncul sebelumnya. Tanpa diminta, kopral Barend Sallegange melangkah ke depan sementara peti mati di turunkan ke makam, dan dia bicara dengan keberanian seorang anak:
“Saya tahu, ini adalah sesuatu yang janggal saat saya, prajurit rendahan ini, berpidato di sebuah pemakanam,” Barend berkata, “tetapi kita semua berdiri di sini, di pemakaman kopral kita yang juga merupakan sahabat kita dan saya ingin menyampaikan sesuatu. Kita tahu bahwa Kopral seperti beliau tidak akan pernah bisa ditemukan lagi, dan itu benar. Karena kepeduliannya seperti seorang ayah, dan ia selalu sabar dengan ketidakpatuhan kita. Sekarang ia tak lagi memandu kita dalam patroli tetapi ia akan selalu bersama kita. Atas nama anggota dari grup ini, saya ingin mengatakan: Kopral Hartjesveld, istirahatlah dengan tenang.”[10]
Apa yang menjadi jelas dalam bagian ini adalah penyangkalan bahwa tentara adalah tentara serta penyangkalan bahwa peperangan ini adalah perang. Kepada siapa penyangkalan ini dialamatkan? Kepada orang-orang di Belanda di mana kritik, baik yang dibicarakan di rumah atau di tempat pangkas rambut atau kadang-kadang ditulis di koran-koran, mulai mengarah pada ekses (atau kejahatan perang) yang telah dilaporkan melalui surat-surat pribadi, rumor, dan tentang laporan-laporan jumlah orang Belanda yang terluka dan tewas.
Tidak semua kritik terhadap perang bersifat fiktif. Kami mencatat publikasi dari sebuah surat oleh Kapten Zweeres dalam leftist weekly De Groone Amsterdammer, pada 25 Februari 1949. Dalam surat ini, Kapten menggambarkan tindakan tentara Belanda yang “berlebihan.”[11]
Laporan-laporan dan rumor itu harus ditangkal. Salah satu cara menyangkalnya adalah dengan memanipulasi pers. Hal itu tidak terlalu sulit, karena tanpa bantuan dari tentara, seorang jurnalis tidak akan bisa turun ke lapangan. Para reporter, kebanyakan dari mereka masih muda dan tidak berpengalaman, umumnya percaya dengan apa yang dikatakan oleh tentara. Dan tentara sendiri juga memiliki reporter, yang menulis pernyataan-pernyataan yang dimuat oleh hampir semua koran-koran. Tidak ada ketegangan antara jurnalis yang agresif dan perwira militer yang berbohong, tetapi yang ada adalah antara jurnalis dan perwira pada satu sisi dan politisi di sisi lain. Politisi merusak permainan, mereka bernegosiasi ketika tentara bertarung dan mereka membuat perjanjian tepat pada momen ketika tujuan militer hampir tercapai.[12]
Ciri khas pendekatan jurnalis Belanda[13] untuk Revolusi dapat dilihat dari laporan-laporan yang ditulis oleh Willem van der Pol, yang dikumuplkan dalam bukunya Kerels van ded daad (Fellow in action) yang diterbitkan pada 1947. Dalam buku ini, van der Pol menyoroti seorang pemuda yang membayangkan mengapa lebih banyak orang Belanda yang tidak mau menjadi sukarelawan militer di Hindia-Timur:
Saya yakin, bahwa mereka bisa duduk di sini dan melihat kekacauan dan penderitaan yang sama-sama kita hadapai setiap hari, kemudian mereka secara bersemangat menjadi sukarelawan. Tentu saja, selalu ada orang-orang lemah yang hanya ingin pergi ke bioskop dan berdiri di pojok jalan pada malam hari dalam gelap (penulis mencatat: menjual barang-barang di pasar gelap). Tapi mari bayangkan bagaimana orang-orang Kanada melihat hal tersebut. Mereka juga sukarelawan, bukan? Dan apakah situasi di sini berbeda? Saya tidak peduli dengan politik, tetapi apakah itu alasan membiarkan orang-orang mati di sini? Jika boleh, saya akan membawa anda ke tempat tidak jauh dari sini di mana orang-orang sekarat karena mereka tidak berani untuk melarikan diri. Mungkin kita bisa membujuk dan membawa mereka ke tempat yang lebih aman. Tetapi untuk saat ini, mereka bahkan tidak berani untuk sekadar makan bersamamu karena itu berarti akan membawa mereka ke kematian jika melakukannya.[14]
Tema yang sama memenuhi kumpulan laporan yang ditulis oleh J. W. Hofwijk pada 1947 yang berjudul De Hitte van de dag: onze sildaten in Indie (in the Heat of the Day: Our Soldier in the Indies).[15] Hofwijk adalah seorang reporter untuk de Maasbode, sebuah koran untuk masyarakat kelas menengah Katolik dan Catholic People’s Party. Partai itu menerapkan kebijakan konservatif untuk Indonesia sehingga sulit untuk dikontrol oleh Partai Buruh Sosial-Demokrat dalam koalisi pemerintah. Tetapi menurut opini dari perwira Belanda di Batavia sendiri, baik kebijakan ragu-ragu dari pihak sosial-demokrat maupun sangat konservatif dari Partai Katolik, keduanya sama-sama lemah. Orang yang paling mewakilkan sikap Komando Angkatan darat dan usahaya yang lebih jauh untuk mendapatkan kekuasaan lebih adalah Komandan dan Ketua Departemen Perang Hindia Belanda, Jenderal Hendrik Simon Spoor, seorang pemimpin yang dikagumi oleh Hofwijk dan dimuliakan Van Rossum dalam Groen is de Oetan.
Sebagai seorang wartawan perang, Hofwijk hanya bisa menyimpan laporan-laporannya atas izin dari Layanan Informasi Militer di batavia, yang mengawasi transportasinya dan kontak dengan para tentara. Hofwijk, untuk memenuhi kebutuhannya, mengikuti arahan itu. Dinilai dari laporan-laporan Hofwijk, tidak pernah ada kekuatan militer yang murah hati, bergembira dan terhormat berjuang untuk alasan itu. Orang-orang kita [Belanda] di Hindia-Belanda berusaha untuk mengejar perjuangan yang mulia. Apabila ini memang perang, maka ini adalah perang yang terhormat.
Namun, deskrpisi Hofwijk untuk aksi-aksi ini merupakan sebuah pernyataan yang ambivalen yang mendasar mengenai perang itu sendiri: “Berdasarkan perspektif saya, perang berkecamuk di sekitar ketakutan dan kematian dan kesendirian. Terdiri dari persaudaraan, keberanian dan hasrat untuk tetap hidup. Tetapi hal yang dominan justru darah, keringat dan kesendirian.”[16] Tetapi ia membiarkan dirinya mengekspresikan hal yang ambivalen tentang kualitas kemuliaan serta tujuan dan metode terhormat tentara Belanda. Peperangan mereka tidak bersandar pada agresi dan tidak bersifat ofensif. Hofwijk mengggambarkan perang kolonial tentara Belanda sebagai model yang sama dengan pasukan pembebasan sekutu; usaha ini tidak sama dengan agresi yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Jerman dan Jepang. Menurut Hofwijk, perang ini didedikasikan untuk menolong orang-orang Indonesia yang miskin, tidak berdosa dan buta politik yang diancam oleh sekelompok orang kampung yang terobsesi dengan politik. Kegiatan politik, pada akhirnya, adalah pemberian Tuhan sebagai “Beban Kulit Putih” untuk memelihara dan memerintah saudara kulit cokelat kecil mereka karena mereka belum cukup dewasa untuk melakukan aktivitas politik. Ini adalah pesan-pesan politis dan militer yang Hofwijk coba sampaikan kepada para pembacanya dalam upaya untuk mengubah kesan bahwa perang tidak hanya sebuah pertarungan antara pasukan, tetapi juga melawan pemerkosa, penjarah, penyiksa dan pembunuh orang-orang desa tak bersalah. Hofwijk dengan berhati-hati membenarkan siapapun yang memiliki pandangan seperti itu. Dia secara mengagumkan mengutip seorang tentara yang mendeskripsikan situasi di Belanda dengan cara seperti ini: “Aku harap mereka cukup berani meneriaki kami ketika kembali! Itu akan terjadi. Jika saja para iblis menyedihkan itu bisa mengunjungi kampung yang kami seharusnya serang. Orang-orang kampung itu, sama seperti kita, lebih baik dibandingkan kompatriot kami yang ada di Belanda.”[17] Seorang tentara lainnya mengaku: “Aku merasa kami berperang di dua front. Dan ketika kamu berada di sebuah pos atau kampung dan kamu mengalami kesulitan dan kesendirian, lalu tidak ada yang lebih menyedihkan mengetahui bahwa orang-orang di Belanda tidak benar-benar mendukungmu,”[18]
Jelas ini adalah hal yang aneh. Terutama bahwa pasukan Belanda di Hindia harus melindungi dirinya melawan negeri induk yang sama: Kerajaan Belanda. Pertahanan harus dimobilisasi di dua front: dalam arena politik dan dengan domain opini publik. Hal ini menjadi bukti bagi laporan-laporan jurnalis bahwa terdapat ketegangan antara komandan militer di Batavia, yang secara rutin meminta pemerintah di Belanda untuk mendukung aksi militer yang lebih keras, dengan politisi di Den Haag, yang bermanuver secara hati-hati karena masyarakat Belanda memandatkan aksi polisionil, bukannya perang habis-habisan.
Catatan kaki:
[1]Rossum.
[2]Rossum, hal. 7–8.
[3]Rossum, hal. 11.
[4]Rossum.
[5]Rossum, hal. 124.
[6]Rossum, hal. 211.
[7]Rossum, hal. 213.
[8]Rossum, hal. 214.
[9]Rossum, hal. 224.
[10]Rossum, hal. 239.
[11]Tessel Pollmann, “Ko Zweeres, dissident tegen wil en dank,” in in Bruidstraantjes en andere Indische geschiendenissen (’s Gravenhage: SDU, 1999), hal. 125.
[12]Tessel Pollmann, “Oorlogsmisdaad of exces,” in Bruidstraantjes en andere Indische geschiendenissen (’s Gravenhage: SDU, 1999), hal. 104.
[13]H. Verstraaten, “De oorlogsverslaggevers van 1947,” Vrij Nederland, 5 Juli 1980.
[14]Willem van de Pol, Kerels van de Daad (’s Gravenhage: W. van Hoeve, 1947). Lihat bab: “On Jawa.” (halaman dalam buku tidak diberikan)
[15]J. W. Hofwijk, Dit hitte van de dag;onze soldaten in Indonesia (Heemstede: De Toorts, 1947).
[16]Hofwijk, hal. 8.
[17]Hofwijk, hal. 19.
[18]Hofwijk.
Bibliografi
Bank, J., ed., De Excessennota, nota betreffende het archiefonderzoek naar de gegevens omtrent excessen in Indonesie begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950 (Den Haag: SDU, 1995)
Bezemer, T. J., Beknopte Encyclopaedic van Nederlands Oost-Indie (’s Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1921)
Doom, J. A. A., dan W. J. van en Hendrix, Het Nederlands lndonesisch Conflict; ontsporing van geweld (Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 1983)
Graaff, Anton de, De heren worden bedankt, met het vergeten leger in Indie (Franeker: Van Wijnen, 1986)
Helvoort, A. van, De verzwegen oorlog. Dagboek van een hospik in Indie 1947-1950 (Groningen: Xeno, 1988)
Hofwijk, J. W., Dit hitte van de dag;onze soldaten in Indonesia (Heemstede: De Toorts, 1947)
Jong, L. de, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog, (Leiden: Martinus Nijhoff, 1988)
Pol, Willem van de, Kerels van de Daad (’s Gravenhage: W. van Hoeve, 1947)
Pollman, Tessel, “The Unreal War: The Indonesian Revolution Through the Eyes of Dutch Novelist and Reporters,” Indonesia, 69 (2000)
Pollmann, Tessel, Bruidstraantjes en andere Indische geschiedenissen (Den Haag: SDU, 1999)
———, “Ko Zweeres, dissident tegen wil en dank,” in in Bruidstraantjes en andere Indische geschiendenissen (’s Gravenhage: SDU, 1999)
———, “Oorlogsmisdaad of exces,” in Bruidstraantjes en andere Indische geschiendenissen (’s Gravenhage: SDU, 1999)
Rossum, G. M., Groen is de Oetan (Leiden: J. J. Groen & Zoon N. V., 1947)
Verstraaten, H., “De oorlogsverslaggevers van 1947,” Vrij Nederland, 5 Juli 1980