Hakim Konstitusi adalah satu-satunya jabatan yang mensyaratkan kualifikasi negarawan di republik ini. Bersama nilai kenegarawanan itu, untuk menjabat Hakim Konstitusi, seseorang juga harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela seraya menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Kualifikasi tingkat tinggi itu merupakan amanah langsung dari Pasal 24C Ayat (5) UUD 1945 dan dinyatakan kembali dalam UU MK. Hal itu meniscayakan rekrutmen Hakim Konstitusi yang dilakukan secara ketat.
Namun, langkah serampangan DPR yang mengganti Hakim Konstitusi Aswanto di tengah jalan dengan Guntur Hamzah, adalah persoalan ketatanegaraan yang serius. Sialnya, Guntur yang sebelumnya menjabat Sekretaris Jenderal MK (Mahkamah Konstitusi) tidak hanya menyatakan kesediaannya kepada Komisi III, ia juga dengan sukacita menyambut Keppres pelantikannya pada 23 November lalu. Lantas, dengan pengalamannya sebagai Sekretaris Jenderal MK, dapatkah Guntur disebut sebagai negarawan sedangkan kenyataannya ia paham benar aturan main sekaligus kecacatan di balik naiknya dia menggantikan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi?
Inkonstitusional
DPR setidaknya melakukan dua pelanggaran dalam pencopotan Aswanto. Pertama, pelanggaran prosedural. Bahwa pemberhentian Hakim Konstitusi karena berakhirnya masa jabatan seharusnya melalui proses pemberitahuan kepada lembaga pengusul beberapa bulan sebelum masa jabatan jatuh tempo. Rentang waktu itulah nantinya yang digunakan oleh lembaga pengusul untuk melakukan seleksi calon Hakim Konstitusi yang dilakukan secara transparan untuk menjabat seketika pendahulunya selesai bertugas. Kedua, pelanggaran materiil. Bahwa Pasal 87 huruf b UU MK mengatur ihwal masa jabatan Hakim Konstitusi hingga berusia 70 tahun atau tidak melebihi masa jabatan selama 15 tahun.
Pemberhentian Aswanto juga tidak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur Pasal 23 Ayat (1) UU MK, dan ia tidak pula melakukan pelanggaran sehingga dapat diberhentikan dengan tidak hormat sebagaimana diatur pada Ayat (2) di pasal yang sama. Jikalau alasan DPR yang menilai Aswanto tidak memiliki loyalitas kepada lembaga pengusulnya, dalih itu juga tidak termasuk dalam alasan agar ia dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Bahkan, bilamana Aswanto memang melakukan pelanggaran sehingga ia dapat diberhentikan dengan tidak hormat, Pasal 24 UU MK mengharuskan adanya tahapan pemberhentian sementara yang didahului dengan surat Ketua MK kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres. Jika sekiranya Hakim Konstitusi yang bersangkutan terbukti melakukan pelanggaran, Pasal 23 Ayat (3) UU MK bahkan memberinya kesempatan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan MK. Proses inilah yang nihil dalam pencopotan Aswanto.
Mengukur Kenegarawanan Guntur
Sebagai orang yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal MK, Guntur seharusnya paham bahwa langkah yang diambil DPR dalam memberhentikan Aswanto dari Hakim Konstitusi adalah persoalan ketatanegaraan serius. Dari sisi legalitas administrasi, Guntur seharusnya paham bahwa Presiden selayaknya mengabaikan keputusan DPR dengan tidak menerbitkan Keppres pengangkatan dirinya, karena tidak ada konsekuensi konstitusional bagi Presiden jika tidak mengikuti keputusan DPR yang menyalahi UUD 1945 dan UU MK. Sebab, surat MK kepada DPR semata tindakan hukum berupa konfirmasi bahwa tiga Hakim Konstitusi usulan DPR mengalami perpanjangan masa jabatan sebagai imbas perubahan UU MK. Masing-masing ialah Wahidudin Adams pada tanggal 17 Januari 2024, Arief Hidayat pada tanggal 3 Februari 2026, dan Aswanto pada tanggal 21 Maret 2029.
Namun kenyataannya, Guntur mengetahui maksud DPR mencopot Aswanto tidak lain karena loyalitasnya yang dipertanyakan, bahwa Aswanto kerap menganulir produk hukum DPR. Kenyataan itu adalah wujud usaha DPR untuk mengendalikan MK dengan memasang Guntur yang dapat dikendalikan dari Senayan. Dengan kenyataan yang telah terkonfirmasi langsung dari DPR, lantas dengan apa Guntur dapat memberi garansi bahwa kehadirannya di Medan Merdeka akan independen dan imparsial?
Kalaulah independensi dan imparsialitas Guntur diletakkan sebagai nilai ideal yang nisbi, setidaknya jalan yang dibukakan oleh DPR bagi Guntur untuk duduk di kursi Yang Mulia Hakim Konstitusi dapat menjadi parameter kenegarawanan Guntur yang tergadai oleh jabatan semata.
Setelah Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022
Beberapa jam setelah pelantikan Guntur, MK membacakan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022. Menariknya,dalam putusan pertama yang melibatkan Guntur sebagai Majelis Hakim Konstitusi itu, MK menyatakan bahwa pemberhentian di luar ketentuan Pasal 23 UU MK adalah inkonstitusional. Putusan itu seyogianya merupakan tamparan keras bagi Guntur yang menjadi Hakim Konstitusi secara inkonstitusional. Namun apa harap, MK yang sudah berada dalam pusaran politik kepentingan bisa saja di lain hari mendalilkan bahwa putusan itu tidak berlaku surut.
Dapatkah kita berharap banyak pada Guntur yang bermain sebagai pion dalam langkah DPR yang mengangkangi konstitusi? Publik sendiri belum sepenuhnya beranjak dari isu etis Ketua Hakim Konstitusi yang menjadi semenda Presiden. Kini, setidaknya terdapat dua orang Hakim Konstitusi yang menjadi pelengkap drama peradilan konstitusional Indonesia yang kian hari semakin menyerupai fraksi politik di cabang yudikatif. (*)
Ilustrasi Talia Bara