Reportase

Yang Magis dalam Naskah dan Pertunjukan Roh

Pertunjukan Roh oleh Teater Balai Bukittinggi

Antara

Dalam pengantar naskah drama Roh, Wisran Hadi menyebutkan bahwa drama karyanya tersebut  dikembangkan dari pengobatan tradisional yang bernama Tagak Balian, tradisi pengobatan yang berinteraksi dengan roh, arwah, atau mahkluk gaib melalui perantara. Selain itu, ia juga menuliskan tradisi Basapa, mengunjungi tempat keramat, sebagai bahan yang dikembangkan dalam drama ini.

Kepercayaan terhadap roh, arwah, makhluk gaib, atau suatu tempat keramat merupakan kebiasaan yang erat dengan kebudayaan animisme. Yang juga eksis pada masyarakat sebelum pemikiran modern berkembang. Modernisme yang mengutamakan rasionalitas berdasarkan empirisme dan materialisme meminggirkan kepercayaan terhadap hal magis tersebut. Sehingga hal magis merupakan bukan yang akal sehat, bukan yang empiris, dan bukan yang materil, melainkan dipinggirkan, ditolak, dan selalu berseberangan dengan rasionalitas.

Meskipun itu ada, dalam kesenian modern, hal magis biasanya hadir sebagai yang liyan, kehadirannya dianggap sebagai bukan bagian dari “kita”, atau selalu dihadirkan dengan bentuk dan penekanan yang berlebihan. Seperti bagaimana yang magis dibingkai dalam fiksi horor.

Belakangan, kritik terhadap modernisme turut mengembalikan posisi yang magis ke tengah kehidupan. Tidak hanya rasionalitas yang ada, hal magis pun ada. Ia diposisikan sebagai bagian dalam masyarakat, bagian dalam realitas. Dalam kesenian, bentuk dari sikap seperti itu disebut sebagai realisme magis. Secara sederhana, realisme magis cenderung membingkai yang magis tidak dengan intensi berlebihan, melainkan sebagai yang biasa saja, layaknya kehidupan realitas apa adanya.

Naskah drama Roh karya Wisran Hadi, tidak hanya secara sadar sedang membingkai yang magis (dengan menyebutkan secara eksplisit tradisi yang berhubungan dengan magis pada bagian pengantar naskah), namun turut juga merepresentasikan yang magis sebagai bagian dari realitas dengan menggabungkan keduanya. Selain itu, kemunculannya juga tidak menunjukan intensi untuk memisahkannya sebagai yang liyan. Hal itu bisa dilihat pada babak pertama. Di sana interaksi antara Ibu Suri dengan Manda sama dengan sebagaimana Ibu Suri berinteraksi dengan roh yang merasuki Manda (Tokoh I), mereka berkomunikasi secara langsung, bersamalam, dan bertatap muka, dst. Saat mempersoalkan kepercayaan terhadap yang mistis tersebut, Wisran Hadi mengontraskannya dengan ajaran Islam, bahwa kepercayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Perantara                                                          

Dalam Roh, Manda merupakan tokoh yang menjadi perantara antara dunia riilnya Ibu Suri dengan dunia roh. Manda memungkinkan Ibu Suri untuk berkomunikasi dengan roh-roh untuk menanyakan tentang Suri. Pada awalnya, distingsi jelas terlihat bahwa Manda merupakan tokoh fisik/material seperti Ibu Suri, dengan kemampuan bisa menjadi wadah bagi roh untuk mewujudkan diri. Meskipun begitu, “kematerialan” Manda pada bagian akhir dikaburkan dengan munculnya Manda dari tubuh berselimut kain kafan yang dibongkar dari dalam kubur, padahal sebelumnya Manda telah pergi keluar dari panggung.

Dengan begitu, Wisran Hadi, alih-alih mengontraskan yang material dengan non material (magis), melalui Manda ia meleburkan batas antara keduanya. Manda menjadi representasi dari sikap terhadap magis yang merupakan bagian dalam realitas yang tak terelakan, satu padu dalam realitas, tidak terpinggirkan seperti modernitas yang menenggelamkan.

Bagaimana pertunjukan teater Roh pada penyelenggaraan Gelar Karya Budaya 2021 mempertaruhkan visi Wisran Hadi terhadap yang magis ke dalam panggung?

Gelar Karya Budaya 2021 menampilkan delapan pertunjukan dengan naskah drama yang ditulis Wisran Hadi oleh berbagai kelompok teater di Sumatera Barat. Perhelatan tersebut pula disiarkan secara daring di kanal Youtube Lembaga Bumi Kebudayaan. Sementara, naskah drama Roh ditampilkan oleh Teater Balai Bukittinggi pada 7 November 2021 di ISI Padang Panjang.

Dari awal pertunjukan, tokoh-tokoh roh hadir dengan pakaian serba putih (layaknya penggambaran roh dalam naskah), tetapi lipatan kain putih itu pada tubuh pemain memakai lipatan yang identik dengan visual pendekar zaman dahulu seperti dalam film silat di televisi, bukan pakaian silat Minangkabau. Selain itu, dalam gerakan-gerakan acak masing-masing pemain, sering terlihat gerakan silat. Pakaian dan gerakan ini justru menghubungkan roh dengan kependekaran silat, yang tidak punya relasi signifikan dengan persoalan Ibu Suri mencari Suri atau para roh yang mewakili tokoh tertentu dalam literatur Minangkabau. Ada pun Wisran Hadi menyebutkan Randai di dalam naskahnya, bentuk yang dihadirkan pertunjukan tidak terlihat berelasi dengan Randai, meskipun sesekali ada pola bulatan yang dibentuk oleh para roh.

Pada bagian awal, para roh duduk berbaris membentuk garis lurus yang membagi panggung depan dan belakang. Manda mengambil posisi di tengah belakang, sementara Ibu Suri datang dari kiri dan berdiri di dekat Manda. Saat adegan masuk pada interaksi antara Ibu Suri dan roh-roh, panggung masih terbagi menjadi dua. Roh pertama (Tokoh I) maju ke depan dan berbicara ke arah depan, sementara Ibu Suri masih di bagian belakang dan berbicara ke arah mana-mana. Selain barisan roh yang membagi ruang dalam panggung dan cara komunikasi keduanya, pencahayaan ikut mempertegas ruang yang terpisah tersebut dengan warna yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu Ibu Suri dan roh berkomunikasi.

Dalam naskah, komunikasi antara Ibu Suri dengan roh dideskripsikan secara langsung seperti bagaimana Ibu Suri berbicara dengan Manda, dengan jelas tidak membedakan dan memisahkan komunikasi antara keduanya. Sementara, dalam pertunjukan Roh interaksi mereka terjadi dalam dua ruang yang berbeda, dua alam yang berbeda; satu alam realitas (Ibu Suri & Manda) dan satu lagi alam roh (magis).

Jika Wisran Hadi dalam naskahnya berusaha menghadirkan yang magis sebagai bagian dalam dunia realitas, maka Teater Balai Bukittinggi mengulangi kembali apa yang dilakukan modernitas terhadap magis: membedakan antara yang ril dan yang magis, membuat jarak kepada yang magis, dan memposisikannya sebagai yang liyan.

Bentuk seperti itu terus berlanjut hingga masuk ke babak tiga. Pada babak ini, Ibu Suri ingin memanggil para roh tanpa bantuan Manda. Dalam pertunjukan, Ibu Suri mulai menginjak panggung depan, ruang para roh bergerak dan berbicara. Ibu Suri mulai berinteraksi dengan para roh secara langsung tanpa membagi ruang. Sekilas tampak bahwa pertunjukan, setelah membagi ruang, kemudian melebur ruang tersebut. Tetapi, kenapa Wisran Hadi tidak “membedakan” ruang tersebut sepanjang naskah, sementara pertunjukan meleburnya di bagian tertentu?

Bentuk peleburan tersebut terjadi karena dipaksa oleh narasi (secara eksplisit) yang sedang berjalan. Pembagian ruang hanya mungkin ketika Manda sebagai perantara hadir dalam narasi. Ketika Manda tidak hadir, tidak ada alasan untuk membuat jarak, pembagian tidak mungkin lagi dilakukan, sehingga harus dilebur.

Dengan kata lain, sikap Wisran Hadi terhadap yang magis dari awal sudah diperlihatkan, sementara pertunjukan roh memperlihatkan sikap Wisran Hadi tersebut ketika narasi yang eksplisit memaksanya begitu.

Antara Lain

Ramadhani, dalam tulisannya Gerak Panggung Bumi dan Daya Visual Wisran Hadi[1], memperlihatkan bahwa bagi Wisran Hadi ruang dan visual selalu mempunyai relasi konsekuen dan estetis dengan narasi . Meskipun itu dilihat dari beberapa foto dan ingatan terkait beberapa pementasan yang pernah digarap oleh Wisran Hadi. Sayangnya, Wisran Hadi tidak pernah memanggungkan naskah Roh, sehingga tidak ada referensi panggung dan visual yang dapat dibaca dan dibandingkan dengan perkembangan sekarang.

Gelar Karya Budaya 2021 yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Bumi, serta beberapa acara yang pernah diselenggarakan pada tahun sebelumnya, selalu diadakan dalam kerangka membahas segala sesuatu terkait dengan Wisran Hadi. Hal itu jelas memperlihatkan bentuk pemberian tugas kepada generasi sekarang untu setidaknya mencontoh, atau mengeksplorasi karya dan pemikiran Wisran Hadi yang ditinggalkannya. Tetapi dari apa yang terbaca dalam pertunjukan Roh, untuk mencontoh saja belum sampai, apalagi melangkah melampaui. Sebaliknya, yang ada hanya ketersesatan.

Daripada tersesat dalam kata dan kalimat Wisran Hadi yang sering berulang dengan sedikit penukaran, saya menawarkan untuk melihat karya Wisran Hadi dengan konteks sekarang. Seperti naskah Roh ini, tidak hanya bisa dilihat sebagai pembicaraan magis, tetapi juga bisa dibayangkan sebagai bagaimana interaksi manusia dengan teknologi informasi. Manda merupakan representasi yang pas untuk membicarakan telepon pintar, dst. Selain itu, Roh juga bisa menjadi jembatan untuk menengok apa yang terjadi di masa lampau (PRRI atau Paderi misalnya), dengan memperlakukan tokoh roh sebagai narasumbernya. Dan masih banyak lagi kemungkinan.

 

 

[1] Tulisan Ramadhani merupakan salah satu naskah terbaik pada Lomba Esai Bumi Teater 2019.https://klikpositif.com/baca/60809/gerak-panggung-bumi-dan-daya-visual-wisran-hadi.html diakses pada 23 November 2021.

 

About author

Mahasiswa Pascasarjana Cultural Studies di Universitas Indonesia
Related posts
Reportase

Tunduk Pada Tanah: Mengaliri yang Kering dengan Seni Pertunjukan

Reportase

Yang Tersuruk dan Terpuruk: Kisah Transpuan di Sumbar

Reportase

Suatu Siang di Senen Bersama Ihsan Puteh 

Reportase

Menebas Jarak di Festival MenTari #3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *