Sebagai seorang (yang mengaku) sinefili yang senang mengikuti perkembangan film, saya merasa antusias ketika mendapat informasi tentang sebuah diskusi yang berjudul “Ekosistem Kreatif” pada 31 Maret 2021 di Padang, sehari setelah Hari Film Nasional. Apalagi beberapa minggu sebelum itu, sedang hangat tanggapan untuk Surat Terbuka atas Nama Insan Film Indonesia untuk presiden Joko Widodo yang intinya mengharapkan pemerintah untuk membantu bidang film. Sahabat Seni Nusantara kemudian mengadakan diskusi Surat Terbuka Insan Film dan Pemulihan Industri Film untuk membahas isu tersebut. Di sana, Adrian Jonathan (yang sebelum diskusi itu telah membahas hal tersebut dalam sebuah artikel di Cinemapoetica.com) memperluas lingkup film, bukan hanya pekerja film dan bioskop yang disebutkan dalam surat terbuka, tetapi apa-apa yang ada dalam ekosistem film. Di akhir diskusi, ia bertanya soal bagaimana sebetulnya kondisi film di daerah saat pandemi ini; soal bagaimana keadaan ekosistem film di daerah yang sebelum pandemi demikian bergairah.
Karena itu, adanya diskusi yang berjudul Ekosistem Kreatif yang diadakan oleh Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Sumatra Barat dengan nama-nama pembicara yang akan berbicara di acara ini, seakan menjadi jawaban atas keingintahuan Adrian tersebut.
Pembicara dalam diskusi Ekosistem Kreatif ialah Fadly Amran (Ketua PD PARFI Sumbar), Novrial (Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sumbar), Marwin (Ketua Komisi Film Daerah Padang), Rita Gusfeniza (GM Padang TV), dan Ryancapu (Sutradara film).
Sebelum acara Ekosistem Kreatif, di Sumbar sudah ada Sako Academy yang turut memperingati Hari Film Nasional dengan mengadakan Pameran Usmar Bukittinggi dalam rangka 100 Tahun Usmar Ismail, pada tanggal 20 sampai 31 Maret di Bukittinggi. Sementara itu, Pintu Cokelat mengadakan pemutaran film Indus Blues, The Forgotten Music of Pakistan pada 30 Maret di Padang. Setelah itu, diskusi Ekosistem Kreatif pada 31 Maret, yang saya kira selain akan menyambut pertanyaan Adrian Jonathan, memang urgen dilakukan pada saat pandemi ini.
Diskusi Ekosistem Kreatif diadakan secara luring, daring, dan ditayangkan di Padang TV. Karena acaranya di Padang, saya datang ke lokasi acara di Jl. Bandar Purus No. 75. Malam itu, dari luar tampak sebuah pengeras suara mengarah keluar, saya masuk dan mencari bangku kosong sambil memperhatikan beberapa layar yang dipasang di ruangan itu. Satu layar TV untuk melihat apa yang sedang ditayangkan TV dan satu layar agak besar ditembak oleh proyektor. Dan banyak kru TV di sana-sini, ada yang mengoperasikan kamera, di depan komputer, dsb. Di sisi lain ada sebuah meja yang agak panjang dipenuhi oleh bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya kira itu merupakan para pembicara.
Acara pun dimulai dengan sambutan dari Ketua Parfi, Fadly Amran. Setelah itu, masuk agenda selanjutnya, peresmian sekretariat baru Parfi di sana. Orang-orang di ruangan itu pun serentak pergi ke arah belakang, saya terus memutar kepala dan melihat ritual pemotongan pita di depan sebuah pintu. Saya tidak tahu bagaimana menanggapi hal tersebut, apakah harus ikut atau apa, sehingga saya keluar saja dan membakar sebatang rokok sambil menunggu agenda selanjutnya.
Belum sampai setengah terbakar rokok saya, sebuah film pun diputar. Saya hisap beberapa kali dahulu, kemudian masuk ke dalam. Tidak sempat melihat apa yang diperlihatkan film itu, layarnya seketika menjadi biru, tampak tulisan “NO SIGNAL”, sementara suara dialog dan suara latar film terus terdengar. Di saat yang sama, layar TV mengalihkan sorotannya kepada penonton yang bingung melihat layar biru. Mungkin ini namanya film biru secara literal, olok saya sambil membayangkan sebuah meme. Sesaat muncul adegan seorang lelaki melamar seorang perempuan. Sesaat layar kembali membiru. Layar TV kembali menyorot wajah penonton, ada yang masih bingung dan ada yang tidak peduli lagi. Sesaat muncul adegan dua perempuan sedang berbicara sambil tiduran di atas kasur. Kemudian film habis. Tepuk tangan menyambut. Subhannallah.
Sambil mengucap itu, terlintas ingatan saya dalam suatu pemutaran yang punya permasalahan teknis. Saat itu, salah satu penyelenggara meminta maaf dan memutar kembali dari awal filmnya. Tidak sekali saya bertemu dengan komunitas yang memutarkan film dengan sungguh-sungguh. Padahal mereka itu komunitas kecil yang bertungkus lumus menyewa alat, mencari film, mencari pembicara, mengajak penonton, dan mengatur lokasi pemutaran agar bisa memberikan pengalaman menonton yang baik serta menjadikan ruang tersebut sebagai tempat diskusi yang nyaman. Setidaknya film yang didapat dengan berbagai usaha itu bisa ditayangkan dengan baik-baik. Bagi saya itu merupakan usaha apresiasi film yang patut diapresiasi kehadirannya dalam ekosistem film.
Lantas bagaimana acara Ekosistem Kreatif membicarakan persoalan film di Sumbar setelah mengapresiasi film dengan cara seperti itu?
Karena hanya ada lima kursi di pentas dan ada dua pembawa acara maka pembicara pun digilir. Majulah tiga nara sumber pertama; Fadly Amran, Novrial, dan Marwin, kemudian Marwin ditukar dengan Rita Gusfeniza, dan terakhir ditukar dengan Ryancapu.
Selama satu jam para pembicara di diskusi Ekosistem Kreatif itu tidak ada yang menyinggung secara menyeluruh soal ekosistem. Hanya Fadly amran yang sedikit membahas persoalan terkait ekosistem. Ia mengatakan bahwa nanti Parfi akan membentuk badan pelatihan, mendorong produksi film indi lokal, dan memberdayakan sineas agar bisa unjuk gigi di nasional. Tanpa menjelaskan badan pelatihan seperti apa yang akan dibuat dan apa yang terjadi di sisi edukasi film di Sumbar, seperti di pendidikan tinggi serta komunitas-komunitas. Bagaimana mencapainya jika apa yang dimaksud mendorong dan memberdayakan film lokal ini masih abstrak.
Selanjutnya, Novrial mengatakan saat ini Dinas Pariwisata masih fokus pada pariwisata, dan masih membentuk regulasi terkait dengan ekonomi kreatif. Oke. Jadi, Dinas Pariwisata ikut dalam acara Ekosistem Kreatif hanya untuk menyampaikan bahwa Dinas Pariwisata nanti akan ikut serta.
Tidak kalah serius, Marwin menyampaikan bahwa Komisi Film Daerah Padang akan membangun ekosistem perfilman. Ketika mendengar hal tersebut saya langsung berkata “akhirnya,” ada juga yang mengujar “ekosistem film.” Marwin melanjutkan, kita berharap bisa membangun ekosistem industri film, membuat database lengkap, kemudian kita tawarkan kepada rumah produksi film di sana untuk produksi film di Sumbar, kita siap melayani.
Mungkinkah begini, apakah maksud Marwin adalah membangun ekosistem industri film dengan membuat database lengkap agar rumah produksi sana bisa syuting di Sumbar? Jadi, maksud ekosistem di sini adalah ketika rumah produksi sana bisa syuting di Sumbar? Jadi, tidak ada sineas Sumbar yang bisa membangun ekosistem? Jadi, maksud database ini adalah data tempat syuting di Sumbar? Jadi, Komisi Film Daerah Padang adalah pelayan rumah produksi sana saat syuting di Sumbar?
Lagipula, dengan Surat Terbuka atas Nama Insan Film Indonesia untuk Presiden Joko Widodo yang mengetengahkan, dalam bahasa Adrian Jonathan, tiarapnya bisnis bioskop akibat pandemi, menyiratkan “rumah produksi sana” sedang mengalami krisis pula. Lalu, KFD menyambung persoalan itu dengan menawarkan mereka database Sumbar agar “ekosistem industri film” di Sumbar dapat terbangun?
Benar-benar jenius.
Dua pembicara selanjutnya tidak pula ada membahas ekosistem. Rita Gusfeniza mengatakan bahwa Padang TV bersedia menayangkan film Sumbar terutama produksi anak sekolah. Kemudian, Ryancapu, yang sekonyong-konyong mengaku mewakili seluruh sineas di Sumbar, bersemangat untuk memajukan film di Sumbar. Padahal soal bagaimana strategi kongkretnya itu yang justru perlu didiskusikan dalam acara pada Hari Film Nasional.
Dengan judul Ekosistem Kreatif itu, saya kira setidaknya akan menyinggung bagaimana kondisi ekosistem yang ada sekarang, kemudian mendiskusikan bagaimana usaha yang dapat dilakukan. Tidak pula berharap bagaimana membentuk ekosistem yang ideal, berjalan saja ekosistem itu sudah syukur. Akan tetapi, begitulah.
Jadi apa sesungguhnya ekosistem film itu?
“Pengalaman saya belakangan ini, banyak orang yang menggunakan istilah itu tetapi hanya menjadi kata-kata yang sedang tren saja padahal wujudnya ada,” ungkap Hikmat Darmawan kepada Adrian Jonathan dalam diskusi Surat Terbuka Insan Film dan Pemulihan Industri Film.
Benar pengalaman Hikmat Darmawan tersebut. Ekosistem ini hanya sebatas kata yang keren ketika digunakan. Memang bahasa bersifat manasuka dalam percakapan sehari-hari. Tetapi sifat manasuka itu akan mengakibatkan hasil yang manasuka pula, tanpa menyinggung ekosistem itu seperti apa, apakah sudah ada ekosistem itu di Sumbar, lalu bagian apa yang mesti dibangun atau diperkuat, dst.
Kiranya di Sumbar permasalahan yang harus dihadapi belum sampai ke level ekosistem. Belum sampai pula persoalannya terkait dengan pandemi. Lebih mendasar dari itu, yang perlu dibenahi adalah pemahaman atas film, apresiasi film, dan konsep ekosistem film itu sendiri. Juga pemahaman atas festival film serta komunikasi publik, seperti yang terjadi baru-baru ini, bisa-bisanya menamakan sebuah festival film dengan sembarangan dan mengeras pula. Perkiraan saya saja, mudah-mudahan saja salah. Amin.
Terakhir, ingin saya sampaikan kepada redaktur Cinemapoetica.com; Ajo (jika saya akrab dengan Adrian Jonathan mungkin akan saya panggil begitu) ternyata saya salah menilai bahwa diskusi Ekosistem Kreatif menjawab rasa penasaranmu atas kondisi perfilman di daerah di tengah pandemi ini, maaf.
*Silahkan klik tautan berikut untuk menonton diskusi terkait dengan tulisan di atas:
Diskusi Ekosistem Kreatif https://youtu.be/OUvZZhnnPJY
Diskusi Online Surat Terbuka Insan Film dan Pemulihan Industri Film https://youtu.be/yyYQG7RgjRY
Penulis ialah Alumnus Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Saat ini bergiat di Lab. Pauh 9. Pernah menjadi Direktur Artistik Andalas Film Exhibition 2017 dan Andalas Film Festival 2018, kurator di Sumbar Film Festival 2017 dan program Film Daerah Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2020 di Padang. Dari tahun 2015 ia mulai menyutradarai beberapa film, kemudian mengelola Layar Terkembang dari 2016-2018, belakangan lebih banyak menulis tentang film dan sastra. Salah satu tulisannya menang dalam Lomba Artikel dan Kritik Film 2018 yang diselenggarakan oleh Pusbang Film, Kemdikbud.
Editor: Randi Reimena